"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Minggu, 19 November 2017

Where Are They Now : Apa Kabar Skuad Kroasia (Piala Dunia 1998) ?


“I was there..” ujar Slaven Bilić kepada Lothar Matthäus di sebuah acara TV, sembari jarinya menunjukan angka 3-0. Tiga gol dicetak Kroasia, memupus harapan Jerman untuk lolos semifinal Piala Dunia 1998.  Slaven Bilić merupakan bagian dari generasi emas Kroasia 1998 kala itu. Bersama Davor Šuker serta sang kapten, Zvonimir Boban, The Blazers berhasil meraih peringkat tiga pada debut mereka di turnamen empat tahunan tersebut. Sepuluh tahun kemudian, Jerman kalah 1-2 atas Kroasia di fase grup Piala Eropa 2008. Lagi-lagi Slaven Bilić turut menjadi aktor, tak lagi sebagai pemain, melainkan sebagai juru taktik. Sayang, petualangan mereka berakhir di perempatfinal. Sedang Jerman berhasil menjadi runner-up.


Kroasia memang tak pernah kehabisan talenta. Negara pecahan Yugoslavia tersebut terus menelurkan bibit-bibit emasnya. Sebuah warisan ? ataukah keajaiban Tuhan ? sebab, secara sistem pengembangan pemain muda, klub di Kroasia tidak bagus-bagus amat (kecuali Dinamo Zagreb). Begitu juga pengembangan kepelatihan. Negara yang pernah menjamu Indonesia ketika tur Eropa di tahun 1956, memastikan partisipasinya di Piala Dunia 2018. Menang agregat 4-1 kontra Yunani di fase play-off. Skuad Kroasia dewasa ini juga menjanjikan. Sebut saja Ivan Rakitić (Barcelona), Luka Modrić (Real Madrid), Danijel Subašić (AS Monaco), Mario Mandžukić (Juventus), Ivan Perišić (Inter Milan) dsb. Apakah mereka mampu melewati pencapaian terbesar Kroasia di Piala Dunia 1998, kita lihat saja besok.

Beberapa skuad Kroasia di Piala Dunia 1998 merupakan sisa-sisa dari timnas Yugoslavia U20 yang menjadi kampiun di Piala Dunia U20 tahun 1987 di Chili. Di Prancis pun, Kroasia sudah dianggap sebagai kuda hitam. Mengacu pada keberhasilan mereka lolos di Piala Eropa 1996, Inggris. Di kompetisi mayor pertama mereka, negara yang merdeka di tahun 1991 tersebut berhasil melaju sampai fase perempatfinal. Langkah mereka dihentikan Jerman yang akhirnya menjadi kampiun Euro 1996. Dua tahun setelahnya, Kroasia membalas kekalahan mereka. Mari kita bernostalgia sejenak. Kemana saja, pesepakbola Kroasia yang beradu sepak melawan Jerman di perempatfinal Piala Dunia, 19 tahun yang lalu.


Starting Line Up

GK : 1. Dražen Ladić (Dinamo Zagreb – 54 Tahun)
Dražen Ladić merupakan salah satu dari beberapa pemain yang pernah mengenyam caps bersama Kroasia serta Yugoslavia. Selepas kegagalan Kroasia lolos ke Piala Eropa 2000, Ladić memutuskan untuk pensiun dari timnas. Dua tahun setelahnya, Ladić menjadi staf pelatih kiper timnas Kroasia hingga 2004. Ladić kembali mengukir kesehariannya bersama timnas Kroasia. Pemain yang 14 tahun berseragam Dinamo Zagreb tadi menggantikan posisi Slaven Bilić di tim Kroasia U21. Jabatan tadi ia pegang sampai 2011, Ladić dipecat karena kasus tabrak lari serta pemalsuan dokumen. Karir kepelatihan Ladić berlanjut di Timur Tengah, ia sempat menjadi pelatih Al-Hilal (U23) pada kurun 2013-2014. Saat ini, Ladić menjadi asisten pelatih di Al-Ain (Uni Emirat Arab), jabatan yang diemban sejak 2014.

RWB : 4. Igor Štimac (Derby County – 50 Tahun)
Hanya ada dua alumnus Kroasia 1998 yang pernah menjalani karir sebagai pemain maupun pelatih Vatreni, yakni Slaven Bilić (2006-2012) dan Igor Štimac (2012-2013). Mengawali dan mengakhiri karir seniornya di tim yang sama, Hajduk Split. Igor Štimac menuntaskan 53 laga bersama Kroasia. Petualangan paling terakhir Igor Štimac adalah klub Qatar, Al-Shahania (2016-2017). Di tahun 2010, Igor Štimac pernah “njago” presiden Federasi Sepakbola Kroasia (HNS), namun gagal.

CD : 6. Slaven Bilić (Everton – 49 Tahun)
Salah satu punggawa Kroasia yang karirnya terbilang paling sukses dan komplit. Selain melatih, Bilić kerap menjadi pandit sepakbola. Satu-satunya alumnus Kroasia 1998 yang pernah mengantarkan negaranya, baik sebagai pelatih atau pemain di turnamen Piala Eropa. Bilić mengawali karir manajerial di Hajduk Split pada tahun 2001. Berikutnya, Bilić melatih tim Kroasia U21 pada kurun 2004-2006. Setelah kegagalan Kroasia pada Piala Dunia 2006, Bilić diangkat menjadi pelatih tim senior menggantikan Zlatko Kranjčar. Biarpun gagal mengantarkan lolos Piala Dunia 2010, bersama Bilić, Kroasia berhasil lolos Piala Eropa 2008 serta 2012. Selepas melatih Krosia, Bilić melanglang buana, melatih Lokomotiv Moskow (2012-203), Besiktas (2013-2015) serta West Ham (2015-2017). West Ham memutuskan untuk memecat Bilić atas rentetan hasil yang buruk, setelah kekalahan 1-4 atas Liverpool pada 4 November, Bilić resmi dipecat oleh pihak klub. Diantara rekan-rekannya yang lain, Slaven Bilić mungkin salah satu sosok yang paling nyentrik. Mempunyai rajah di lengannya, memakai anting, gitaris band Rawbau. Bilić merampungkan jenjang sarjana di bidang hukum, seorang pengacara yang juga gemar merokok. Ketika melatih Kroasia, Bilić mengajak mantan rekan satu timnya menjadi staff timnas, antara lain Robert Prosinečki, Aljoša Asanović, Nikola Jurčević dan Marjan Mrmić. Selain Jurčević, ketiga pemain yang lain merupakan skuad Kroasia di Piala Dunia 1998. Prosinečki yang diplot oleh Bilić menjadi pelatih, khusus untuk mengamati tim lawan meninggalkan timnas di tahun 2010. Ia memilih berlabuh ke Red Star Belgrade menjadi pelatih utama.

