"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Sabtu, 21 Desember 2013

Kampus dan Sore Hari

Menghabiskan waktu di kampus itu memang menyenangkan. Sehabis mengetik di perpustakaan langsung meluncur ke kantin (baca : bonbin). Berkumpul bersama teman – teman Sejarah ( Sidik, Raka, Pandonyet, Dimas, Ginanjar, Giri, Yoga, Haris, Posan, Adib, Brok, Deston dll ). Kita saling ejek -  mengejek, saling menyindir atau ngrasani orang lain dan tentu saja curhat berooooo. Padahal orangnya juga cuman itu – itu aja sih. Tapi tetep aja asik.

Atau mungkin mengajak ngobrol orang lain yang tidak pernah kita kenal sebelumnya. Pernah suatu sore, saya sedang nongkrong bersama Adib. Saat itu kita satu meja dengan dua anak Psikologi. Satunya asli Jogja, yang satu lagi dari Solo. Kita berempat mengobrol satu sama lain. Tanpa berkenalan dan berjabat tangan, siapa nama kita, siapa nama mereka. Tapi ketika kita bertemu lagi, tetap saling menyapa.

Ada banyak perjumpaan yang saya temui di setiap sore. Nongkrong di Kandang Antro, melihat rekan – rekan Dekan Buayan latian dangdut. Tidak lupa untuk request satu lagu andalan, yaitu Masa Lalu !

Pernah pula ketika sedang mengetik di perpustakaan, saya berbincang – bincang dengan tiga mahasiswa Sastra Inggris angkatan 2011. Cantik – cantik lho boeng. Nah dua dari mereka asli Cirebon dan mengenakan jilbab, sedang yang satunya lagi asli Lombok, rambutnya sebahu. Kita berempat lalu nggosip. Nah, bumi gonjang – ganjing, langit kelap – kelap. Salah satu kawan seperjuangan dari jurusan Sastra Nusantara tiba – tiba muncul dan ikut nimbrung. Wah, njuk dadi goro – goro tenanan. Badut…

Sore kemarin, ada pertemuan lain yang aku pikir cukup mengejutkan. Intinya, sore hari itu memang menyenangkan, namun ada kalanya menegangkan dan menyebalkan. Aku pikir niat dan mimpi seseorang itu mirip lenyapnya matahari di sela – sela sore. Toh, di keesokan hari akan muncul lagi. Gitu aja sih.


Sampai jumpa !

12/21/13

Nouvelle Vague - In A Manner of Speaking

Suatu sore di perpustakaan, memutar lagu Nouvelle Vague “In A Manner of Speaking”, tak kusangka, ternyata ada kamu disana. Sayangnya, kita tak sempat saling menyapa dan bercanda.


 “Oh give me the words, give me the words, that tell me nothing. Oh give me the words, give me the words, that tell me everything..”


Sabtu, 26 Oktober 2013

Perpustakaan

Ketika paduan kata dan pikiran sempat bersatu menjadi sebuah nada berupa suara ketikan. Hanya saja, semua menjadi goyah ketika ada satu sosok tiba-tiba lewat. Suasana ruangan tersebut memang sunyi, menciptakan ketenangan.

"JAGA KETENANGAN RUANGAN INI"

"ANDA AKAN DIPERINGATKAN APABILA AKTIVITAS ANDA MENGGANGGU KETENANGAN DI RUANGAN INI"

Begitulah.

Iya, dia lewat, menemui teman-temannya, lalu duduk. Tanpa diduga, tanpa diprediksi, dia muncul. Entahlah, mungkin dia sedang ada tugas. Beberapa menit berlalu, dia hendak keluar. Sempat lewat disampingku, namun tak menyapa. Maklum kita memang tidak akrab.
Lalu, aku menengok ke belakang, dan tiba-tiba dia juga menengok ke arahku. Ah, mungkin mau melihat orang lain. Haha

Aku pikir semuanya sudah selesai dan dia pergi. Ternyata tidak, dia datang lagi, lalu duduk di tempat semula. Pukul 14.25 WIB, dia belum keluar juga. Dering bel berbunyi, tanda bahwa perpustakaan akan tutup. Aku belum beranjak dari kursiku. Menunggu.

Lalu, aku pun tersadar, "Oh tidak, Philip Morris ku terbengkalai".

25-10-2013
2.26 PM

Selasa, 08 Oktober 2013

Elegi Negeri Bahari

Perlu ada upaya melihat,
Upaya melihat dengan menjungkir-balikan segala makna
yang sudah ada
Untuk sampai pada yang tak dikenal
Hidup sejati yang berada di tempat lain
Di bawah sini cuma khayali
Dijejali dengan rangka kerontang
Hasil pemikiran sempit masyarakat Barat
Arthur Rimbaud | Penyair terkenal dari Prancis yang sempat mampir di Salatiga dengan menaiki kapal serdadu Hindia Belanda di tahun 1876

