"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Jumat, 27 Juni 2014

Kisah dari Tukang Dongeng

Ada sebuah kisah yang baru saja aku dengar. Kisah yang aku simak dari seorang Tukang Dongeng. Cerita tentang pertemuan. Iya, lagi-lagi tentang pertemuan yang misterius. Kalau tidak salah ingat atau salah dengar, kejadiannya sekitar beberapa bulan yang lalu.
Jadi begini, cerita yang aku dengar tersebut lokasi utamanya berada di sebuah perpustakaan. Konon, ada seorang lelaki yang berjalan dari arah parkiran menuju perpustakaan. Langkahnya tergesa-gesa. Begitu menitipkan tas kepada petugas, lelaki tadi langsung masuk ke perpustakaan tanpa absen terlebih dahulu.
Nah, laki-laki tadi lalu bergerak ke tempat komputer untuk mencari buku. Setiba disana ternyata komputer yang dihadapannya sedang rusak, error. Kacau bung ! Ia pun menoleh ke sebelah kiri. Di situ ada seorang perempuan. Si laki-laki agak curiga. Sebab si perempuan tampak tak berniat mencari buku.
Si lelaki tersebut lalu bertanya, “Mbak, komputernya bisa dipakai nggak ya ?”
Sang perempuan menjawab, “Nggak tahu mas. Masnya duduk sini aja.”
“Oh, makasih ya mbak.” sahut si lelaki.
Mereka pun saling bertukar tempat.
Di saat si lelaki sedang asyik mengecek buku, si perempuan bertanya kepadanya, “Ada mas bukunya ?”
“Ada, tapi dipinjam’e.” jawab si lelaki sambil mengetik judul buku lain yang ingin dicari. Anggap saja laki-laki tadi sedang mencari bukunya Franz Magnis Suseno yang berjudul “Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme
“Kamu S2 ya mbak ?” selidik sang lelaki.
“Enggak mas, masih S1, mahasiswa baru !”
“Oh, kirain S2. Haha. Lha, kamu asli mana tho ?”
“Magelang mas” jawab si gadis sambil menjulurkan tangan kanannya. Mereka pun lalu memperkenalkan nama masing-masing.
“Lha, kamu tuh jurusan apa’e ?”
“Jurusan *ini*  mas.” (Tukang Dongeng bilang supaya jangan diceritakan ke orang lain tentang asal jurusan si perempuan. Maaf ya sebelumnya L )
Si laki-laki lalu menanyakan hal yang standar. Apakah kenal si A, si B, kenal si itu dong, kalau sama si ini tahu, bla bla bla bla. Saat itu di sebelah mereka juga ada beberapa orang. Nampaknya, mereka juga bukan teman dari si lelaki serta si perempuan.
“Kamu sendiri angkatan berapa mas ?” tanya si perempuan yang ketika itu sedang memakai jilbab berwarna hitam.
“2008”
“Wah, bentar lagi dong !” sontak si perempuan.
“Hahahaha, iya, amin-amin. Duluan ya.” jawab si laki-laki sembari berpamitan.
“Iya mas.”
Lelaki tadi lalu naik ke atas. Menyusuri beberapa anak tangga untuk sekedar mencari buku lalu membacanya demi sebuah cita-cita. Entah, apa yang dilakukan oleh si perempuan. Mungkin dia pulang atau mungkin ada jam kuliah. Si Tukang Dongeng juga tidak menceritakannya kepadaku. Selain cerita di perpustakaan tersebut, Si Tukang Dongeng juga mengisahkan cerita-cerita lain. Ada cerita tentang lelaki yang dikirimi lagu oleh seorang gadis. Si gadis merekam lagu yang ia mainkan dengan piano kesayangannya. Beruntung, gadis tersebut merupakan dambaan si lelaki. Ada juga cerita lucu tentang anak muda yang mengantarkan pulang seorang gadis. Mereka naik vespa berduaan, menyusuri malam.
Entah, apa yang akan terjadi selanjutnya. Si Pedongeng masih menyembunyikan ribuan ceritanya. Menunggu saat yang tepat untuk  diungkapkan kepadaku. Akan tetapi, aku berimajinasi bahwa lelaki-lelaki tadi sedang berjalan menuju sebuah kepastian. Sebuah instrumental “Guns Don’t Argue” milik Ennio Morricone sedang berdendang. Terdengar pula sayup-sayup lagu “The Return of Ringgo”
“Because we are fearless men”
“Because we are fearless men”
“Because we are fearless men”
Tatkala semua cerita sudah tersampaikan, semoga berakhir dengan bahagia. Aku sendiri juga masih menantikannya.