CD : 14. Zvonimir Soldo (VfB Stuttgart – 50 Tahun)
Di masa pensiunnya, Zvonimir Soldo mengelola sebuah bar terkenal di Zagreb, yaitu Bulldog Club. Disamping itu, Soldo juga pernah melatih Dinamo Zagreb pada 2008. Di pertengahan kompetisi, ia menggantikan Branko Ivankovic yang berselisih dengan pihak manajemen klub. Saat itu Soldo menjabat sebagai pelatih primavera Dinamo Zagreb. Mandžukić serta Modric pernah diasuh oleh Soldo ketika merumput di Dinamo Zagreb. Usai melatih Dinamo Zagreb, Soldo merantau ke FC Koln. Karir kepelatihannya terbilang tidak sukses, Soldo pun didepak pada Oktober 2010. Saat ini, Soldo menjabat asisten pelatih di klub China, Shandong Luneng.

LWB: 17. Robert Jarni (Real Betis – 49 Tahun)
Salah satu pemain yang pernah menceploskan gol, baik ketika membela Yugoslavia ataupun Kroasia. Jarni termasuk skuad Yugoslavia di Piala Dunia 1990 bersama Davor Šuker, Alen Boksic dan Robert Prosinečki, empat pemain yang kelak akan membela Kroasia. Rekor unik Robert Jarni adalah satu-satunya pemain yang pernah berseragam timnas sepakbola dan futsal Kroasia. Setelah melatih beberapa klub di Kroasia, Bosnia dan Hungaria (Hajduk Split, Istra 1961, Sarajevo, Pecs serta Puskas Akademia), Jarni diberi kepercayaan untuk mendidik skuad Kroasia U19 sejak Juni 2017. Ia sudah melakoni empat laga resmi, tiga diantaranya pertandingan kualifikasi Piala Eropa U19.

CD : 20. Dario Šimić (Dinamo  Zagreb – 42 Tahun)
Dari sebelas starting line-up yang diturunkan Miroslav Blažević, pemain paling muda adalah Dario Šimić. Permainannya di Piala Dunia 1998 mengundang decak kagum. Tak heran apabila Inter Milan merekrut bek yang saat itu berumur 22 tahun dengan mahar 11 juta euro. Penjualan terbesar Dinamo Zagreb pada masa itu. Saat ini, Dario Šimić mengelola sebuah perusahaan air mineral yaitu Aquaviva. Bahkan Šimić melebarkan sayap perusahaannya ke bidang produksi kopi serta jus apel. Di masa pensiunnya, Šimić tak melupakan dunia sepakbola. Ia menjabat sebagai presiden asosiasi pesepakbola profesional Kroasia. Šimić juga mengambil lisensi kepelatihan.

CM : 7. Aljoša Asanović (Napoli – 51 Tahun)
Bagian dari trio “Magic Triangle” timnas Kroasia, bersama Robert Prosinečki dan Zvonimir Boban. Karir Asanović di lapangan hijau tak pernah bisa dilepaskan dari Slaven Bilić. Setelah bersama-sama memperkuat timnas Kroasia. Asanović merupakan tangan kanan Bilić ketika melatih Kroasia (2006-2012) maupun Lokomotiv Moskow (2012-2013). Saat ini, Asanović menangani klub Australia, Melbourne Knights FC.


CM : 10.  Zvonimir Boban (AC Milan – 49 Tahun)
Legenda hidup sepakbola Kroasia serta AC Milan. Nama besarnya tak akan pernah lepas dari bayang-bayang tendangan heroiknya ke muka seorang polisi saat kerusuhan suporter melebar ke lapangan ketika Dinamo Zagreb menjamu Red Star Belgrade di tahun 1990. Tendangan karate yang “dimitoskan” oleh masyarakat Kroasia sebagai simbol perlawanan terhadap rezim Yugoslavia. Selepas gantung sepatu, Boban sama sekali tak berminat mengikuti karir rekan-rekannya menjadi pelatih. Pemain yang dijuluki “Zorro” tersebut malah menyelesaikan studi sejarah di Universitas Zagreb. Selain itu, Boban juga kerap mengisi waktunya sebagai jurnalis dan komentator dengan karakter yang ceplas-ceplos. Salah satu pemain yang pernah kena semprot adalah Mario Balotelli saat sesi wawancara Sky Italia, selepas penampilan buruknya saat AC Milan takluk 0-2 atas AS Roma. Mantan kapten Kroasia tersebut juga mengelola sebuah restoran serta toko kue di kampung halamannya dengan nama “Boban”. Di tahun 2016, FIFA mengangkat Boban menjadi wakil sekjen yang berfokus pada pengembangan pertandingan dan organisasi dari kompetisi-kompetisi.

CM : 13. Mario Stanić (Parma – 45 Tahun)
Diantara sebelas pemain inti yang diturunkan, Mario Stanić merupakan salah satu pengecualian. Apabila merujuk pada teritori sekarang, Stanić lahir di wilayah Bosnia, di Sarajevo. Namanya akan selalu dikenang publik Kroasia, pemain yang membubuhkan gol pertama Kroasia di Piala Dunia. Tak banyak info mengenai Stanić, menurut laman transfermarkt, saat ini pemain yang pernah merumput di Chelsea tersebut menjadi scout di klub Belgia, yakni Club Brugge. Stanić juga menjalankan pekerjaan sebagai agen pemain bersama rekan setimnya dahulu, Goran Vlaović dan Boris Zivkovic. Yang jelas, Stanić aktif menulis disebuah blog dan sosok paling vokal mengkritisi persepakbolaan Kroasia.

FW : 9. Davor Šuker (Real Madrid – 49 Tahun)
Topskor Piala Dunia 1998, pemain terbaik kedua setelah Ronaldo serta masuk all star Piala Dunia 1998. Šuker dipanggil oleh timnas Yugoslavia di Piala Dunia 1990. Namun, Šuker sama sekali tidak bermain di turnamen yang diselenggarakan di Italia tersebut. Davor Šuker yang sampai detik ini masih memimpin top skor sepanjang masa timnas Kroasia merupakan presiden Federasi Sepakbola Kroasia (HNS). Jabatan yang ia emban sejak bulan Juli 2012. Tapi, Davor Šuker hanyalah “boneka” Zdravko Mamić di HNS, begitu menurut suporter garis keras Kroasia. Zdravko Mamić, wapres HNS, penasehat Dinamo Zagreb dengan cap tokoh sepakbola korup dan kontroversial di negeri Balkan. Keberhasilan Šuker menjadi presiden HNS tak lepas dari bantuan Zdravko Mamić. Eks striker Real Madrid tadi juga pernah berujar, bahwa jabatan di HNS hanyalah batu loncatan. Ia mengincar posisi di UEFA, selanjutnya FIFA. Cita-citanya tercapai, dua tahun yang lalu, dirinya terpilih sebagai anggota Komite Eksekutif UEFA. Target berikutnya, Šuker akan membidik jabatan di FIFA. Disamping aktif di kalangan pejabat teras sepakbola, Šuker juga mengelola sebuah sekolah sepakbola di Zagreb yang juga tersebar pada beberapa kota di Kroasia. Terlepas dari segala problem di tubuh HNS, fans Kroasia akan selalu mengingat gol cantik Davor Šuker yang ia ceploskan ke gawang Jerman dengan kaki kirinya, “the greatest and genius number 9’s”.