Ketika berkunjung ke ART|JOG, saya sempat memandangi salah satu karya yang berjudul “Bahtera Kaum Urban”. Saya sendiri lupa, siapa perupa karya tersebut. Satu hal yang membuat saya tertarik dari karya tersebut adalah wayang. Ya, si perupa menampilkan sosok punakawan dalam karya tadi. Sebuah kapal yang diisi oleh Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka saling bekerja satu sama lain dengan riang dan gembira. Itulah punakawan, simbol pekerja keras dan gemar bernyanyi, biarpun mereka ditempa oleh kerasnya kehidupan.
Saya jadi ingat sebuah tulisan milik (alm) AB Lapian, sejarawan bahari kita yang terkemuka. Di dalam bukunya yang berjudul Pelayaran dan Perniagaan Nusantara : Abad Ke-16 dan 17,[1] beliau menjelaskan mengenai strata sosial pelayaran di sekitar abad 16 dan 17. Golongan paling atas adalah para “perwira”. Mereka yang disebutkan sebagai “perwira” antara lain nakhoda, jurumudi, jurubatu, serta mualim. Nakhoda sendiri masih dibagi menjadi dua, yaitu nakhoda laut yang mengurusi pelayaran serta nakhoda darat, tugasnya mengurusi muatan, mencatat segala pemasukan dan pengeluaran. Lalu jurumudi, sudah terlihat dari namanya, tugasnya pasti mengemudikan kapal. Lain jurumudi, lain pula jurubatu, apa itu jurubatu ? namanya unik juga ya. Ternyata jurubatu bertugas mengurusi jangkar. Kadang-kadang jurubatu jumlahnya ada dua, posisi mereka berada di haluan karena bertanggung jawab supaya kapal tidak menabrak karang.
          Posisi berikutnya adalah mualim, sekarang lebih dikenal sebagai navigator. Posisi ini sangat penting disaat kapal sedang berlayar. Seorang mualim yang bekerja dalam kapal dengan ukuran besar, biasanya dibantu oleh mualim kecil. Tugasnya juga beda, mualim kecil berurusan dengan layar dan tali temali kapal. Selain itu, mualim kecil harus mempunyai pengetahuan tentang arah angin. Maka dari itu, mualim kecil juga disebut sebagai mualim angin.
          Hierarki selanjutnya ada golongan para tukang atau bintara. Pemimpin golongan ini disebut tukang agung. Tukang agung mempunyai beberapa asisten, yaitu tukang kiri (mengurusi lambung kapal bagian kiri) serta tukang kanan (mengurusi lambung kapal bagian kanan). Lalu ada tukang tengah yang bertugas dibagian tengah kapal. Selain itu adapula tukang petak, tugasnya memilah-milah penempatan barang. Terakhir, tukang gantung layar, pekerjaannya langsung dibawah pengawasan mualim angin.
          Golongan paling bawah dalam kapal adalah awak kapal (anak kapal). Awak kapal dipimpin oleh serang (mandor). Bisa dikatakan isi dari awak kapal adalah para orang rendahan. Misalnya orang banyak (orang merdeka), orang abdi (budak) serta orang berhutang. Ada juga yang disebut sebagai orang turun penukan , dirinya dipekerjakan oleh nakhoda selama masih mempunyai hutang, namun dirinya punya kekuasaan atau tanggungjawab tertentu dalam kapal. Selanjutnya ada golongan yang disebut sebagai muda-muda, yaitu seorang taruna atau pelajar yang sedang mencari pengalaman di kapal. Saat magang, mereka bertugas mengawasi orang abdi serta menemani nakhoda apabila turun ke darat. Selain itu, saat pelayaran berlangsung, muda-muda juga bertugas mengawasi orang jaga dan orang yang bekerja di bagian anjungan.
          Ada juga sosok-sosok lain dalam kapal, namun posisi mereka tidak masuk dalam hierarki atau struktur organisasi dalam kapal. Contohnya, para kiwi, yaitu pedagang-pedagang yang kepentingannya hanyalah berdagang, mereka tidak turut andil dalam pelayaran. Para kiwi  tadi dipimpin oleh maula kiwi. Lalu, orang tumpang atau orang penumpang , mereka ikut berlayar dengan cara membayar uang tambang. Terakhir, orang senawi, mereka menumpang dan ikut berlayar dengan cara membantu di kapal tanpa membayar uang tambang.
          Saya pikir karya “Bahtera Kaum Urban” memang sarat akan simbol di dunia pelayaran kita. Terutama ketika si perupa menghubungkan antara kapal dengan wayang. Kapal merupakan warisan maritim kita, begitu pula dengan wayang (punakawan). Apakah kita pernah menemukan sosok punakawan dalam cerita Mahabharata di India ? tentunya belum pernah. Lautan yang luas cerminan dunia yang keras, terombang-ambing oleh derasnya badai dan ombak. Namun kejamnya alam tadi, dicairkan oleh luwesnya punawakan, sosok yang kuat nan penggembira, penghibur para raja dikala gundah gulana.
***
Menarik, ketika pergelaran ART|JOG kali ini mengangkat tema mengenai maritim. Karya-karya yang ditampilkan memang menawan. Lekat dengan suasana maritim, ya ini Indonesia, ini Maritim ! Budaya maritim bukanlah sekedar gambaran mengenai hamparan lautan luas, lalu dihiasi oleh kapal-kapal yang berlayar. Atau mungkin para nelayan yang terombang-ambing karena besarnya ombak. Saat mengunjungi ART|JOG, kita akan sadar dan tercengang, bahwa maritim lebih dari itu semua. Transaksional (ekonomi), ikan, budak, buku harian, rempah-rempah, strata sosial, konflik, imigran dan masih banyak lagi.
          Siapa yang tidak tahu bahwa negara kita adalah negara maritim. Ketimbang disebut negara agraris, Indonesia lebih layak disebut sebagai negara maritim alias bahari. Mengingat luas lautnya lebih besar ketimbang daratan. Mengamini apa yang disampaikan Anthony Reid, salah satu sejarawan terkemuka mengenai Asia Tenggara, beliau menyatakan bahwa Indonesia merupakan tempat penting dalam perdagangan Asia Tenggara. Sebelum abad ke 19, jaringan perdagangan (pelayaran) sangatlah ramai. Namun setelah abad 19, sistem tersebut dihancurkan. Reid juga menjelaskan, di abad 18 Indonesia dilanda krisis ekonomi. Penyebabnya adalah hancurnya kekuasaan lokal serta jayanya kongsi dagang terkenal di dunia kala itu, VOC. Ada cerita, bahwa Sultan Agung menjadi salah satu faktor krisis tersebut.
***
          Sesungguhnya, kita patut bertanya-tanya, apakah benar “Di Laut Kita Jaya?” Kalau kita menengok masa lalu, jawabannya mungkin “iya”. Siapa yang tidak mengenal digdayanya Majapahit serta Sriwijaya. Atau mungkin, kita juga bisa mempertanyakan, kenapa sampai ada relief kapal di Candi Borobudur, mengingat secara geografis, wilayah Borobudur berada di daerah agraris.
Dulu, negeri ini memang mendominasi jalur-jalur perdagangan di Asia Tenggara. Bayangkan, saking ramainya, Malaka membutuhkan empat orang syahbandar untuk mengurusi pelabuhan tersebut. Di pelabuhan Banda Aceh juga mengalami nasib yang sama, terutama pada rezim Sultan Iskandar Muda. Agaknya romantisme historis seperti itu perlu dihilangkan sejenak, sudah saatnya kita merefleksikan kisah historis negeri ini, menjadikannya sebagai pengalaman dan tumpuan untuk melihat ke depan. Jangan sampai kita dikebiri lagi, bercerminlah pada pengalaman yang dulu-dulu. Ingat, di abad 17, rakyat di Maluku dibebani pajak yang amat berat. Siapa yang menikmati keuntungan tersebut ? Tentunya para pedagang asing, raja-raja lokal serta para pegawai pelabuhan. Mereka menikmati hasil pungutan pajak tadi. Degradasi ekonomi benar-benar dialami Maluku ketika VOC memutus tali perdagangan dengan pedagang asing. Hak monopoli rempah-rempah semakin membabi buta. Habis sudah Maluku di sekitar abad ke-18 dan 19.
          Maritim bukanlah petualangan sekelompok pelaut untuk menemukan pulau Greenland seperti yang digambarkan komik One Piece. Namun maritim adalah ranah ekonomi ( urusan perut, urusan duit ), politik, sosial dan juga budaya. Negeri ini sudah cukup dibohongi atau dikhianiati, baik oleh oknum asing ataupun penguasa lokal. Mari kita kembalikan lagi semboyan “Di Laut Kita Jaya !”



[1] Bisa dilihat dalam Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17  (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008).

Kamis, 26 September 2013

“Karena aku merokok !”

Malam itu, oh maaf mungkin dini hari, iya dini hari. Ada cerita tentang laki-laki dan perempuan yang sedang mengobrol. Mereka saling bertemu di malam minggu, tanpa janjian terlebih dahulu. Mereka bukan sepasang kekasih, nampaknya itu perlu ditekankan. Ingat, bukan sepasang kekasih.

Ceritanya, si perempuan tiba-tiba ingin menonton wayang. Si lelaki akhirnya menjemput si perempuan dikostnya. Tapi karena lika-liku pikiran lelaki yang sedang ruwet, akhirnya mereka malah mampir untuk meminum kopi sebentar. Pada akhirnya mereka berhasil menyaksikan pagelaran wayang dan saling berpamitan sebelum adzan subuh berkumandang.

Nah, ketika sedang meminum kopi, terciptalah sebuah percakapan diantara mereka. Ada beberapa pohon beringin disekitar mereka, mungkin usianya sudah ratusan tahun. Mungkin juga pohon beringin tadi ikut nimbrung dan menguping apa sih yang sedang mereka bicarakan.

Lalu, si lelaki ingin merokok, namun koreknya habis. Si perempuan tiba-tiba mengeluarkan sebuah korek. Laki-laki tadi heran, “Kok kamu bisa bawa korek ?” Gadis tersebut sempat tertawa, lalu menyahut dengan girang “Karena aku merokok !” Sebungkus rokok Sampoerna Mild Flava ia keluarkan dari tasnya lalu diletakkan diatas meja.

Gadis tadi sempat menyalakan rokoknya disela-sela perbincangan. Dia mengaku, bahwa dirinya bukanlah seorang perokok. Namun si lelaki menyadari, perempuan yang sedang bersamanya tersebut, sudah cukup lihai untuk merokok. Banyak hal yang mereka obrolkan, mulai dari watak orang Jogja, kuliah, unit kegiatan mahasiswa, si Kribo, dan lain-lain. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menyudahi pembicaraan. Sekian ..

Jumat, 20 September 2013

Perang, Kebencian dan Dendam di Kota Abadi


“Who will fight with me? Who will fight with me? Will you fight for me? Will you fight for me?” (Ancient Rome The Rise and Fall of an Empire : Caesar | BBC )

Siapakah yang akan menjadi bangkai di hari Minggu besok ? pertanyaan tersebut agaknya tepat untuk dilayangkan kepada tifosi Lazio dan AS Roma. Sejarah akan mencatat rekor baru, dimana Serie A 2013/14 akan mempertontonkan lima derbi (derbi satu kota) dalam satu musim. Derby Della Capitale patut berbangga, karena mereka menjadi bagian dari kelima derbi yang lain. Sisanya, Derby Della Mole (Juventus vs Torino), Derby Della Madonina/Derby Milano (AC Milan vs Inter Milan), Derby Della Lanterna (Sampdoria vs Genoa) dan Derby Verona (Chievo vs Verona).

Beberapa media ada yang mengatakan kalau Derby Della Capitale merupakan derby paling panas dibanding derby-derby lain di Italia. The Rome Derby lebih ganas dan sarat emosi dibanding Derby Della Madoninna atau Derby Della Mole bahkan Derby Italia. Harga diri menjadi taruhannya, serta siapa yang layak mengibarkan bendera diseantero kota Roma.

Faktanya, persaingan sengit kedua klub tersebut dimulai sejak tahun 1927. Perlu diingat, Giallorossi adalah gabungan dari tiga klub di Roma pada saat itu. Yaitu Pro Roma (1911), FBC Roma (1899) dan Alba Audace (1907). Secara resmi, AS Roma baru terbentuk pada tahun 1927. Penggabungan alias merger tiga klub kota Roma tersebut digagas oleh diktator Italia kala itu, yaitu Benito Musollini. Dimana Musollini merasa jengah atas dominasi klub Italia Utara di jagad sepakbola Italia. Uniknya, Lazio merupakan satu-satunya klub kota Roma yang menolak merger tersebut, Lazio sendiri lahir pada tahun 1900.

Sejauh ini, Lazio menganggap bahwa merekalah klub pertama di kota Roma, mengingat AS Roma baru muncul 27 tahun kemudian. Merekalah yang pantas mendapatkan gelar kaisar Roma. Nah, AS Roma pun menghujat Aquile. Bagi mereka, pendukung adalah orang luar/outsider di kota Roma. Lazio adalah sekumpulan petani dari pedesaan. Selain itu, warna biru langit serta lambang burung elang sama sekali tidak menunjukkan ciri khas dari sebuah kota Roma. Warna biru langit milik Lazio justru menunjukkan tipikal dari bendera Yunani. Sedangkan elang adalah hewan sakral milik Dewa Jupiter.

