"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Selasa, 30 Desember 2014

Membunuh dan Membebaskan Kesenyapan


Dua belas tahun lalu, ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di bangku SMP dan harus menjalani masa orientasi sekolah. Sekitar 240 murid digiring oleh beberapa guru serta kakak angkatan. Kita berjalan kaki menuju sebuah monumen, namanya Monumen Pahlawan Pancasila. Monumen tersebut berada di dalam kompleks Batalyon 403 di daerah Kentungan, Depok, Sleman. Kebetulan, sekolah saya berdekatan dengan bangunan tersebut. Seorang guide menceritakan kronologis pembunuhan dua perwira (Letnan Kolonel Sugijono, Kolonel Katamso) yang konon diinisiasi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Disamping itu, pria tersebut juga mendongeng mengenai penculikan jenderal – jenderal di Jakarta beserta penyiksaannya di Lubang Buaya. Memori diatas merupakan salah satu dari sekian banyak pengalaman saya yang berkaitan dengan kasus Gestok.

Di kampungku, dulu ada seorang warga, namanya (alm) Saridjo. Beliau mempunyai tiga orang putra. Setiap pagi, dia selalu membawa handuk dan satu buah gayung. Ia beranjak mandi ke kali Boyong dekat kampungku. Ya, pak Saridjo adalah salah satu warga yang dianggap simpatisan PKI dan sempat mendekam di penjara. Beberapa warga kerap menyebutnya “wong PKI”, termasuk orang tua saya sendiri. Ketika masih kecil, mendengar kata “PKI” merupakan hal yang menakutkan. Terutama ketika SD, setelah nobar film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer bersama keluarga. Phobia komunis memang masih merajalela sampai sekarang di negeri ini. Warisan dari kampanye (propaganda) anti Komunis yang dikontrol pemerintah Orde Baru. Saya sendiri termasuk produk yang menikmati naturalisasi sejarah, meminjam istilah yang disampaikan oleh Budiawan. Barangkali kalian juga merasakannya.

Apa yang saya alami 12 tahun yang lalu ternyata masih terjadi juga di dunia pendidikan kita. Terekam sebuah scene, seorang guru tengah mengajarkan pelajaran sejarah di kelas, di dalam dokumenter The Look of Silence garapan Joshua Oppenheimer. Di negeri ini, indoktrinasi anti komunis sudah ditanamkan sejak dini. Dihadapan murid-muridnya, guru tersebut menerangkan kekejian dan keburukan PKI. Salah satu murid dalam kelas tersebut adalah putra Adi Rukun. Ia terlihat mengantuk dan malas mendengarkan ocehan gurunya. Adi Rukun, namanya mendadak terkenal setelah film Senyap diluncurkan. Ia adalah subjek utama di dalam film yang menyabet penghargaan di Venice Film Festival 2014. Setelah membuat geger Indonesia dengan The Act of Killing alias Jagal. Nama Joshua kembali mencuat setelah menelurkan karya terbarunya, yaitu The Look of Silence atau Senyap.


Semasa hidupnya, Adi Rukun tidak pernah bermain di sungai bersama kakaknya, menyentuh mukanya pun tak pernah. Sang kakak, yaitu Ramli ikutan dibantai bersama simpatisan PKI yang lain di tahun 65. Adi, lahir dua tahun kemudian setelah Ramli tiada. Rasa penasaran Adi mengenai kematian kakaknya semakin menjadi ketika dirinya bertemu Joshua di kampung halamannya, Deli Serdang, pada tahun 2005. Kala itu Joshua mengunjungi rumah Rukun dan Rohani, orangtua (alm) Ramli dan Adi yang notabene lahir di daerah Jawa Timur. Mereka berdua lalu mendiskusikan tentang pembantaian massal 1965-66 yang turut menyeret kakak Adi ke alam kubur. Ia pun meminta Joshua untuk mempertemukan dirinya dengan pelaku pembantaian massal di Deli Serdang. Biarpun pada awalnya Joshua menolak, karena alasan keamanan. Akhirnya, harapan Adi diatas mulai berjalan di tahun 2011. Sebelum proses pertemuan dengan jagal terlaksana, Adi lebih dahulu menonton beberapa rekaman video mengenai pengakuan para jagal mengeksekusi simpatisan PKI. Petualangan pun dimulai setelah itu.

Membunuh dan Mengaku “Pahlawan”


Bukan perkara mudah bagi Adi menyaksikan pengakuan seorang jagal menganiaya para tahanan dengan sadisnya. Ia menonton aksi Inong bersama Amir Hasan memperagakan metode “penyembelihan” anggota-anggota PKI disekitaran Sungai Ular, Deli Serdang, salah satunya adalah Ramli. Kakak kandung Adi dibunuh dengan cara digorok lehernya. Sampai-sampai darah yang menetes pun mereka minum. Alasannya, supaya mereka tidak menjadi gila dan lebih luwes melakukan pembantaian. Bahkan, sebelum jasad Ramli dijeburkan ke sungai, mereka sempat menggolok selangkangannya hingga menyayat penis kakak Adi tersebut. Cara- cara semacam itu hampir dilakukan ke setiap korban. Mereka ditendang, dipukuli, lalu para jagal menggorok lehernya dengan pedang, tak lupa mereka meminum darah para korban. Bahkan, ada juga tahanan perempuan yang dipotong payudaranya. Sebelum mayat-mayat tadi dibuang di sungai Ular.

Bagi Inong dan Amir Hasan, kakak Adi sejatinya adalah orang baik. Namun, karena dirinya menjadi bagian PKI, tetap saja harus diseret untuk dieksekusi. Sebenarnya Ramli sempat melarikan diri sebelum dirinya dihabisi di sungai Ular. Sang ibu melihat putranya pulang ke rumah dalam kondisi terlunta-lunta, punggung dan perutnya bersimbah darah tertusuk pisau. Ketika berada di rumah, Ramli sempat meminta ibunya untuk membuatkan secangkir kopi. Air yang direbus, baru saja mendidih, tapi pintu rumah keburu digedor. Siapa yang tahu bahwa itu adalah pertemuan terakhir Rohani dengan putra pertamanya. Karena Amir Hasan dkk “menjemput” Ramli dengan alasan akan mengobati dirinya.


Menurut penuturan Inong serta Amir Hasan, apa yang mereka lakukan adalah bentuk pengabdian terhadap negara. Mereka memang pimpinan komando aksi pembantaian tersebut. Perlu diketahui, Inong dan Amir Hasan melakukan pembunuhan secara spontanitas. Bahkan, berdasar pengakuan mereka, tentara sama sekali tidak terlibat. Mereka hanya berjaga-jaga di jalan, tak ikut turun ke Sungai Ular. Menurut beliau, tentara tidak turut membunuh supaya negara tidak disalahkan. Biarlah rakyat yang dimobilisasi untuk membantai, agar negara tetap “bersih” wajahnya.