FW : 19. Goran Vlaović (Valencia – 45 Tahun)
Namanya memang tak semegah striker Kroasia semacam Davor Šuker, karirnya juga tak sementereng Šuker yang pernah berseragam klub elite macam Real Madrid serta Arsenal. Tapi Vlaović lah pemain yang mempersembahkan gol pertama bagi Kroasia di turnamen mayor, bukan Davor Šuker ataupun Alen Boksic. Yakni golnya ke gawang Turki saat Piala Eropa 1996. Vlaović menggantikan Boksic dan mencetak gol dimenit 86, 1-0 untuk Kroasia hingga peluit ditiup. Selepas pensiun, Vlaović, bersama Mario Stanić dan Boris Zivkovic bekerja di bidang agen pemain bola. Kabar paling mutakhir, Goran Vlaović juga bekerja sebagai pandit di stasiun televisi Kroasia.

Pemain Pengganti

CM : 11. Silvio Marić (Dinamo  Zagreb – 42 Tahun)
Sepanjang karirnya bermain untuk Kroasia, Silvio Marić hanya mempersembahkan satu gol saja bagi negaranya. Marić mengikuti jejak Bilić, nyambi sebagai musisi. Disamping memiliki akademi sepakbola, Marić juga aktif sebagai DJ di Kroasia.

Pelatih

Miroslav Blažević (82 Tahun)
Pelatih yang sekarang berusia 82 ini pernah mengklaim bahwa dirinya lah yang menemukan formasi 3-5-2, di tahun 1982. Miroslav “Ciro” Blažević menggeber formasi 3-5-3 dan sukses meraih medali perunggu untuk Kroasia. Selain aktif di dunia sepakbola, Ciro juga aktif di jagad perpolitikan Kroasia dan pernah mencalonkan diri sebagai presiden dari jalur independen. “Pelatih dari semua pelatih”, begitulah julukan Ciro Blažević. Setelah melanglang buana dari daratan Eropa ke Timur Tengah hingga mampir di daratan Cina, klub terakhir yang dimanajeri Blažević adalah NK Zadar (2014-2015). Klub yang bermarkas di Stadion Stanovi tersebut merupakan tim ke 28 yang pernah dilatih Ciro Blažević.

Rabu, 11 Oktober 2017

Jalan Panjang Catalonia

Tahun 2014, Miley Cyrus mengibarkan bendera Ikurrina disela-sela gelaran konsernya di Barcelona. Sebuah hal yang tak lazim tentunya, mengingat Ikurrina merupakan bendera resmi “tetangga” Catalonia, yaitu Basque Country (Euskadi/Pais Vasco). Barcelona yang berada di Catalonia lebih kerap diwarnai dengan bendera Senyera, notabene sebagai bendera resmi Catalonia. Ataupun Estelada yang kerap digambarkan sebagai simbol perjuangan kemerdekaan Catalan. Senyera juga menjadi bendera resmi di tiga autonomus communities lain, yaitu Valencia, Balearic Islands serta Aragon.

Apabila Miley Cyrus menggelar konser tersebut sekitar 60 tahun yang lalu. Bisa jadi langsung “didor”, nyawanya berakhir dibawah acungan pistol rezim pada masa itu. Francisco Franco yang berkuasa sejak usainya Perang Sipil Spanyol hingga mangkat di tahun 1975, melarang segala atribut yang berbau Catalonia ataupun Basque, baik itu bendera, bahasa dsb. Rezim fasis kala itu benar-benar mengokupasi kultur dua region diatas dengan dalih atas nama nasionalisme Spanyol ala Castillan. Hingga saat ini, hantu Franco masih membayang-bayangi Spanyol. Franco Yang Maha Fasis pun menjadi “senjata” utama bagi Catalonia untuk memperjuangkan (atau “berjualan”) kemerdekaan. Hantu Franco menjelma ke rezim yang dipimpin Mariano Rajoy, Perdana Menteri Spanyol saat ini.

Lebih dari seminggu, kita disuguhi berita tentang referendum Catalonia. Jagad sepakbola pun ramai soal wacana Barcelona keluar La Liga ataupun seperti apa kelak timnas Catalonia. Saya lalu teringat, balasan twit dari seorang teman yang menyebut bahwa publik internasional hanya berkepentingan pada urusan bal-balan. Merujuk pada rivalitas Barcelona vis a vis Real Madrid. Catalonia yang sekarang jelas berbeda dengan gambaran Eric Blar aka George Orwell dalam magnum opusnya tentang Catalonia. Urusan El Clasico tak ada lagi hubungannya dengan Perang Sipil Spanyol. Begitupun dengan referendum yang dilakukan oleh pemerintah Catalan yang dikomandoi Carles Puigdemont pada 1 Oktober kemarin. Jargon-jargon bahwa pemerintah Spanyol adalah pemerintah fasis yang dilancarkan oleh petinggi Catalonia dalam kampanye terkait referendum, bagi saya pribadi terkesan berlebihan. Pemerintah Spanyol pun naik pitam, mereka mengancam akan mencabut distribusi keuangan Catalonia sudah melakukan peyalahgunaan wewenang, yaitu penggunaan dana untuk referendum yang dianggap illegal. Lalu beberapa situs Catalan mereka tutup, beberapa petinggi Catalan ditangkap hingga diterjunkannya polisi dan Guardia Civil untuk menggagalkan referendum. Tepat di tanggal 1 Oktober, warga Catalonia menggelar referendum. Jutaan masyarakat turun ke jalan untuk menyalurkan aspirasi. Pilihannya cuman dua, Si or No. Tetap di Spanyol atau membentuk republik sendiri. Tapi siapa yang menyangka akan muncul sikap represif Guardia Civil terhadap partisipan referendum. Tak sekedar menyita kotak suara atau kertas suara, tapi juga memukuli  dan menembaki warga dengan peluru karet. Terlepas dari berita hoax yang beredar, kerusuhan diatas mengakibatkan 800 orang lebih terluka. Pada titik tersebut, Catalonia unggul 1-0 atas Spanyol. Lain cerita, apabila pemerintah Spanyol tidak melakukan kekerasan atas warga Catalonia, secara psikologis, merekalah pemenangnya.