Apabila mengacu dari mitologi Romulus dan Remus, serigala menjadi peranan penting dalam sejarah kota Roma. Warna merah mewakili Vatikan, sedang warna kuning mengadopsi warna kebanggaan kekaisaran Romawi. Selain itu, serigala juga kerap dihubungkan dengan Mars (dewa perang), ayah dari dua bayi kembar yang lahir dari rahim Rhea Silvia.

Akan tetapi, seekor elang juga merupakan simbol penting disaat kekaisaran Romawi mengalami masa kejayaan. Entahlah, elang ataupun serigala. Pastinya, di setiap tahun mereka selalu bertemu, siapa yang tercabik, lalu dikencingi.

Disisi lain, Lazio juga berpendapat bahwa para fans AS Roma adalah para turis (pendatang dan keturunan imigran) dari daerah selatan nan jauh. Sekedar tambahan, para pendukung Lazio kebanyakan berasal dari utara kota Roma yang kaya serta berhaluan politik sayap kanan. Sedang tifosi AS Roma didominasi oleh masyarakat kelas menengah (kaum proletar) berpaham politik sayap kiri. Mayoritas berasal dari selatan kota Roma. Tempat mereka di stadion Olimpico pun berbeda, Lazio menghuni Curva Nord, sedang AS Roma di Curva Sud.

Berbagai kerusuhan, penghinaan, hujatan serta banner rasis kerap kali muncul di saat berlangsung Derby Della Capitale. Salah satu pemain favorit Lazio, yaitu Paolo Di Canio adalah pemain yang kerap memberikan salam fasis dihadapan pendukungnya. Di tahun 2001, sempat terbentang sebuah banner bernada fasis dan rasis yang ditujukan untuk AS Roma. Banner tersebut menghujat AS Roma, mereka lahir dari ras kulit hitam serta sekelompok masyarakat Yahudi. Rentangan banner tersebut merupakan respon dari Laziale yang sebelumnya sempat dihina oleh suporter AS Roma. Romanisti pernah memajang sebuah banner yang menyatakan bahwa Lazio adalah kambing dan pendukungnya merupakan sekumpulan para penggembala. Sejauh ini pendukung Lazio memang identik dengan simbol-simbol bernada fasis, mereka juga sering memajang lambang swastika. Di musim 98-99, Laziale pernah membuat banner dengan panjang sekitar 50 m yang berbunyi "Auschwitz is your town, the ovens are your houses”


Permusuhan dua klub yang sarat emosi tersebut pun sampai memakan korban, dimana suporter Lazio tewas pada saat derby berlangsung. Di tahun 1979, salah seorang fans Lazio, Vicenzo Paparelli tewas setelah matanya terkena serangan roket jarak jauh. Kematian tersebut menjadi noda hitam persepakbolaan Italia, seorang suporter tewas di stadion. Selanjutnya, pada tahun 2004, pertandingan AS Roma vs Lazio sempat dihentikan oleh suporter AS Roma. Dimana tiga orang dedengkot ultras AS Roma turun ke lapangan dan meminta Fransesco Totti untuk menghentikan pertandingan. Pertandingan tersebut diselimuti rumor adanya kematian seorang anak kecil di luar Olimpico, karena tertabrak mobil polisi. Derby kota Roma akhirnya dihentikan, setelah wasit Roberto Rosetti menelpon Adriano Galliani selaku presiden FIGC. Ada indikasi yang sebenarnya terjadi diluar lapangan adalah keributan suporter AS Roma dengan para polisi. Kerusuhan tersebut mengakibatkan 170 orang terluka dan 13 orang ditahan akibat peristiwa memalukan tadi. Di tahun 2009, pertandingan sempat dihentikan selama 13 menit karena luncuran kembang api ke dalam lapangan yang menyebabkan mata pedih.

Sejauh ini Derby Capitolino sudah berlangsung 172 kali. AS Roma berhasil meraih kemenangan sebanyak 63 kali dibanding Lazio yang baru mengoleksi 48 kemenangan. Sisanya kedua klub tersebut berbagi 61 kali hasil imbang. Derby Roma pertama kali berlangsung pada 8 Desember 1929 di stadion Campo Rondinella. 1-0 untuk AS Roma, gol tersebut dicetak oleh Rodolfo Folk. Kemenangan Lazio yang pertama terjadi pada tanggal 23 Oktober 1932, 2-1 untuk mereka. Gol dari Lazio dicetak oleh Demaría dan Castelli. Kemenangan terbaik untuk AS Roma terjadi pada musim 1933-1934, mereka menang 5-0 atas Lazio. Kelima gol tadi dicetak oleh Tomasi (3 gol) dan Bernardini (2 gol). Sedang hasil terbaik bagi Lazio terjadi pada tahun 2006-2007,  mereka berhasil membungkam AS Roma dengan skor 3-0. Ketiga gol tadi dicetak oleh Ledesma, Oddo dan Mutarelli. Di musim 1997-98 ada peristiwa unik bagi Lazio. Mereka meraih empat kali kemenangan Derby Roma dalam satu musim. Mereka menang 3-1 dan 2-0 di kompetisi Serie A. Serta dua kemenangan lagi di perempat final Coppa Italia dengan skor 4-1 dan 2-1.

Il Capitano Fransesco Totti merupakan pemain dengan penampilan terbanyak dalam Derby Roma, total 31 pertandingan ia jalani. Di Lazio ada Aldo Pulcinelli dan Giuseppe Wilson, masing-masing menjalani 19 kali Derby. Legenda AS Roma, Dino Da Costa meduduki puncak pertama sebagai top scorer di Derby Della Capitale. Sebelas gol berhasil ia lesakkan ke gawang Lazio. Pelatih Fiorentina saat ini, Vicenzo Montella menjadi satu-satunya pemain yang mencetak gol terbanyak dalam satu pertandingan. Montella membobol 4 gol ke gawang Lazio pd 11 Mar 2001. Montella mengakui, dirinya begitu gembira saat pertandingan tersebut. Sampai sekarang,Montella masih mencintai AS Roma. Scudetto di tahun 2001 adalah momen terindahselama hidupnya


Mungkin agak dibuat-dibuat, tapi fakta membenarkan bahwa haram hukumnya, AS Roma memakai jasa (membeli) pemain yang pernah berbaju Lazio ataupun sebaliknya. Ketika Pazzini pindah ke Milan, atau Ogbona bermain untuk Juventus, hal tersebut tidak menjadi problem bagi mereka. Beberapa pemain yang pernahberseragam Lazio dan AS Roma antara lain, Sinisa Mihajlovic, Roberto Muzzi,Diego Fuser, Luigi Di Baggio, Lionello Manfredonia dll. Entah patut berbangga atau tidak, fakta unik lainnya adalah, Arne Selmosson merupakan pemain yang pernah mencetak gol baik saat membela Lazio atau AS Roma.

"Much more than just a game", itulah kata yang tepat untuk menyebut Derby Della Capitale. Tomasso Rochi juga berujar, bagi mereka Roma adalah Lazio, biarpun warna kota Roma dipakai oleh Il Lupi. Bagi fans Lazio ataupun AS Roma, menang dalam Derby Della Capitale itu lebih indah dan bergengsi daripada meraih Scudetto. Fransesco Totti dan legenda AS Roma, Giacomo Losi juga mengamini pendapat tersebut. Mereka bukan sekadar pemain, tetapi suporter bagi AS Roma. Roman adalah simbol bagi kedua klub. Bagi para Laziale, Paolo Di Canio adalah icon dan menginspirasi mereka, Di Canio adalah Lazio. Kebencian yang mengitari laga tersebut bisa kita nikmati dalam dokumenter yang dibuat oleh Football Rivalries. Kalau boleh bermimpi, entah tahun berapa, saya ingin melihat Montella melatih Roma lagi dan Di Canio menukangi Lazio. Lalu mereka berdua bertemu dalam Derby Della Capitale, Montella yang kalem melawan Di Canio yang agresif. It's very beautiful. Forza Roma !


Kita tahu, benteng terbesar di Italia adalah seorang nyonya yang mampu mengoleksi emas begitu banyak. Tahun kemarin nyonya tersebut berhasil mendulang emas kembali. Musim yang panjang nan terjal harus dilewati seekor serigala. Serigala pincang, iya serigala ompong. Secara tragis, mereka gagal menambang sebongkah perak. Serigala tadi terlihat sangat kelelahan, matanya nanar, menonton seekor elang terbang dengan gemilang dihiasi cincin perak dijarinya. Serigala pincang tadi dianggap wafat. Sebuah pemakaman diadakan untuk menghormatinya. Ironis, ribuan tangis palsu mengiringi jasadnya. Serigala mungkin hanya mati suri. Mereka mencoba untuk bangkit, mencakar dan mencabik-cabik seekor elang. Mencoba menancapkan kembali bendera kuning dan merah diatas kota abadi.