Selepas pembantaian berakhir, mereka masih bangga mampu merenggut nyawa simpatisan PKI. Mereka mengaku sebagai pahlawan, pembela Pancasila, penyelamat negara. Tak sedikitpun rasa penyesalan muncul dibenak mereka. Bahkan masih mampu “bergaya” didepan ladang pembantaian. Ya, biarpun secara sistem, para jagal diatas juga termasuk korban atas pembunuhan berencana tersebut.

Membuka Luka, Dendam dengan Kacamata
Sehari-hari, Adi bekerja sebagai ahli kacamata. Lagi – lagi Joshua kembali “menjebak” dan “menipu” para jagal. Alih-alih menawarkan jasanya untuk memeriksa mata, Adi malah menginterogasi salah satu jagal yang turut membunuh kakanya, yaitu Inong. Sayang, Inong kurang suka ketika Adi menanyakan perihal keterlibatannya dalam operasi penumpasan simpatisan PKI. Inong mengaku, pertanyaan Adi terlalu dalam dan bersifat politis, ia tidak suka dengan politik. Samar memang, sesamar mata Inong yang berhasil “diperiksa” Adi.

Usaha Adi tidak berhenti sampai situ. Ia lalu berkunjung menemui dua tokoh masyarakat di Deli Serdang. Pertama, ia menemui Amir Siahaan yang sekarang menjadi pimpinan ormas Pemuda Pancasila setempat. Pria tersebut mengaku sebagai pemimpin pembantaian anggota PKI di Deli Serdang. Mereka memobilisasi warga untuk turut membantu pembantaian. Komando aksi yang dipimpin Amir Siahaan juga menyiapkan lubang-lubang untuk mengubur hidup-hidup para simpatisan komunis. Ketika Adi mengaku bahwa dirinya adalah adik kandung salah satu simpatisan PKI yang turut terbunuh, sontak Amir Siahaan terkejut. Gaya bicaranya menjadi terbata-bata dan sempat mengelak karena pembantaian di Deli Serdang terdiri atas berbagai macam sub divisi. Bisa jadi dirinya tidak turut melumuri tangannya dengan darah Ramli. Namun Adi tetap bersikeras, bahwa Amir turut terlibat karena saat itu dirinya bertindak sebagai pimpinan. Amir Siahaan sempat bertanya tempat tinggal Adi, namun Adi sungkan untuk menjawabnya karena alasan keamanan.


Keberanian Adi kembali diuji ketika menghadapi M.Y. Basrun, pimpinan DPRD Deli Serdang. Pria tersebut terlihat pongah dan bangga menceritakan masa lalunya menumpas simpatisan PKI. Anggota DPRD diatas sempat terperangah ketika Adi mengaku bahwa kakaknya adalah korban dari penumpasan tersebut. Kontan, anggota DPRD tadi malah mengalihkan pembicaraan. Ia menganggap, pembunuhan yang terjadi di Deli Serdang tidaklah besar. Padahal ada sekitar 500 nyawa yang terpaksa menjadi tumbal. Pria yang menjabat sebagai ketua DPRD sejak tahun 1971 tadi juga balik menggurui Adi Rukun. Gaya bicaranya sangat licin dan diplomatis, ia berujar bahwa semua keluarga korban pasti tak menginginkan tragedi tersebut terulang lagi dan meminta mereka untuk merubah. Agak kabur, apa maksud “perubahan” yang disarankan oleh M.Y. Basrun.

Perjalanan Adi tidak berhenti disitu. Ia lalu bertamu ke rumah pamannya sambil memeriksa penglihatannya. Konon, paman Adi turut ambil bagian di dalam operasi penumpasan oknum PKI. Kala itu, paman Adi bertugas untuk menjaga para tawananan yang akan dieksekusi. Ia sendiri mengaku, tidak tahu apabila diantara ratusan tahanan yang ia jaga, salah satunya adalah keponakannya sendiri. Ia juga bersikeras, bahwa apa yang dirinya perbuat merupakan panggilan untuk membela negara dan agama. Perbincangan disudahi karena situasi makin memanas, paman Adi terlihat naik pitam. Di sisi lain, Adi terlihat kelelahan dan mimik mukanya tampak kecewa. Sempat terlintas keheningan disela-sela perbincangan mereka. Adi lalu bergegas untuk berpamitan, tampak sorot mata paman Adi mengamati langkah keponakannya meninggalkan kediamannya.


“Kalau saya tolak, mereka membunuh kita, awak jaga keamanan. Mereka tak pernah salat... berani-beraninya kau menyalahkan saya...” (Paman Adi Rukun)

Usai bertamu di rumah pamannya, Adi berbagi pengalaman kepada mamaknya. Ia menceritakan bahwa adik mamak pernah bertugas untuk menjaga para simpatisan PKI. Rohani mengaku, selama ini adiknya tidak pernah menceritakan hal tersebut. Ia lalu menasehati putranya agar lebih berhati-hati. Karena para pelaku pembantaian massal masih berkuasa sampai sekarang. Sepanjang hidupnya, Rohani memendam rasa benci yang teramat dalam kepada tetangganya yang bertindak sebagai eksekutor. Bertahun-tahun ia menyimpan dendam dan tak sudi untuk saling menyapa. Adi serta ibunya berusaha mengobati luka yang senantiasa menghantui. Mereka berdua mengunjungi makam Ramli, tanpa kehadiran sang ayah yang didera sakit-sakitan. Maklum umurnya sudah ratusan, biarpun mengaku baru berusia 16 tahun. Adi mengayuh sepeda, memboncengkan sang mamak. Menyusuri jalan-jalan yang dikelilingi perkebunan sawit.




Bertamu Tuk Merajut Damai
Hanya satu kata yang diharapkan oleh Adi yaitu, “maaf”. Tapi, satu kata pun tak muncul dari Inong, Amir Siahaan, seorang anggota DPRD serta paman Adi sendiri. Sebuah film dokumenter memang harus melewati proses editing lebih dahulu. Supaya tercipta struktur dramatik yang mereka cita-citakan. Kita sebagai penonton tentu tidak tahu menahu, atau bahkan tidak akan diberitahu oleh sutradara mengenai urutan siapa saja yang dahulu diwawancarai. Nah, di akhir film The Look Silence ini kita akan menemukan adegan semacam “rekonsialiasi” kecil antara Adi dengan keluarga pelaku. Entah kenapa scene berbau maaf-maafan tersebut diletakkan di menit-menit mendekati film berakhir. Seakan-akan menampakkan bahwa permintaan maaf adalah kunci utama untuk merajut jembatan rekonsialiasi. Atau malah sebuah jalan untuk membuka kembali luka lama yang terlanjur menganga.