Dunia internasional nyaris tak bersuara mengenai referendum Catalonia, adem ayem. Mereka baru membuka diri setelah adanya kabar tindakan represif pemerintah Spanyol atas warga Catalonia yang ingin menyuarakan aspirasinya. Kritikan tersebut ditanggapi permintaan maaf dari pemerintah Spanyol atas tindakan kekerasan yang terjadi di Catalonia. Sikap dunia internasional tersebut berbeda jauh dengan kejadian 81 tahun lalu, ketika Perang Sipil Spanyol meletus. Ketika negara-negara lain turut bersuara baik di kubu Republikan ataupun Nasionalis. Spanyol saat itu menjadi panggung gladi resik sebelum peluit Perang Dunia II dibunyikan. Baru-baru ini, melalui pernyataan Menteri Prancis Urusan Eropa, secara terang-terangan, Prancis menyatakan tidak akan mengakui Catalonia sebagai negara yang merdeka apabila mereka mendeklarasikan kemerdekaan. Sikap Prancis tersebut dibalas oleh Emannuel Macron (Presiden Prancis) yang menyarankan agar Uni Eropa tidak usah memediasi krisis yang terjadi antara Catalonia dan Spanyol. Berbeda dengan Angela Merkel, bersama Jean Claude Juncker selaku Presiden Komisi Eropa, menghimbau Mariano Rajoy untuk berdialog dengan pemerintah Catalonia. Jean Claude Juncker sendiri pernah beropini, bahwa Komisi Eropa menghormati langkah Catalonia untuk menempuh referendum. Pernyataan tersebut sempat membingungkan beberapa pihak dan dianggap sebagai opini pribadi, bukan mewakili Komisi Eropa.

Uni Eropa jelas tidak akan mendukung Catalonia sebagai negara yang merdeka. Biarpun pemerintahan Carles Puigdemont mendeklarasikan kemerdekaan. Keputusan tersebut akan dianggap sebagai kemerdekaan yang sepihak. Catalonia kelak akan menjadi acuan bagi wilayah-wilayah lain di Eropa yang juga ingin memerdekaan diri. Uni Eropa jelas tak ingin melakukan sebuah blunder seperti yang sudah dilakukan oleh Spanyol. Sejauh ini, sikap mereka masih sepaham dengan pemerintah Spanyol. Voting yang dilakukan oleh pemerintah Catalonia adalah inkonstitutional dan illegal. Donald Tusk, selaku Presiden Dewan Uni Eropa meminta Puigdemont untuk menghormati konstitusi Spanyol dan menyarankan kepada Mariano Rajoy untuk segera mencari solusi dengan cara berdialog. Uni Eropa tentu tak mau menjadi pemain dalam konflik antara Spanyol dan Catalonia. Agaknya, para pemimpin Uni Eropa lupa, pihak Catalonia beberapa kali meminta kepada Mariano Rajoy untuk berdialog. Tapi sayang, tawaran tersebut selalu ditolak. Catalonia tak pernah memakai cara kekerasan dalam mengupayakan kemerdekaan. Bahkan, daerah tersebut kerap menjadi bulan-bulanan terorisme, lucunya, teror terakhir datang dari pemerintah Spanyol.

Setelah Franco wafat, Catalonia mendapatkan haknya untuk mengelola wilayahnya sendiri. Kebudayaan mereka pun sudah tidak lagi dilarang di publik. Toh, daerah kelahiran Pep Guardiola tersebut merupakan salah satu dari autonomus communities terkaya. Setidaknya, Catalonia termasuk lima daerah penyumbang GDP terbesar di Spanyol. Sebelum tahun 2010, nyaris tuntutan untuk merdeka jarang terdengar. Alasan terbesar adalah krisis ekonomi yang menimpa Spanyol di tahun 2008. Disusul polemik Statuta Otonomi Catalonia di tahun 2010. Hingga distribusi keuangan dari pajak yang tidak merata. Saya sendiri berpandangan, persoalan Catalonia dewasa ini adalah urusan ekonomi. Biarpun Carles Puigdemont pernah mengungkapkan di Al Jazeera TV bahwa referendum Catalonia adalah persoalan politik. Catalonia mungkin tidak akan menyerah begitu saja. Penantian panjang mereka melaksanakan referendum akan terasa sia-sia. Deklarasi kemerdekaan Catalonia akan berdampak buruk pada status otonomi. Spanyol mempunyai senjata yang cukup ampuh, yaitu pengunaan Pasal 155 Konstitusi Spanyol. Catalonia akan kehilangan pengelolaan ekonomi serta (mungkin) pelarangan simbol atau budaya Catalonia. Apalagi, baru-baru ini ratusan ribu warga Catalonia turun ke jalan menolak pemisahan diri dari Spanyol. Salah satu politikus yang getol menolak referendum adalah Ines Arrimadas dari partai Ciudadanos. Bagi saya, salah satu alternatif adalah pengelolaan pajak mandiri layaknya di Basque Country serta Navarre. Pertanyaannya, apakah pemerintah Spanyol bersedia memberlakukan peraturan tersebut dan menyerahkan secara cuma-cuma ke wilayah Catalonia ?

Rabu, 21 Juni 2017

Membedah Azzurrini di Piala Eropa U21 (2017)

Tanggal 27 Mei 2000, mungkin menjadi hari istimewa bagi anak asuh Marco Tardelli. Skuad Italia U21 berhasil mencuri tiga poin di match pertama ajang Euro U21 (2000). Di stadion Tehelne Pole (Bratisalva, Slovakia) Italia berhasil mengalahkan Inggris. Dua gol tersebut dicetak oleh Gianni Comandini serta Andrea “L’Architetto” Pirlo. Pertandingan pertama yang akan mengantarkan Italia menjadi kampiun European U21 keempat kalinya. Entahlah, sosok Tardelli yang pernah membantu Italia meraih Piala Dunia 1982, mungkin bertuah bagi beberapa punggawa Italia muda kala itu. Tiga pemain yang memperkuat tim Azzurrini (2000), enam tahun kemudian berhasil mengangkat tropi Piala Dunia. Yakni, Andrea Pirlo, Gennaro Gattuso dan Simone Perotta. Kelak, tradisi Tardelli tadi akan diteruskan oleh suksesornya, yaitu Claudio Gentile. Pemain yang diplot oleh Enzo Bearzot untuk “membunuh” Maradona di semifinal Piala Dunia 1982 tersebut juga sempat melatih Italia muda di Euro U21 (2004). Hasilnya, Italia menjadi kampiun untuk kelima kalinya dan alumnus dari skuad tersebut (Amelia, Barzagli, Zaccardo dan De Rossi) juga menikmati tropi Piala Dunia 2006, racikan Marcello Lippi.