“Are you ready for a war ?” (William Wallace | Braveheart)


Rabu, 18 September 2013

Cerita, Kota dan Senja

Ada cerita dalam senja di sebuah kota tertua di Jogjakarta
Di balik kempul dan gong itu, aku berusaha mencuri pandanganmu
Tanpa harapan, bahwa kamu akan membalasnya
Bisa saja, karena dirimu, aku lupa satu ketukan nada
Satu tabuhan salah, rusak sudah semua perpaduan irama
Asap rokok mengepul, tanpa mempedulikan kiri dan kanan
Sangat disayangkan, tiada lagi pertemuan tabuhanmu dan tabuhanku
Pedih, seperti asap rokok yang menyelip di mataku
Kamu tahu, aku rindu rutinitas di hari itu
Dan disela ramahnya kota tersebut, aku mengingat senyumanmu


2013

Senin, 16 September 2013

Imagining Argentina

Ketika sebuah negara telah berada “dibawah acungan senjata”, saya kira warga yang berdiam disana akan berontak. Entah dalam batin, atau dimunculkan dalam bentuk tindakan. Ada beberapa film mengenai pergulatan antara masyarakat dengan negara yang pernah saya tonton. Antara lain, Diaz Don’t Clean Up The Blood (Italia : 2012). Beberapa hari yang lalu, saya menonton sebuah film Argentina. Film tersebut berjudul Imagining Argentina. Salah satu teman saya, yaitu mbak Heni, merekomendasikan film tadi. Mbak Heni berujar, film tersebut menarik karena menceritakan “petrus-petrus” Argentina pada tahun 1979-1983. Ketika rezim militer menguasai negeri para pesepakbola kondang. Mungkin saja Maradona menjadi saksi ketika Argentina berada “dibawah acungan senjata”.

Imagining Argentina, film yang dibuat oleh Christopher Hampton pada tahun 2004 ini, merupakan adaptasi atas novel karya Lawrence Thornton dengan judul yang sama. Sebuah novel yang latar belakangnya berbasiskan sejarah. Di saat Argentina berada dalam posisi yang pelik, negeri tersebut terlibat “Dirty War” antara tahun 1979-1983. Kita juga tahu, pada tahun-tahun tersebut Argentina sempat beradu meriam dengan Inggris. Pulau Malvinas atau Falkland yang menjadi taruhannya.

Carlos Rueda (Antonio Banderas) dan Cecilia Rueda (Emma Thompson) hidup di Argentina disaat pemerintahannya dikuasai oleh militer. Mereka mempunyai satu putri, yaitu Teresa Rueda (Leticia Dolera). Carlos sekeluarga terpaksa harus melawan pemerintah, ketika Cecilia mengirimkan sebuah artikel yang mengkritik pemerintah Argentina atas kasus “hilangnya” beberapa siswa sekolah yang memprotes kenaikan tarif bus. Akhirnya Cecilia ditangkap oleh sekelompok oknum yang dikendalikan oleh pemerintah.

Berbagai macam usaha dilakukan oleh Carlos untuk menemukan istrinya. Entah darimana datangnya, tiba-tiba Carlos mempunyai kekuatan ajaib alias indera keenam. Carlos bisa mengetahui nasib para korban yang terindikasi telah “hilang”, apabila ia berdekatan dengan siapapun yang berkaitan atas korban-korban yang “dihilangkan”. Tidak ada penjelasan kenapa atau dari siapa Carlos memperoleh kekuatan misterius tersebut. Carlos yang berprofesi sebagai pengajar teater tersebut, akhirnya mengadakan sebuah forum tiap hari Selasa. Forum tadi berisi rekan atau keluarga para korban “hilang”. Carlos memberikan sebuah penawaran atau mungkin bisa disebut solusi, yaitu pembacaan nasib korban-korban yang “hilang”. Menurut saya, forum tersebut bukanlah solusi yang tepat. Carlos tidak menawarkan sebuah solusi, ia hanya membuat problem dan menciptakan kesedihan.

Saya sendiri memberikan nilai tujuh atas film Imagining Argentina. Ada beberapa tokoh atau adegan yang menurut saya tidak terlalu menarik. Antara lain, pertemuan Carlos dengan sepasang suami istri yang sempat menghuni kamp Auschwitz. Carlos yang linglung berusaha mencari pencerahan di sekitar pedalaman Argentina. Sepasang suami istri Yahudi tersebut nampaknya menjadi pemanis atas simbol “imajinasi” dan “perjuangan” dalam film Imagining Argentina.

Selain itu, sang sutradara doyan sekali mengumbar adegan eksploitasi terhadap perempuan. Penamparan, pukulan serta pemerkosaan kerap muncul. Bukannya kelompok subversif di Argentina tidak melulu perempuan. Namun kenapa, korban yang dianiaya oleh pemerintah militer hanyalah perempuan. Ada satu adegan yang mungkin mewakili kaum laki-laki. Yaitu, disaat teman kerja Carlos, Silvio Ayala (Ruben Blades) dipenjara lalu diinterogasi dan akhirnya dihukum dengan cara dijatuhkan dari helikopter. Silvio lebih memilih bungkam dan memproklamirkan dirinya sebagai seorang Argentina sejati ~> “I’m Silvio Ayala, I’m Argentinian !”

Apabila kita berekspektasi bahwa Imagining Argentina akan memunculkan suasana panasnya rezim diktator nan militeristik, sayang sekali, kita tidak akan menemukannya. Imagining Argentina menawarkan kepada kita, untuk tidak mengulangi kembali masa lalu yang suram. “Never to look back. But it is our sacred duty to look back.”

Imagining Argentina, menyuguhkan data-data sejarah untuk mengawali dan mengakhiri adegan. Caption yang disuguhkan untuk mengawali film adalah tampilan foto atau video pada masa berlangsungnya tragedi berdarah di Argentina. Wajah bengis barisan militer, sekelompok ibu-ibu berdemo dll. Sedangkan di penghujung film, si sutradara berusaha menunjukkan kegilaan rezim militer Argentina selama 1979-1983. Ada sekitar 30.000 ribu korban “hilang”, baik laki-laki, perempuan ataupun anak-anak. Data tersebut berdasarkan Amnesti Internasional. Selain itu ditunjukkan pula puluhan ribu korban yang “hilang” diberbagai macam negara. Seperti, Bosnia Herzegovina, Irak, Kongo, Rusia, India, Kuba, Chili, Kolombia, Mexico, Peru, Srilanka, Libya dan tentunya tanah air beta, Indonesia.

Somewhere in the world today, someone is “disappearing!” (Imagining Argentina)

Kamis, 29 Agustus 2013

La Magica Roma

Beberapa bulan yang lalu, saya membaca twit seorang romanisti. Laki-laki tadi menulis lima momen besar selama dia menjadi seorang romanista. Saya lalu membalas twit lelaki tadi, saya menulis “seeing Montella flying !” Ya, melihat seorang bomber mencetak gol lalu melakukan selebrasi ala pesawat terbang sungguh menjadi pemandangan yang indah bagi saya. Saya punya teman, namanya Ijah. Dia pernah berujar, waktu kecil dirinya suka dengan Montella. Kenapa ? Ijah mengaku senang melihat gaya Montella ketika mencetak gol, ditambah paras ganteng Montella yang mempesona kaum hawa.