Adi mendatangi kembali seorang pria tua, mantan jagal tentunya. Pria beruban tersebut ditemani seorang putrinya, mereka menyambut Adi dengan tangan terbuka. Sang putri tahu, bahwa dulu ayahnya ikut menumpas simpatisan PKI yang dicap sebagai pembelot negara. Ia merasa bangga, ayahnya bagaikan seorang pahlawan dibenaknya. Begitu juga dengan si pria tua yang bernama Samsir tadi, ia mengaku turut membantai ratusan tahanan. Bahkan, kepala seorang perempuan pernah ia bungkus. Lalu kepala tadi ia bawa ke kedai kopi milik orang Cina. Sepele alasannya, sekedar untuk menakut-nakuti saja. Ia pun menceritakan, bahwa dirinya juga meminum darah korban yang berhasil dia bunuh. Alasannya sama seperti Inong serta Amir Hasan. Supaya pikirannya tidak jadi gila, tidak timbul rasa trauma ataupun tidak terbebani ketika mengeksekusi tahanan. Mendengar pengakuan sang ayah, perempuan yang mungkin seumuran dengan Adi tadi terlihat kaget. Ia mengaku, merasa ngeri mengetahui tindakan sang ayah yang merasakan kenikmatan darah manusia. Hati si perempuan kembali terketuk setelah mendengar pengakuan Adi. Panjang lebar Adi menceritakan bahwa kakaknya turut dibantai di dalam operasi yang diikuti Samsir tersebut. Terlihat nanar mata si perempuan, tatapannya kosong. Si lelaki tua pun kelabakan dan menoleh ke belakang sembari menanyakan jam. Kondisi tersebut pun membuat Adi harus buru-buru berpamitan. Si perempuan meminta maaf kepada Adi, atas masa lalu yang menimpa kakaknya. Ia juga berkata bahwa kita adalah saudara, jangan timbul permusuhan diantara mereka. Entah basa-basi atau bukan, tak lupa si perempuan menyampaikan agar Adi sering-sering mampir ke rumahnya. Sendirian dia mengurus sang ayah.


Pengaduan terakhir Adi tertuju pada keluarga Amir Hasan. Sayang, pria yang di dalam rekaman Joshua tersebut mengaku masih menyimpan pedang aslinya yang dipakai untuk membunuh simpatisan PKI, ternyata sudah dipanggil ke Rahmatullah pada tahun 2011. Adi lalu menemui istri dan anak-anak Amir Hasan. Ia menceritakan keterlibatan Amir Hasan yang tega menganiaya dan membunuh kakak kandungnya. Awalnya mereka tidak percaya, namun Adi menunjukkan buktinya dengan video rekaman Joshua Oppeheimer di tahun 2003. Serta sebuah buku “Embun Berdarah” yang berisi tentang pembunuhan simpatisan PKI dan dikarang sendiri oleh Amir Hasan. Mereka shock, tak kuasa menahan sedih dan amarah. Kedua putra Amir Hasan malah membentak Adi dan Joshua. Wajar, posisi mereka sedang terpojok dan merasa bahwa selama ini mereka telah dijebak oleh Joshua. Sebelum angkat kaki, Adi sempat mendengar pengakuan istri Amir Hasan. Ia merasa kasihan dengan arwah almarhum dan meminta supaya segala perbuatannya dimaafkan.


Seratus Menit, Mengukir Kesenyapan
Hampir, seratus menit di dalam dokumenter Senyap, kita disuguhi perbincangan Adi dengan pelaku. Membicarakan motif serta alasan mereka membantai ratusan simpatisan PKI di sekitaran Deli Serdang. Semuanya senyap, sunyi, nyaris tak ada kegembiraan. Mungkin hanya satu scene, ketika Adi bercengkerama dengan putri kandungnya. Suka cita tadi pun rasanya palsu, disaat Adi harus mendengar pengakuan sang istri yang merasa nyawa keluarga mereka terancam.


Satu sosok yang cukup menetralisir keadaan adalah Rohani. Ia memang menanam benih dendam sepanjang hidupnya, namun rasa tegar pun tetap ia pelihara. Sikapnya yang ceplas-ceplos cukup meredakan ketegangan serta kesunyian yang terus-terusan dibangun oleh Senyap. Adi yang sejatinya tidak mengalami langsung peristiwa pembantaian di sungai Ular, terus dihantui rasa penasaran. Hampir setiap usahanya untuk berdamai selalu gagal, dia kurang lihai menjadi negoisator. Akibatnya, setiap ucapan Adi selalu menyulut amarah pelaku atau keluarganya. Inong si tua yang memelihara seekor monyet ternyata mudah naik darah. Amir Siahaan, gaya dan lagaknya diam-diam membahayakan. Lalu si anggota DPRD, perlente namun berbisa, pandai menenangkan situasi dan mengalihkan pembicaraan. Serta keluarga (alm) Amir Hasan yang sebenarnya masih dirundung rasa duka, dengan mudah mereka tercabik emosinya.


Menurut saya, hanya mamak alias Rohani yang benar-benar menunjukkan suasana lucu bercampur miris sebenarnya ditengah ruh kesenyapan. Dia pandai bercanda dengan suaminya. Tak merasa terganggu mendengarkan suaminya mendendangkan lagu “Mana Tahan”. Biarpun tak mau sekamar dengan sang suami karena alasan bau badan dsb, tapi toh dia lah yang selama berpuluh-puluh tahun merawatnya dengan penuh kasih. Memandikannya, membersihkan kamar, menyuapi makan dll. Setiap kata atau tindakan yang berkaitan dengan kematian Ramli merupakan strategi tersendiri untuk menjalani hidup. Rohani sejatinya sedang membunuh kesenyapan yang selama ini berkubang di lingkaran keluarganya.


Akhir cerita, bu Rohani bertemu dengan salah satu korban yang berhasil selamat, yaitu Kemat. Semasa muda Kemat kenal dengan Ramli. Beruntung, dirinya mampu melarikan diri ketika para rombongan sedang disiksa di tengah jalan. Di menit-menit awal, ia mengisahkan proses penculikan korban beserta eksekusinya. Sembari berjalan kaki, Adi dan putranya menyimak penjelasan Kemat dengan runtut. Ketika bertemu Kemat, bu Rohani menangis tersedu-sedu. Tak lupa dirinya mengucapkan syukur karena Kemat berhasil selamat. Disatu sisi, ia memeluk Kemat sembari menangisi kematian putranya. Hati kita akan semakin tersentuh, ketika melihat ayah Adi merangkak kebingungan. Ia ketakutan, was-was apabila dipukuli orang. Ia lupa dengan Ramli, putra kandungnya. Memang, Rukun sudah pikun. Adegan tersebut seolah-olah menyiratkan, betapa mirisnya keluarga Adi. Mungkinkah selama ini, Rukun didera kebingungan dan bertanya-tanya, kenapa putra pertamanya “ditiadakan” ?


Setelah Menonton Senyap, Kita Mau Apa ?
Film Senyap memang “dirayakan” dengan ramai-ramai. Mulai dari pemutaran serentak pada tanggal 10 Desember, lalu diskusi mengenai kasus 65 yang kembali marak, obrolan ringan soal Senyap di kantin-kantin kampus, hingga ribut-ribut pembubaran nonton bareng Senyap. Dokumenter yang didanai oleh Werner Herzog, Errol Morris dan Andre Singer tersebut memang didukung oleh Komnas HAM. Beberapa tokoh dan intelektual di Indonesia juga mengapresiasi film tersebut. Tercatat nama-nama semacam Nia Dinata, Budiman Sudjamitko, Manneke Budiman, Baskara T Wardaya, Ayu Utami, Suciwati Munir, Hilmar Farid dll di dalam credit title. Namun, tak sedikit yang sengaja merusak dan menolak kehadiran Senyap di khalayak ramai.