Bolehlah kita berangan-angan sebentar atau othak athik gathuk tepatnya. Seperti yang sudah disebutkan diatas, Italia U21 mengalahkan The Young Lions di partai pembuka mereka dengan skor 2-0 di kompetisi Euro U21 (2000). Hal tersebut berulang kembali, 17 tahun kemudian. Minggu malam, di Krakow, Polandia, Italia U21 yang saat ini dilatih oleh Luigi Di Biagio mengulang kembali sejarah seniornya. Angka 2-0 terpampang dipapan skor hingga peluit ditiup. Pencetaknya Lorenzo Pellegrini, berposisi gelandang seperti Andrea Pirlo, serta Andrea Petagna yang dipasang sebagai penyerang, begitupun Gianni Comandini. Selama 19 kali penampilan di European U21 sejak 1978, kemenangan 2-0 di partai pembuka hanya terjadi dua kali (2000 dan 2017). Pertanyaannya, bisakah skuad Italia muda saat ini meneruskan tradisi pendahulunya ? Italia sudah puasa gelar Euro U21 selama 13 tahun. Apabila tidak keburu merebut kembali mahkota tersebut, bisa saja Spanyol menyusul rekor Italia sebagai pemegang gelar terbanyak pada tahun ini. Spanyol masih menguntit di bawah Italia dengan raihan empat gelar.


Banyak yang menyanjung komposisi pemain Italia yang dibawa oleh Luigi Di Biagio di Polandia. Bahkan, Carlo Tavecchio selaku presiden FIGC sempat sesumbar, target minimal yang harus diraih oleh mereka adalah lolos ke semifinal. Bisa dikatakan, skuad Italia U21 kali ini terbilang amat mewah dibandingkan dua skuad sebelumnya. Merujuk pada situs transfermarkt, nilai transfer Italia U21 mencapai 213,2 juta euro. Bandingkan dengan skuad Italia di tahun 2015, mengacu pada match terakhir mereka di fase grup kontra Inggris, transfer value nya hanya mencapai 91,2 juta euro. Lalu skuad Italia di Piala Eropa U21 2013 yang diselenggarakan di Israel, saat tim asuhan Devis Mangia berhasil lolos ke final menantang Spanyol. Starting line-up yang diturunkan oleh Devis Mangia, nilai jualnya hanya 60,60 juta euro, setengah dari nilai transfer skuad inti yang dimainkan oleh Spanyol (129 juta euro). Di tahun tersebut, apabila dihitung keseluruhan, transfer value yang dimiliki Azzurrini berkisar 104,3 juta euro. Spanyol ? harga pasaran transfernya mencapai 186,1 juta euro.

Wajar memang apabila membandingkan Italia dengan Spanyol di kompetisi European U21 (2017). Sejauh ini, skuad Spanyol masih memimpin pasaran transfer pemain, keseluruhan pemain dibanderol 264,5 juta euro. Disusul Italia dengan pasaran mencapai 213,2 juta euro. Selanjutnya, Jerman (147,65 juta euro), Portugal (123,83 juta euro), Inggris (96,85 juta euro), Serbia (46,4 juta euro), Rep. Ceko (39,4 juta euro), Polandia (32,28 juta euro), Slovakia (20,13 juta euro), Denmark (16,30 juta euro), Swedia (14,40 juta euro), terakhir Macedonia (7,73 juta euro). Nilai transfer diatas memang menyajikan komposisi terkini. Perlu dicatat, beberapa pemain yang sebenarnya berhak merumput di turnamen, beberapa “dibajak” ke tim senior. Semisal skuad Jerman di Piala Konfederasi yang mencomot beberapa pemain dari tim U21. Kasus lain yang menarik adalah Polandia, dimana dua pemain terbaiknya (Arkadiusz Milk dan Piotr Zielinski) “dilarang” tampil oleh Napoli, selaku pemilik pemain.

Dari 23 pemain yang di bawa ke Polandia, beberapa nama sudah mengenyam caps tim senior. Apabila mengacu pada starting line-up yang diturunkan Di Biaggo ketika kontra Denmark kemarin, nama paling mentereng jelas Donnarumma. Kiper binaan AC Milan itu sedang menjadi bulan-bulanan media serta suporter, terkait penolakan kontrak baru yang diajukan Rossoneri. Usianya baru 18 tahun, tapi nilai transfernya mencapai 25 juta euro. Statistik menunjukan, kapasitas Donnarumma memang luar biasa. Di musim ini, pemuda kelahiran Naples tersebut membubuhkan 147 penyelamatan dan 12 kali clean sheet. Disamping Donnarumma, ada beberapa nama lain dari starting line-up Azzurrini yang pernah “naik kelas” seperti Petagna, Bernardeschi, Pellegrini, Gagliardini, Rugani, Caldara serta Andrea Conti. Nama-namanya memang tidak semoncer pemain Spanyol U21 seperti Asensio (Real Madrid) ataupun Saul Niguez (Atletico Madrid). Atau Renato Sanchez, pemain yang sempat ngehip ketika Portugal juara Eropa, namun malah melempem di Bayern Muenchen. Reputasi sepakbola Italia memang menurun, namun munculnya bibit-bibit baru diatas merupakan pertanda baik untuk menjadi macan Eropa kembali. Beberapa klub sudah mulai “percaya” kembali akan talenta lokal. Paling mendominasi tentu saja Atalanta yang memang dikenal sebagai pabriknya (akademi) pemain muda. Klub semacam Sassuolo ataupun AC Milan juga sedang asyik-asyiknya memainkan pemain muda dari negeri Pizza.

Formasi 4-3-3 yang diusung oleh Di Biagio kemarin mengalami kebuntuan di babak pertama. Pola permainan yang digagas Di Biagio adalah menyerang melalui flank. Beruntung, Italia muda mempunyai Andrea Conti serta Antonio Barreca yang dikenal sebagai bek sayap enerjik. Sekedar info, menurut Squawka, Andrea Conti mengemas 8 gol musim ini. Terbanyak diantara bek-bek lain yang merumput di lima liga top Eropa. Nilai plus tadi juga didukung oleh dua sayap Azzurrini, Bernardeschi dan Berardi. Sedang sebagai ujung tombak dipasang Petagna. Sebenarnya Petagna hanya dipasang sebagai penahan bola saja. Mengingat, Berardi sangat lemah dalam menahan bola. Sayang, di pertandingan kemarin, penyakit lama Beradi kambuh. Emosional, work ratenya kurang serta mudah frustrasi. Italia benar-benar bermain menarik setelah masuknya Federico Chiesa. Posisi Bernardeschi yang semula di sisi kiri, dipindah ke sisi kanan. Sangat efektif permainan Bernardeschi, Chiesa pun juga. Kecepatan serta “hobi” mereka untuk menusuk jantung pertahanan Denmark benar-benar membuat kelabakan. Gol kedua Italia pun tercipta dari assist putra Enrico Chieso tersebut.