                Akhirnya bulan bola sudah hadir kawan-kawan. Selama setahun kedepan kita akan disuguhi begitu banyak pertandingan bola luar negeri. RCTI beralih haluan menyiarkan Liga Spanyol, mengingat Liga Champion sudah dibajak SCTV. MNC Group terpaksa harus kehilangan jatah siaran liga paling terkenal di seantero dunia, liga Inggris menjadi hak SCTV. Setelah sekian tahun menghilang, masyarakat Indonesia kembali disuguhi liga Jerman. Kompas TV memegang hak siarnya. Masih seperti tahun kemarin, “beauty of Calcio” tetap berada di tangan TVRI.
                Pastinya setiap akhir pekan, olahraga yang penggemarnya masih didominasi kaum pria tadi menjadi santapan malam nan mengasyikkan. Twit war antar fans tentunya akan hadir disela-sela timeline kita. Lalu setiap hari Senin atau mungkin Selasa, diskusi soal perempuan akan berganti topik. Obrolan tentang bola menjadi kawan bagi teh ataupun kopi di kantin kampus. Ya, perayaan dan hiburan bagi suporter layar kaca akhirnya kembali dimulai. Selamat !
****
                One drama ends, but another drama begins. Sayang, saya bukan seorang WS Rendra yang pintar bermain kata-kata dan mencipta naskah drama. Tapi drama AS Roma kembali lagi menyelimuti hari-hari saya. Drama yang mampu membuat mood saya tiba-tiba berubah. Minggu kemarin, idola saya kembali membobol gawang, setelah 25 pertandingan tanpa satu gol pun di medan Serie A. Grande De Rossi ! Mungkin terlalu awal, ketika saya harus bilang bahwa AS Roma mampu bersaing dalam perebutan Scudetto. Saya sendiri masih yakin, kalau tahun ini masih menjadi jatah si Nyonya Tua. Hanya saja setitik harapan nampaknya muncul, disaat minggu kemarin AS Roma meraih kemenangan tandang.
                Maklum, raihan tiga poin atas Livorno merupakan kemenangan pertama di pertandingan awal musim selama lima tahun terakhir. Grande Rudi Garcia ! Tidak dapat disangkal, Roma dalam posisi yang amat terpuruk semenjak ditinggal Luciano Spaletti. Berbagai macam pelatih dengan gaya strategi yang berbeda-beda didatangkan. Mulai dari Ranieri, lalu Luis Enrique hingga Zdenek Zemanlandia. Sebelum Spaletti, Roma juga dirundung frustrasi soal pelatih. Luigi Del Neri terpaksa harus mundur di musim 2004/05, posisi klasemen yang buruk menjadi alasan suporter Roma mengkudeta Del Neri. Selanjutnya, pos pelatih Roma diisi oleh mantan bintang, bahkan legenda Roma, Rudi Voller dan Bruno Conti. Pada tahun-tahun selanjutnya, terutama pasca Spaletti, beberapa mantan pemain Roma juga mengisi kursi pelatih AS Roma. Ada Claudio Ranieri serta Vicenzo Montella. Roma terjerat utang berkepanjangan, rezim Sensi diganti oleh rezim Amerika. Mungkin, AS Roma terpikat dengan gaya tiki-takanya Barcelona. Luis Enrique muncul, hasilnya apa ? tetap buruk. Musim berikutnya, Zdenek Zeman datang kembali. Pelatih yang doyan merokok tersebut tentunya menjanjikan gaya bermain “attack, attack, attack !”. Lagi-lagi klub melakukan blunder. Roma tidak percaya dengan takhayul ternyata, sejarah mencatat, bahwa mantan pelatih tidak pernah sukses, ketika dia menjadi kembali melatih klub yang sebelumnya pernah dia tukangi.
                Aurelio Andreazolli dipercaya menggantikan Zeman. Aurelio datang semenjak rezim Spaletti, dia memutuskan bertahan di Roma, ketika Spaletti menyatakan mengundurkan diri dari kursi pelatih Roma. Bermusim-musim, Roma dirundung badai, kondisi yang sangat sulit untuk diperbaiki. Saya sendiri tidak tahu apa tips yang tepat untuk klub favorit saya tadi. Puncaknya, Roma harus tertunduk lesu di Olimpico. Serigala tidak mampu menggigit seekor elang. 1-0 untuk Lazio. Olimpia diizinkan untuk terbang mengitari Olmpico. Maaf, Montella tidak lagi terbang di Olimpico.
                Gosip mengenai siapa yang patut mengisi pos pelatih AS Roma terus mengeruak, berbulan-bulan lamanya. Allegri dikabarkan mendekat ke Trigoria, tapi Adriano Galliani buru-buru mengajaknya makan malam. Perpanjangan kontrak di Milan, deal. Muncul nama lain, yaitu Laurent Blanc. Konon kalau Blanc menjadi pelatih Roma, asistennya adalah Vincent Candela. Tapi nyatanya, Blanc malah melatih PSG, menggantikan Ancelotti. Nama terakhir tadi sempat diisukan menjadi pelatih Roma saat klub memutuskan untuk memecat Zdenek Zeman. Isu bahwa Ancelotti akan kembali lagi ke Olimpico sebenarnya sudah lama menjadi konsumsi publik. Dia sempat menyatakan keingginannya untuk melatih Roma. Namun, papa Carlito sendiri berujar, bahwa gajinya yang sangat tinggi menjadi alasan utama klub untuk tidak mengontraknya. Saya sendiri masih ingat ketika membaca tabloid Bola, Ancelotti berkata bahwa klub yang ingin dia latih hanyalah Milan dan Roma. Sayang, pria bertangan dingin tersebut akhirnya menyeberang ke London. Sayapun sejauh ini terus berharap, bahwa Ancelotti akan melatih AS Roma, entah kapan. Comeback to Rome papa Carlo ! 


Drama tentang pelatih Roma memang sudah selesai. Namun, berbagai macam drama masih saja muncul. Lumrah ketika sebuah klub harus merelakan pemain mereka pergi, lalu membeli pemain baru. Memang beberapa tahun terakhir, sepakbola dunia semakin rusak. Teman saya pernah bercerita, dulu sangat  jarang sekali pemain yang baru merumput selama satu atau dua musim, tiba-tiba dijual di musim selanjutnya. Sekarang ? jangan salah, duit sudah menjadi dewa. Sepakbola adalah bisnis bung ! Agaknya, saga transfer adalah tangga dramatik sebelum kita menikmati satu kemenangan atau nir kemenangan selama semusim ke depan.
                AS Roma terpaksa harus menjual salah satu bek muda (saya sempat menyebut dia, The Next Aldair ) menjanjikan ke klub “Arab”, eh maaf, klub Prancis maksudnya. Lalu, Il Lupi berhasil mendatangkan bintang baru Eropa, Kevin Strootman. Pemuda Belanda tersebut sangat bersinar dikancah Piala Eropa U-21 kemarin. Selanjutnya, Mehdi Benatia, seorang muslim yang mungkin akan menemai sholat Miralem Pjanic, mungkin lho bung. Berdasar statistik, permainan Benatia selama di Serie A lumayan diperhitungkan. Determinasinya sangat tinggi, ahli tackling. Roma juga mendaratkan kembali Maicon di tanah Italia, sejarah berkata klub ibukota tersebut sangat hobi memakai jasa pemain asal Brasil. Setelah ditinggal Stekelenburg, praktis posisi kiper menjadi sangat rawan. Siapa yang muncul ? Morgan De Sanctic akan merayakan reuni Italia U-21 bersama Fransesco Totti di Trigoria. Satu bek belia juga hadir, namanya Tin Jedvaj. Entahlah, tapi di Football Manager dia jago. Semoga di dunia nyata juga begitu. Hahaha
                Ketika beberapa pemain datang, otomatis ada pemain yang harus ditendang. Akhirnya, pemain yang dianggap duri dalam daging oleh suporter AS Roma dijual juga. Pablo Osvaldo, striker penggembara berdarah Argentina menjadi barang dagangan ke klub Inggris, Southampton. Seperti yang diucapkan pengamat sepakbola, James Horncastle, akhirnya si bajak laut Argentina menemukan kembali pelabuhannya dinegeri James Cook. Musim memang sudah dimulai, namun bursa transfer belum ditutup. Satu drama muncul kembali, kita tahu bahwa Erik Lamela pernah menandatangani kontrak baru bersama AS Roma. Namun apa yang terjadi ? ada kabar bahwa dia akan di jual ke Tottenham, wtf ! seakan-akan kita dibohongi, terutama saat ada presentasi klub di Olimpico (Open Day). Saat itu Lamela turut serta dikenalkan kepada publik. Polemik sih, bahwa Roma agak tambun disisi sayap. Reuni pemain asli Pantai Gading, Gervinho dengan Rudi Garcia tentunya mengakibatkan posisi sayap makin bertambah. Itupun masih ditambah dengan transfer Adem Ljajic dari Florence ke Roma. Jadi, bagaimana dengan Lamela ? harap-harap cemas bro. <~ ( kalimat tersebut saya tulis, sebelum OFFICIAL transfer ERIK LAMELA. Saat berniat untuk posting tulisan ini, saya membuka twitter terlebih dahulu. Wow, surprise ! )
****
Saat SMP, saya punya teman, namanya Ari. Dia seorang Milanisti, kita kerap saling ejek-mengejek waktu itu. Just for fun, hanya bercanda, tapi itu menyenangkan sekali. Lalu, tiap sore, saya bersama teman-teman sekampung kerap bermain bola. Kita bermain bola bersama para mahasiswa yang ngekost di daerah kami. Posisi saya adalah bek, mereka menjuluki saya “banteng”. Akan tetapi, saya lebih senang menyebut saya sebagai seorang “Mexes !”. Kalian pasti tahu, siapa itu Philipe Mexes. Bek tengah dari Prancis, berambut gondrong, selalu dikuncir tiap kali bermain. Tekel yang keras, beringasan, provokatif, saya senang dengan dia. Mexes ! Sayang sekali ketika dia harus berlabuh ke Milan, tapi itulah sepakbola.


                Bagi saya pribadi, Roma merupakan klub bola yang diselimuti oleh mitos. Mereka sangat memuja-muja seorang Roman (baca orang Roma). Roman adalah simbol bagi mereka, Roman adalah kapten, leader. Mulai dari Giacomo Losi, Fransesco Rocca, Agostino Di Bartolomei, Bruno Conti, Giuseppe Gianinni, Fransesco Totti serta De Rossi, atau mungkin Florenzi. Ya, untuk nama yang terakhir, saya berharap tidak ada lagi Aquilani “kedua”.
Kita tahu kalau suporter AS Roma lebih memuja Fransesco “Il Principe” Totti ketimbang Daniele “Il Capitano Futuro” De Rossi. Tapi saya sendiri lebih menyukai Daniele De Rossi. Lihatlah permainan dia dilapangan, tekel yang tepat, gelandang bertahan perebut bola serta pengumpan yang lihai. De Rossi selalu bermain dengan gaya yang berapi-api. Terbukti ketika dia berani beradu mulut dengan kapten Lazio, Paolo De Canio. Padahal usia mereka jaraknya teramat jauh. Alasan lain kenapa saya begitu suka dengan Daniele, sangat sepele, De Rossi lahir dibulan yang sama dengan saya. Saya lahir di bulan Juli tanggal 26, sedangkan De Rossi pada tanggal 24 Juli. Ajaib bukan ? hahaha. Masih ada keajaiban yang lain bung, AS Roma diresmikan pada 22 Juli 1927.  La Magica Roma !