Respon yang muncul sejauh ini adalah rasa simpati terhadap korban. Biarpun, rasa belas kasih terhadap korban sudah lama ngetrend pasca runtuhnya Orba. Lalu disusul dengan diskusi panjang tentang 65 dan berakibat pada kemunculan buku-buku berbau kiri, komunis dsb. Di sisi lain, banyak juga yang mengecam karena film ini dianggap mengobarkan komunisme di Indonesia. The Look of Silence dianggap tidak netral, karena tidak mengungkap kebiadaban yang pernah dilakukan oleh PKI. Akan tetapi, perbincangan akan semakin melebar apabila kita membahas serangan intelektual-intelektual kiri dalam perdebatan budaya. Ataupun Tragedi Kanigoro yang didasarkan pada dendam PKI atas terbunuhnya kader mereka di Madiun dan Jombang oleh anggota NU pada akhir 1964. Film tersebut memang tidak berniat untuk membahas penyerobotan tanah secara paksa terhadap tuan-tuan haji nan kaya di akhir tahun 1963 akibat mandegnya UUPA 1960 (land reform). Kita tidak hendak melupakan peristiwa tersebut, namun ada meja tersendiri apabila kita ingin membahas babakan diatas.


Film ini lebih memusatkan perhatian pada warisan Orba yang mendoktrin warganya sedemikian rupa. Agar mereka menganggap bahwa komunis telah membuat Indonesia menjadi kelam. Indoktrinasi tersebut yang berakibat pada kemunculan “perang saudara” di kurun 1965 – 66. Sampai-sampai organisasi sebesar Muhammadiyah menyerukan umatnya, bahwa pebasmian PKI sama dengan perang di jalan Allah. Selain banjir darah, indoktrinasi tadi juga mengakibatkan pengucilan keluarga korban, bertahun-tahun lamanya. Padahal tak semua korban yang dicap PKI, tahu atau paham tentang komunisme. Bisa saja karena mereka cuma mendapatkan bibit padi, turut membagi-bagikan beras berapa kilo, ikut main ketoprak atau diberangkatkan ke luar negeri karena kecerdasannya. Eh, kok tiba-tiba diciduk, disiksa, diasingkan atau dibunuh karena diduga aktif mendukung PKI.

Joshua Oppenheimer juga terkesan ingin mendorong (meyakinkan) penonton Senyap bahwa Amerika Serikat berada dibalik tragedi 65. Berdasar footage lama dari NBC News di tahun 1967 yang ditampilkan di dalam film Senyap. Kita dengan mudah akan menuduh negeri Paman Sam turut terlibat di dalam pembantaian massal oknum-oknum partai berlambang palu arit tersebut. Wajar, konstelasi dunia saat itu dikuasai oleh dua pihak, yaitu Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Dimana, Amerika Serikat getol memerangi paham komunis sembari membuka celah agar mampu memanfaatkan lumbung-lumbung ekonomi di Nusantara. Arsip NBC News yang dilaporkan oleh Ted Yates tersebut menuturkan beberapa hal yang mengejutkan. Muncul sebuah kata-kata dari mulut orang Indonesia bahwa “Bali makin indah tanpa orang-orang komunis”. Video diatas juga mengungkapkan, perusahaan karet terbesar di daerah Sumatera sudah membaik kondisinya. Karena Serikat Buruh yang kerap menuntut kenaikan upah sudah dihabisi. Sedangkan buruh-buruh selamat, tetap bekerja namun berada di bawah todongan senjata. “Bersih-bersih” komunis juga terjadi daerah lain. Menurut NBC News, orang-orang komunis dibiarkan mati kelaparan di penjara. Ada juga yang dilepaskan lalu diburu oleh warga. Kesimpulannya, laporan NBC diatas semakin meyakinkan publik, bahwa pembantaian massal 65 sudah diorganisir, dimobilisasi secara sistematis dan menghasilkan pembunuhan kolektif.

“Seharusnya kita-kita yang tua ini diajak ke Amerika. Kita kan sudah berjasa. Tak naik pesawat pun tak apa, naik kapal laut pun tak apa. Ini karena Amrika ajarkan pada kita benci komunis,”
(Amir Siahaan)

Otak pembantaian massal 1965-66 memang susah terungkap, bahkan untuk diangkat ke International Criminal Court. Menurut Budiawan hal tersebut disebabkan karena pelaku pembantaian menjadi penguasa dan simpatisan komunis menjadi korbannya. Berbeda dengan proses hukum yang terjadi di Vietnam, Kamboja, Rusia, eks Yugoslavia dsb. Warga sipil yang jadi korban bukanlah penganut paham komunis. Karena itulah, proses hukum sangat didukung oleh negara adikuasa kala itu. Lagipula, di Indonesia sendiri, antek-antek yang diduga sebagai insiator atau otak utama pembantaian massal tersebut kebanyakan sudah tiada.



Sebenarnya, sebelum Senyap muncul pun, isu campur tangan Amerika Serikat sudah lama terkuak di meja-meja diskusi yang mungkin nyawanya hanya hidup di sekitaran menara gading. Kita bisa mengecek ulang keterlibatan Amerika Serikat di film Shadow Play, dokumenter mengenai peristiwa 65 yang rilis pada tahun 2001. Konon, Amerika Serikat menyerahkan 5000 daftar simpatisan PKI yang harus dihabisi. Menurut sejarawan Robert Cribb, jumlah yang terlindas pembantaian massal tidak diketahui secara pasti jumlahnya. Sejauh ini, dipercaya pada kisaran 200 ribu hingga 3 juta jiwa. Angka tersebut muncul berdasarkan hasil yang disampaikan beberapa pihak. Misalnya, Komisi Pencari Fakta yang dibentuk Presiden Soekarno mencatat ada 78 ribu korban. Lalu, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang berasumsi ada 1 juta nyawa yang dibunuh. Mantan pimpinan RPKAD, Sarwo Edhie Wibowo malah mengakui bahwa korban mencapai 3 juta orang. Di kubu lain, menurut aktivis Kiri, nyawa yang terenggut sekitar 2 juta jiwa. Angka-angka diatas memang kurang bisa dipercaya, terlalu berlebihan dan sarat akan klaim masing-masing pihak. Namun, Robert Cribb meyakini, kemungkinan ada sekitar 500 ribu korban yang tewas. Itu belum termasuk jutaan simpatisan PKI yang disiksa lalu dipenjara. Apabila jumlah tersebut benar, itu berarti pembantaian massal simpatisan PKI termasuk salah satu pembunuhan sistematis terbesar di dunia. Seraya mengutip istilah Henk Schulte Nordholt, pembunuhan massal merupakan penyucian ritual. Sebagai alat untuk mencapai mimpi mereka, menuju pertumbuhan, perdamaian dan kesejahteraan baru.