Memasang Bernardeschi dan Berardi secara bersamaan memang dilematis. Tidak memasang salah satu dari mereka rasanya juga eman-eman. Sejauh ini, mengacu pada pertandingan di Krakow, kedua pemain tersebut kerap saling tukar posisi. Maklum, posisi natural Bernardeschi adalah sayap kiri. Akan tetapi, strategi tersebut tak membuahkan hasil. Federico Bernardeschi belum lama ini mencetak gol pertamanya bagi Italia dan itu ditempatkan diposisi naturalnya. Tak diragukan apabila Bernardeschi digadang-gadang sebagai “number ten” nya Italia. Bersama Fiorentina musim ini, winger elegan tersebut sukses menciptakan 645 passing dengan akurasi 78%. Situs transfermarkt melabeli 30 juta euro bagi pemain berkaki kidal diatas. Nilai positif lain adalah keahlian Bernardeschi memanfaatkan situasi set pieces.

Opsi lain yang bisa dipertimbangkan Luigi Di Biagio adalah mengorbankan taktik paten yang selama ini ia pakai. Yaitu mengubah pola 4-3-3 menjadi 4-2-3-1. Dari segi pertahanan, memakai empat bek merupakan pakem dari formasi Di Biagio. Untuk dua bek sayap, seperti yang sudah disinggung diatas. Memasang Conti dan Barreca sangat mendukung daya gedor serangan Azzurrini. Salah satu peluang pertama yang diciptakan Italia kemarin berawal dari crossing Barreca ke Andrea Conti. Sayang, sepakan Conti sedikit melenceng. Di fase awal kualifikasi, pelatih yang sempat membela Roma selama lima musim tersebut, lebih sering memplot duo Romagnoli dan Rugani (5 kali pertandingan). Selebihnya, lebih sering diisi Romagnoli dan Caldara. Mengingat, sejak 24 Maret 2016, Daniele Rugani kerap dipanggil ke tim senior. Di turnamen kali ini, Romagnoli yang sudah menjadi pasangan Rugani sejak Euro U21 2015 absen karena cedera. Rugani dan Caldara menjalani debut sebagai duet pada pertandingan melawan Denmark kemarin dengan apik. Rugani berhasil melakukan 4 clearance serta 7 ball recovery, terbanyak diantara rekan-rekan setimnya. Caldara sendiri kerap melepaskan umpan-umpan panjang, gaya bermainnya setipe dengan seniornya, Leo Bonucci. Di Serie A musim kemarin, bersama Atalanta, akurasi passing Caldara mencapai 85%. Nampaknya, area pertahanan milik Italia U21 bisa dikatakan cukup aman di turnamen kali ini. Italia memang tak pernah kehabisan bek-bek tangguh.

Ketika melawan Denmark di kota berdirinya pabrik milik Oskar Schindler tersebut, Di Biagio memasang Gagliardini untuk memainkan peran sebagai regista. Kontribusinya sangat minim sebagai pengatur permainan. Gagliardini juga sering terlambat melakukan ball recovery. Usaha tadi malah lebih sering dijalankan oleh Lorenzo Pellegrini. Bisa jadi, kegagalan Gagliardini membaca permainan kemarin karena minimnya bermain bersama rekan-rekannya di Italia U21. Gagliardini tak pernah sekalipun turut serta dalam di fase kualifikasi Euro U21 2017. Membangku cadangkan Gagliardini bisa menjadi opsi. Di Biagio cukup memakai dua gelandang, yaitu Benassi dan Pellegrini. Memang beresiko, sebab di klubnya masing-masing, kedua pemain tersebut terbiasa bermain dengan pola 4-3-3. Kalaupun toh tetap memakai tiga gelandang, sejatinya peran regista bisa diisi oleh Danilo Cataldi ataupun Locatelli. Cataldi sendiri pernah diplot pada posisi tersebut oleh Di Biagio.

Hanya saja, yang menjadi titik persoalan adalah peran Berardi dan Bernardeschi. Skenario dari 4-2-3-1 adalah menempatkan Bernardeschi sebagai second striker, di belakang Petagna. Agar Berardi lebih leluasa bermain di sayap kanan, lalu Federico Chiesa biar diberikan tugas untuk menyisir sisi kiri lapangan. Mengacu formasi tersebut, ujung tombak sejatinya berada dibahu Bernardeschi. Sebab, Petagna bukanlah tipe striker pembunuh.

Bagi saya pribadi, peluang Italia untuk mencuri gelar di Polandia sangat minim. Kalau melihat dari jam terbang serta kualitas pemain. Diatas kertas, Spanyol mempunyai modal tersebut. Baru saja mereka memastikan lolos ke semifinal, setelah menggilas Portugal, 3-1. Italia masih harus membenahi skuad serta model pembinaan yang tepat. Dari skuad utama Italia, sisi positif mulai diperlihatkan oleh Ventura. Gemar menjajal pemain-pemain muda, tanpa mengesampingkan peranan mentor-mentor semacam Buffon, De Rossi ataupun Bonucci. Namun, pembinaan di level klub juga harus diperhatikan. Terlalu banyak klub-klub yang mengesampingkan mata atas bibit-bibit yang mereka “tanam” di skuad Primavera. Ingat, Italia tidak mempunyai sistem reserve team seperti di Spanyol, Inggris ataupun Jerman. Pembatasan pemain asing pun akan menurunkan kualitas liga. Berkaca dari komposisi skuad Italy U21 saat ini, percaya pada pemain muda bukanlah hal yang negatif. Di lihat dari asal klub akademi pemain, Atalanta dan AC Milan merupakan penyumbang terbanyak. Toh memanfaatkan pemain muda juga membuat kedua klub yang berasal dari region Lombardy tersebut lolos ke Europa League musim ini. Jadi apa salahnya gais ?

Minggu, 08 Januari 2017

Bernostalgia bersama “Chuck Norris vs Communism”

Bulan Desember 1989.. Sepasang suami istri harus mengakhiri masa hidupnya di tangan pasukan penembak mati. Lesatan peluru yang meluncur dari Kalashnikov alias AK47 menjemput nyawa pasangan tersebut. Si suami menyempatkan diri untuk melantunkan lagu “Internasionale” sebelum dieksekusi, persis seperti yang dilakukan oleh Amir Sjarifuddin pada tahun 1948. Sang suami tadi bernama Nicolae Ceaușescu. Mungkin, Ceaușescu dan istrinya, Elena Ceaușescu tak pernah menyangka, bahwa kado dari rakyat Rumania di hari Natal adalah sebuah kematian.

Di bulan Desember pula, 27 tahun semenjak kematian Nicolae Ceaușescu, saya menonton dokumenter yang menyajikan sebuah kisah unik yang terekam dalam ingatan rakyat Rumania. Sebuah film dokumenter yang digarap Ilinca Calugareanu, berjudul “Chuck Norris vs Communism” (78’ | 2015). Film pertama yang saya saksikan dalam gelaran FFD 15 di Societet Militaire. Judulnya mengundang penasaran, ketika seorang teman “ngebom” beberapa jadwal FFD 15 di salah satu grup yang saya ikuti.