Is there anybody going to listen to my story
All about the girl who came to stay?
She's the kind of girl you want so much
(The Beatles - Girl)

Daun, Tanah dan Hujan

Ada kalanya, tanah merindukan hujan. Rintik-rintik menghujam, serasa lembut. Daun, ranting, batu dan material-material yang lain juga menunggu pelukan hujan. Namun, sebuah tanah tidak akan pernah cemburu, biarpun menjadi peraduan terakhir hujan.
Di sela-sela percumbuan hujan dengan daun, tercium wangi harum dari mawar yang hampir layu. Ada air yang menetes dari mahkota sang mawar. Mungkin itu tangisan, mungkin juga bukan.
Di bawah, ada satu sosok yang bersembunyi di balik kegelapan. Dia adalah raja kodok yang sedang menunggu putra-putrinya. Mungkin mereka sedang tersesat.
Di lain pihak, pasukan semut saling berbincang. Mereka sedang menggunjing. Hujan berselingkuh dengan daun. Seekor kucing liar yang senantiasa mengasihi anak-anaknya kelihatan tidak peduli. Baginya, perbuatan serong tersebut bukan urusan yang penting. Toh, dia juga kerap diperlakukan sama oleh kucing-kucing bermata keranjang.
Akhirnya tiba juga waktu dimana tanah mulai dijilati oleh hujan. Basah. Hujan dan tanah saling melepas rindu. Malam itu mereka benar-benar gembira. Tertawa, terbayar sudah siksaan oleh sang surya.
Sayang, sebelum pagi mulai membangunkan daun-daun, kisah mereka sudah habis. Karena sang bulan tak mengijinkan hujan untuk berlama-lama di bumi.

Selasa, 24 Juni 2014

PERJUMPAAN

Suatu saat, ketika saya bersama seorang kawan sedang nongkrong di kantin. Suasana di kantin memang sedang riuh, penuh dan ramai. Tiba-tiba datang dua mahasiswa. Kursi di depan kita memang kosong, mereka pun duduk satu meja dengan kami. Daripada terkesan aneh, sayapun mengajak mereka berbicara. Mulai dari obrolan sederhana, sepele lalu beranjak ke percakapan yang serius. “Anak ekonomi ya mas ?” “temennya si ini ya ?” “kalau mas nya jurusan apa ?” bla bla bla. “Jokowi kemarin waktu tes nggambar ini,” “dulu kalau mau masuk Sadar harus tes potensi akademik dulu” “perceraian Prabowo dengan Titiek kan karena persoalan politik” “kalau itu makamnya Sambernyawa, haa kalau yang itu makamnya Samber mbledek”. Beribu kata saling meluncur dari mulut kita berempat. Hingga dua mahasiswa tersebut memutuskan untuk pamitan, mungkin karena bosan atau memang sedang dikejar waktu.

Kadang-kadang kita menemui perjumpaan yang sifatnya tidak disengaja. Peristiwa yang muncul secara tiba-tiba, tidak terduga. Bayangkan ketika kita sedang berada di kereta, bus atau travel. Di sekeliling atau di samping kita adalah orang-orang asing. Ada yang mencurigakan, ada yang ramah, pendiam dsb. Mungkin beberapa dari kita pernah mengalami hal serupa. Mengajak ngobrol mereka tanpa berkenalan lebih dahulu, menawarkan makanan, lalu saling berpisah tanpa meninggalkan nama. Atau mungkin malah ada yang bernasib sama seperti di film Before Sunrise ? oh, it’s so nice..

Ketika semua perjumpaan yang tidak terencana tadi sudah berakhir, apakah kita akan berpikir bahwa Tuhan menyimpan sebuah rahasia atas peristiwa tersebut. Aku pikir tidak, itu merupakan hal yang wajar bagi kita semua. Namun Tuhan pernah menyimpan sebuah rahasia untukku. Bermula sekitar enam tahun yang lalu, disaat aku pernah bertemu dengan seseorang. Akupun tidak pernah menduga bahwa akan bertemu kembali dan benar-benar mengenalnya. Pernah pula bertemu dengan sosok yang lain lagi. Hanya bertemu, melihat, memandang, tanpa timbul sebuah percakapan. Sampai sekarang pun belum mengenalnya. Ada kabar bahwa dia keterima sekolah di luar negeri. Baiklah, kesempatan untuk sekedar melihat pun semakin berkurang. Selamat yang buat kamu !

