"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Rabu, 22 Oktober 2014

Ago : Roma, Pistol dan Penalti


"He was a captain with a capital C" (Franco Tancredi, eks kiper AS Roma)

26 Juni 1984, Agostino Di Bartolomei menjalani partai terakhirnya bersama AS Roma. Kala itu Roma menghadapi Verona pada leg kedua final Coppa Italia. Bukan akhir yang indah sebenarnya bagi kubu Roma, biarpun tropi Coppa Italia berhasil mereka persembahkan. Il Lupi memang gagal mempertahankan Scudetto dan harus kalah lewat adu penalti di final Liga Champions, kontra Liverpool. Namun, di tahun tersebut mereka harus kehilangan dua simbol, yaitu sang kapten, Agostino Di Bartolomei dan Nils Liedholm, pelatih Roma. Sebab, Ago dan Liedholm melabuh ke San Siro pada musim berikutnya.

“Roma have taken you away, but not your curva”,
“Agostino, ours is not a farewell... Bye, legend”,
“There is love in our hearts for Roma: Agostino, lift that cup for us”.

Sungguh beruntung, kiprah pemain yang akrab dipanggil Ago tersebut diabadikan lewat film dokumenter. 11 Metri, sebuah film dokumenter karya Francesco Del Grosso yang menceritakan biografi legenda AS Roma, Agostino Di Bartolomei. Kisah epik pemain yang memakai nomor punggung 10 tersebut dijabarkan dengan emosional. Del Grosso mewawancarai keluarga Di Bartolomei, rekan-rekan satu tim, pengurus klub, sahabat serta beberapa pundit sepakbola Italia. 11 Metri juga menampilkan beberapa footage berbau Ago yang sebelumnya tidak pernah dilihat.

Kata 11 Metri sendiri berhubungan erat dengan momen buruk yang dialami Ago, yaitu penalti. Peristiwa yang dimaksud jelas merujuk pada kekalahan Roma di tangan Liverpool lewat adu penalti. Tidak heran apabila di dalam film 11 Metri kental dengan unsur penalti. Contohnya, di awal film, kita akan disuguhi sebuah lapangan lalu kamera menyorot titik putih. Lalu di akhir film, ada seorang anak kecil memakai jersey Roma 80an. Ia berdiri sendirian di kotak penalti tanpa menunjukkan senyum sama sekali. Bola yang berada dihadapannya ia tendang ke arah gawang. Anak kecil tadi lalu membalikkan badan, nomor 10 melekat dibajunya.



11 Metri menyajikan kisah Agostino Di Bartolomei ketika masih kecil lalu menuju masa kejayaannya sebagai pemain hingga saat-saat depresi sehabis gantung sepatu. Tidak hanya menampilkan wawancara dengan orang terdekat, potongan foto-foto, video atau dokumen mengenai Ago. Del Grosso juga menyuguhkan beberapa tempat yang berkaitan dengan karir sepakbola Di Bartolomei, sebagai latar penggambilan gambar. Sebelum 11 Metri rilis, sebenarnya ada satu film Italia yang menginterpretasikan sosok Di Bartolomei. Yaitu, L’uomo in piu (One Man Up) karya sutradara ciamik, Paolo Sorrentino, dibuat pada tahun 2001.


Agostino lahir di pinggiran Roma pada 8 April 1955. Semenjak memperkuat Roma, namanya menjadi representasi dan simbol klub. Terutama setelah jabatan kapten ia sandang. Maklum, Ago lahir di kawasan kelas menengah yang notabene menjadi basis para Romanista. Di kubu Roma sendiri, Di Bartolomei menjadi penyambung lidah rekan – rekannya dengan presiden klub dan para suporter. Ago bukanlah sekedar kapten yang memimpin kompatriotnya di tengah lapangan. Ia juga menjadi sosok panutan di ruang ganti dan di luar lapangan.


Bersama AS Roma, Di Bartolomei meraih banyak gelar, terutama di era Nils “Barone” Liedholm. Pelatih yang mengenalkan strategi zonal marking di jagad sepakbola Italia tersebut menyulap posisi Di Bartolomei. Awalnya, Ago menempati posisi regista. Namun, ketika Roma merekrut Falcao, sang pelatih memutuskan untuk mengubah role sang kapten menjadi libero. Menurut pengakuan mantan pemain Roma, seperti Bruno Conti, Franco Tancredi atau Ubaldo Righeti, peranan Ago sangat sentral. Ago mempunyai keahlian yang menarik, terutama sentuhannya serta umpan panjangnya yang tepat dan mampu membuahkan gol.


Di tahun 1982/83, Di Bartolomei berhasil meraih Scudetto yang kedua bagi AS Roma. Satu momen yang sangat berharga bagi pendukung Giallorossi. Ditampilkan footage-footage kota Roma yang dibanjiri warna oranye dan merah marun. Tumpah ruah para fans Roma, mereka saling bersuka cita menyaksikan konser Antonello Venditti di Circo Massimo. Begitu pun Ago dengan istrinya, Marisa De Santis yang mengacuhkan rasa lelah mereka demi sebuah perayaan untuk La Magica Roma.


Satu hal yang membuat orang tercengang adalah kebiasaan Di Bartolomei yang kerap membawa pistol. Sudah bukan rahasia lagi apabila kapten Roma tersebut selalu membawa tas kecil. Di dalamya berisi revolver kaliber 38. Ago memang mempunyai ijin atas kepemilikan pistol tersebut. Sebab dirinya pernah dirampok disebuah restoran kota Roma. Entah karena terjangkit paranoid atau phobia, pistol Ago selalu terselip dibawah bantal setiap dirinya sedang terlelap.

Satu kisah yang menarik antara Ago dan pistolnya adalah ketika pemain Roma dihadang suporter Lazio. Saat itu skuad Roma menghadiri pertandingan antara timnas Italia U21 melawan Lazio. Mereka meninggalkan pertandingan sebelum selesai dan diluar sana ada 4000 fans Lazio. Beberapa suporter Lazio menghadang dan menghampiri para pemain, ada yang ditendang, dipukul dan ditampar. Menurut pengakuan Giorgio Rossi (eks staf AS Roma), Di Bartolomei sempat menodongkan pistol dihadapan suporter Lazio tersebut. Mereka lalu berhamburan, berlarian meninggalkan kerumunan.


