"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Senin, 22 September 2014

S-21: The Khmer Rouge Killing Machine : Menyelami Kepedihan, Penghancuran dan Kebimbangan Para Korban


“There are no more ideals, no more human conscience. We distinguish man from animals. Men are different from animals, they're two distinct things, man and animal. If men turn human beings into animals, or worse than animals, then.. that's not right. It's not right. If you think about the world "destruction", it's more than cruel. In the word "kill", there still seems to be a moral aspect. In "destruction", there's nothing human left. We become dust, just particles blowing in the wind. Annihilation, nothing. In "kill" there was still.. we still had a certain value. "Destruction" is the end. Even for animals you don't speak of destroying, but of killing. We become dust in the wind. There's no humanity left. I think that "destruction" refers to flesh, to the body, but not to the soul”

(Van Nath)



Beberapa pekan yang lalu, seorang teman yaitu mbak Heni, menawari saya untuk menonton S-21: The Khmer Rouge Killing Machine. Film tersebut disutradari oleh Rithy Panh dan selesai pada tahun 2003. S-21: The Khmer Rouge Killing Machine menceritakan tentang kekejaman rezim Khmer Merah di Kamboja, dibawah pimpinan Pol Pot. Rithy Panh sendiri dikenal kerap membuat film dengan latar belakang Khmer Merah. Baru – baru ini dirinya menyelesaikan The Missing Picture (2013) dan masuk nominasi di ajang Academy Awards. 

Di Bawah Kendali Khmer Merah 
Saat Khmer Merah berkuasa di Kamboja pada kurun 1975 – 1979, kelompok yang kontra revolusi dihabisi oleh pemerintahan Pol Pot. Seperti yang disampaikan Benedict Anderson, ada tiga pihak yang turut terlibat, yaitu loyalis Sihanouk, kelompok Lon Nol yang militeristik serta rezim Pol Pot yang memakai tameng komunis. Lon Nol sendiri menggulingkan Pangeran Sihanouk di tahun 1970 dengan suntikan dana dari Amerika Serikat. Perang saudara lalu meledak di Kamboja dan dimenangkan oleh Pol Pot di tahun 1975. Tepatnya di tanggal 17 April 1975, ketika pasukan Khmer Merah berhasil menguasai Pnom Penh. Ada kabar bahwa Sihanouk menyerahkan mandat kepemimpinannya kepada Pol Pot. Kaum loyalis Sihanouk pun turut mendukung pemerintahan Pol Pot. Akhirnya didirikanlah pemerintahan Democratic Kampuchea (DK) dan Pol Pot menjabat sebagai perdana menteri.

Rezim Pol Pot memang menghendaki adanya masyarakat tanpa kelas yang disokong oleh kaum – kaum petani. Tidak heran apabila ada kebijakan relokasi penduduk kota ke desa – desa dan dipekerjakan sebagai petani. Segala sesuatu yang berbau asing juga dibinasakan. Imbasnya merembet kepada kaum intelektual yang notabene fasih berbahasa asing. Mereka yang berprofesi semacam guru, dosen, dokter atau tenaga ahli ditangkapi, disiksa bahkan dibunuh oleh pemerintah Angkar (sebutan lain pemerintahan Khmer Merah). Parahnya, penduduk yang berkacamata pun ikut ditangkap dengan alasan mewakili ciri khas kaum intelektual atau kelompok profesional. Selain itu, agama juga dilarang dan sekolah – sekolah ditutup, adapula yang dihancurkan. Di desa – desa, didirikan kamp – kamp untuk dihuni para penduduk yang dipaksa untuk bertani. Nah, gambaran tersebut dapat kita tonton dalam film The Killing Fields

Ijinkan saya untuk melebarkan pembicaraan terlebih dahulu. Film The Killing Fields merupakan adaptasi atas pengalaman pribadi dua orang jurnalis, yaitu Dith Pran dan Sydney Schanberg. Dith Pran sendiri sempat merasakan sadisnya rezim Pol Pot. Ia dikirim ke desa untuk dipekerjakan sebagai petani. Karena itulah Sydney Schanberg harus berpisah dengan Dith Pran dan kembali ke Amerika. Film tersebut disutradarai oleh Roland Joffe dan berhasil menyabet tiga nominasi di ajang Academy Awards. Uniknya, Haing S Nagor, aktor yang memerankan Dith Pran juga pernah menjadi pekerja paksa dan berhasil menyelamatkan diri. Sebelum menonton S-21: The Khmer Rouge Killing Machine, alangkah baiknya menyimak film The Killing Fields sebagai acuan historis (latar belakang). Bagi saya, The Killing Fields amatlah menyentuh. Diiringi lagu “Imagine” nya John Lennon, sayapun sempat menitikkan air mata di ending film tersebut, huhuhuhu.