Okay, mari kita mulai mensyukuri semua perjumpaan, atas pertemuan yang dirahasiakan oleh Nya dan diakhiri juga dengan rahasia. Semoga kita semua mendapat hikmah dari perjumpaan-perjumpaan. Semoga kita berjumpa kembali..

Kampanye

Kemarin, sekitar pukul satu pagi, saya keluar dari rumah untuk membeli rokok. Berhenti di depan gapura kampung, sembari menengok kiri kanan, untuk menyeberang jalan. Di seberang gapura tersebut, terpasang spanduk kampanye capres bertuliskan “Selamatkan Indonesia”. Sayapun meluncur ke arah utara, lagi-lagi saya menemui berbagai macam spanduk serta bendera. Kali ini dari rival spanduk yang saya lihat sebelumnya. Bahkan di tengah perempatan kecil daerah Nglempongsari, jalan tersebut mereka cat dengan gambar banteng moncong putih. Sayapun belok ke barat karena berniat ke Circle K di jalan Palagan. Pada saat itu saya menemui beberapa orang yang sedang menggotong spanduk. Lalu saya iseng berteriak, “Jokowi !”, sontak mereka menjawab, “Yo !”
            Beberapa minggu ini kita akan disuguhi pertempuran-pertempuran antara kedua belah pihak yang sedang bertarung memperebutkan kue kekuasaan. Saya sendiri agak jengkel ketika berada di rumah. Bapak saya hobinya nonton berita tentang kampanye. Kemarin malam, ibu saya sembari mengetik sempat mengeluh. Dia sudah capek dan heran dengan kelakukan bapak saya, kok ndak bosen-bosen nonton berita yang isinya cuman copras-capres. Ia pun berujar, “Mbok gek tanggal 9, ben ndang rampung !”
            Entahlah, tapi saya sendiri cukup miris dengan suasana ini. Masing-masing stasiun tv atau beberapa media sudah tidak netral lagi. Kampanye benar-benar jadi dagangan demi menjadikan jagoan mereka memegang tampuk kekuasaan negeri ini. Media punya peranan besar untuk mempengaruhi cara pandang masyarakat. Keponakan saya yang baru berumur 7 tahun saja sudah bisa nyanyi, “Prabowo, Presidenku..” Bahkan hapal dan tahu siapa saja tokoh-tokoh di negeri ini, semacam Hatta Rajasa, Megawati, Mahfud MD, Hidayat Nur Wahid dan bayangkan Aburizal Bakrie pun dia tahu. Tapi ketika saya menunjukkan gambar Panglima Besar Revolusi, Bung Karno, dia tidak tahu siapa beliau. Fak !
            Saya sendiri tidak terlalu berminat untuk aktif di kegiatan berbau politik. Entah itu ikut organisasi politik di kampus, ataupun apalah itu. Biarpun kakak perempuan saya beserta suaminya aktif di salah satu partai yang ngakunya Islam. Saya ingat benar, bahwa dulu bapak pernah melarang supaya jangan masuk ke politik. Bagi beliau, politik itu kotor. Sampai sekarang saya masih mengamini saran beliau. Kalau untuk pengetahuan sih tidak masalah. Tapi kalau sudah terlibat ke dalam praktik-praktik berbau politik, sama sekali tidak berminat.
             Sudah sewajarnya apabila akhir-akhir ini banyak orang yang menjadi latah politik. Tapi satu hal yang perlu diingat, politik bukan hanya perkara soal kampanye, presiden dan negara. Sejatinya, politik lebih dari itu. Coba perhatikan pernyataan Miriam Budiarjo dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik. Menurut beliau, politik adalah berbagai macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Politik menyangkut beberapa konsep pokok, yaitu : negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan dan pembagian atau alokasi. Selain itu, politik tidak hanya berada dalam tingkatan negara. Pemilihan lurah pun termasuk praktik politik di tingkat lokal. Sejalan dengan pendapat Deliar Noer, politik memang mempunyai perhatian khusus terhadap masalah kekuasaan di dalam kehidupan sebuah masyarakat. Namun, di era modern saat ini, kekuasaan tersebut berhubungan erat dengan negara.

            Baiklah, saya juga tidak berniat untuk membahas mengenai panasnya persaingan Prabowo dan Jokowi. Cuma sekedar mengingatkan aja sih, supaya jangan mudah terbuai oleh media-media yang sejatinya sedang bermuka dua. Pintar-pintar lah memilih berita dan jangan gampang tertipu oleh berbagai macam isu yang beredar. Gitu aja sih, selamat malam kamu.. J