Patut disayangkan memang, perpisahannya dengan Roma tidak berlangsung manis. Kegagalan Roma merengkuh Piala Champions menjadi peristiwa yang sulit dilupakan oleh Ago. Pada 30 Mei 1984, Stadion Olimpico penuh sesak. Mereka menantikan hari-hari bahagia dan tentunya mengharapkan klub kesayangannya merebut Piala Champions. Ekspektasi membumbung tinggi dipundak suporter Roma, imbasnya berakibat pada mental pemain Roma sendiri. Saat itu, skuad Roma tertinggal lebih dahulu atas Liverpool. Roma berhasil menyamakan kedudukan atas sundulan Roberto Pruzzo. Akhirnya, pertandingan harus dipungkasi dengan drama adu penalti dan Liverpool menjadi pemenangnya.


Del Grosso mewawancarai tiga pemain Roma yang turut serta di final Liga Champions, yaitu Pruzzo, Chierico dan Tancredi. Ketiga pemain tersebut mengunjungi kembali Stadion Olimpico dan menceritakan laga kontra Liverpool pada tahun 1984. Dibawah mistar gawang, Tancredi mengisahkan kronologis terjadinya gol pertama yang dicetak oleh Liverpool. Lalu Chierico juga mengungkapkan, saat itu Agostino enggan menjadi penendang pertama. Ia merasa lelah, kehabisan tenaga. Namun, Ago selalu menjadi yang pertama apabila penalti terjadi. Ditengah lapangan, Ago berdiskusi dengan beberapa rekan-rekannya. Akhirnya, Graziani menawarkan diri untuk menjadi penendang pertama.

Ketika drama penalti sudah dimulai, Graziani yang akrab dipanggil Ciccio tersebut sempat maju di kotak penalti. Namun tiba – tiba digantikan oleh Ago, sebab Liedholm berteriak menyuruh sang kapten supaya menjadi yang pertama. Maklum, karena penalti pertama Liverpool melayang diatas mistar. Dipilihnya Ago jelas karena faktor psikologis. Di Bartolomei mampu mengeksekusi penalti. Sayang, dua pemain Roma (Conti dan Graziani) gagal mencetak penalti. The Reds berpesta ditanah Italia.



Ago memang kecewa karena Roma tidak mampu mengangkat piala Champions. Sebuah impian yang sangat didambakan namun sirna dalam sekejap. Momen yang menyakitkan, seturut apa yang disampaikan oleh istrinya. Setelah itu Di Bartolomei harus meninggalkan tim dan kota yang sangat ia cintai. Di Bartolomei menyeberang ke AC Milan karena Liedholm menginginkannya. Lagipula, pelatih Roma yang baru saat itu, Sven Goran Eriksson menggangap bahwa Ago bukan pilihan pertama. Di Bartolomei terlalu lambat, tidak cocok dengan taktik yang mengutamakan pressing terhadap lawan. Saat itu ada banyak suporter Roma yang membujuk supaya Di Bartolomei tetap bertahan. Karena sejatinya pemain yang jarang tersenyum tersebut tidak ingin meninggalkan Il Lupi. Namun, gayung tidak bersambut, Dino Viola selaku presiden AS Roma saat itu memutuskan untuk menjual Ago.


Di Bartolomei mengawali karir senior di Roma pada tahun 1972. Debut pertamanya melawan jagoan Italia saat itu, Inter Milan di Stadion San Siro (Giuseppe Meazza). Pertandingan pertama melawan mantan klubnya juga berlangsung di San Siro, ironisnya Ago mencetak gol di laga tersebut. Selebrasi yang ia lakukan dihadapan suporter Milan jelas melukai hati fans AS Roma saat itu. Kontras dengan sambutan Bruno Conti yang memeluk mantan pelatihnya sebelum peluit dibunyikan. Tidak heran apabila suporter Roma mengolok-olok Ago ketika Milan bertandang ke Olimpico. Tensi semakin memanas ketika Di Bartolomei terlibat adu mulut dengan Graziani. Sampai pertandingan selesai, keributan semakin menjadi, Graziani masih murka dan mendatangi Di Bartolomei. Beruntung, perselisihan mereka berhasil diredakan.

Karir sepakbola Ago berakhir di Salerno. Ia bermain untuk Salernitana pada 1988-1990 dan sempat menjadi kapten di klub tersebut serta membawanya promosi ke Serie B pada tahun 1990. Suporter Salernitana berpesta merayakan keberhasilan klubnya promosi. Ketika itu, seorang wartawan bertanya kepada Ago, tentang keputusannya untuk gantung sepatu. Ago menjawab, “Iya, ini hari terakhirku sebagai pemain sepakbola”.  Wartawan tersebut lalu bertanya, “Hari terakhir, apakah mengingat pertandingan pertamamu ?”, “Debut pertama ? 22 April 1973 di Milan, Stadion San Siro” jawab Ago.


Selepas pensiun, Di Bartolomei membuat akademi sepakbola di Salerno. Dirinya juga berkeinginan untuk membangun pusat olahraga. Namun terkendala banyak hal, salah satunya karena birokrasi di pemerintahan Italia. Ago memang disibukkan dengan mimpinya. Membangun sports centre dan menjadi pelatih sepakbola adalah project utamanya. Ia juga menulis sebuah buku mengenai taktik dan teknik sepakbola. Dengan harapan bisa dipakai oleh federasi sepakbola Italia, FIGC. Jelas tindakan tersebut merupakan sebuah pijakan untuk menuju tangga manajemen sepakbola. Sudah bukan rahasia lagi apabila Ago ingin menjadi pelatih Roma.



Satu hal yang menjadi misteri, kenapa Ago tidak direkrut oleh AS Roma. Apakah Roma sudah melupakan jasanya ? sebuah analisa menarik diungkapkan dalam film 11 Metri. Di Bartolomei sebenarnya kerap datang ke Olimpico untuk menonton Roma bermain. Bisa jadi itu sebuah kode, “lihat aku masih disini, apakah kalian lupa denganku?” Ago memang sosok yang pendiam, introvert, tidak blak-blakan. Hal tersebut juga disampaikan oleh Tancredi. Mereka berdua kerap bertemu dan membicarakan tentang Roma. Hanya saja, Tancredi tidak pernah memahami apa yang diinginkan oleh Ago. Disisi lain, Bruno Conti sendiri bertanya-tanya, kenapa Ago tidak dipekerjakan oleh Roma. Ia lalu menjelaskan, saat itu Ago memang kerap mengkritik Roma. Dirinya tidak setuju dengan kebijakan serta rencana yang dicanangkan oleh Roma. Bahkan Di Bartolomei sempat menyurati Franco Sensi, presiden Roma saat itu. Kemungkinan besar, surat tersebut tidak dipahami dengan jelas oleh sang presiden. Ia tidak paham, apa sebenarnya keinginan mantan pemain Roma tersebut. Ago memang sosok yang abstrak.


30 Mei 1994, Ago menembak dirinya dengan pistol 38 Smith & Wesson. Iya, 30 Mei, tanggal yang sama dengan kekalahan Roma di final Liga Champions. Ago mungkin ingin “merayakan” 10 tahun peristiwa tersebut dengan kematiannya. Sampai sekarang alasan Ago menghabisi nyawanya sendiri juga masih menjadi misteri. Padahal, malam sebelum Ago tewas, dirinya masih sempat bercanda dengan saudara dan teman-temannya. Bahkan membuat masakan untuk mereka. Ada yang menyatakan bahwa kondisi keuangan Ago memang carut marut. Namun, hal tersebut dibantah oleh istrinya, sebab keluarga mereka masih bisa bertahan dengan keuangan yang minim. Begitupun dengan catatan terakhir yang ditulis oleh Ago sebelum ia menjemput ajalnya. Surat tersebut sama sekali tidak menyatakan bahwa keluarganya ada masalah besar. Kematian Ago di tanggal 30 Mei 1994 bukan sebuah ketidaksengajaan. Sebab, di dalam dompetnya terselip dua buah foto. Pertama, foto seorang fans Roma yang sedang berdiri serta gambar Padre Pio.

Satu hal yang membuat saya tersentuh adalah detik-detik terakhir di film tersebut. Ketika kamera menyorot ruangan dibawah stadion. Seolah – olah mengikuti beberapa pemain yang sedang bersiap-siap menuju lapangan. Mereka menaiki tangga dan siap disambut gemuruh sorak sorai fans yang hadir. Dibalik gambar, muncul suara yang berasal dari mikrophone stadion. Satu persatu pemain Roma dipanggil dan para suporter membalasnya dengan sahutan. “Tancredi, hoooiii...!”, “Nappi, hoooiii...!”, “Vierchowod, hoooiii...!”, “Righeti, hoooiii...!”, “Falcao, hoooiii...!”, “Nela, hoooiii...!”, “Valigi, hoooiii...!”, “Ancelotti, hoooiii...!”, “Pruzzo, woooiii ! hoooiii...!”, “Conti, hoooiii...!”, “Di Bartolomei, hooooooiiiiii...!”


Nama Agostino Di Bartolomei memang tidak sepopuler pemain – pemain era 80an macam Maradona, Platini atau Ian Rush. Apabila ada seorang penonton yang awam soal sepakbola Italia ataupun AS Roma, wajar jika akan kebingungan menyaksikan film 11 Metri. Ada banyak narasumber yang ditampilkan oleh filmmaker dan kerap keluar masuk, keluar masuk. Hal tersebut tidak diimbangi dengan nama dan identitas tokoh yang sedang berbicara. Hanya muncul sekali, ketika narasumber muncul pertama kali. Tentunya penonton akan bertanya-tanya, aduh ini siapa ya ? dia profesinya apa ya ? hubungannya apa dengan Ago ? semacam itulah.

Menurut catatan saya, film 11 Metri setidaknya menyoroti tiga hal di dalam kehidupan Di Bartolomei. Yaitu, karir dan konflik di AS Roma, masa pensiun serta bunuh diri. Selama 88 menit, mayoritas cerita yang beredar hanyalah mengenai hubungan Ago dengan Roma. Kisah soal Ago yang mulai memasuki penghujung karir kurang diperhatikan. Mungkin karena faktor sumber. Begitu juga dengan usaha Di Bartolomei yang ingin membangun sport centre. Sangat minim sekali cerita yang bisa kita peroleh. Agaknya, fase-fase tersebut sengaja dipadatkan karena pada bagian selanjutnya adalah tangga dramatik yang paling tinggi dalam film 11 Metri. Menarik memang, karena diawal film, kita menyaksikan seorang Ago yang begitu dielu-elukan kharismanya. Namun, dipenghujung film, muncul kontradiksi. Menghabisi nyawanya sendiri adalah tindakan yang bodoh, Ago bagaikan seorang “badut”. Jangan salah, hal tersebut diakui sendiri oleh istri dan anaknya. Ya, dibalik diamnya seorang Ago, ternyata memendam sebuah mimpi dan obsesi yang tak pernah bisa dia wujudkan.


Patut diakui, bahwa 11 Metri memang melengkapi jagad dokumenter sepakbola. Biarpun alur ataupun struktur ceritanya masih kalang kabut dan membingungkan. Namun, aspek – aspek psikologis menjadi warna tersendiri di dalam film tersebut. Karena selama ini yang menjadi sorotan utama sebuah film dokumenter sepakbola hanya itu-itu saja. Entah itu partai klasik yang sengit dan menegangkan, kehebatan skill seorang pemain ataupun dokumenter mengenai suporter. 11 Metri agak berbeda dibandingkan dokumenter reportase macam The Real Football Factories, The Real Football Factories International ataupun Heysel 1985 Requiem For A CupFinal. Atau dokumenter yang lebih populer, seperti, Zidane: A 21st Century Portrait dan The Class of ’92. Pola – pola yang ditampilkan film 11 Metri mirip dengan The Two Escobar ataupun Maradona by Kusturica. Ada sisi emosional serta personal, selain euforia di lapangan sepakbola yang disuguhkan kedua film tersebut. Sama seperti dokumenter 11 Metri. Satu hal yang patut digarisbawahi, 11 Metri mengajari kita untuk menyelami lebih dalam arti sebuah "keluarga" di kehidupan sehari-hari.

“I don’t feel defeated, they can take away Roma from me, but they can’t take it’s fans” (Agostino Di Bartolomei)

11 Metri (The Penalty) | Francesco Del Grosso/88 menit/2011/Italia

Selasa, 07 Oktober 2014

Sebuah Pembelaan atas Kekalahan Terakhir

“We were here. We are here. We'll always be here. In victory or defeat, never slaves to the result”


Ketika Mattia Destro masuk menggantikan Totti, skor masih 2-2. Pada menit tersebut, kedua kubu masih berbagi hasil sesuai dengan nomor punggung yang dipakai Destro. Berikutnya Roma melakukan pergantin yang terakhir, Pjanic out, Paredes in. Nampaknya Roma ingin mengakhiri pertandingan dengan hasil imbang. Terlihat dari permainan mereka yang mengutamakan ball possesion dan sedikit melakukan penetrasi di lini pertahananan Juventus. Sayang, tendangan kelas Bonucci membuyarkan impian mereka. Skor 3-2 untuk Juventus, nomor punggung Leandro Paredes membawa tuah untuk La Vechia Signora.

“A cool head…this game really does hurt Italian football,” (Rudi Garcia)
Kalimat diatas mungkin tidak akan dikicaukan Rudi Garcia lewat akun twitternya, apabila pertandingan berjalan dengan adil. Iya, adil bung. Tapi, siapapun tidak dapat mengelak atas keputusan wasit di lapangan. Meskipun seorang Buffon, Pirlo ataupun Totti adalah seorang juara dunia, mereka tetap kalah telak atas kuasa seorang wasit.

Juventus kontra AS Roma merupakan satu dari sekian big match pada pekan kemarin. Di pulau Inggris, disuguhkan Chelsea vs Arsenal. Kota Madrid harus siap menampung para suporter dari tanah pemberontak, Athletic Bilbao. Di ujung sana, ada laga super panas, hujan pun tak mampu menyurutkan tensi Super Clasico kemarin. Lalu, adu taktik antara Vicenzo Montella melawan Mazzarri juga menghiasi kancah sepakbola di negeri Pizza.

Maaf Roma, hidupmu sudah dangdut..
Pertandingan di Juventus Stadium kemarin memang berlangsung atraktif dan panas. Masing – masing kubu terus berjuang demi meraih tiga poin. Roma yang tidak diperkuat beberapa punggawa utama mereka, terus-terusan digempur oleh pasukan berseragam hitam putih. Panasnya laga dimulai ketika tendangan bebas Pirlo mengenai tangan Maicon. Rocchi selaku wasit utama memutuskan untuk menghadiahi lagi sebuah tendangan bebas. Namun, pemain Juventus melakukan protes, mereka beranggapan bahwa posisi Maicon berada di kotak penalti. Ketika kericuhan berlangsung, Rocchi terlihat melakukan komunikasi dengan asisten wasit. Keputusan tiba – tiba diubah, Rocchi memberikan penalti untuk Juventus. Tevez selaku algojo berhasil mengeksekusinya dengan baik. Pertanyaannya, kenapa Rocchi mengubah keputusan pertamanya ? Siapa yang mempengaruhinya ? Jadi amatlah wajar apabila Roma sedikit menyangsikan ketegasan Rocchi saat itu, terutama Rudi Garcia.

Malam itu wasit meminta Rudi Garcia untuk meninggalkan lapangan. Persoalannya karena bahasa tubuh yang diperagakan mantan pelatih Lille tersebut. Garcia sempat menunjukkan gerakan sedang bermain violin. Alasannya tentu merujuk pada hadiah penalti yang diberikan Rocchi untuk skuad Allegri. Entah apa maksud Garcia dengan gaya tersebut, dirinya juga tidak menjawab ketika konferensi pers. Sampai detik ini, hanya dia sendiri yang tahu. Biarpun beberapa analisa mengenai “imajinasi permainan violin ala Garcia” sempat muncul. Sayang memang, “permainan violin” Rudi Garcia yang “sedih”, tidak seperti racikan komposer kondang Italia, Ennio Morricone. Kontras dengan keceriaannya ketika memetik gitar dan bersenandung “Porompopero”.

Drama terus ditunjukkan pada pertandingan tersebut, kali ini Francesco Totti aktornya. Lagi – lagi berawal dari sebuah tendangan bebas. Tendangan Pjanic memang tidak menembus gawang, namun sang Pangeran Roma dilanggar oleh Lichsteiner dari belakang. Kartu kuning untuk Lichsteiner dan penalti untuk Roma. Beruntung, Totti mampu membobol gawang Buffon setelah sekian lama gawangnya bersih dikancah domestik. Sayang, Il Principe harus menerima kartu kuning, ia sempat melakukan selebrasi di hadapan fans Juve. Entah kenapa wasit memberikan kartu untuknya, mungkin karena selebrasinya terlalu berlebihan.

Kedua kubu terus berusaha mencari peluang untuk menghasilkan gol. Terlalu banyak ruang di lini belakang Roma dan mereka kerap kecolongan. Pogba seringkali lepas dari penjagaan dan memberikan umpan silang yang berbahaya. Pada menit ke 44, Roma berhasil mengungguli Juventus. Pergerakan Gervinho yang gesit lalu memberikan umpan kepada Iturbe. Pemain asal Argentina tersebut berhasil lepas dari jebakan offside, bola disambut dan diceploskan lewat kaki kirinya. Tidak lama selepas gol kedua terjadi, Roma melakukan serangan balik. Gervinho menyisir sisi kiri lapangan dan berhasil mengecoh Caceres. Sayang, tendangannya masih melebar.

Bencana kembali menimpa Manolas dkk. Pogba yang lepas dari penjagaan berhasil menerima bola. Pjanic melakukan tackling tepat di luar area penalti. Keputusan kontroversial kembali keluar, penalti untuk Juventus di menit 46. Padahal tambahan waktu yang diberikan hanyalah satu menit. Seydou Keita terlihat tidak percaya atas keputusan Rocchi. Pemain Roma tidak terima, mereka menghampiri tukang adil dan mempertanyakan keputusan tersebut. Sekali lagi, wasit lah yang berkuasa di lapangan hijau. Penalti untuk Juventus tetap ditiupkan dan Tevez kembali mencetak gol keduanya.

Setelah turun minum, permainan berlangsung lambat. Permainan yang keras dibabak pertama terlihat menguras stamina mereka. Beberapa peluang tercipta, Pogba hampir saja mendapatkan kesempatan. Namun bola berhasil disambar Skorupski. Begitu juga dengan Pjanic, umpan dari Gervinho tidak berhasil dimanfaatkan. Memasuki menit – menit akhir, Roma menumpuk pemainnya di tengah untuk menjaga skor. Juventus tetap menunjukkan sisi agresif mereka. Hasilnya tendangan ciamik Bonucci dari luar kotak penalti mengubah segalanya. Biarpun proses terjadinya gol tersebut mengandung unsur offside. Dimana posisi Arturo Vidal terlihat sejajar dan menghalangi pandangan kiper.

Rasa frustrasi berada dipundak pemain – pemain Roma. Mereka kembali bermain agresif dan menyerang. Puncaknya, Manolas terlibat perseteruan dengan Alvaro Morata. Manolas terpancing emosinya karena tekel Morata yang berbahaya. Kedua pemain terlibat adu mulut dan saling dorong sebelum dipisah oleh Allegri. Beberapa pemain Juve dan Roma menghampiri mereka untuk meredakan tensi. Akhirnya kartu merah dilayangkan untuk Manolas dan Morata. Nampak mengulang kejadian di tahun 2001, ketika Asuncao bersama Tachinardi diusir dari lapangan hijau pada menit-menit akhir.


Secara keseluruhan, Juventus memang menunjukkan agresivitasnya dihadapan Maicon dkk. Total 20 tembakan mereka lakukan, 5 diantaranya tepat sasaran. Namun apabila dilihat dari segi permainan, kedua kubu menunjukkan sisi atraktif dari taktik yang mereka terapkan. Chiellini tampak terlihat kesulitan mencegah serangan Roma, terutama ketika Gervinho menguasai bola. Begitu pula dengan kecerdikan Tevez mencari posisi yang nyaman dan melakukan tembakan. Sebuah pelajaran bagi Skorupski dan Mapou Yanga-Mbiwa yang malam itu bermain tidak tenang, kurang fokus dan kerap tidak terkoneksi dengan rekan-rekan yang lain. Permainan yang menyenangkan dan menyebalkan tentunya. Bagaikan mendengarkan musik dangdut. Iya, dikala hati sedang dirundung duka, kita tetap berjoged, tersenyum dan bergembira.

Karena Wasit Memang Hitam dan Putih
Kenapa Gianluca Rocchi yang disalahkan ? lagi-lagi wasit yang menjadi kambing hitam. Wasit kerap luput layaknya manusia biasa. Segala yang ada di dunia terkadang hitam, kadangkala putih. Begitu juga dengan sosok yang bernama wasit. Presiden FIGC, Carlo Tavecchio agaknya ingin meredakan tensi. Ia berujar, bahwa setiap wasit pasti mempunyai kesalahan dan kita harus memakluminya. Seusai pertandingan, Rudi Garcia memang menyayangkan beberapa kebijakan yang dikeluarkan Rocchi. Biarpun, ia juga menyatakan bahwa Roma tidak mampu menyelesaikan kesempatan yang sudah berada di depan mata. Merujuk pada peluang yang diperoleh Gervinho dan Pjanic.

Jadi, begini kawan – kawan. Ketika Roma unggul 2-1, babak pertama hampir berakhir. Detik jam sudah menunjukkan 46 menit lebih sedikit dan wasit menunjuk titik putih. Pertanyaannya, kenapa Rocchi tidak menyemprit peluit sebelum “pelanggaran” oleh Pjanic terjadi ? apa karena posisi Juventus sedang menyerang, bukan dalam kondisi bola mati ? Kalaupun memang pelanggaran, kenapa bukan tendangan bebas ? Maaf kalau sedikit berkonspirasi. Tapi ini masalah mental ketika bermain. Secara mental, pemain – pemain Roma sudah jatuh terlebih dahulu ketika wasit menyulap tendangan bebas menjadi penalti. Selanjutnya, Rocchi mengeluarkan Rudi Garcia. Semuanya memang hak sang pengadil lapangan kala itu.  Mental Roma sempat naik ketika mereka berhasil unggul 1-2 atas La Vechia Signora. Tapi gairah mereka kembali anjlok disaat seharusnya peluit berbunyi dan bola tetap bermain lalu muncul penalti. Keputusan tersebut setidaknya membuat kubu Juventus masih mempunyai harapan dan tidak berada dalam posisi yang tertekan ketika turun minum. Apabila skor tetap 1-2, tentu Roma bisa bermain lebih tenang, fokus dan tidak merasa curiga.

Seharusnya Rocchi memberikan penalti ketika Marchisio dilanggar oleh Holebas di menit ke 10. Agak sedikit menduga-duga memang, apabila penalti tersebut diberikan, tensi permainan tidak akan panas. Sebab keputusan tersebut tidak kontroversial dan Rocchi terlihat sebagai sosok yang dipercaya. Jadi, siapa sutradaranya bung ?

Selain dua penalti, apakah proses terjadinya gol Bonucci juga patut diperdebatkan ? sebenarnya bisa apabila mengacu pada aturan FIFA, seperti yang pernah dijelaskan oleh Pandit Football. Saat itu posisi Arturo Vidal berada sejajar dan menghalangi Skorupski. Lihat gambar dibawah, sesuai dengan Laws of the Game no 11 FIFA, Vidal bisa dianggap mengganggu pandangan Skorupski terhadap bola yang akan bergulir. Biarpun Vidal tidak menyentuh bola tersebut, namun ia berkesempatan untuk menganggu lawan dan kemungkinan besar bisa memperoleh bola.


Tapi toh, pihak Roma juga diingatkan oleh Marotta selaku manajer utama kubu Juventus. Roma pernah mendapatkan peristiwa serupa ketika melawan Juventus di tahun 2010. Saat itu penalti diberikan kepada Roma karena handball Simone Pepe. Proses terjadinya penalti mirip dengan kasus handsballnya Maicon. Dirinya juga mengingatkan, bahwa Juventus sudah mendapatkan hukuman atas segala kontroversialnya. Dua scudetto yang hilang dan harus rela turun kasta. Pernyataan tersebut memang patut diamini. Jangan lupa juga, ketika Roma menjamu Juventus di tahun 2012. Peristiwa yang diingat tentu tendangan Totti yang menghujam keras ke gawang Buffon. Tapi perlu diingat, saat itu Juventus mendapatkan hak untuk melakukan tendangan sudut. Sampai – sampai Buffon maju ke depan untuk turut membantu. Ketika Juventus bersiap – siap melakukan corner kick, wasit malah meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan. Juventus jelas dirugikan saat itu dan pihak Roma tidak bisa mengelak tentunya.



Agak disayangkan memang, keharmonisan Roma dan Juve harus pudar. Mereka sempat saling bergandengan tangan ketika mendukung pencalonan Albertini. Mereka bersikeras menolak pencalonan Tavecchio menjadi presiden FIGC. Terutama setelah komentar rasis yang dilontarkan pria asal Ponte Lambro tersebut. Terlalu banyak perseteruan di pertemuan kemarin, amat emosional. Totti harus kembali menghadapi kenakalan Lichsteiner. Begitu juga dengan Holebas yang sempat adu mulut dengannya. Ditambah Radja Nainggolan yang mewarisi keberingasan Daniele De Rossi. Puncaknya, keributan yang melibatkan dua pemuda belia, Manolas dan Morata.

“kontrak wasit dengan juventus ini habisnya kapan.” (Pindho Adiyaksa / sarjana Antropologi, pecinta AS Roma)

“Jangan salahkan Wasit, nikmati saja partai seru ini 👏👏👏 Forza Roma” (Tio Nugroho / presenter bola sekaligus fans AS Roma)

Keep Calm Roma, Dont’ Panic..
Pertandingan memang usai, namun perang kata – kata masih terus terlontar dari kedua kubu. Begitu pun dengan media – media di Italia. “Rocchi Horror Picture Show”, “Rocchi was a disaster”, “a falsified league”. Ketiga kalimat tersebut termasuk beberapa headline di Italia sana. Seperti yang disampaikan pengamat sepakbola Italia, Maurizio Crosetti. Insiden – insiden yang terselip pada pertandingan kemarin akan terus dibahas selamanya. Baik di kantor, pabrik, sekolah, kereta, televisi, twitter dan koran. Dugaan tersebut memang terjadi, kontroversi adalah hal menarik untuk diulas, dikonsumsi atau dikomersilkan. Damiano Tommasi selaku ketua Asosiasi Pemain Italia dan mantan pemain Roma turut berkomentar.
“It was a game between 2 well balanced teams. It's a shame there's more talk about controversy than the game's excitement" (Damiano Tommasi)

Beberapa komentar terkait pertandingan antara Juventus dan Roma memang terkesan menyulut amarah. Tapi, adapula yang berkomentar netral. Berikut ini beberapa komentaratau pendapat yang dilontarkan. Baik oleh media – media dan pengamat sepakbola yang berbasis di Roma.

Memang sedikit mengecewakan melihat komentar Totti dan Rudi Garcia selepas pertandingan. Kritik mereka terhadap Juventus begitu terang – terangan dan tidak terkontrol. Kemarahan jelas menyelimuti tubuh mereka. Seharusnya mereka sudah bisa berpikir dewasa tanpa mengeluarkan kritik yang teramat panas. Tandanya, Juventus sudah menang dua kali. Pertama, kemenangan di lapangan hijau dengan skor 3-2. Kedua, keberhasilan mereka membuat kubu AS Roma panik dan naik pitam.

Sikap diplomatis ditunjukkan oleh Buffon dan Maicon. Kapten timnas Italia tersebut menolak untuk berkomentar terkait keputusan Rocchi. Buffon sendiri merasa bahwa pertandingan kemarin berlangsung menarik. Juventus dan Roma satu level, tidak ada jarak diantara mereka. Maicon memang memberikan kritik terhadap Rocchi berhubungan dengan penalti Juventus yang pertama. Namun, ia juga menyatakan bahwa Juventus tetaplah kandidat favorit Scudetto.

Tidak ketinggalan pendapat Walter Sabatini yang menganggap bahwa ketiga golJuventus tidak valid. Biarpun ia memuji memuji tendangan ajaib Bonucci. Sabatini sendiri tidak menyesali kekalahan Roma, ia senang dengan penampilan Keita dkk malam itu. Berbeda dengan Pavel Nedved yang mengecam komentarTotti. Mantan pemain Lazio itu mengutarakan, bahwa Totti tidak mengerti apa-apa tentang Juventus.

Pertandingan yang disaksikan Pep Guardiola tersebut sudah dua hari berlalu. Jeda internasional telah tiba dan Roma akan rehat selama seminggu lebih. Kekalahan atas Juventus wajib dilupakan secepatnya. Masih banyak pertandingan yang akan dijalani. Musim ini, kesabaran menjadi ujian terbesar bahkan terberat bagi Roma.

Laga yang diakhiri dengan kemenangan di tangan La Vechia Signora kemarin, menunjukkan beberapa sisi positif. Setidaknya pemain – pemain Roma terlihat semakin erat. Punggawa Giallorossi yang absen karena cedera seperti Strootman, De Rossi dan Astori hadir di Juventus Stadium untuk mendukung rekan-rekan mereka. Sebuah suntikan motivasi ditunjukkan atas kehadiran ketiga pemain tersebut. Reaksi De Rossi bahkan sempat tertangkap kamera. Lalu muncul kabar Strootman mengungkapkan kemarahannya dihadapan fans Juventus. Rumornya, dikarenakan fans Juventus menghina Ljajic karena beragama Islam. Berita tersebut memang simpang siur, mengingat salah satu pemain Juventus juga menganut Islam, yaitu Paul Pogba.

Percikan – percikan emosi mesti dihapus. Pada tanggal 18 Oktober, Roma akan menghadapi Chievo Verona dan wajib menunjukkan tajinya. Jangan sampai kekalahan di pekan kemarin menghancurkan mental juara yang sedang dibangun.
La Tua Forza, La Nostra Fede. Forza Roma !

   
"It's hard to make predictions for Juventus-Roma, I hope it's a good game. The title? I think Roma will win it” (Carlo Ancelotti)


"I ask everyone to believe in the scudetto even more. Referees and other considerations apart, what matters is the football - Roma, nine months on from that game on January 5, have improved immeasurably and they are having difficulties" (Tonino Cagnucci)

Tambahan, artikel terkait yang mesti disimak :
Blogistuta – Juve 3-2 Roma
Football Italia – Roma are none the wiser

Minggu, 05 Oktober 2014

Rivalitas itu Terbit Kembali


Romantisme Rivalitas Juve dan Roma
Pada pekan ini, beberapa mantan punggawa AS Roma dan Juventus mengeluarkan statementnya terkait kans Scudetto dan rivalitas Juve – Roma di musim ini. Kedua klub tersebut akan bertemu nanti malam di Juventus Stadium. Mirko Vucinic bersikap netral, namun ia berpendapat bahwa Juve adalah John Cena, sedang Roma adalah Batista. Lalu Zbigniew Boniek, ia berujar bahwa persaingan Juventus – Roma mengingatkannya pada era 80an. Dimana Boniek sempat membela kedua klub tersebut dan merasakan aroma persaingan yang begitu pekat. Don Carlito, mantan kapten Roma yang paling sukses juga memberikan pendapat, ia memprediksi bahwa Roma akan juara di musim ini. Di sisi lain, Antonio Cabrini berujar bahwa Juventus akan meraih tiga poin.

Buffon merasa senang dengan persaingan di musim kemarin. Serie A kembali kompetitif, tidak lagi didominasi oleh penguasa tunggal. Pernyataan paling seru jelas muncul dari Lichsteiner. Ia berujar, Roma bagaikan seorang lelaki yang menghembuskan nafas dileher sang Nyonya Tua. Il Capitano tak ketinggalan untuk membuka mulut. Pada bulan Januari 2014, ia berpendapat bahwa Juventus selalu dibantu “pihak” lain. Nampak mengulang kembali pernyataan Totti di tahun 2005. Kala itu dirinya mendapat hukuman dari FIGC karena menyatakan, ketika melawan Juve, berarti kita harus berhadapan dengan 14 orang. Sebelas pemain, dua penjaga garis dan satu wasit. Begitupun dengan Morgan De Sanctics, Juventus menjadi kuat karena “Italian system”. Karena itulah ketika dilapangan, secara psikologis Juventus amatlah diuntungkan.

Era 80an, persaingan sengit antara Juve dan Roma memang tercipta pada dekade tersebut. Juventus dihuni berbagai macam pemain bintang Italia macam Dino Zoff, Cabrini, Gentille, Sciera atau Paolo Rossi. Lalu bintang Prancis yang sekarang menjadi presiden UEFA juga pernah menghuni skuad Juventus, Michel Platini. AS Roma kala itu tidak kalah hebat sebenarnya. Namun komposisi skuadnya bisa dikatakan kurang imbang. Setidaknya pemain sekaliber Bruno Conti, Falcao, Di Bartolomei, Pruzzo, Ancelotti pernah hinggap di kubu Il Lupi. Masing – masing klub juga diasuh pelatih yang ciamik. Trapattoni berada di Turin, Nils Liedholm mendiami kota Roma.

Permusuhan Juventus dan Roma di era 80an tidak melulu di tengah lapangan. Ada cerita bahwa masing – masing presiden kerap lempar – lemparan pendapat di koran lokal Italia. Suatu ketika, Dino Viola pernah menerima surat dari Giampiero Boniperti, presiden Juventus, entah apa isinya. Kontroversi memang kerap melekat di tubuh Juventus. Di tahun 1983, mereka berhasil mengalahkan Roma pada menit – menit akhir. Konon posisi Platini lebih dahulu offside, ia lalu memberikan crossing dan disambar Sergi Brio, skor 2-1 untuk Juventus.

Sebelumnya di tahun 1981, menurut versi dari kubu Roma, kemenangan mereka telah dicuri. Saat itu Turone berhasil menceploskan bola ke gawang Dino Zoff, namun wasit menganulir gol tersebut. Peristiwa tersebut menjadi pembahasan utama di media – media Italia. Lucunya wasit pada pertandingan diatas adalah Paolo Bergamo, sosok yang pernah terlibat skandal calciopoli di tahun 2006. Persaingan kedua kubu juga menyulut Gianni Agnelli untuk angkat bicara. Ia berkelakar, “Roma sudah mempunyai Paus, Giulio Andreotti, dan matahari. Setidaknya, meninggalkan kita sebuah Scudetto..” Perseteruan yang melibatkan dua kubu diatas pernah diulas oleh James Horncastle dengan apik, silahkan simak disini.

Toh Roma sendiri juga tidak lepas dari skandal. Luciano Moggi yang dianggap sebagai aktor utama Calciopoli pernah bergabung dengan klub ibukota tersebut. Dia pernah mengatur sebuah pertandingan antara Roma kontra Dundee United. Hasilnya, Roma mampu lolos ke final Champions League di tahun 1983. Moggi oh Moggi. Dari Moggi mari kita menuju ke Zeman. Kisah Roma dan Juve kembali memanas ketika Il Lupi ditangani si tua Zdenek Zeman. Zeman sempat menuduh bahwa Del Piero dan Gianluca Vialli memakai doping. Pernyataan tersebut jelas membuat kuping panas para fans Juventus.


Dari Nakata ke John Arn Riise
Kemenangan terakhir Roma di kandang Juventus terjadi pada tahun 2011. Roma memang kalah superior dengan Juventus. Statistik mencatat bahwa Roma baru menang 40 kali atas Juventus dari 167 pertemuan. Nanti malam, Roma akan dijamu oleh Juventus. Apakah mereka mampu membawa pulang tiga poin ? Mari kita bernostalgia sebentar.

Bulan Mei tahun 2001, saat itu Juventus menjamu serigala ibukota, AS Roma di Stadion Delle Alpi. Babak kedua memang belum berakhir, namun Juventus sudah unggul 2-0 sejak menit-menit awal. Gawang Van Der Sar masih perawan bung. Er Pupone akhirnya ditarik oleh Fabio Capello, digantikan si sipit Nakata. Permainan terus berlanjut, dari luar kotak penalti, Nakata melakukan tembakan dan berbuah gol. Skor berubah menjadi 2-1. Permainan mulai memasuki menit-menit akhir, Roma terus melakukan penetrasi di area pertahanan Juventus. Tendangan Nakata berhasil dihalau pemain Juventus, kemelut terjadi di depan Van Der Sar. Bola yang terus berputar lalu disepak oleh Montella. Ia berlari kegirangan, terbang di Delle Alpi dan selebrasi di depan fans Roma yang jauh – jauh berkunjung ke Turin. Nampak, Capello tersenyum kegirangan, begitupun dengan pemain Roma yang lain. Pertandingan memang berakhir 2-2, namun hasilnya bukan hanya skor belaka. Intesitas pertandingan semakin memanas, Alesio Tachinardi dan Marcos Asuncao di hadiahi kartu merah karena terlibat adu mulut. Hasil tersebut amat bernilai bagi Roma, mereka mampu memotong jarak dengan Juventus. Enam minggu kemudian, Roma berpesta di Olimpico, kalau tidak percaya silahkan tanya ke kapten Juventus sekarang.

Sembilan tahun setelah itu, Roma kembali bertandang ke Turin. Juventus yang ditangani Ciro Ferarra sempat unggul 1-0 atas gol yang dicetak Del Piero. Serangan demi serangan terus dibangun, baik oleh Roma maupun Juventus. Rodrigo Taddei yang sedang mengolah bola tiba-tiba dilanggar di kotak penalti oleh pahlawan Italia, Fabio Grosso. Il Capitano berhasil membobol gawang Buffon dari titik putih. Bencana kembali menimpa Juventus, sang kapten diganjar kartu merah. Buffon yang kelabakan, maju ke depan dan memutuskan untuk menyapu bola sedang dikontrol John Arn Riise. Sayang, pelanggaran dilakukan oleh Buffon, kartu merah langsung. Totti sempat menyambut Buffon dan memeluknya, sebelum sang rekan keluar dari lapangan. Skor 1-1 masih bertahan hingga menit 90. Dari sisi kanan, Pizzarro memberikan umpan silang ke John Arn Risse. Bola tersebut lalu diterjang oleh Riise yang bergerak tanpa pengawalan. Sundulannya membuahkan hasil, Roma membawa pulang tiga poin.


Menimbang permainan Juventus dan Roma
Tren positif memang sedang diraih oleh masing-masing klub. Juventus dan Roma bertengger di papan atas dengan poin yang sama. Mereka belum pernah terkalahkan diajang domestik, bersama Sampdoria tentunya. Begitupun dengan Buffon yang belum pernah pernah kebobolan di Serie A. Di ajang Champions League kemarin, Juventus kalah dihadapan pendukung Atletico Madrid. Berbeda dengan Roma, setidaknya mereka berhasil membawa pulang satu poin. Petualangan mereka di tanah Inggris tidak sia – sia. Sang kapten pun dinobatkan menjadi pencetak gol tertua di ajang Champions League. Masing – masing hasil diatas tentu menjadi motivasi tersendiri bagi mereka.

Agaknya Juventus memang diuntungkan untuk pertandingan nanti malam. Kandang Juventus selalu angker. Lini pertahanan mereka juga sulit dibongkar. Roma sendiri dalam kondisi yang mengkhawatirkan sebenarnya. Beberapa pemain kunci absen karena cedera, De Rossi, Castan, Astori, De Sanctics, Boriello (mungkin bukan pemain kunci) ditambah cedera panjang yang mendera Strootman dan Balzaretti. Hal tersebut berakibat pada rotasi pemain yang tidak sempurna. Bayangkan, Keita, Pjanic, Nainggolan, Manolas dan Yanga Mbiwa hampir bermain 90 menit, setidaknya dalam tiga laga terakhir (Parma, Verona dan Manchester City). Tentu kebugaran menjadi masalah bagi kelima pemain tersebut. Selain itu, Skorupski juga belum teruji diajang Serie A. Beruntung pemuda Polandia tersebut, benteng pertahanan yang dimotori Manolas dan Yanga Mbiwa memang kokoh ketika melawan City. Tapi City bukan Juventus yang sudah familiar dengan permainan Roma. Biarpun, Juventus sendiri juga mempunyai masalah dengan kebugaran pemain mereka.

Strategi Antonio Conte memang dijiplak oleh suksesornya, Masimilliano Allegri. Memakai strategi 3-5-2, Juventus kerap memasang dua striker utama mereka, yaitu Llorente dan Tevez. Bisa ditebak bahwa lumbung gol berpusat kepada dua penyerang tersebut, terutama Carlos Tevez yang sudah mengoleksi tujuh gol sejauh ini. Dua striker mungkin bisa diimbangi dengan dua bek tengah ditambah Keita dan Nainggolan yang kerap memotong alur serangan. Hanya saja, dua pelapis bek tengah Roma memang kurang mumpuni. Michele Somma dan Arturo Calabresi masih terlalu hijau untuk bermain di pertandingan besar kontra Juventus. Namun, satu hal yang patut diwaspadai justru berasal dari wingback, terutama Lichtsteiner. Mantan pemain Lazio tersebut dikenal dengan kecepatannya serta staminanya yang kuat. Tentu hal tersebut menjadi ujian berat bagi Ashley Cole atau Holebas. Roma sendiri dikenal susah diprediksi alur serangannya. Mereka memang memakai tiga penyerang, namun bukan striker murni layaknya Llorente atau Tevez. Skema tersebut mungkin membingungkan rival – rivalnya. Namun, apabila lini pertahanan Juventus mampu mengimbangi kecepatan Gervinho atau Iturbe, kemungkinan besar tiga poin mampu mereka raih.

Satu lagi kelemahan Roma adalah ketidakmampuan mereka untuk bermain positif selama 90 menit. Di menit – menit akhir mereka kerap kali kelelahan dan dibombardir serangan bertubi – tubi. Pertandingan melawan Fiorentina, Verona, Parma dan City menjadi contohnya. Jadi, satu hal yang wajib dilakukan Roma adalah cetak gol secepatnya, supaya mereka tidak kecolongan di injury time. Ingat, kiper Roma bukanlah De Sanctis yang sering melakukan penyelamatan ajaib. Selain itu, Roma tidak punya pelapis bek tengah. Kabar buruk bagi Roma adalah isu bahwa Pirlo sudah fit dan bisa dimainkan. Apabila Pirlo bermain, kemungkinan besar ruang kreatifitas yang biasa dibangun Totti dan Pjanic akan tumpul. Medan serangan yang biasa dibangun dari lini tengah dengan mudah akan dipotong oleh Juventus.

Kisah antara Juventus dan Roma kerap putus nyambung. Iya, rivalitas mereka tidak pernah abadi. Tak seperti persaingan antara Juventus dengan Inter ataupun dengan Milan. Wajar, sebab merekalah penguasa titel Serie A sejauh ini. Juventus mungkin menjadi musuh semua klub di Italia. Iya, mungkin mereka iri atas mahkota – mahkota yang mampu diraih si Nyonya Tua. Fiorentina pun begitu benci dengan Juventus. Mereka beranggapan bahwa Juventus sudah berebut hak Scudetto La Viola di musim 1982. Begitu pula dengan kebencian Napoli atas Bianconeri, sampai – sampai mereka mengadakan “pemakaman” untuk Juventus dan Milan di bulan Mei 1987, ketika mereka mampu meraih Scudetto untuk pertama kalinya. Bersyukurlah, bahwa Juventus kembali menemukan pesaing lamanya. Genderang perang sudah mulai ditabuh, siapa yang akan tercabik malam ini ? Semoga sang Kaisar Roma mampu merayu si Kekasih Italia dan membuatnya takluk, bertekuk lutut dihadapannya.