Dokumenter “Chuck Noris vs Communism” membahas tentang film-film Barat (Amerika) yang dikonsumsi oleh masyarakat Rumania secara illegal pada medio 1980an. Maklum, kala itu rezim Rumania dipimpin oleh pemerintah komunis. Secara politik, posisi Rumania lebih condong ke Moskow. Gencarnya arus film-film Amerika masuk ke Rumania disebabkan maraknya alat pemutar VHS. Tentu, kaset-kaset dari film tersebut berlabuh ke Rumania lewat jalur illegal.


Tokoh utama dari film “Chuck Norris vs Communism” adalah Irina Nistor. Seorang perempuan yang setiap pagi sampai sore bekerja di TV pemerintah, di bagian penyensoran. Malamnya, Irina Nistor bekerja lagi sebagai tukang dubbing. Karena keahliannya dalam bahasa Inggris, Irina dipekerjakan oleh seorang pengusaha, namanya Teodor Zamfir. Lewat jalur belakang (pasar gelap), Zamfir membeli film-film Amerika. Agar bisa dijadikan ladang bisnis, film tersebut ia alih suarakan ke dalam bahasa Rumania. Gelombang film Hollywood di Rumania sendiri, mulai marak sejak tahun 1985.


“Chuck Norris vs Communism” merupakan sebuah film yang segar bagi saya pribadi. Penyampaian filmnya masih menggunakan teknik lawas head talking yang mungkin sampai saat ini masih ampuh dan mendominasi dunia dokumenter. Beberapa masyarakat Rumania menceritakan kenangan mereka sewaktu menonton film Barat secara sembunyi-sembunyi. Apabila ada keluarga yang mempunyai VHS, rumahnya akan dijadikan “bioskop mini. Nostalgia yang terbangun lewat wawancara tadi lalu direka ulang ke sebuah adegan oleh beberapa aktor. Baik kenangan ketika warga Rumania menonton film beramai-ramai. Ataupun ketika Irina Nistor sedang bekerja menerjemahkan film-film ke bahasa Rumania. Bahkan, adapula reenactment disaat anggota partai Komunis Rumania “mengrebeg” rumah produksi yang dikelola oleh Teodor Zamfir tersebut. Terakhir, Ilinca Calugareanu memoles karyanya dengan memasukkan scene-scene film Hollywood, baik dari genre action, drama bahkan film religi. Di beberapa menit, kita akan melihat scene-scene film Barat menghiasi Chuck Norris vs Communism. Semisal Taxi Driver, Once Upon a Time in America, Pretty Woman, Jesus of Nazareth, Rocky, hingga Bloodsport.




Menuju penghujung akhir film, sosok asli Irina Nistor dan Teodor Zamfir belum muncul juga. Saksi sejarah yang bermunculan hampir selama satu jam hanyalah perwakilan masyarakat Rumania layaknya sebagai narasumber. Selama itu, sosok Irina Nistor diwakili oleh rekaman suaranya serta aktor yang memerankan dirinya dalam reka adegan. Begitupun dengan sosok Teodor Zamfir. Tentu, saya sendiri bertanya-tanya, apakah Irina Nistor sudah meninggal ? ataupun memang sengaja tidak dimunculkan sosoknya demi alasan keamanan ? ah, ternyata dugaan itu salah. Irina Nistor muncul di menit-menit akhir. Ia juga memberikan kesaksiaan, disaat menerjemahkan film Hollywood dari bahasa Inggris ke Rumania, Irina Nistor tak sempat menonton fillmnya lebih dahulu. Sehari, ia bisa menerjemahkan tiga sampai empat film. Selepas film dialih bahasakan, kopiannya lalu disebarluaskan lewat pasar gelap. Zamfir mengaku, ia menyogok penjaga patroli perbatasan. Sebab, film-film yang ia peroleh, transaksinya berada di perbatasan Rumania dan Hungaria.

Irina Nistor merupakan satu-satunya penerjemah kala itu. Bagi warga Rumania, suara Irina Nistor sangatlah khas. Publik mengamini, bahwa suara Irina Nistor selalu bergaung di kehidupan sehari-hari, nomer dua setelah suara Nicolae Ceausescu. Bahkan, saat itu mereka juga membayangkan, bagaimana bentuk, rupa ataupun rambut dari Irina Nistor. Ada yang mengira wajah Irina Nistor sangat cantik, tubuhnya seperti seorang model dsb. Mereka tidak peduli, apabila suara asli dalam film bertabrakan dengan suara Irina Nistor.



Hingga suatu saat, Teodor Zamfir memperkerjakan satu orang lelaki, yaitu Mircea Cojocaru pada tahun 1987. Mengingat tuntutan akan film Barat semakin tinggi kala itu. Publik kurang simpatik dengan suara laki-laki tadi. Bagi mereka, suara Irina Nistor tetap tak tergantikan. Begitu pula dengan Irina Nistor, ia merasa was-was ketika Zamfir mengangkat Mircea Cojocaru. Bagi Irina, pria tersebut adalah kompetitornya. Namun, siapa yang menyangka bahwa Mircea kelak akan menyelamatkan kerajaan kaset-kaset film yang diproduksi Zamfir. Selama membangun bisnisnya, Zamfir merupakan sosok yang kerap mencurigai para karyawannya. Ia selalu was-was, apabila salah satu dari pegawainya adalah polisi rahasia. Irina Nistor tak luput dari tuduhan tersebut. Kekhawatiran Zamfir tadi terbukti akhirnya. Kantor Zamfir digrebeg oleh polisi-polisi rahasia. Sepucuk pistol sudah berada tepat di depan kening Zamfir. Mircea Cojocaru lalu melontarkan sebuah kata-kata, sebuah “password”, entah apa bunyinya. Para polisi rahasia tadi lalu bergegas pergi meninggalkan kantor Teodor Zamfir. Iya, Mircea merupakan anggota polisi rahasia.



Pilihan reenactment untuk mengambarkan kondisi masa itu merupakan teknik pengambaran yang menarik. Karena apabila dalam waktu 70 menit hanya disuguhi scene wawancara serta penyampaian narasi, bisa dibayangkan, bagaimana bosannya orang yang menonton. Pilihan tadi mirip dengan dokumenter “The Thin Blue Line” (Errol Morris | 1988) yang menyisipkan scene berbau reka adegan. Gaya reenacment juga dipakai “The Missing Picture” besutan Rithy Panh. Bedanya, Rithy Panh menyampaikan kesaksian (peristiwa) sejarah yang ia alami dengan sosok boneka-boneka. Teknik reenacment memang sebuah siasat untuk mengakali sumber-sumber yang susah diperoleh atau tidak terdokumentasikan. Agar bisa “dibaca” dan “diterjemahkan” oleh publik yang menonton. Biarpun secara dramatisasi terkadang berlebihan.


Munculnya sosok Irina Nistor, Teodor Zamfir dan juga Mircea Cojocaru di penghujung film membuat saya berasumsi, ada sisi heroik yang ingin ditampilkan oleh Ilinca terhadap mereka. Bagi Zamfir, turunnya warga Rumania ke jalanan, menginginkan perubahan atas rezim komunis bermula dari film Barat yang mereka tonton. Melihat “luar” lewat film, mengubah cara pandang mereka. Film Chuck Norris vs Communism juga diakhiri dengan rekaman video yang menampilkan kejatuhan Ceausescu. Ketika ribuan rakyat Rumania menuntutnya untuk turun dari jabatan presiden. Akibat krisis ekonomi yang melanda serta kejengkelan warga Rumania melihat keluarga Nicolae Ceausescu yang gemar berfoya-foya.



Sangat disayangkan, tak ada korelasi antara film-film Barat yang dinikmati oleh masyarakat Rumania lalu berimplikasi terhadap jatuhnya dinasti keluarga Ceausescu. Dari sisi pilihan judul pun terkesan sangat bombastis dan heroik. Tapi tak mewakili isi dari film sendiri. Terutama kata “Chuck Norris” sendiri yang secara persinggungan dengan pengalaman narasumber sangatlah minim. Begitu pula dengan hadirnya tiga tokoh utama (Irina Nistor, Zamfir dan Mircea) pada detik-detik akhir. Ilinca mungkin ingin menampilkan sisi kejutan, ibarat pepatah Jawa, “lakon  ki menang keri”. Tapi sayangnya, pilihan tersebut menjadi tidak “berbunyi”. Kemunculan mereka di menit-menit akhir sudah “kalah” dengan metode reenactment yang bagi saya pribadi dikemas dengan apik.

Secara penempatan memang menganggu, namun dari sisi kesaksian, pernyataan yang dilontarkan oleh Zamfir, Irina maupun Mircea cukup membuat saya terhenyak. Irina Nistor misalnya, ia mengaku sudah menerjemahkan sekitar 3000 film. Sembari membuka catatan dari buku kecilnya, ia menuturkan apa saja film yang sudah ia dubbing. Jari-jarinya membuka lembaran kertas dan menunjuk tulisan di buku kecil tersebut. Raut mukanya terlihat bahagia dan bangga ketika melontarkan The Godfather, The Man with Deadly Lens, Cotton Club, Kungfu 2, The Shining, Jaws 2, Death Cruise, Ninja hingga Rough Cut. Di lain pihak, Teodor Zamfir mengungkapkan, rezim Ceausescu saat itu seolah-olah “menutup mata” akan adanya fenomena VHS. Kaset-kaset film yang bertebaran dan menjadi konsumsi publik secara masif akibat teknologi VHS. Zamfir meyakini, saat itu Ceausescu tidak mengontrol fenomena VHS, karena video tape dsb bukan hal yang signifikan. Ceausescu memang luput, para pengikutnya mengonsumsi film Hollywood tanpa sepengetahuannya. Terutama para petinggi polisi rahasia Rumania yang secara diam-diam kerap meminta film-film Hollywood. Zamfir memberinya dengan cuma-cuma, berkedok sebagai pelicin usaha bisnis tentunya. Menonton film-film dari negara kapitalis sama saja sebuah pengkhianatan terhadap rezim komunis yang dikelola oleh Nicolae Ceausescu. “Pengingkaran” tersebut bahkan datang dari orang terdekat Ceausescu, yaitu putranya sendiri yang pernah meminta kaset-kaset film Hollywood kepada Zamfir.



Teknologi VHS memang mengubah cara pandang warga Rumania. Mereka menganggap, film-film Amerika menjadi patokan gaya hidup ataupun fashion yang sedang trendi pada masa itu. Selain itu, anak-anak juga kerap meniru atau menduplikasi dirinya sebagai Chuck Norris, Van Damme ataupun Sylvester “Rambo” Stallone di lapangan bermain selepas menonton film dari Amerika. Salah seorang pria mengungkapkan kisah kecilnya akibat menyaksikan film Rambo. Setiap jam lima pagi, ia berkaca disebuah cermin, berdandan layaknya seorang Rambo. Lalu ia bergegas untuk lari pagi. Tak lupa satu buah telur ayam ia minum, agar kuat layaknya Rambo. Memori-memori sosial warga Rumania terekam dalam “Chuck Norris vs Communism”. Mayoritas film yang masuk ke Rumania pun rata-rata film “kelas dua”. Namun, serangan Hollywood tersebut pengaruhnya sangat signifikan terhadap cara pandang masyarakat Rumania selanjutnya. Landscape yang indah, jalanan lenggang yang dihiasi mobil kelas atas hingga rumah-rumah mewah yang terpampang jelas di dalam film produksi Hollywood. Imajinasi yang tersimpan dalam pikiran mereka saat itu, membayangkan sebuah negara Rumania layaknya negeri Paman Sam. Film menjadi patokan, maklum hanya ada dua channel TV pemerintah. Itupun mengudara dua jam per hari dan hanya berisi agenda propaganda rezim Ceausescu, terutama perkembangan ekonomi Rumania. Seorang narasumber pun mengisahkan pernyataan tantenya sehabis menonton film Nero. Tantenya yang kala itu berumur 70 tahun berujar, “lihat, dia (Nero) seperti Ceausescu, membakar kota Roma, seperti Ceausescu yang menghancurkan gereja dan desa-desa..”

Sayang memang, dalam film “Chuck Norris vs Communism”, Ilinca Calugareanu hanya menunjukan pengakuan dari satu pihak saja, yaitu warga Rumania yang “kontra” terhadap kebijakan Nicolae Ceausescu. Bagaimana dengan pengalaman para polisi rahasia yang juga menikmati film-film Hollywood tersebut ? ataupun dari pihak keluarga Nicolae Ceausescu sendiri ?

Film “Chuck Norris vs Communism” sendiri juga akan mengingatkan kita, bernostalgia ketika film-film dari Amerika “kelas dua” menyerang Indonesia. Film-film laga atau action ala Van Damme, Steven Seagal, Chuck Norris tentu pernah menjejali acara sinema di TV-TV Indonesia bukan. Ataupun memunculkan ingatan kita terhadap pola menonton film di Indonesia. Diawali dengan bioskop, menonton film di rumah melalui betamax, VHS, berlanjut ke VCD lalu DVD. Hingga maraknya budaya meminjam film di rental-rental lalu bertahap lagi pada “generasi internet”, yaitu streaming ataupun mendownload film dan mengadakan nobar film di kost bersama teman-teman kampus. Mau tidak mau, kita harus mengakui, persentuhan terhadap film diawali “Amerikanisasi” yang secara masif masuk lewat budaya populer.