                Saya tidak mengalami masa keemasan Roma di periode 80an. Scudetto tahun 2001 memang sangat spesial, tapi saya masih kanak-kanak, emosi  akan kemenangan scudetto tidak saya rasakan. Beberapa tahun berikutnya, Roma ditinggal oleh Capello. Kondisi Roma saat itu bisa dikatakan sangat terpuruk. Bahkan Totti sampai berkata, bahwa Fabio Capello mengkhianati AS Roma. Tapi sudahlah bung, akan ada Roma yang baru setelah itu. Terima kasih Capello atas pengabdiannya sebagai pemain dan pelatih. Lain cerita, saya senang ketika ada duet Totti dan Vucinic. Bagi saya, periode Spaletti merupakan era keemasan bagi AS Roma, biarpun agak ternodai di semifinal Champion. 7-1 ? wtf ! Ya, drama, drama dan drama.

                Okee, mungkin agak naif ya tulisannya. Tapi begitulah. Forza Roma !


Jumat, 26 Juli 2013

Keajaiban Itu Ada

Sekitar tujuh tahun yang lalu, saya pernah les disebuah bimbingan belajar, tempatnya disekitar jalan Cik Dik Tiro. Tujuannya untuk persiapan menghadapi UAN serta bertarung untuk kuliah di UGM. Kampus biru itu amatlah mentereng ketika kita masih jadi anak sekolahan. Membuat kita silau terhadap puluhan kampus lainnya di wilayah Yogyakarta.

Sekitar lima tahun yang lalu, dibangun sebuah toko 24 jam di ring road utara. Saat awal dibuka, toko tadi sepi pengunjung, saya masih ingat, pegawai pertamanya adalah perempuan keturunan Tionghoa. Selang beberapa bulan, ada pegawai yang magang, kelihatan dari seragamnya, seperti baju ospek ketika kita menjadi mahasiswa baru. Saya sempat terkesan ketika melihatnya, perasaan seperti pernah melihat perempuan tersebut.Tapi kapan, dimana, siapa dia. Insting sejarah saya pun muncul.

Kembali ke jaman ketika saya masih berseragam putih abu-abu. Sewaktu les, hiruk pikuk di tempat tersebut amat beragam. Mulai dari tingkat SD sampai SMA. Ada satu anak perempuan yang cukup menarik perhatian, dia masih SMP. Raut mukanya nampak seperi anak yang pendiam. Lalu berdasarkan analisis seragam yang dia pakai setiap hari Jumat dan Sabtu, dapat dipastikan, gadis tersebut sekolahnya di SMP yang lokasinya dekat bunderan UGM. Gadis tadi selalu menunggu jemputan setiap pulang les. Kalau tidak salah, ayahnya yang paling sering menjemput. Suatu ketika, saya pernah bertanya kepada adik teman les saya yang kebetulan juga les di tempat yang sama. Siapakah gerangan anak SMP tadi ?

Berlanjut ke petualangan di masa kuliah. Perempuan yang bekerja menjadi karyawan di toko 24 jam, siapakah dia ? ah, sampai sekarang saya pun tidak tahu. Namun, perempuan tadi nomaden ternyata, ia kerap dirolling dari tempat satu ke tempat yang lain. Suatu malam, saya pernah membeli rokok di toko yang letaknya di ringroad, gadis itu sudah tidak disana. Ternyata dia pindah di toko yang ada di jakal atas. Terakhir, saya berjumpa dengannya ketika dia keluar dari toko 24 jam yang berlokasi di jakal bawah. Setelah itu, semua tinggal sejarah (kenangan) bung.

Di tahun 2011, saya masih di aktif di Gelanggang UGM. Tiap Selasa, Kamis dan Sabtu sore saya selalu jogging di GSP bersama kawan alias partner jogging saya yang paling setia, sebut saja dia Apunk. Dari Gelanggang menuju GSP, kita selalu jalan kaki, itung-itung buat pemanasan. Nah, suatu hari, saya melihat anak SMP yang pernah saya lihat sewaktu masih SMA. Dia sedang berlatih hockey di selasar Gelanggang. Kerap sekali saya bertemu dan melihatnya sedang bermain hockey. Saya yakin betul gadis yang bermain hockey tadi adalah dia, gadis yang menurut pandangan saya adalah pendiam.

Pasca pertemuan tadi, saya jadi ingat misteri seorang perempuan yang bekerja di toko 24 jam. Perempuan tersebut memang mirip sekali dengan anak SMP yang pertama kali saya lihat sekitar tujuh tahun yang lalu. Apakah mereka ada hubungan darah ? apakah mereka kakak beradik ? entahlah.

Di tahun 2011, saya jarang sekali ke kampus. Saya memang  sempat “menghilang” dari peredaran mulai tahun 2010 – 2011. Suatu hari saya pernah berjalan dari basecamp anak sejarah menuju ke Bonbin. Tiba-tiba saya berpapasan dengan anak SMP itu. Ternyata dia anak FIB. Terima kasih Tuhan, Kamu mempertemukan kembali saya dengannya. Hahaha.

Hari menjadi minggu dan minggu menjadi bulan. Berbulan-bulan saya sering melihat gadis kecil tadi di kampus, di Gelanggang, di bonbin. Tapi siapakah nama kamu.

Intensitas saya dikampus semakin berkurang, ketika aktivitas di luar begitu banyak. Sayapun sebenarnya juga malas bermain ke kampus. Otomatis, waktu untuk melakukan pelacakan pun semakin surut. Suatu saat saya mengetahui kalau gadis tersebut adalah teman adik kelas saya. Sayapun kroscek ke salah satu adik seperguruan sejarah, kita bisa menyebut nama mereka Ipul dan Rizki. Ternyata perempuan mungil tadi satu organisasi dengan Ipul. Mereka gabung dalam salah satu BSO film di kampusku.

Satu kesempatan tiba untuk mengajak gadis itu mengobrol. Suatu malam, anak-anak sejarah mengadakan kumpul-kumpul antar angkatan di bonbin. Acara tadi berbarengan pula dengan screening yang diselenggarakan oleh BSO film di kampus saya. Dua acara tadi saya hadiri semuanya. Kenapa saya sangat berniat sekali bertemu dengan cewek tadi. Alasannya cuman satu, saya hanya ingin bilang kalau pernah bertemu dengannya tujuh tahun yang lalu. Itu saja. Sepele. Yah, kesempatan untuk mengobrol dengannya memang ada. Biarpun gadis tadi merasa asing dengan saya, yang penting saya dapat jawabannya. Biarpun jawabannya tidak sesuai dengan harapan yang saya pikirkan sebelumnya.

Saya yakin bahwa keajaiban itu memang ada. Bertemu kembali dengan gadis pendiam tadi merupakan keajaiban bagi saya. Meminjam salah satu judul filmnya Vittorio De Sicca, “Miracolo a Sastra”. Keajaiban itu ada, tinggal kita menunggunya saja. Entah kapan dan dimana.


Selamat malam, bulan Juli memang indah bagi saya.

Kamis, 25 Juli 2013

KIPER

Saya teramat terkesan ketika membaca tulisan milik Goenawan Mohamad yang berjudul “Penjaga Gawang”. Entah kenapa tulisan beliau ( baca: Catatan Pinggir ) begitu menyihir, memukau. Goresan tintanya teramat tajam, terkadang lucu dan menggelitik.
            Kita tahu kalau mayoritas penduduk Indonesia, terutama kaum lelaki, sangat hobi menonton siaran sepakbola. Iya, sepakbola. Oh maaf, ternyata tidak hanya siaran sepakbola. Namun game sepakbola, apa itu Football Manager, apa itu FIFA, apa itu PES.
Kaum lelaki begitu menggilai dunia sepakbola. Perhatikan, apabila ada sekerumunan pria sedang nongkrong, apa yang akan mereka bicarakan ? Perempuan ? Pastinya. Selain itu kira-kira apa yang patut diobrolkan para lelaki ? Gadget, ah tidak semua lelaki punya keahlian mengelola keuangan dengan cermat. Politik ? masih nikmat ngomongin itu ? apa tidak muak dan eneg.
Nah, bagaimana dengan sepakbola ? tiap akhir pekan, kita selalu disuguhi siaran sepakbola, baik dalam ataupun luar. Liga Indonesia memang menjadi pilihan kedua masyarakat kita. Itu pasti, mengingat pengelolaan sepakbola Indonesia begitu carut marut, dinodai intrik-intrik badan terbesar sepakbola kita. Secara kualitas juga masih jauh dari sepakbola luar negeri. Tapi ada anehnya bung, tim junior kita bisa merajai kompetisi internasional tiap tahunnya. Pembinaan sepakbola kita tampaknya ada yang salah.
Bagaimana dengan sepakbola luar negeri ? Begitu banyaknya liga Eropa yang tersalur di stasiun tv, membuat kita kelabakan bukan. Ini mana ini siaran bola yang bagus ! mulai dari liga Italia, Jerman, Inggris, Spanyol, belum liga Champions Eropa hingga pertandingan kualifikasi Piala Dunia ataupun Eropa. Banyak pilihan, tapi masing-masing liga tadi sudah mempunyai basis penonton sendiri. Kalau akhir-akhir ini sih, kita disuguhi laga eksebisi alias persahabatan dengan klub-klub beken Eropa.
Diatas tadi saya menyebutkan kata “penjaga gawang”, merujuk tulisannya Goenawan Mohamad. Bung Goenawan menceritakan, besarnya tanggung jawab seorang kiper dalam waktu 45 x 2. Sosok tadi jarang disorot di media, apakah kita kerap menonton cuplikan-cuplikan penyelamatan super seorang kiper ? sangat jarang. Paling sering adalah cuplikan gol-gol indah atau gol yang maha dahsyat dari seorang striker.
Itulah sosok kiper menurut Goenawan Mohamad. Bayangkan, ketika ada counter attack, lalu one on one, siapa yang membantu kiper ? Penjaga benteng terakhir adalah kiper. Bek atau gelandang bertahan bisa saja langsung menyerah, angkat tangan, bahkan cuci tangan. Ketika gol masuk, siapa yang paling disalahkan ? Kiper. “Wah, Valdes ki pancen goblok !”, “Bajigur og Buffon, utek’e !”, “Pancen bosok og si Kurnia Mega”, “Haa kok ra ditepis ki pie jew bung ?”, “Kiper’e ra kendel, ra wani nubruk !”
Kiper. Goenawan Mohamad juga menceritakan, seorang Albert Camus pernah menjadi kiper sewaktu kecil. Kiper, penjaga benteng yang terkadang harus berjuang sendirian serta bertarung matia-matian menghadapi terpaan serangan bertubi-tubi.