Kalaupun, Amerika Serikat memang terlibat, baru-baru ini terdengar bahwa mereka akan mengusut kasus tersebut. Mungkin, Amerika Serikat akan mengucapkan kata maaf atas tragedi yang melibatkan mereka. Pertanyaannya, apa yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia ? Ingat, berbagai kasus HAM di Indonesia sampai detik ini belum menemui jalan terang. Ironisnya, kasus HAM sendiri selalu digoreng dandijadikan dagangan ditiap kampanye Pilpres berlangsung. Di sisi lain, Aksi Kamisan masih rutin berjalan untuk menuntut keadilan. Selain kasus 65, masih ada kasus pelanggaran HAM yang belum dibereskan oleh pemerintah. Misalnya, tragedi Talangsari, pelanggaran HAM di Timor Timur, aktivis-aktivis yang hilang entah kemana, hingga kasus Aceh yang jauh dari sorotan media dsb.

Kata maaf, memang tidak cukup untuk mengobati perih yang kadung tertanam lama. Tapi setidaknya, tindakan tersebut menyatakan bahwa negara bertanggung jawab dan mengutuk tragedi hitam yang menimpa masyarakat Indonesia di masa lalu. Rekonsiliasi sosial memang sudah lama terbangun secara alamiah. Kesadaran diatas malah bergerak dari bawah. Namun perdamaian tidak akan pernah tercapai apabila dikotomi “korban” vs “pelaku”, “kita” vs “mereka” masih dibangun. Bagi Hersri Setiawan, pemisahan-pemisahan tersebut harus dirombak kembali. Bukan bermaksud untuk menyalahkan atau menyudutkan. Namun, film Senyap sendiri malah menajamkan dikotomi tersebut. Sikap Rohani dapat dikatakan sebagai penolakan atas rekonsiliasi dalam lingkup yang lebih kecil. Ketika dirinya masih saja membentengi dan menjaga jarak dengan sosok yang membunuh putra kandungnya. Entah karena saya yang alpa atau memang tak ada, sepertinya tidak terucap kata untuk menerima permintaan maaf dari mulut Adi. Biarpun, kata-kata bisa berarti hanya sebagai pemanis belaka, istilah Jawanya abang-abang lambe. Setidaknya, Adi bersikap tegar serta tulus berjabat tangan dan berpelukan dengan pelaku.


Semuanya memang harus diawali oleh negara. Mengutip pernyataan Hersri Setiawan mengenai Sesaji Raja Sunya. Cucu Arjuna tersebut mengadakan Sesaji Raja Sunya ketika memimpin Astina. Sebuah lakon post Baratayudha yang sebenarnya belum pernah saya lihat, bahkan saya dengar. Saya sendiri sebenarnya agak meragukan adanya lakon tersebut, namanya hampir mirip dengan upacara yang dilakukan oleh Yudhistira, yaitu Sesaji Raja Suya. Ah, sudahlah. Jadi begini, Sesaji Raja Sunya berarti upacara penebusan atas perang saudara yang menewaskan banyak nyawa, pertarungan antara Pandawa dan Kurawa yang melibatkan sekutu-sekutu mereka. Parikesit selaku penerus tahta Astina, ingin menebus segala dosa yang ditimbulkan leluhurnya dengan mempersembahkan 40 ekor kuda. Lalu sebagai pemimpin, dia melakukan semedi. Ironisnya di hari yang ke 40, nyawa Parikesit direnggut oleh Naga Taksaka.

Saya ingat, sebelum Jokowi naik tahta, sebuah pagelaran wayang kulit serial Baratayudha digelar di sekitaran jalan Mangkubumi, Yogyakarta. Lakon Jumenengan Parikesit menjadi cerita pamungkas sebagai bentuk sambutan atau bahkan menasbihkan pemimpin baru di Indonesia. Bayangkan apabila Parikesit benar-benar menitis di tubuh Jokowi. Lalu Jokowi seolah-olah mengadakan Sesaji Raja Sunya dengan cara meminta maaf atas tindakan negara yang membabi buta membantai simpatisan PKI. Tentu teramat pening kepala presiden kita. Mengingat disaat pemilu kemarin cap komunis melekat di tubuh pria kelahiran Solo tersebut. Pasalnya, gerakan yang secara terang-terangan menolak komunis masih saja “dipelihara” oleh negara. Selain itu, wacana komunis terus menerus dibenturkan dengan paham anti agama, terutama Islam. Padahal paham komunis sendiri berkedok untuk melawan kapitalis, bukan religiusitas. Biarpun, tujuan komunise sendiri sama dengan cita-cita tradisi keilmuan Islam yang oleh Kuntowijoyo disebut sebagai ilmu sosial profetik. Gagasan profetik merujuk pada konsep nahi munkar yang sebenarnya searah dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan) dan bertujuan bahwa perkembangan dapat dicapai melalui liberasi (pembebasan).


Bagaimanapun juga, ucapan maaf memang harus dilakukan oleh negara. Untuk mengawali tindakan saling “berpelukan”, “berjabat tangan” serta ribuan kata maaf yang akan meluncur. Tentunya, tanpa harus ditanggapi dengan negatif karena alasan kepentingan politik semata. Semoga “pembebasan” tersebut tercapai. Amin.

“Let us forgive each other, only then will we live in peace” – Leo Tolstoy

*****

“Secara sudut pandang sih menarik. Adu domba antara “korban” (walapun korban ndak langsung) dan pelaku. Nah, yang ngganjel bagiku adalah Joshua seolah mengembalikan ke penonton mana pihak yang benar/pihak yang tertindas dan mana pihak yang salah. Tapi kupikir dia sudah menggiring opini penonton bahwa pihak pelaku adalah pihak yang salah (antagonis) dan pihak korban adalah pihak yang bener (protagonis). Padahal sebenarnya nggak sesimpel itu. Masih banyak misterinya. Apakah benar kalau pihak korban itu benar-benar dibantai demi kekuasaan Orba ? Jangan-jangan mereka emang berniat kudeta ?”
(Gading Paksi, alumni Fisipol UGM)

“Piye, yo? Hmmm, ada perasaan yang campur aduk. Kekejaman dan kebohongan seperti ditampilkan secara telanjang. Kadang aku tidak kuat membayangkan apa yang dirasakan oleh mas itu, dan bagaimana caranya ia mampu meredam semua sedih dan pahitnya. Tapi kejujuran yang ditampilkan itu seperti punya pesan, bahwa selama ini kita hanya menatapi kebohongan dan kita senang menyaksikannya.”
(Irfan Drajat, mahasiswa Kajian Budaya Media UGM).


Minggu, 14 Desember 2014

Politik, Kemerdekaan dan Sepakbola

Apakah anda pernah membayangkan beberapa “negara” yang statusnya tidak diakui oleh FIFA, tiba-tiba mendapatkan sebuah hak untuk bermain reguler (berkompetisi) di regional mereka masing-masing ? Mari kita ambil dua contoh “negara” di dalam negara, yaitu Catalan dan Basque. Kedua “negara” tersebut memang mendapatkan hak istimewa di Spanyol. Di jagad sepakbola pun mereka mempunyai timnas sendiri dan kerap mengadakan eksebisi persahabatan setahun sekali. Pemain semacam Pep Guardiola, Puyol, Valdes, Pique, Reina, Bojan atau Fabregas pernah mengenyam caps timnas Catalan. Atau Fernando Llorente, Javi Martinez, Xabi Alonso, Iker Munian, Illaramendi yang membela timnas Basque.

Nah, kasus Catalan dan Basque memang unik, karena dua “negara” tersebut masih berjuang untuk memperoleh kedaulatannya sendiri. Beberapan bulan yang lalu tersiar kabar bahwa Catalan mengajukan referendum. Namun pemerintah Spanyol menunda usulan jajak pendapat tersebut. Bukan berita baru apabila Catalan ingin memisahkan diri dari Spanyol. Begitu pula dengan masyarakat Basque, mereka pernah mengajukan referendum di tahun 2008. Sayang, usaha mereka ditolak oleh pemerintah Spanyol. Usaha-usaha semacam itu tidak hanya dilakukan oleh Basque dan Catalan. Belum lama ini Skotlandia juga mengadakan referendum. Hasilnya, sekitar 55% masyarakat Skotlandia menolak memisahkan diri dari Inggris Raya. Begitu juga dengan Kurdistan yang rencananya akan mengajukan referendum di akhir tahun.

Mari kita menengok beberapa kasus di negara lain. Monaco, negara yang menganut sistem monarki tersebut wilayahnya berada di Prancis. Mereka mempunyai timnas sendiri, namun klub yang berdomisili di wilayah Monaco diperbolehkan mengikuti kompetisi di liga Prancis. Hanya saja negara Monaco tidak masuk keanggotaan FIFA. Berbeda dengan Wales, mereka mempunyai timnas sendiri dan beberapa klub lokal mereka boleh bermain di liga Inggris, seperti Swansea, Cardiff atau Wrexham. Akan tetapi, Wales merupakan anggota resmi FIFA dan wajib mengikuti kompetisi reguler semacam, kualifikasi Piala Eropa dsb. Kasus Wales diatas mirip dengan sistem yang diterapkan oleh San Marino di sepakbola Italia.

Jadi, apabila Catalan atau Basque merdeka sepenuhnya dari Spanyol, kelak apa yang akan dilakukan untuk sepakbola mereka ? Apakah akan membentuk federasi sepakbola lalu membangun kompetisi serta timnas sendiri ? Atau mengikuti jejak Wales, dimana mereka mempunyai timnas sendiri (dan diakui FIFA) namun klub-klubnya turut serta di kompetisi reguler di Inggris. Ataukah harus berjuang seperti Gibraltar yang baru-baru ini merasakan kualifikasi Piala Eropa 2016. Menarik benang merah dari usaha-usaha masyarakat Basque, Catalan atau Skotlandia diatas. Saya ingin sekilas mendongeng, sedikit berkisah mengenai negara kecil di Eropa sana, yaitu Kosovo.

Penantian Panjang Kosovo
Ketika era kolonialiasi marak, lalu mereka diserang oleh gelombang kemerdekaan yang tiba-tiba berhamburan muncul. Negara-negara post colonial tentu langsung memikirkan bagaimana nasib sepakbola mereka ? Peristiwa-peristiwa semacam itu memang tidak dialami secara langsung oleh generasi 90an semacam saya ini. Di era 90an, paling tidak kita bisa melihat fakta yang dialami negara-negara pecahan Yugoslavia. Secara berkala, negaranya Slobodan Milosevic tersebut melahirkan “anak-anak” baru. Kroasia, Slovenia, Macedonia, Bosnia-Herzegovina lahir di era 90an. Bahkan Yugoslavia sempat satu grup dengan Slovenia di ajang Piala Eropa 2000. Selanjutnya Yugoslavia bubar, mereka berganti nama menjadi Serbia. Setelah negara Montenegro juga memutuskan untuk melepaskan diri. Sekarang, kelima negara tersebut diakui penuh kedaulatannya oleh Serbia. Namun ada satu negara yang masih menjadi duri dalam daging pemerintahan Serbia, yaitu Kosovo.

“The Kosovars are now independent" (George W Bush)

Kosovo, entah statusnya sudah merdeka atau belum. Pada tanggal 17 Februari 2008, mereka memang mendeklarasi kemerdekaannya. Beberapa negara juga sudah mengakui kedaulatan mereka. Seperti Prancis, Amerika Serikat, Inggris, Australia, Thailand, Arab Saudi, Jepang serta mayoritas anggota Uni Eropa. Di sisi lain adapula yang secara terang-terangan menolak mengakui Kosovo, antara lain China dan Rusia yang notabene sekutu erat Serbia. Mayoritas negara di sekitar Amerika Selatan juga belum mengakui kedaulatan Kosovo, seperti Brasil, Argentina dan Chile. Apakah Indonesia sudah mengakui kedaulatan negeri yang mayoritas Muslim tersebut ? silahkan googling sendiri, hhe.

Kosovo memang bukan anggota PBB, namun mereka merupakan anggota resmi IMF dan World Bank. Mari melihat ke belakang sejenak, mayoritas penduduk Kosovo sebenarnya sudah menginginkan untuk berdaulat sendiri di tahun 1991. Maklum, mereka bukanlah ras Serbia, melainkan ras Albania. Perang bergejolak, banjir darah membuncah ketika Perang Kosovo meledak pada tahun 1998. Saat itu, NATO memutuskan untuk menyerang Yugoslavia. Karena tercium indikasi bahwa pemerintah Yugoslavia melakukan “pembersihan” etnis Albania di Kosovo. NATO berkolaborasi bersama Kosovo Liberation Army (KLA) dan pemerintah Albania. Mereka membombardir Yugoslavia, beberapa negara mengutuk agresi NATO tersebut, tapi adapula yang mendukung. Sampai detik ini, Serbia masih menganggap Kosovo sebagai anak yang durhaka. Bagi Serbia, negara Kosovo masih menjadi bagiannya. Nah, problem tersebut juga merembet di ranah sepakbola. Tarik ulur di jagad sepakbola belum selesai sejauh ini.

"America and the European Union are stealing Kosovo from us, everyone must realize that,"(Tomislav Nikolic, the head of Serbia's ultra-nationalist Radical Party)

Di dunia sepakbola, Kosovo membentuk sebuah federasi, yaitu Federation Football of Kosovo (FFK). Federasi tersebut dipimpin oleh Fadil Vokrri, satu-satunya pemain Kosovo yang pernah memakai jersey Yugoslavia. Sebuah liga sepakbola juga dibangun oleh pemerintah Kosovo, liga yang paling tinggi adalah Football Superleague of Kosovo alias Superliga. FFK tidak bisa menjadi anggota FIFA atau UEFA, karena status Kosovo bukan anggota PBB. Namun di tahun 2012, FIFA memberikan mereka “hadiah”. Kosovo diperbolehkan menggelar pertandingan persahabatan.

Keputusan FIFA diatas membuat federasi sepakbola Serbia (FFS - Football Association of Serbia) meradang. Alasannya sudah jelas, Kosovo bukanlah negara yang merdeka bagi Serbia. Selain itu, Kosovo juga bukan anggota UEFA, apabila sebuah negara tidak masuk bagian organisasi sepakbola Eropa tersebut, otomatis tidak bisa menjadi anggota FIFA. Secara gamblang, FFS menyampaikan rasa kecewanya di website resmi mereka. Apa yang dilakukan oleh FIFA tidak bisa diterima oleh FFS. FIFA memutuskan peraturan tersebut tanpa konsultasi terlebih dahulu, baik dengan FFS ataupun UEFA. Keputusan Sepp Blatter tersebut juga ditentang oleh Michel Platini, selaku presiden UEFA. Namun, FIFA membalasnya dengan bijak. Mereka tetap tidak mengakui keanggotan Kosovo secara formal. Akan tetapi, keputusan tersebut didasari keinginan (visi) FIFA untuk mendukung pengembangan dunia sepakbola di berbagai daerah.

Tarik ulur diantara berbagai pihak terus berlangsung. Puncaknya, di bulan Januari 2014, FIFA memutuskan bahwa Kosovo diperbolehkan menggelar pertandingan persahabatan. Namun dengan beberapa syarat. Kosovo dilarang melawan negara-negara pecahan Yugoslavia. Lalu, saat pertandingan berlangsung mereka tidak boleh menunjukkan simbol-simbol Kosovo, seperti lagu kebangsaan, bendera, lambang negara dsb. Selain itu, FIFA juga tidak mengijinkan pemain-pemain yang berdarah Kosovo namun sudah memperkuat negara lain untuk membela timnas Kosova di laga persahabatan tersebut.

Negoisasi memang berjalan alot, tapi toh Kosovo berhasil menggelar pertandingan persahabatan yang resmi untuk pertama kalinya, semenjak deklarasi kemerdekaan didenggungkan. Pada 5 Maret 2014, berlangsung laga antara Kosovo kontra Haiti. Tidak tanggung-tanggung, seluruh tiket ludes terjual, sekitar 17 ribu penonton memadati Stadion Adem Jashari. Biarpun atribut berbau Kosovo tidak berkibar, tapi rakyat tetap datang ke stadion sebagai bentuk ekspresi kecintaan mereka terhadap negara. Perwujudan gerakan yang militan dan tetap lantang menyebarkan bahwa Kosovo sudah merdeka.

“This game will be when Kosovo start on their road to the World Cup after over 25 years of isolation." (Albert Bunjaki, Kosovo's coach)

Anak-anak yang “Hilang”
Sebagai penikmat sepakbola, tentu kita paham dan mengerti bahwa Eropa Timur tidak pernah kehilangan talenta-talenta baru. Biarpun timnas semacam Serbia, Bosnia, Ceko, Kroasia, Rumania, Slovenia dsb bukanlah spesialis turnamen layaknya Italia, Prancis, Jerman atau Belanda. Mereka kerap menjadi kuda hitam di setiap turnamen internasional. Kita ambil contoh timnas Kroasia yang mampu meraih peringkat tiga di ajang Piala Dunia 1998. Namun, konsistensi menjadi masalah utama. Kroasia makin lama makin melempem tajinya. Konsistensi memang menjadi PR utama bagi negara-negara Eropa Timur. Biarpun Eropa Timur kerap menelurkan bintang-bintang sepakbola. Seperti George Hagi, Sinisa Mihajlovic, Pavel Nedved, Davor Suker, Petr Cech, Nemanja Vidic, Mirko Vucinic, Luka Modric, Subotic hingga Lazar Markovic.

Nah, teritori Kosovo sendiri juga terletak di bagian Eropa Timur. Perkembangan sepakbola di Kosovo memang masih “hijau” dan gaungnya nyaris tidak terdengar. Tapi, satu hal yang menarik adalah pemain ciamik yang berdarah Kosovo ternyata bertebaran. Misalnya, Lorik Cana, pemain Albania sekaligus kapten Lazio. Lalu, Xherdan Shaqiri (Bayern Muenchen/Swiss), Granit Xhaka (Borussia Mönchengladbach/Swiss), Valon Behrami (Hamburg SV/Swiss), Gokhlan Inler (Napoli/Swiss), Valon Berisha (Red Bull Salzburg/Norwegia) serta Adnan Januzaj (Manchester United/Belgia).

Mereka adalah “anak-anak hilang”, berdarah Kosovo namun tak pernah memakai seragam timnas Kosovo. Ketika perang saudara berkecamuk, beberapa pemain diatas meninggalkan Kosovo. Mereka berdiaspora ke negara-negara lain, destinasi favorit adalah Swiss dan Albania. Tidak heran apabila pemain-pemain Swiss berhiaskan “mutiara hilang” yang mereka tambang dari Kosovo.

Dua tahun yang lalu, tercipta satu momen yang menarik. Yaitu, ketika Albania dan Swiss saling bertemu di bulan September dalam laga kualifikasi Piala Dunia 2014. Kala itu Xherdan Shaqiri mengenakan sepatu dengan jahitan tiga bendera, Swiss, Albania dan Kosovo. Biarpun didadanya terpampang logo Swiss, ia lahir di tanah Kosovo dan menjadi bagian dari etnis Albania. Sebelum peluit dibunyikan oleh wasit, lagu kebangsaan Swiss dinyanyikan. Shaqiri bersama dua kawannya, yaitu Granit Xhaka dan Valon Behrami hanya diam, sedikitpun syair tak mereka dengungkan.

Xherdan Shaqiri, gelandang serang tersebut mengungsi ke Swiss bersama keluarganya ketika terjadi perang sipil di Yugoslavia pada 90an awal. Darah Kosovo terkadung melekat ditubuhnya. Xherdan Shaqiri bukanlah nama seorang Swiss, melainkan Kosovo. Ia pun pernah mengungkapkan, bahwa dirinya ingin memperkuat timnas Kosovo suatu saat nanti. Tentu ketika Kosovo sudah resmi menjadi anggota FIFA. Begitupun dengan Granit Xhaka, orangtuanya berasal dari Kosovo. Ia lahir di Swiss, setelah keluarganya meninggalkan Yugoslavia karena perang saudara. Namun, apabila kelak terbentuk timnas Kosovo, ia bertekad untuk membela negeri nenek moyangnya tersebut.

Pertandingan diatas disudahi dengan skor 0-2. Shaqiri turut mencetak gol, namun ia tidak melakukan selebrasi sama sekali. Bahkan, ketika Bayern Muenchen merengkuh Piala Champions 2012, Shaqiri memajang bendera Kosovo dan Swiss dipunggungnya.

“I’m a Kosovar Albanian” (Xherdan Shaqiri)

Nama lain yang perlu dibincangkan adalah Adnan Januzaj. Januzaj, pemain yang membela Manchester United tersebut dikenal dengan latar belakangnya yang multi etnis. Ia lahir di Belgia pada tahun 1995. Namun kedua orang tuanya asli Kosovo. Walaupun Januzaj bisa membela Inggris, Turki ataupun Kosovo. Pemain yang digadang-digadang menjadi bintang tersebut lebih memilih timnas Belgia. Januzaj bisa saja membela Inggris, dengan syarat dirinya sudah tinggal di Inggris selama lima tahun. Januzaj memang menolak tawaran Kosovo, ketika mereka menggelar laga persahabatan melawan Haiti. Saat itu, Januzaj belum pernah membela timnas manapun.

Apakah penolakan tersebut bisa diartikan bahwa Januzaj merupakan seorang pembelot ? Semua berawal dari Abedin Januzaj (ayah Januzaj) yang memutuskan untuk berpetualang ke Swiss setelah perang sipil meletus. Abedin merupakan anak sulung, sedangkan ayahnya yang bekerja sebagai buruh pabrik tekstil harus berjuang melawan penyakitnya. Abedin menjadi tulang punggung keluarganya. Ia pun lebih memilih untuk bekerja di Belgia pada tahun 1992, ketimbang angkat senjata. Di Belgia, dirinya bertemu dengan Ganimete Sadikaj, ibu Adnan Januzaj. Mereka sama-sama menjadi anggota komunitas Albanian di Swiss. Keluarga ibu Januzaj menjadi korban pemerintah Yugoslavia yang represif. Kakek Januzaj, dikenal sebagai sosok yang berkecukupan di daerahnya. Namun, ketika pemerintah komunis menguasai Yugoslavia, tanah serta harta mereka disita. Keluarga Sadikaj akhirnya melarikan diri ke Turki. Sebelum, Ganimete Sadikaj berangkat ke Belgia dan bertemu calon suaminya.

Paman Abedin Januzaj, yaitu Januz, pernah mendekam dipenjara selama 15 tahun karena memprotes kebijakan Yugoslavia. Perjuangan tersebut diwariskan ke putranya, yaitu Shemsedin. Secara garis saudara, Shemsedin merupakan sepupu Adnan Januzaj. Perjuangan mereka ternyata berada pada jalur yang berbeda. Shemsedin dan istrinya ikut berperang bersama Kosovo Liberation Army. Shemsedin bergabung dengan kelompok yang sekarang dicap sebagai organisasi teroris tersebut ketika masih berusia 18 tahun. Ia juga mengungkapkan bahwa ayah Januzaj kerap mengirimi mereka uang, sesudah mendapatkan pekerjaan di Belgia. Peranan Abedin sangat penting di dalam keluarga besar mereka. Wajar, ayah Abedin Januzaj mengidap penyakit parah, ditambah paman Abedin meninggal dunia pada tahun 2011. Tanggungan Abedin Januzaj semakin banyak. Hal tersebut juga diakui oleh Shemsedin, bahwa Abedin lah yang menjadi tulang punggung keluarga besar mereka. Mungkin beban tersebut juga ditanggung oleh Adnan Januzaj sekarang.

Sepakbola dan Politik
Pada kenyataannya, kita sering mendengar bahwa sepakbola harus dilepaskan dari unsur-unsur politik. Tapi toh, sepakbola tak kuasa menahan godaan tersebut. Politik terus saja menyelimuti sisi-sisi yang berada di tubuh sepakbola. Lagipula sebelum menjadi anggota FIFA, sebuah negara harus masuk PBB lebih dahulu. Bukankah PBB sendiri merupakan organisasi yang erat dengan transaksional politik. Kita tidak bisa berkilah begitu saja, bahwa sepakbola harus dibebaskan dari unsur politik. Justru, itu lebih “mewarnai” jagad sepakbola. Mungkin banyak yang menduga bahwa politik bersifat negatif, namun sedikit lebih baik dibandingkan unsur bisnis yang senantiasa mengerogoti sepakbola di dunia. Imbasnya, agenda politis pun merasuk ketika uang sudah masuk ke dalam organ-organ sepakbola. Politik menjadi lebih berbisa ketika lidah mereka sudah tergiur aroma bisnis.

Dulu, Jenderal Franco melarang bangsa Catalan dan Basque untuk mengibarkan bendera di sembarang tempat. Namun, Franco menggunakan sepakbola sebagai ruang kebebasan berekspresi bagi Catalan dan Basque. Di dalam stadion, mereka boleh menunjukkan lambang, simbol, bendera yang berhubungan dengan Catalan serta Basque. Tidak heran ketika El Clasico berlangsung, kerap dihubung-hubungkan dengan simbol perlawanan bangsa Catalan dengan pemerintah Spanyol. Padahal, isu tersebut hanyalah bumbu-bumbu yang dimanfaatkan oleh media untuk mengeruk keuntungan. Begitu juga dengan kubu Barcelona dan Real Madrid, kita tahu bahwa kedua klub tersebut memonopoli hak siar La Liga. Uang dan politik mempunyai andil besar dalam laga Real Madrid kontra Barca. Lagipula kita kerap melihat banner “Catalonia is not Spain” ketika laga El Clasico berlangsung. Sepakbola menjadi ruang bagi bangsa Catalan untuk menyuarakan pendapatnya.

Belum lama ini jagad sepakbola juga dikejutkan dengan keributan di Belgrade. Ketika babak pertama memasuki menit-menit akhir, terkibar sebuah bendera Great Albanian diatas stadion. Laga antara Serbia dan Albania mendadak menjadi ajang gulat. Suporter ikut-ikutan turun ke lapangan, menghajar pemain Albania. Sebelum laga berlangsung, suporter Serbia juga membakar bendera NATO. Bahkan, salah satu pentolan suporter Serbia yaitu Ivan “Terible” Bogdanov turut serta dalam kerumunan. Padahal, pria tersebut dilarang masuk stadion karena kerusuhan yang melibatkan dirinya ketika Serbia bertandang ke Italia. Dendam lama menyulut laga tersebut, semuanya berawal dari perang saudara di Yugoslavia dan mereka semakin terjerumus di dalam agenda politik.

Selain dua kasus diatas, kita juga dapat melihat bagaimana nasib klub-klub eks Jerman Timur yang nyaris tidak terdengar suaranya sekarang. Penyatuan dua liga yang terjadi pada tahun 1991 pun tidak bisa lepas dari agenda politik. Atau mungkin usaha dua suporter garis keras yang ada di Turki dan Mesir. Mereka turun ke jalan untuk memprotes kebijakan pemerintah mereka masing-masing. Sepakbola punya suara untuk merubah politik ke arah yang mereka anggap “benar”. 

Seandainya, bangsa Catalan dan Basque merdeka, apakah mereka siap menerima konsekuensi yang dialami Kosovo atau Serbia diatas ? Katakanlah Catalan mempunyai liga sendiri, apakah Barcelona rela kehilangan pundi-pundi uang yang selama ini mereka nikmati ? Bagaimanapun juga, sepakbola susah melepaskan diri dari politik.