Baiklah, mari kembali membicarakan Pol Pot dan rezimnya. Jadi, selain mendirikan kamp – kamp di desa, banyak didirikan pula penjara untuk menahan dan menghabisi simpatisan Lon Nol serta warga yang tidak sepaham dengan pemerintahan Khmer Merah. Rithy Panh sendiri sempat merasakan kekejaman pemerintahan Khmer Merah. Beruntung dirinya masih bisa selamat dari bayang – bayang kematian. Salah satu penjara yang dianggap paling mengerikan adalah S-21 (Security Prison 21). Ada puluhan ribu tahanan di penjara yang sebelumnya merupakan gedung sekolah tersebut (dulunya bernama Chao Ponhea Yat High School), konon hanya ada tujuh orang yang selamat. Nah, penjara S-21 tersebut yang menjadi objek utama di dalam film S-21: The Khmer Rouge Killing Machine. Sekarang bangunan tersebut dijadikan museum, yaitu museum Tuol Sleng. Untuk mengingat dan menjadi pelajaran sejarah bagi warga Kamboja atas tragedi dibawah pemerintahan Khmer Merah.

Bergaya dan Mengulik Kembali Sebuah Memori 
Sebelumnya, mbak Heni sempat bercerita, bahwa Joshua Opeinheimer terinspirasi dengan film diatas. Ketika Joshua Oppenheimer membuat film The Act of Killing, dirinya terkesan dengan gaya penceritaan film S-21: The Khmer Rouge Killing Machine. Di dalam film The Act of Killing terdapat adegan semacam rekonstruksi cara menghabisi simpatisan PKI. Nah, film S-21: The Khmer Rouge Killing Machine juga memakai gaya semacam itu. Para mantan petugas penjara S-21 dihadirkan dalam film tersebut untuk menggambarkan bagaimana cara mereka menginterogasi, melayani atau menghabisi tahanan. Hanya saja cara Rithy Panh untuk merekonstruksi ulang lebih realis. Berbeda dengan The Act of Killing yang cenderung berlebihan serta imajinatif.

Mungkin gaya penceritaan S-21: The Khmer Rouge Killing Machine adalah kebalikan dari film Nuremberg. Sama – sama merekonstruksi ulang sebuah peristiwa namun tujuan serta hasilnya berbeda. S-21: The Khmer Rouge Killing Machine menjadi sebuah film dokumenter sedangkan Nuremberg bukanlah film dokumenter.

Selain fokus menggambarkan ulang proses serta keseharian di penjara S-21. Film S-21: The Khmer Rouge Killing Machine juga mempertemukan kembali dua orang tahanan yang selamat, yaitu Vann Nath yang berprofesi sebagai pelukis dan Chum Mey, seorang mekanik. Uniknya, mereka berdua juga dipertemukan dengan beberapa mantan petugas penjara S-21. Mereka bertugas di S-21 ketika masih belia, ada yang bertugas sebagai dokter, fotografer, penjaga sel, juru ketik, interogator, tukang jagal, sopir.

Film S-21: The Khmer Rouge Killing Machine diawali dengan footage – footage berupa bangunan, gedung dan jalan raya disekitar kota Pnom Penh. Selanjutnya footage tersebut ditabrakkan dengan kedatangan Pol Pot bersama pasukannya, mungkin sedang melakukan inspeksi atau blusukan. Kota tersebut terlihat kosong, terdengar sayup-sayup suara ledakan atau mungkin tembakan. Beberapa bangunan rusak, adapula yang terbakar. Lalu tibalah di sebuah desa yang “dihiasi” para petani, mereka memikul sesuatu, entah apa tidak jelas isi dan bentuknya. Apakah ada yang tahu lagu apa yang mengiringi scene tersebut ? Yak, Anthem of Democratic Kampuchea, liriknya seperti ini : 
“Bright red blood that covers cities and plains of Kampuchea, our motherland. Sublime blood of workers and peasants. Sublime blood of revolutionary fighting men and women.” 

Berikutnya muncul scene orang – orang bercocok tanam. Salah satu sosok dari mereka adalah Houy Him, mantan deputi penjara S-21. Di rumahnya, Houy Him bercakap – cakap dengan kedua orang tuanya. Mereka membicarakan masa lalu Houy Him yang sempat bekerja dibawah rezim Khmer Merah. Orang tua Houy Him menyuruh anaknya untuk mengelar sebuah upacara, supaya tidak ada karma yang menimpa keluarga mereka. Houy Him kerap merasakan nyeri dikepalanya dan tak kuat makan apabila mengingat masa lalunya. Di scene lain, Houy Him mengutarakan, bahwa dirinya sempat meminta kepada Son Sen, selaku Menteri Pertahanan, agar dipindah tugaskan. Ia lebih memilih bertarung di medan perang sebagai tentara, ketimbang mengeksekusi orang, menyiksa dan menginterogasi. Ia meyakini bahwa dirinya bersama rekan – rekan yang lain juga termasuk korban dari kebijakan pemerintah Angkar. 