Jumat, 25 Januari 2013

Ong Hok Ham: Intelektual Eksentrik

(A Tribute To Onghokham)
Apakah orang dapat belajar dari sejarah? Jawaban saya selalu, “Sayang, rupanya tidak”, sebab kalau kita dapat dari sejarah, maka kita semua akan lebih bahagia dan sentosa.


( Onghokham dan Jacob Vredenbregt )
www.flickr.com/photos/iisg/5579460186/
 
Ong Hok Ham, Onghokham, OHH, Sinyo Hans, Baba Ong, Onze Ong
 (Surabaya, 1 Mei 1933 – Jakarta, 30 Agustus 2007)

“Hidup untuk makan, bukan makan untuk hidup!”. Itulah prinsip dari Pak Ong yang terus ia pegang sampai akhir hayatnya. Sejarawan satu ini cenderung berbeda dengan kolega-kolega beliau di UI. Ia tidak seperti Nugroho Notosutanto, R.Z. Leirissa, Koentjaraningrat, Soekmono yang selalu berpakaian rapi dan bersepatu. Pak Ong lebih senang memakai sendal, lalu kemeja yang digulung sampai siku serta kancingnya selalu dibuka dan tas kumal dari kain warna khaki. Pak Ong memang unik. Bukan hanya sosok sejarawan handal, namun juga dosen, kolumnis, koki serta pemabuk. Ia adalah penggila pesta yang "membujang" seumur hidup.

Beliau lahir di Surabaya, 1 Mei 1933. Dilahirkan sebagai “Cina Peranakan”. Setelah lulus dari ELS (Europese Lagere School) sekitar tahun 1950an, ia melanjutkan studinya ke HBS (Hogere Burger School). Di HBS ini ia mulai tertarik dengan sejarah. Pelajaran sejarah Belanda dan Eropa ia dapatkan dari Boeder Rosarius, guru sejarah yang ia kagumi. Ong Hok Ham gemar sekali melahap buku-buku sejarah, terutama mengenai Revolusi Prancis (1789) serta berbagai peristiwa yang dramatis.

Dari Kampus Rawamangun menuju Kampus Yale
Pada awalnya, tahun 1955 Ong Hok Ham terpaksa melanjutkan studinya di Fakultas Hukum UI yang berada di Jln Salemba no.4. Namun kata hatinya mengatakan bahwa ia ingin menekuni studi sejarah. Biarpun hal tersebut sempat menjadi pembicaraan di kalangan keluarganya. Dengan bantuan A.B Lapian, beliau minta dikenalkan dengan ketua jurusan sejarah UI, yang saat itu dipegang oleh Prof. Dr. Soekanto. Akhirnya beliau pindah ke jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, yang lokasinya di daerah Rawamangun. Jenjang sarjana muda ia selesaikan dengan skripsi mengenai Gerakan Samin, sebuah gerakan perlawanan petani di Pantai Utara Jawa Tengah (Rembang, Pati. Blora dll) pada tahun 1900-1920. Di tahun 1968, skripsi S1 berhasil ia selesaikan dengan judul Runtuhnya Hindia Belanda, dengan periode antara 1930an-1940an. Yang diterbitkan menjadi buku pada tahun 1987. Pak Ong mengakui bahwa skripsi miliknya ditulis dengan perspektif Nerlandosentris.
            
Sebenarnya saat Ong Hok Ham menempuh perkuliahan di UI ia merasa tidak mendapat guru yang menarik seperti Boeder Rosarius. Namun disaat menempuh doktor di Universitas Yale, perkuliahan Prof. H.J. Benda sangat menarik dan provokatif. Dari sinilah gelar doktor ia dapatkan pada tahun 1975 dengan disertasi yang berjudul The Residency of Madiun: Priyayi and Peasant in the 19th Century. Sekembalinya dari Universitas Yale, ia lalu aktif mengajar kembali di UI. Pak Ong telah memberi warna baru mengenai sejarah petani dan pedesaan. Ia bersama Sartono Kartodirjo merupakan sejarawan Indonesia yang konsisten dalam kajian sejarah pemberontakan petani. Tulisan dari pak Ong sendiri kebanyakan bertema mengenai periode kolonial, salah satunya adalah mengenai rijsttafel, sebuah hidangan yang berisi nasi dan berbagai lauk pauk, sayuran dan sambal. Oleh Pak Lapian, beliau disuruh menulis artikel sejarah kuliner pada masa kolonial di Jurnal Sejarah yang bertema 4 Abad VOC. Ia sering dijuluki intelektual publik, sebab ia kerap menulis di Tempo, Kompas dan Prisma. Bahkan semasa kuliah ia juga aktif menulis di Starweekly pada kurun waktu antara 1958-1961. Tulisan pak Ong dari segi bahasa tidaklah bagus. Namun tulisannya merupakan komparasi dan analogi sejarah satu dengan yang lain, sebuah refleksi historis.
                        
Sinyo Hansje atau Hans adalah panggilan dia disaat masih muda. Keturunan keluarga Han dan Tan, keluarga kaya dan terkenal di jawa Timur. Kakek dari pihak ibu adalah kapitan Cina di Pasuruan. Sedang ayahnya, Klaas adalah kawula Belanda. Lies, yaitu ibu Ong sempat menikah dua kali. Ia mempunyai dua saudara laki-laki, Yan dan Freedy. Sedang kakak perempuannya bernama Olga. Keluarga Ong hidup dengan gaya kebarat-baratan. Makan dengan makanan Eropa, berpakaian Barat serta berbahasa Belanda. Periode 50an dan 60an adalah masa-masa sulit bagi Ong. Pada zaman itu golongan asing begitu dibenci. Banyak warga Tionghoa atau Belanda mengungsi ke daerah asalnya. Namun Ong tetap bertahan, akhir 1950 ia sering menulis mengenai Cina peranakan dalam Star Weekly yang dipimpin Auwjong Peng Koen atau P.K Ojong.
            
Bersama P.K Ojong dan Ong Tjong Hay (Sindhunata), ia mendirikan LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa). Perkembangan selanjutnya, LPKB pun berubah menjadi Bakom PKB (Badan Komunikasi Penghayat Kesatuan Bangsa). Saat itu Ong menjadi aktivis golongan “asimilasi”, golongan yang menghendaki peleburan etnis Cina menjadi warga Indonesia. Golongan “asimilasi” sendiri mendapat perlawanan dari golongan “integrasi”. Golongan yang menolak peleburan 100% etnis Cina menjadi warga Indonesia. Tanggal 24 Maret 1960, Ong Hok Ham ikut menandatangani piagam “Menuju Asimilasi yang Wajar”. Setelah pemberontakan G 30 S di tahun 1965, Ong sempat frustasi. Saat kembali ke Pasuruan ia melihat banyak manusia yang dibunuh. Bahkan ada deretan bambu runcing yang dipasangi penggalan kepala-kepala korban. Sontak ia berteriak, “Hidup PKI !, hidup Aidit!”. Setelah itu ia ditahan dan dijebloskan ke penjara beberapa bulan, sebelum dibebaskan atas bantuan Nugroho Notosutanto.
            
