"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Kamis, 09 September 2010

Sedikit tentang Denys Lombard

-Denys Lombard-
Di tahun 1996 terbit sebuah buku berjudul Nusa Jawa : Silang Budaya, buah tangan dari sejarawan Prancis, Denys Lombard. Judul asli buku tersebut adalah Le Carrefour Javanis, yang sebelumnya sudah terbit pada tahun 1990. dan di tahun yang sama ia memperoleh gelar Docteur d’Etat dari Universitas Sorbonne dengan disertasi mengenai sejarah Jawa. Memang kebanyakan dari sejarawan Prancis cenderung menulis sejarah mengenai daerah Indocina yang dulu merupakan tanah jajahan mereka. Tapi sebenarnya banyak juga sejarawan Prancis yang minat penelitiannya di Indonesia, salah satunya jelas Denys Lombard. Buku Nusa Jawa : Silang Budaya terbit dengan tiga jilid dan dalam tema yang berbeda. Jilid I, Batas-batas Pembaratan, jilid II, Jaringan Asia, jilid III, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Buku Nusa Jawa merupakan buku tentang sejarah total, sosial, dan mentalitas. Kita tahu jika Prancis merupakan pelopor sejarah total, dan itu diawali dari mazhab Annales yang dipelopori oleh March Bloch, Lucien Febvre dkk, lalu Fernand Braudel. Mazhab tersebut muncul dari EHESS. EHESS sendiri bisa dikatakan tandingan dari Sorbonne karena kajian mereka yang lebih modern. Pada saat itu Sorbonne masing terpaku pada model sejarah dari Leopold von Ranke, yang sebenarnya hanya berkisar pada sejarah yang naratif. Berbeda dengan para penganut Annales, tulisan mereka bukan sekedar narasi peristiwa namun sudah menuju sebuah analisis struktur sosial.


Denys Lombard merupakan murid George Coedes. Ia lahir pada tanggal 4 Februari 1938 di Marseille. Sejarawan orientalis ini sangat gemar dengan kajian Asia, terutama pada daerah Tionghoa, Melayu, dan Indonesia. Daerah tadi merupakan harta karun baginya, dimana proyek penelitian Lombard terpusat di situ. Disertasi darinya berjudul Kerajaan Aceh pada zaman Iskandar Muda, 1606-1637. Disertasi itu ia tulis saat kuliah di EHESS. Tahun 1966, ia ditugaskan oleh EFEO untuk membantu L.C Damais di Jakarta. Namun sayangnya L.C Damais keburu meninggal dunia. Setiba di Jakarta, penelitian dari L.C Damais diteruskan oleh Lombard. Bersama istrinya, Claudine Salmon mereka meneliti klenteng dan wihara yang ada di Jakarta. Hasil penelitian mereka berjudul Masyarakat Tionghoa di Jakarta: Wihara dan Kehidupan Sosial. Saat di Jakarta ia aktif mengunjungi Perpustakaan Nasional serta Arsip Nasional. Ia juga aktif mengunjugi tempat-tempat bersejarah yang ada di pesisir Jawa.


Tahun 1971 terbit sebuah majalah Archipel, majalah yang dipelopori oleh Lombard, Christian Pelras dan Pierre Labrouse. Majalah Archipel merupakan majalah yang pembahasannya mengenai Indonesia, Semenanjung Melayu, Filipina dan Malagasi. Tulisan Denys Lombard yang bertemakan sejarah mentalitas seperti, Taman-taman di Jawa (1969), Bajak Laut di Nusantara pada paro Pertama Abad 19 (1975), Maut di Nusantara (1982) dll. Lombard berpikir dalam tulisannya bukan mengenai sebuah peristiwa yang naratif namun lebih fokus terhadap tema-tema sosial, suatu ciri khas dari penganut Annales.


Tahun 1981, Lombard menerjemahkan novel milik Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Korupsi ke dalam bahasa Prancis. Denys Lombard ternyata tidak memusatkan perhatiannya kepada bidang sejarah atau arkeologi serta epigrafi, yang notabene ilmu bantu paling erat hubungannya dengan sejarah. Ia tetap memperhitungkan ilmu-ilmu lain seperti, sastra, teknik, arsitektur, etnologi, ekonomi dll. Guru besar EHEES ini mempunyai pengetahuan tentang sastra dan sejarah Eropa yang besar. Ia mampu menguasai berbagai bahasa serta mampu membaca bahasa asing dan bahasa kuno klasik. Pendekatan yang beliau pakai dalam pengetahuan tentang sastra bukan dengan pendekatan estetika, ia lebih memilih memakai metode sejarah. 

Denys Lombard merupakan pakar sejarah Asia, keahliannya tidak perlu diragukan lagi. Lombard sering mengadakan seminar/acara tentang Asia. Tahun 1973 diadakan Kongres Orientalis ke-29 di Universitas Sorbonne. Disitu Lombard mengadakan dua panel. Panel pertama mengenai Orang-orang Tionghoa di Perantauan. Kedua tentang Sastra Kontemporer di Asia Tenggara. Tahun 1989 bersama teman-temannya di Archipel dan peneliti EHESS diadakanlah seminar internasional tentang sastra kolonial di Asia. Khususmya sastra Inggris tentang India, sastra Prancis tentang Indocina dan sastra Belanda tentang Indonesia. Beberapa seminar yang telah ia lakukan menunjukkan bahwa pemikirannya terletak pada konsep penyebaran, jaringan, serta pertukaran. Denys Lombard tiada pada tanggal 8 januari 1998. Ia meninggalkan sebuah karya yang belum terselesaikan, yaitu karya mengenai keseluruhan kesatuan Asia Tenggara.


Orang Prancis Berburu Buaya di Indonesia

Menurut Fernand Braudel, sejarawan asal Prancis yang terkemuka, pada tahun 1629 merupakan masa sulit bagi raja-raja Prancis untuk mengadakan sebuah ekspansi maritim. Dan mungkin hal tersebut yang mendasari telatnya kedatangan bangsa Prancis ke Nusantara. Namun hal tersebut tidak mengurangi pengaruh Prancis di Nusantara. Denys Lombard dalam bukunya Nusantara : Sejarah Indonesia (hal 260), menyatakan jika teori para filsuf Prancis dikenal dengan baik di Batavia. Selain itu bahasa Prancis juga dipakai dalam khotbah-khotbah di gereja sampai tahun1721. Hal tersebut memberi sedikit pencerahan bahwa Indonesia ada kaitannya dengan negara Prancis, karena selama ini kebanyakan bangsa Eropa yang berhubungan dengan kita adalah Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Padahal selain mereka masih banyak negara-negara di Eropa yang mempunyai hubungan dalam hal perdagangan tentunya, salah satunya adalah Prancis. Berikut ini merupakan sebuah cerita mengenai ekspedisi orang-orang Prancis berburu buaya di Pulau Timor pada sekitar abad ke-18. Cerita tersebut saya kutip dari buku Orang Indonesia dan Orang Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX, karya Bernard Dorléans pada Bab 21 dengan judul François Péron dan Nicolas Lesueur, Berburu Buaya di Timor (1803-1804).
Cerita ini berawal dari ekspedisi bangsa Prancis yang dipimpin oleh Kapten Nicolas Baudin dalam rangka penelitian ilmiah dan seni. François Péron dan Nicolas Lesueur ikut dalam ekspedisi tersebut. Pada tanggal 16 Mei 1803, Péron dan Lesueur menuju ke tempat kapten Melayu yang terletak di Babao, 30 km dari Kupang. Rombongan mereka terdiri atas lima penunggang kuda Melayu dan empat orang sebagai pemandu. Lesueur berpendapat jika buaya di Kupang tidak pernah diburu dan dibunuh, dan buaya di sana juga sangat besar dengan berat satu pon, panjangnya lima meter. Sehari sebelum perburuan dimulai, Péron, Lesueur beserta rombongannya dijamu makan siang oleh raja setempat. Kediaman sang raja sangat sederhana, semua yang makan duduknya bersila. Suasananya sangat menyenangkan, terutama dengan para gadis. Para warga juga membawa beraneka ragam serangga, ikan dan kadal untuk Péron dkk. Warga setempat juga memperingatkan risiko membunuh buaya.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke rawa-rawa tanpa dibantu penduduk asli karena tidak ada yang mau ikut. Mereka melewati jalan yang penuh rintangan, berjalan di jembatan yang terbuat dari batang kecil pohon kelapa dengan tinggi 3 meter di atas sungai. Kadang-kadang mereka bertemu jalan setapak dengan lebar lima 15 sentimeter dan menjorok ke tebing yang di bawahnya terdapat kubangan besar penuh dengan reptil. Pada saat itu Péron naik ke atas pohon, tanpa disengaja ia melihat seekor buaya di seberang tebing dan berjarak empat meter dari mereka. Buaya tersebut ternyata dalam kondisi tertidur, separuh dari tubuhnya terendam di sungai, tubuhnya yang bagian atas diterpa sinar matahari. Karena separuh badannya terpampang, Péron menembak buaya tersebut lalu mengenai tulang belakang buaya itu. Si buaya berusaha kembali ke air dan meliukkan badannya dengan guncangan besar. Lalu air di sungai mulai memerah dan perlahan-lahan buaya tersebut mati juga. Péron dan Lesueur memutuskan kembali ke desa dan berencana kembali lagi ke rawa-rawa pada pagi hari.
Sesampai di desa, mereka bercerita bahwa telah berhasil membunuh seekor buaya. Mereka meminta bantuan warga setempat untuk mengangkat buaya dari rawa-rawa. Pertamanya warga desa tidak mau, namun setelah diberi imbalan mereka mau membantu Péron dan Lesueur. Ada sekitar belasan orang yang ikut serta, dengan membawa tali besar yang terbuat dari serat pohon palem. Sesampai di tempat buaya tadi, warga desa lalu berdoa dan tidak ada satupun dari mereka yang mau masuk ke sungai untuk mengikat dan menarik buaya tersebut. Lesueur memutuskan turun ke sungai dan mengikat leher buaya. Masyarakat setempat membantu mereka menarik tali dari jarak lima belasan meter, namun jarak mereka sangat jauh dan membuat buaya tidak bisa bergerak sedikitpun keluar dari air. Akhirnya Péron dan Lesueur dengan setengah hati membedah tubuh buaya di dalam air, lalu dikuliti dan dipotong kaki serta ekornya. Penduduk setempat terlihat ketakutan dengan buaya tadi, masalah muncul lagi pada saat Péron dan Lesueur meminta tolong agar mau membawakan potongan-potongan buaya. Mereka tetap saja menghindar dan ketakutan. Péron dan Lesueur menemukan solusi dengan memotong dua batang bambu sepanjang enam meter di tengahnya diikat kerangka buaya. Penduduk setempat membawa kerangka buaya itu dengan hati-hati dan diletakkan di atas bahu mereka. Mereka merasa jijik membawanya. Sampai di desa raja sudah menunggu kedatangan mereka. Ia menyuruh agar buaya tadi diletakkan di bawah pohon yang jauh dari rumahnya. Lalu raja mengadakan sutau upacara untuk Péron dan Lesueur, dimana mereka harus telanjang dan berdiri di sebuah lubang pohon. Warga desa mengelilingi Péron dan Lesueur, lalu datang dua orang budak yang membawa air dari keranjang daun palem. Mereka menyiramkan air ke kepala Péron dan Lesueur kurang lebih dua puluh kali.
Selanjutnya Péron dan Lesueur memutuskan untuk kembali ke asalnya. Dalam perjalanan mereka pulang, potongan – potongan buaya tadi diletakkan dan diikat diatas punggung kuda, dengan ditarik tali yang panjangnya dua puluhan meter. Penduduk – penduduk yang daerahnya dilewati merasa ketakutan melihat apa yang dibawa oleh Peron dkk. Mereka bersembunyi di balik semak dengan maksud melindungi diri. Namun kulit buaya yang mereka bawa sudah mulai membusuk dan tidak bisa di bawa ke Prancis. Kerangka buaya milik Péron dan Lesueur tadi merupakan benda berharga di Prancis, karena setiba di Prancis kerangka buaya diteliti dengan seksama oleh para ilmuwan – ilmuwan Prancis.