Scene berikutnya memuat perbincangan dengan Van Nath. Sembari melukis ia menceritakan kisahnya ketika pertama kali masuk penjara S-21. Ia disiksa dengan listrik, kakinya dirantai satu sama lain, matanya ditutup. Rincian peristiwa yang digambarkan Van Nath terpampang pula dengan jelas diatas kanvas. Semua tahanan yang masuk S-21 lalu dipotret. Sisa-sisa foto mereka masih tersimpan di museum Tuol Sleng.


Setelah itu muncul Chum Mey, mantan tahanan yang berhasil selamat. Ia begitu tertekan ketika disuruh bercerita mengenai masa lalunya. Chum Mey kehilangan anak dan istrinya. Tak kuasa ia menahan tangis, berbeda dengan Van Nath yang lebih tegar. Van Nath lalu mengajak Chum Mey untuk melihat arsip – arsip yang terdapat di museum Tuol Sleng. Dulu setiap tahanan diinterogasi dan wajib membuat sebuah pengakuan. Arsip pengakuan Chum Mey ternyata dipelintir, berbeda dengan apa yang sejatinya ia sampaikan. 

Di bagian lain Van Nath berada disebuah ruangan dan melukis wajah Pol Pot. Menurut pengakuannya, ia kerap menulis di tempat tersebut dan disaksikan oleh Duch (Kang Kek Iew), pimpinan penjara S-21. Kepada dirinya, Duch kerap bercerita tentang pelukis – pelukis ternama seperti Picasso dan Van Gogh. Kala itu, ia mengaku tidak mengenal dua nama tersebut. Menariknya, diatas kursi terpampang foto Duch, seolah-olah dirinya sedang mengamati dan bercakap – cakap dengan Van Nath. Ia sendiri mengakui, dirinya selamat karena Duch senang dengan lukisannya. Padahal ada banyak pelukis yang turut ditahan di S-21. Sayang lukisan mereka tidak disukai, nyawapun menjadi bayarannya.

Perlu diketahui, para mantan petugas S-21 juga turut dipertemukan kembali. Mereka pun turut berbincang dan menceritakan ulang peristiwa – peristiwa di penjara bersama Van Nath. Di hadapan para mantan petugas, Van Nath menunjukkan sebuah lukisan. Ia menggambarkan penjara yang diisi para tahanan. Hampir setiap hari ada tahanan yang meninggal. Mayatnya ditinggal begitu saja dan baru diambil 10-12 jam kemudian. Pernah pula kepala seorang mayat ditendang dan disiksa oleh petugas, padahal dirinya sudah tidak bernyawa.


Menurut pengakuan seorang mantan petugas, biro S-21 mencuci otak mereka, didoktrin bahwa semua tahanan adalah musuh, baik anak kecil sekalipun. Para mantan petugas juga merekonstruksi ulang, bagaimana mereka menyusuri beberapa sel serta mencatat setiap kejadian. Tersisa sebuah arsip yang menceritakan tentang seorang tahanan yang menutup lubang kunci dengan kapas. Ada juga yang menangis, tidak mengerti kenapa Angkar menganggap dirinya sebagai musuh. Ada pula seorang tahanan yang komplain karena kurang asupan makan. Semua kejadian tersebut tercatat dan tersimpan dengan baik di museum Tuol Sleng. 

Mereka yang dulu bertugas di S21 tetap bersitegas, bahwa apa yang dikatakan oleh pemerintah adalah benar. Semua yang masuk penjara adalah musuh dan bersalah. Van Nath mempertanyakan rasa kemanusiaan mereka, namun mereka tetap bersikeras, karena semua itu adalah perintah pimpinan dan wajib dipatuhi.


Satu sosok yang unik adalah Prakk Khan, ia bekerja sebagai interogator merangkap penyiksa, tukang pukul atau penganiaya. Ia kembali menyusuri tahanan, berjalan menuju sel yang sedang ia tuju. Di telapak tangannya tertulis nomor sel, tempat tahanan yang akan dia bawa untuk diinterogasi. Prakk Khan pun sampai di sel nomor 39 dan meminta penjaga penjara untuk membawa tahanan nomor 13. Penjaga tadi menyuruh tahanan nomor 13 untuk berdiri. Borgol dikakinya dilepas, lalu menutup matanya dengan kramar dan mengikat tangannya. Tahanan lalu seolah-olah diserahkan kepada Prakk Khan.


Prakk Khan lalu membawa tahanan nomor 13 tersebut untuk diinterogasi dan disiksa. Penyiksaan dilakukan untuk membuat tahanan menderita. Dipukuli, diteror dan ditakut-takuti namun tidak boleh sampai mati. Sebelum diinterogasi tahanan harus diperiksa dahulu kesehatannya. Ternyata di penjara S21 terdapat tiga grup interogator (lebih tepatnya tukang pukul). Prakk Khan tergabung dalam grup Rabid yang dipimpin A'Nan. Dua grup lainnya bernama Mild dan Hot. Mild bertugas untuk menginterogasi keterkaitan politik tahanan, apabila memperoleh jawaban, data tersebut dimasukkan ke dokumen. Namun, jika tidak menjawab akan diserahkan ke grup Hot. Di kelompok tersebut, tahanan terlebih dahulu dipukuli dan disiksa. Apabila ada jawaban, pengakuan mereka dimasukkan ke dalam dokumen. Apabila hasilnya tetap nihil, ia akan diambil alih oleh grup Rabid. Eksekusinya masih sama namun lebih sadis. Tahanan dipukuli hingga penuh luka dan berdarah-darah. Beberapa ada yang menjawab dan hasilnya masuk ke dokumen. Apabila tidak menjawab tahanan terusa-terusan dihajar hingga berhari hari, berbulan – bulan, bertahun-tahun sampai luka mereka membusuk. Siksaan dilakukan secara dingin namun kejam. Prakk Khan mengakui saat itu dirinya mempunyai kuasa, merasa arogan dan memandang tahanan seperti binatang.

Pada adegan lain, Houy Him bersama enam mantan petugas berkumpul disatu ruangan. Mereka disuguhi arsip - arsip yang berisikan alasan mereka bergabung dengan Khmer Merah. Houy Him mengaku, ia tertarik dengan cita-cita Angkar yang ingin membuat masyarakat tanpa kelas. Selain itu dirinya juga ingin melawan imperialisme Amerika. Alasan tersebut berbeda dengan Sours Thi yang dulu bekerja sebagai Kepala Bagian Pendaftaran. Dasar utama dirinya bergabung dengan pemerintahan Pol Pot dikarenakan kampungnya pernah di bom oleh Jenderal Lon Nol di tahun 1970. Lebih karena loyalitasnya terhadap Prince Sihanouk yang memerintahkan rakyatnya untuk melawan pemerintahan Lon Nol.


Scene kembali berganti namun berlangsung sebentar. Ada sebuah adegan dimana Chum Mey berdiri. Terdengar suara ketikan dan ia menangis. Bisa jadi dia mengingat awal mula namanya terdaftar dan masuk ke dalam penjara S-21.

Pukul 10 malam, tahanan yang dinterogasi dikembalikan ke sel. Petugas membuka pintu dan memasukkan mereka, memborgol kakinya dan mengunci kembali pintu penjara. Para tahanan dilarang bersuara dan berisik. Ada seorang tahanan yang meminta sup, petugas pun memberikan sup. Ia berteriak memerintahkan tahanan lain untuk tidak mengambil atau merebut sup tersebut. Ia mengancam akan membawanya ke tukang pukul apabila tidak menurut perintahnya. Penjaga penjara tadi juga mengintai sel – sel yang lain. Ia terus – terusan meneror para tahanan agar diam dan tidak menimbulkan keributan.



Cerita Tentang Perempuan dan Darah 
Prakk Kahn disuguhi sebuah foto seorang tahanan yang sempat dia siksa. Ia lalu menceritakan kronologis kejadian. Kakinya dia ikat dan dihubungkan ke meja. Tahanan tersebut dipukuli dan mulutnya dibekap dengan tas. Beberapa kertas yang berisi pengakuan tahanan namun tidak jelas isinya alias tidak sesuai dengan keinginan interogator, diremas-remas lalu dibuang. Ada begitu banyak sampah kertas dalam ruangan tersebut. Tahanan tadi lalu dibawa ke doktor untuk dibalut lukanya. Dokumen tentang penyakit tahanan dibacakan oleh mantan petugas S21. Ada yg kelelahan, dadanya dan perutnya terluka, demam serta terkena gangren. Beberapa tahanan juga terserang disentri, sakit kepala, gangguan pernapasan serta diare. 

Tibalah pertemuan antara Van Nath dengan mantan dokter S21, yaitu Mak Thim, ditemani Prakk Khan. Ia lalu berbicang dengan Van Nath dan mengaku dikirim ke Ta Khmao untuk belajar obat-obatan selama tiga bulan 20 hari. Di saat kursus berlangsung, ia diajari bagaimana cara memberikan suntikan dengan medium bantal, bukan ke manusia langsung. Diajarkan pula cara mengindetifikasi jenis-jenis obat yang ada dalam botol. Mereka juga belajar membuat vitamin C dengan tepung, gula dan cuka. Setelah kursusnya selesai, ia lalu bertugas di S21 untuk menangani para tahanan. Apabila ada tahanan yang terluka sampai pendarahan, ia akan membersihkan luka tersebut dengan air garam lalu diolesi obat merah dan kasa. Untuk tahanan yang menderita kelumpuhan, akan diberi vitamin B12 dan B1 (syaraf). Untuk yang kelelahan diberi vitamin C. Ternyata dokter pun diberi keleluasan untuk memukuli tahanan yang sedang ia periksa disamping mengobati pasien. Van Nath lalu menunjukkan sebuah dokumen mengenai seorang tahanan yang memukul kepalanya dengan lampu minyak. Ia bertanya, apakah dirinya mengetahui kejadian tersebut. Mak Thim menjawab tidak tahu, namun mendengar peristiwa tersebut. Ada juga seorang tahanan yang sedang menulis pengakuan, namun pena yang ia pakai malah digunakan untuk menusuk tenggorakannya. Mak Thim tahu namun bukan dirinya yang mengobati tahanan tersebut.


Terdapat pula bagian donor darah di penjara. Van Nath memegang sebuah dokumen yang bertuliskan “Destruction for blood”. Jangan bayangkan seperti donor darah pada umumnya. Proses pengambilan darah tidak sesuai dengan prosedur dan jumlah yang diambil per orangnya bisa mencapai tiga atau empat kantong darah. Mak Thim tidak tahu prosesnya, setahu dia darah yang diambil akan dimasukkan ke kulkas dan diletakkan entah dimana. Prakk Khan mengetahui proses pengambilan darah tadi. Para tahanan direbahkan di atas tempat tidur yang tidak ada kasurnya, hanya beralaskan besi. Kakinya digantung, mata dan mulutnya ditutup. Kedua lengannya dipasangi selang dengan dua buah kantong darah. Selepasnya, tahanan tersebut tidak merasakan apapun, matanya melotot dan jantungnya terus berdetak. Menurut cerita Prakk Khan, tahahan tadi lalu dikubur disebuah lubang yang sudah mereka gali, dekat dengan penjara. Kantong – kantong darah tadi dikirim ke rumah sakit utama apabila mereka membutuhkan. Biasanya sekitar sebulan atau dua bulan sekali. Prakk Khan melihat ada sekitar 20 orang yang diambil darahnya. 

Prakk Khan sendiri mempertanyakan, kenapa setiap tahanan disini selalu diinterogasi. Mereka ditanyai mengenai kehidupan pribadi mereka. Berbeda dengan yang ada di desa- desa, mereka disuruh menanam kentang, tapi tidak diinterogasi dan pada akhirnya tetap dibunuh juga. Prakk Khan mengaku menginterogasi seorang perempuan muda, yang bernama Nay Nan. Berdasarkan data, ia adalah seorang dokter di Rumah Sakit 98. Selama empat sampai lima hari nihil hasilnya. Ia bertanya apa organisasi yang ia ikuti, apa hubungannya dengan kepala organisasi tersebut ? namun gadis tadi tetap tidak menjawab. Ia pun bertanya ke Duch and Chan (Kepala Unit Interogasi) apa yang harus dilakukan supaya perempuan tersebut mengaku. Duch and Chan menyuruhnya untuk menggunakan strong-arm taktic. Ia mengintimidasi, menghina untuk menakuti perempuan tadi. Prakk Khan menggunakan ranting pohon yang dia patahkan untuk memukul si perempuan. Akhirnya Nay Nan pun mau membuat pengakuan.



Seusai interogasi, Prakk Khan membaca pengakuan gadis tersebut, namun ia tidak menemukan dan tidak mengerti apa jaringan yang diikuti, apa partainya. Pada akhirnya mereka memang memanipulasi data gadis tersebut. Para interogator juga tidak mau kehilangan kesempatan untuk meremas dada tahanan perempuan serta mencubit pipinya. Prakk Khan mengakui kecantikan Nay Nan, ia jatuh cinta padanya dan merasa kasihan, namun dia adalah musuh. Mereka dilarang untuk mencintai seorang perempuan apalagi dia adalah musuh. Hatinya merasa sakit dan ia diselimuti hawa nafsu. Khan merasa marah karena tidak mampu menyentuh bahkan menyetubuhinya. Ia dipenuhi rasa kebencian dan akhirnya memukul Nay Nan.


Salah satu petugas yang menjaga sel perempuan dan anak menjelaskan, beberapa dari penjaga ada yang memperkosa tahanan. Dirinya mengaku, Sours Thi selaku kepala register berbohong kepada salah satu tahanan. Ia mengaku membawa bayinya untuk diobati, padahal bayi tersebut dibawa untuk dibunuh disamping penjara. Seorang penjaga mengaku salah satu dari grupnya memperkosa seorang perempuan. Saat itu rata-rata umur sekitar 13-14 tahun dan 22-23 tahun. Tidak ada petugas perempuan di penjara S21. Mereka masih muda dan mempunyai dorongan seksual yang kuat. Wajar memang, sebab mereka tak boleh pergi kemana-mana, tak boleh pulang kerumah, sehari-hari berada di wilayah S21. Ketika perbincangan tersebut berlangsung, mereka dihadapkan pada sebuah lukisan. Seorang perempuan yang sedang menggendong bayinya namun hendak diambil oleh petugas S21.


Eksekusi : Menuju Rumah yang Baru 
Mendekati akhir film, digelar sebuah foto yang panjang. Foto tempat dimana dulu para tahanan dieksekusi, lokasinya di Choeung Ek. Hou menunjukkan sebuah kuburan lama China, dimana mereka membangun gubug. Untuk dihuni para tahanan yang dibawa dari Tuol Sleng. Ditempat tersebut, sebuah truk diparkir. Para tahanan disuruh keluar dan dimasukkan ke dalam gubug. "Jangan takut, kalian akan menuju ke rumah yang baru.." begitu kata Hou Him. Satu persatu tahanan mereka dikeluarkan dan masing-masing namanya dicatat. Sebelum eksekusi dimulai, terlebih dahulu disiapkan sebuah lubang. Salah satu dari mereka dibunuh dan dilemparkan ke dalam lubang. Suatu saat, ketika Houy Him membawa mereka ke Choueng Ek. Ia merasakan dan mencium bau amis yang mengerikan. Ketika mengeksekusi, Houy tidak berpikir apapun, tidak berkata satu patah kata pun, tidak bertanya kepada mereka. Mereka lalu diambil untuk dibunuh supaya pergi ke rumah lebih cepat.



Saat eksekusi berlangsung dihidupkan generator di gubug, suaranya yang memekikkan membuat para tahanan tidak mendengar apapun. Satu persatu tahanan dibawa keluar dari gubug. Saat eksekusi Duch hadir sambil merokok. Tahanan disuruh berlutut, matanya ditutup kramar, tangan mereka diborgol. Tahanan dihantam dengan pukul besi, tepat di leher belakang. Lalu tenggorokan mereka digorok dengan pisau. Borgol dilepaskan, apabila baju mereka tidak bernoda, baju tersebut diambil. Tubuh mereka lalu dibuang ke lubang. Setelah ekseskusi selesai, para petugas memeriksa kembali daftar nama. Apabila tidak sesuai dengan daftar dikarenakan ada yang hilang, mayat-mayat tadi diangkat kembali dan dihitung ulang. Setelah dihitung, mereka dibuang kembali ke lubang dan dikubur. Baju dan borgol dibawa ke truk untuk dipakai tahanan yang lain. Si sopir yang bernama Peng Kry juga mengakui bahwa dirinya turut membantu membawa tahanan ke tempat eksesusi. Selesai eksekusi ia membersihkan truk yang penuh dengan bau kororan dan kencing. Setelah itu dirinya berisirahat, di sore hari ia mencari kangkung dan rumput untuk pakan kelinci, kambing dan domba. 

Sebuah Pengakuan 
Ada sebuah scene dimana Van Nath berdiskusi dengan para tiga mantan petugas, yaitu Sours Thi, Prakk Khan dan Houy Him. Bagi Van Nath, apa yang dulu mereka lakukan sama sekali tidak bisa diterima. Para petugas penjara tersebut membuat aturan atau hukum yang mengada-ada untuk memaksa para tahanan berbohong, bukan menginterogasi. Houy Him berpendapat bahwa apa yang mereka perbuat adalah wujud rasa patuhnya terhadap Angkar. Van Nath sebagai mantan tahanan meluncurkan beberapa kalimat yang menyentuh. Ia menganggap, proses eksekusi yang dilakukan tidak manusiawi. Manusia dan hewan adalah sesuatu yang berbeda. Namun kenapa kelakukan petugas S21 bak hewan ? Van Nath juga mengungkapkan bahwa kata “penghancuran” berbeda dengan “pembunuhan”. Di dalam kata “pembunuhan”, setidaknya masih ada unsur moralnya. Sedangkan “penghancuran” sama saja dengan pemusnahan dan tidak menyisakan apapun. 

Houy mengakui, apa yang dirinya lakukan saat itu karena alasan hormat kepada Angkar. Dirinya juga masih muda saat itu. Namun sekarang, ia sadar apa yang dirinya perbuat telah melanggar hukum. Ia malu terhadap dirinya sendiri. Van Nath lalu menyatakan, bahwa pertemuan ini sangatlah menyakitkan. Ia mengaku bahwa dirinya tidak ingin datang dalam pertemuan ini. Karena kita disini tidak akan bercerita tentang kisah yang menyenangkan. Kita hanya berbicang-bincang tentang masa lalu yang sejatinya tidak pernah diinginkan. Namun sayang, semuanya tidak mampu terbendung dan kita tidak bisa mengelak bahkan melarikan diri. Van Nath mencoba untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi, merasakan atas semuanya sebagai refleksi. Ia lalu memberikan sebuah kesimpulan, bahwa pertemuan ini bukan berarti sebuah kesempatan untuk membersihkan diri kita dari kejahatan.


Bukan perkara mudah memang untuk mengakui sebuah kesalahan. Saya sendiri memandang, apa yang dilakukan Houy Him dkk dikarenakan sebuah sistem. Apakah mereka juga layak disebut korban ? Aku pikir iya. Toh umur mereka saat itu masih muda. Sama seperti disaat kita belum dewasa, dengan mudahnya kita akan mencontoh ataupun meniru. Satu hal lain yang patut kita pelajari, mereka tidak menutup-nutupi semua kejadian. Begitupun dengan masyarakat Kamboja, arsip dan dokumen yang menjadi saksi bisu tidak mereka buang. Mereka simpan supaya menjadi pelajaran bagi generasi baru atas masa kelam yang pernah menimpa pendahulunya. Saya sebenarnya agak sedikit bingung ketika menonton S-21: The Khmer Rouge Killing Machine. Maklum, pengetahuan saya soal Kamboja amatlah minim. Apalagi pembahasannya lebih detail, yaitu penjara S-21. Di dalam film tersebut juga tidak disertai keterangan mengenai rincian lokasi penjara S-21. Tapi toh, film yang berdurasi hampir dua jam tersebut patut kita nikmati. Sebuah film dengan gaya penceritaan yang unik. Perpaduan antara monumen, lukisan, dokumen lalu dibungkus dengan rekonstruksi ulang oleh mantan petugas dan tahanan. Silahkan menonton kawan – kawan.

Kamis, 18 September 2014

Biar Kutulis Sebuah Catatan Jelek yang lain

“Apa yang diinginkan oleh perempuan dari seorang laki – laki ?” lalu seorang suster menjawab, “Kehangatan, kasih sayang dan cinta..” Kalimat semacam itulah yang terlontar dari sebuah dialog antara kakek tua dengan seorang suster. Kakek tua berambut gondrong dan beruban tersebut menceritakan kisah cintanya yang suram. Sedang si suster terlihat jengkel melayani kakek tua yang begitu rewel.

Gambaran tersebut saya tonton kemarin malam ketika menyaksikan pentas kelompok Forum Aktor dengan lakon “Biar Kutulis Untukmu Sebuah Puisi Jelek yang lain”. Lakon tersebut ditulis Andri Nur Latif. Kalau tidak salah ingat, lakon tadi pernah dibacakan dalam acara IDRF (Indonesian Dramatic Reading Festival) tahun 2010 di LIP. Bagi saya, pentas Forum Aktor di Kampus Sanata Dharma semalam cukup menarik. Mengangkat sebuah cerita realis dengan setting yang minimalis. Cukup mudah untuk dicerna karena dimainkan dengan begitu segar dan jenaka. Hanya saja judulnya tidak minimalis sih, hihihi.


Apabila melihat judulnya, tentu kita akan menduga bahwa lakon tersebut berisikan puisi – puisi yang indah (bukan jelek). Dugaan tersebut benar adanya, beberapa dialog kerap melemparkan bait – bait puisi yang berbau cinta. Lakon “Biar Kutulis Untukmu Sebuah Puisi Jelek yang lain” bukanlah drama bersajak atau drama berpuisi semacam Bebasari karya Rustam Effendi. Dialognya tidak berbentuk sajak dan harus dibacakan dengan gagah dan berapi – api. Namun sebuah puisi menjadi objek utama untuk dikuliti dan hampir dibicarakan di dalam semua dialog yang ada.

Lakon tersebut menceritakan tentang dua tokoh utama, yaitu seorang kakek yang mengaku berumur 70 tahun. Serta seorang perempuan tua yang berusia 65 tahun. Mereka berdua terpaksa tinggal di panti jompo. Masing – masing dirawat oleh dua orang suster yang cantik nan aduhai. Namanya Meri dan Rosi, penting untuk diketahui, status mereka tidak single alias punya pacar. Ada pula seorang dokter beristri satu dan belum fasih memakai alat pengukur tensi.


Saat dimulainya pentas, saya merasa bahwa settingnya berada disebuah rumah sakit, bukan panti jompo. Si kakek kerap menceritakan masa lalunya bersama sang kekasih kepada suster Meri. Terlihat dari raut mukanya yang kusut, si suster kurang sreg dengan tingkah laku si kakek. Sehari – hari hanya menulis puisi dan curhat mengenai kisah cintanya yang kandas. Padahal suster Meri sendiri terlihat kurang suka dengan puisi. Selain itu, si kakek juga kerap protes soal minuman yang selalu memakai gula jagung. Parahnya lagi, si lelaki tua tersebut sering melontarkan rayuan gombal yang kadarnya mungkin cuman 1%.

Di kamar yang lain, seorang perempuan tua sedang duduk diatas kursi roda. Saat itu dirinya sedang bersenda gurau dengan suster Rosi. Sama dengan kakek tua, perempuan tersebut juga mengutarakan masa lalunya. Ia mengaku sempat dekat dengan seorang laki – laki yang pandai menulis puisi. Namun ia memilih untuk meninggalkannya. Lagipula lelaki tersebut gagal menjadi pengusaha mebel, begitu menurut tuturan si nenek tua. Selain itu, dirinya juga tidak peduli apabila lelaki tadi masih mencintainya sampai sekarang. Maklum, apabila seorang perempuan kerap jual mahal terhadap lelaki. Apalagi kepada laki – laki berhidung belang.

Ternyata, si nenek kerap dikirimi puisi – puisi yang indah, entah oleh siapa. Mungkin saja itu hanyalah imajinasi liar si perempuan tua alias ilusi yang mengada-ada. Singkat cerita, seorang dokter berkunjung ke kamarnya untuk memeriksa kesehatan si nenek. Nah, si nenek tadi merasa pernah melihat dan mengenal si dokter. Namun ia lupa dimana mereka saling mengenal. Dokter yang disebut – sebut sebagai laki – laki beruntung tersebut pun menyangkalnya. Merekapun lalu bercakap – cakap panjang lebar dan membahas tentang puisi tentunya. Sebelum memeriksa si nenek, sang dokter terlebih dahulu mengunjungi si kakek tua. Di tempat tersebut, dirinya juga diajak mengobrol oleh kakek gondrong yang gemar membuat puisi. Mereka berdua lalu ngobrol ngalor ngidul. Mulai dari keadaan keluarga si dokter hingga problematika cinta si kakek. Sayang, dokter berkacamata tersebut tidak mahir soal puisi. Sedang si kakek sempat memaksa dirinya untuk membacakan salah satu bait puisi yang ia buat.

Di penghujung cerita, kakek tua dan nenek tua sempat saling bertemu. Si kakek mengeluh atas pelayanan para suster yang tidak sepenuh hati. Mereka juga saling pamer soal sudah berapa lama tinggal di panti jompo. Obrolan – obrolan lain pun melesat dari mulut mereka. Sayang, otak saya tidak cukup mampu untuk merekam detail – detail dialog mereka. Si kedua suster juga saling bertemu. Suster Rosi menyesal bekerja di panti jompo karena orangtua yang tinggal di tempat tersebut sangat rewel dan banyak maunya. Mereka pun sempat menceritakan mengenai kelakuan si kakek gondrong dan si perempuan tua. Intinya, si kakek suka membuat puisi, sedangkan si nenek kerap dikirimi puisi. Suster Meri lalu membacakan secarik puisi yang dibawa oleh suster Rosi. Mereka berdua menduga, bahwa kakek lah yang seringkali menuliskan puisi untuk si nenek.

Pentas “Biar Kutulis Untukmu Sebuah Puisi Jelek yang lain” diakhiri dengan pandangan si kakek dan si nenek di balik jendela. Si nenek begitu senang atas turunnya hujan yang mungkin membasahi rumput dan dedaunan. Sedangkan si kakek gondrong masih saja menangisi dan meratapi nasib asmaranya.

Sekali lagi, pentas yang dijalankan oleh Forum Aktor memang terasa renyah dengan dukungan durasi yang pas. Serta lontaran kata – kata yang cukup membuat penonton terpingkal – pingkal. Entah karena improvisasi si aktor atau seratus persen mengacu naskah tanpa adanya “penyembelihan” dialog. Faktor lain yang patut diapresiasi adalah musik. Iringan musik yang diaransemen oleh Gardika Gigih juga apik dan simple. Cukup membantu penonton untuk turut membangun suasana akan jalannya cerita.

Selasa, 16 September 2014

Di antara Sore dan Malam

Sore tadi menjelang maghrib,  saya menyempatkan waktu untuk bersenda gurau dengan beberapa kawan. Menghabiskan waktu di sebuah kantin. Nah, seorang kawan bertanya tentang perkembangan wanita incaran. Sayapun menjawab kalau sedang tidak mengincar siapa – siapa. Lalu saya menyahut kembali, bagaimana kalau “dia”. Kebetulan, kawan saya barusan satu jurusan dengan “dia”. Teman saya yang sejatinya berbadan gemuk tsb berujar, “Wah, mending cari yang pasti – pasti aja bung, yang ada disini..”

Beberapa jam kemudian, selepas dari kumpul – kumpul serius di sekitaran Njeron Beteng, saya kembali lagi ke kantin. Hanya untuk mainan HP sembari minum teh hangat dan menghisap rokok yang sebenarnya juga cuman minta. Tiba – tiba aku teringat obrolan tadi sore dan memutuskan untuk mengepo si “dia”. Sekedar menghibur hati dan melepas penat. Melihat senyumnya, memandangi tingkah lakunya dan menyadari betapa bodohnya diriku. Ketika melihat salah satu postingan instagramnya, ternyata oh ternyata, si “dia” sudah meninggalkan tanah air beta. Di negeri nun jauh disana, negerinya William Wallace.


Sudah ah.. Selamat belajar disana J