Ada banyak kejadian menarik dalam kehidupan Ong Hok Ham. Seperti yang diutarakan oleh Benedict Anderson, saat masih muda Ong Hok Ham sering bertengkar dengan Soe Hok Gie. Masalahnya tentu tentang politik. Dimana Ong merupakan pendukung PNI, sedang Gie saat itu masih simpati dengan PSI. Ong sering mengejek Gie dengan sebutan bordjuis, sebaliknya Gie mengatakan bahwa Ong adalah seorang feodal. Ong juga sering mengeluarkan sebuah anekdot. Diantaranya ia mengatakan bahwa Belanda itu membosankan, angkuh, goblok dan picik. Lalu Tionghoa totok adalah orang yang rakus, lihai, kikir dan tidak berkebudayaan. Sedang Tionghoa peranakan itu pemalas, gila judi, menor, pintar menipu diri. Ong juga mempunyai julukan atau istilah tersendiri bagi orang-orang Sumatera, yaitu “dull” khususnya orang-orang Padang dan Palembang. Sedang Batak dan Aceh, bagi Ong masih ada pamor membuat dia takut. Sedang anekdot untuk orang Sunda, Madura, Banten atau Osing tidak ada.

Sang Koki Sejarah Indonesia
Selain dikenal pandai mengolah sejarah, pak Ong juga seorang kolumnis yang gemar makan. Seorang gourmet (ahli mencicipi/menilai makanan) dan juga koki. Sebenarnya kepandaian dia memasak di dapat saat kuliah di Yale. Tidak salah apabila sekembali dari Yale, ia mendapat dua gelar yaitu sebagai doktor dan koki. Pak Ong merupakan pengajar yang unik. Ong lebih senang bepergian dengan bus. Menurutnya dengan naik bus, dia dapat mengetahui dan mengamati bagaimana kehidupan masyarakat di luar.
            
Pak Ong sangat senang menyantap tempe Malang, sambal gandaria, bandeng bakar, jangkang, nasi rawon dan telur asing yang masih masir (berserbuk). Pak Ong juga hobi minum kopi robusta yang ia beli di Stasiun Jatingera dan menghisap rokok Gudang Garam filter. Mengenai selera kuliner Chinese, beliau gemar mengudap babi panggang, babi hong, bakut tei, mie dan pangsit goreng, baso tahu dll. Di siang hari dia akan menjadi pria yang sederhana, namun di kala malam dia sudah siap berpesta bersama kolega-kolega asing dan berbincang-bincang dengan bahasa Belanda serta bahasa Inggris. Onze Ong memang bergaya kosmopolitan.
            
Selain itu Ong Hok Ham juga menggemari masakan Eropa. Contohnya seperti, pate, Hungarian salami, Scandinavian salmon smoked, berbagai jenis keju, roti baguette dan masih banyak lagi. Mengenai minuman favorit dari pak Ong jelas Scotch whisky. Pak Ong juga gemar meminum bir, serta wine. Mengenai Scotch whisky, pak Ong mengaku pertama kali mengenal minuman tersebut saat menjadi liasion officer di KAA Bandung tahun 1955. Di tiap malam ia seringkali mabuk. Parahnya lagi, pak Ong juga sering datang mengajar dalam kondisi setengah mabuk. Kebiasaan minumnya masih ia lakukan, biarpun dirinya terkena serangan stroke pada tahun 2001. Beliau terkena serangan stroke saat mau menghadiri perayaan 80 tahun Pak Sartono di Jogja, Februari 2001. Ia pun langsung dilarikan ke RS Panti Rapih, dan semenjak itu beliau harus memakai kursi roda. Anehnya disaat sedang sekarat, ia masih sempat-sempatnya memikirkan isi lemari es dan koleksi alkohol. Sungguh pribadi yang unik.

Oleh mahasiswa atau mahasiswinya, pak Ong dikenal sebagai dosen killer. Ia kerap meneror murid-muridnya dengan pertanyaan yang susah. Bahkan tidak segan-segan ia melempar penghapus papan tulis ke arah muridnya yang tidak bisa menjawab pertanyaannya serta ribut dikelas. Kata-kata goblok sering beliau lontarkan kepada para muridnya. Untuk mahasiswa atau mahasiswi yang malas membaca, sering dikatakan “bayi-bayi besar yang buta huruf”. Tradisi membaca memang beliau tanamkan kepada murid-muridnya di UI. Selain killer, pak Ong juga unik. Beliau seringkali membawa ikan segar yang habis dibeli dipasar ikan, bau amis pun mencemari ruang kelasnya. Ia tidak mengajar penuh di UI, umur 55 tahun beliau pensiun dari UI. Ia terpaksa berhenti disaat pangkatnya masih golongan III C. Ada yang mengatakan bahwa ia terpaksa pensiun karena nomor pegawainya tiba-tiba hilang.
            
Sosok satu ini paling senang menghadiri pesta-pesta. Bukan karena soal makanan, tapi juga mencari gelas yang isinya alkohol. Ong Hok Ham juga sering menggelar pesta dirumahnya yang terletak di daerah Cipinang, terutama saat beliau ulang tahun. Makanan yang disajikan ia masak sendiri. Dan bahan-bahannya juga ia beli sendiri. Ia akan naik kendaraan umum untuk berangkat ke Pasar Senen membeli daging babi, lalu ke Blok M membeli daging sapi dan mencari ikan bandeng segar di Pasar Pagi. Dimalam hari begitu banyak kolega-koleganya yang hadir. Mulai dari kalangan intelektual, artis, seniman, duta besar, politikus dll. Menurut Takashi Shiraishi, pesta yang diadakan oleh Ong adalah pesta yang menghidangkan nice meal, nice drink, and nice talk.

( Onghokham )
http://www.flickr.com/photos/iisg/5579460130/ 
Refklesi Sejarah Kritis Onze Ong           
Kesehatan Ong lama kelamaan makin memburuk. Ia masih saja menegak wine, padahal penyakit stroke menyerangnya. Makanan yang dikonsumsi juga kaya akan kolesterol. Hidangan kentang goreng dan bistik kakap merah menjadi hidangan terakhir bagi Ong Hok Ham. Ia meninggal pada tanggal 30 Agustus 2007, sekitar pukul 19.00. Beliau disemayamkan di Rumah duka Dharmais Jakarta Barat dengan baju gaya China berwarna merah buatan Peter Sie. Ong Hok Ham, seorang agnostik yang upacara pemakamannya dibalut dengan ritual Budha, Katholik serta Konghucu. Dan dibibirnya terselip sebuah mutiara.
            
Banyak karya beliau yang telah diterbitkan. Sebuah tulisan maestro sejarah Indonesia. Beberapa buah karya Ong Hok Ham yang telah dipublikasikan antara lain, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara (2003) yang merupakan kumpulan tulisan beliau di Harian Kompas. Selanjutnya, Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2003), buku ini berisi 70 buah karangan Ong di Majalah Tempo. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa (2005), yang didalamnya terdapat 14 buah tulisannya di Star Weekly. Selain itu ada pula buku The Thugs, the Curtain, and the Sugar Lord – Power, Politics, and Culture in Colonial Java (2003), Negara dan Rakyat (1983), Runtuhnya Hindia Belanda (1987), Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia lalu Sukarno: Orang Kiri, Revolusi dan G 30 S 1965. Lalu ada juga tulisan Ong yang berjudul “The Inscrutable and the Paranoid: an Investigation into the Sources of the Brotodiningrat Affair” dalam buku Southeast Asian Transition, Approaches Through Social History (ed) Ruth Mc Vey, sebuah buku persembahan untuk Prof. Harry J. Benda.
            
Prof. Sartono pernah melontarkan sebuah sindiran kepada Ong: “Kapan Ong ini mau keluar dari Madiun”. Sebuah candaan mengenai disertasi Ong Hok Ham yang isinya tentang petani dan priyayi di Madiun. Ong Hok Ham memang sejarawan yang handal, ia mengembangkan sebuah pendekatan global dalam studi sejarah Indonesia. Maksudnya, kita harus paham sejarah dunia, khususnya sejarah Eropa dan Asia apabila ingin menulis sejarah Indonesia pada masa kolonial agar analisis dan rekonstruksinya tepat. Beliau mengajarkan sebuah pendekatan global untuk rekonstruksi dan metodologi sejarah yang pada akhirnya untuk karya historiografi Indonesia. Ong Hok Ham pernah mendirikan dan mengetuai LSSI (Lembaga Studi Sejarah Indonesia). Yang tujuannya mengembangkan studi sejarah Indonesia lebih luas dan mendalam. Namun LSSI tidak dapat bertahan lama, ditambah kondisi pak Ong yang semakin rapuh. Menurut Bambang Purwanto dalam buku Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!, pak Ong telah menyumbangkan sebuah warna lain dalam memahami sejarah Indonesia dan menawarkan beberapa gagasan alternatif di tengah-tengah arus historiografi yang dominan. Sejatinya, Ong Hok Ham memang sejarawan yang hobinya teler, namun dia telah membuktikan sebuah kajian sejarah kritis kepada kita.

Sumber :
Bambang Purwanto (2007). Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ?! Yogyakarta : Ombak.

David Reeve, et.al.  (2007). Onze Ong : Onghokham dalam Kenangan. Jakarta : Komunitas Bambu.

Onghokham (2004). Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong : Refleksi Historis Nusantara. Jakarta : Kompas.

Henri Chambert-Loir (1999). Panggung Sejarah Persembahan kepada Prof.Dr.Denys Lombard. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia