"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Kamis, 29 Desember 2016

Antara Celeng dan Palu Arit : Mengungkap Ingatan Simbolik, Politik dan Agraria Masyarakat Kaliwisnu, Desa Lumeneng, Kecamatan Paninggaran, Pekalongan

Permasalahan mengenai agraria memang merupakan problema pelik di negara ini. Agraria selalu berhubungan dengan permasalahan tanah, entah itu dalam konteks sosial atau ekonomi. Akan tetapi agraria bisa juga dihubungkan dengan persoalan tradisi, politik, kepercayaan serta aspek simbolik

Pendahuluan
“Kaliwisnu itu tempatnya orang payah mas...”
“Disini banyak yang kuliah juga mas, kuli-kuli payah...”
“Pertanian disini sebenarnya bagus mas, tanahnya juga bagus. Tapi ya itu tadi, celeng yang suka ngrusak tanaman...”

Kata-kata yang tertulis diatas menjadi ingatan penulis sampai saat ini. Kalimat tadi paling sering diucapkan oleh pak bahu Kaliwisnu.  Bahu  merupakan jabatan tertinggi dalam tingkatan sebuah dusun. Kemungkinan, kata bahu berasal dari kata mbahurekso alias yang berkuasa atau yang memimpin. Posisi bahu sama dengan apa yang kita kenal sebagai kepala dusun atau dukuh. Memang secara tempat daerah Kaliwisnu merupakan dusun yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Biarpun arus modernitas sudah merasuk ke dalam sela-sela kehidupan masayarakat disana. Kaliwisnu, sebuah daerah yang terletak di dataran tinggi Pekalongan. Daerah ini berada di wilayah desa Lumeneng, kecamatan Paninggaran, Pekalongan. Dusun Kaliwisnu “ditemani” delapan dusun tetangga. Yaitu, Lumeneng Wetan (Krajan), Lumeneng Tengah, Lumeneng Kulon (Dukuh), Karang Sari, Wanasida, Sumingkir, Ujung Parang, Sikembang. Secara letak, daerah Kaliwisnu beserta Karang Sari merupakan dusun dengan lokasi paling tinggi diantara dusun-dusun yang lain.
Penulis berada disana selama 12 hari. Sesuai dengan kaidah apa itu etnografi, penulis jelas harus melakukan sebuah penelitian lapangan. Sesuai pengantar dari Amri Marzali dalam buku Metode Etnografi karya James P. Spradley, etnografi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah tulisan atau laporan mengenai suatu suku atau masyarakat di sebuah daerah. Laporan tadi dilakukan oleh seorang antropolog berdasarkan hasil kerja atau penelitian lapangan. Etnografi bisa diartikan sebagai laporan penelitian atau metode penelitian. Etnografi sendiri dapat memberikan kita sebuah hasil yaitu gambaran atas suatu kebudayaan masyarakat tertentu. Etnografi tidak hanya sekedar mempelajari suatu masyarakat, akan tetapi belajar dari masyarakat itu sendiri selama penelitian lapangan berlangsung. Dari etnografi kita dapat mengetahui suatu makna-makna tertentu atas kejadian yang kita amati, atau kita dengarkan. Makna tadi akan termaktub dari tingkah laku atau bahasa (kata-kata). Makna tadi adalah kebudayaan dari objek yang kita teliti selama kerja lapangan. 
Fokus yang terdapat dalam penelitian kali ini terletak pada ingatan masa lalu dari warga Kaliwisnu. Ingatan yang dimaksud adalah ingatan yang berbau simbolik, politik serta agraria secara tradisi.  Memang, memori manusia tidak dapat dipastikan bahwa itu benar. Kebenaran merupakan sebuah hal yang mutlak, namun sebuah fakta merupakan sebuah hal yang subjektif. Pewarisan ingatan atau pengalaman tadi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu mitos, sastra dan sejarah. Sejarah yang konon dikenal sebagai penjaga fakta, sesungguhnya penuh dengan sifat subjektif. Begitu juga dengan mitos dan sastra. Ketiga-tiganya bersifat subjektif, hanya saja sejarah tidak sepenuhnya subjektif, melainkan intersubjektif. Maksudnya, tidak mutlak objektif, tidak juga murni subjektif (Kuntowijoyo, 2002 : 39-40).  Ingatan-ingatan yang terkumpul dalam laporan atau data harian tadi akan dibenturkan satu sama lain. Benturan-benturan ingatan akan dikumpulkan satu sama lain untuk dicocokkan.
Fokus dalam penelitian ini terletak ke dalam dua hal. Yaitu ingatan terhadap politik PKI (tragedi 65) serta tradisi yang berbau agraria, yaitu berburu babi hutan atau celeng perusak tanaman (gedhegan). Berburu babi hutan dengan bantuan seorang tokoh semacam dukun yang disebut kemongkong. Usut punya usut, dusun Kaliwisnu dikenal sebagai kampung PKI. Pernyataan tersebut membuat penulis penasaran, apakah cap tersebut benar adanya atau hanyalah sekedar gosip. Karena hal-hal yang berbau PKI pasti sangat sensitif di telinga masyarakat. Uniknya, setiba disana, penulis merasakan bahwa daerah ini sangat muslim sekali, tepatnya NU banget. Setiap sholat maghrib usai, jamaah selalu membaca doa-doa tahlilan, perjanjen (barzanji), yassin dll. Selain itu, foto-foto yang terpakang disetiap rumah adalah gambar-gambar tokoh NU. Seperti Hasyim Asyyari selaku pendiri NU, ataupun seorang kyai yang oleh masyarakat Kaliwisnu sangat mereka puja, yaitu Syekh Ahmad dari Cikura Tegal. Daerah Kaliwisnu memang sarangnya NU.
Mengenai berburu babi hutan alias celeng (gedhegan), tradisi tersebut sebenarnya sudah lama hilang. Namun, beberapa warga masih menyimpan kisah-kisah, kenangan mengenai tradisi tersebut. Penyampaian ulang pengalaman menonton perburuan celeng tersebutlah yang akan menjadi bahasan utama dari tradisi gedhegan. Tradisi berburu babi hutan tersebut sebenarnya juga ada di daerah Petungkriyono. Berburu celeng di Petungkriyono pernah dibahas oleh Pujo Semedi dalam artikelnya yang berjudul "Wild Pig Hunting in Petungkriono". Sayangnya, tradisi tadi juga sudah punah di Petungkriyono. Pembahasan mengenai dua hal tadi akan dilanjutkan dalam bagian selanjutnya.

Menyingkap Kaliwisnu
Wilayah Kaliwisnu terdiri atas tiga RT. Pembagian RT berdasarkan tempatnya, RT 1 terletak paling atas, RT 2 berada di wilayah tengah, sedang RT 3 berada di bawah dekat sungai. Ada satu dusun kecil bernama Cokrah, dusun ini ikut RT 2. Cokrah memang sebuah dusun, namun mereka harus bergabung dengan dusun Kaliwisnu karena penduduknya sedikit.
Pertama kali menginjakkan kaki di Kaliwisnu, penulis berpikir apa yang harus penulis lakukan disana. Mengingat letak daerahnya yang begitu jauh dari dusun-dusun lain. Disaat berjalan menyusuri tanah-tanah berlinangan air hujan, penulis bertemu beberapa anak kecil memakai baju muslim. Mereka menyapa dengan ramah, begitu juga dengan beberapa warga lain. Penulis tetap merasa asing disana, karena pikiran apa yang harus penulis lakukan. Konon daerah ini dulu menjadi sarang PKI. Sebelum tiba di Kaliwisnu, penulis berpikir dan menduga bahwa daerah tersebut pasti sekuler atau kejawen. Namun, setelah masuk daerah Kaliwisnu, dugaan penulis salah. Daerah Kaliwisnu ternyata kampung santri, tepatnya kampung Nahdliyin.
Dusun Kaliwisnu terbilang terpencil, biarpun wilayah Lumeneng sudah diterjang budaya populer. Nampaknya daerah Kaliwisnu tidak terlalu dirasuki budaya tersebut. Wilayah ini tetap ndeso, memang sedikit unsur modernitas sudah masuk. Semacam handphone, motor, tv dll. Namun, dari segi gaya hidup, mereka masih nampak sederhana dan tidak neko-neko. Rumahnya sangat sederhana, terbuat dari papan-papan. Atapnya sudah dari genteng, sedang ternitnya juga dari papan. Jalan-jalan terbuat dari cor-coran semen dengan batu. Beberapa jalan, ada pula yang belum disemen, masih tanah.
Beberapa rumah di Kaliwisnu sebenarnya sudah bagus. Depannya terlihat seperti model rumah di perkotaan, bahkan sudah ada yang diberi pagar dari tralis. Terlihat sangat mewah, bahkan sudah tingkat. Lantai di dalam rumah pun  sudah dikeramik. Kebanyakan rumah warga disni sudah di keramik. Temboknya sudah disemen, berbeda dengan rumah milik pak bahu yang rumahnya masih terbuat dari susunan papan kayu. Hanya saja, bagian belakang rumah (pawon/dapur), lantainya masih beralaskan tanah.
Sistem kekeluargaan disini sifatnya matrilokal. Suami harus tinggal di rumah istrinya. Apabila bercerai, anak akan dirawat oleh pihak perempuan, tapi bisa juga oleh pihak laki-laki, tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi, tanah yang dikelola oleh pihak laki-laki adalah tanah yang asalnya dari pihak perempuan. Otomatis, tanahnya harus diserahkan ke pihak perempuan lagi. Kasus perceraian disini kemungkinan sangat tinggi intensitasnya. Karena banyaknya pihak laki-laki yang menikah beberapa kali. Mereka tidak mungkin menempati dua rumah sekaligus. Jadi harus diceraikan salah satunya.
Perempuan-perempuan disini kebanyakan berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Hanya saja mereka nyambi membantu suaminya, entah dengan cara mencari rumput atau mencari pasir. Kondisi tadi sangat berbeda dengan dusun tetangga Kaliwisnu. Di dusun Sikembang, Lumeneng Wetan, Lumeneng Kulon serta Lumeneng Tengah, sangat jarang ada fenomena perempuan bekerja keras membantu suami mereka. Keempat daerah tadi memang sangat berbeda kondisinya. Daerah tersebut bisa dikatakan lebih maju ketimbang Kaliwisnu.

Cap “Merah” yang Terputihkan
Sebagaimana yang sudah disampaikan diatas. Menarik karena kampung Kaliwisnu dikenal sebagai kampungnya orang-orang PKI. Kejadian tadi bermula saat ada orang yang datang ke Kaliwisnu. Orang tersebut menemui pak Mohari  (bahu saat itu). Orang tadi membawa sebuah dokumen yang isinya entah apa. Namun, pak bahu Mohari beserta warga harus menandatangai dokumen tersebut. Tetapi menurut pak bahu Ra’lim, kejadian tadi berawal sebelum meletusnya G 30 S.
Memang cukup aneh cerita tentang Gestapu/Gestok disini. Pak bahu menyatakan, saat itu Pak Ma’sum, ayah Pak Ra’lim sempat didatangi oleh orang-orang kelurahan. Anehnya, pada malam hari ada sebuah tulisan “G 30 S/PKI” di depan rumah/pintu warga Kaliwisnu. Semua rumah ditempeli atau ditulisi kata-kata “G 30 S/PKI” dengan split (sejenis aspal). Pak Ma’sum kaget melihat didepan rumahnya ada tulisan. Ia menyuruh anaknya, yaitu Pak Karno untuk membaca tulisan tersebut, karena Pak Ma’sum tidak bisa membaca. Mendengar tulisannya berbunyi “G 30 S/PKI”, Pak Ma’sum kaget. Ia menyuruh Pak Karno untuk menutup atau menghapus tulisan tadi supaya aman. Semua rumah di Kaliwisnu terpampang tulisan/stempel/cap G 30 S/PKI. Lucunya, stempel tadi dipasang sebelum meletusnya Gestapu. Pak Ma’sum mendapat info bahwa akan ada orang-orang yang mendatangi Kaliwisnu. Info tadi berisi bahwa orang-orang PKI akan mendatangi dusun tersebut.
Pasca meledaknya pembunuhan jenderal-jenderal di Jakarta, daerah Pekalongan geger. Semua warga diperiksa, mereka simpatisan PKI atau bukan. Kakak Pak bahu Ra’lim sempat diinterogasi oleh petugas, akan tetapi kakak Pak bahu Ra’lim mempunyai kartu GP Anshor jadi aman. Di daerah Paninggaran memang sedang geger-gegernya PKI. Uniknya daerah Kaliwisnu dianggap sarangnya PKI karena cap atau stempel yang terpampang ditiap rumah. Menurut pak bahu, kampung Kaliwisnu sempat akan dibakar oleh RPKAD dan GP Anshor. Oleh Pak Ma’sum dicegah karena mereka tidak tahu apa-apa. Pak Ma’sum selamat karena ia sempat menghapus tulisan “G 30s/PKI” tadi. Sedang warga yang lain tidak sempat menutupinya karena tidak tahu apa-apa. Bahkan Pak Mohari, bahu kala itu ikut terancam juga. Padahal beliau tidak tahu menahu. Yang ia tahu hanyalah disuruh menandatangani sebuah dokumen yang entah isinya apa.
Kemungkinan, dokumen tadi berisi data-data simpatisan PKI. Saat itu juga, Pak Ma’sum disuruh menjadi bahu yang baru menggantikan Pak Mohari. Karena Pak Mohari diduga terlibat PKI. Pak Ma’sum diperintah oleh pak lurah untuk menjadi bahu yang baru. Semua warga Kaliwisnu meminta tolong kepada Pak Ma’sum yang aman dari tuduhan PKI. Di daerah Kaliwisnu yang tertangkap ada dua orang. Yaitu Pak Abdullah (Dullah) dan Pak Waryono. Kemungkinan besar Pak Waryono ditangkap di pasar, disaat dirinya sedang berjualan. Menurut cerita, dirinya mempunyai seorang istri yang saat itu sedang mengandung. Sedangkan Pak Dullah, langsung dibawa Nusakambangan. Pak Dullah mempunyai seorang anak, yaitu Pak Subchi. Kemungkinan besar, Pak Subchi paham tentang nasib ayahnya. 
Kediaman Pak Ma’sum yang tadinya untuk meminta perlindungan disebabkan karena beliau satu-satunya orang atau keluarga yang tidak terseret tuduhan anggota PKI. Sebelumnya Pak Ma’sum sempat meminta perlindungan terhadap kakaknya dan juga adiknya. Pak Ma’sum juga didatangi kyai dari Plumbon untuk menenangkan dirinya. memohon perlindungan supaya kondisinya baik-baik saja alias selamat dari ancaman PKI. Menurut pak bahu, PKI saat itu menawarkan alias berkampanye sebuah program, semacam pemberian tanah, rumah, sawah bahkan wanita. Pentas kesenian juga sering diselengarakan oleh PKI untuk menarik simpati rakyat.
Selanjutnya, berdasarkan info atau cerita dari Pak Rasto, ada sebuah kejanggalan mengenai kisah PKI di Kaliwisnu. Pak Rasto tidak menceritakan soal cap atau stempel “G30S/PKI”. Ia hanya menceritakan soal nasib anak cucu yang diduga anggota PKI. Mereka tidak bisa menjadi PNS, perangkat desa. Ia memberikan contoh, anaknya sendiri yaitu pak bayan Slamet bisa menjadi perangkat desa karena dirinya tidak terlibat PKI. Cerita yang dia sampaikan hanyalah dua warga Kaliwisnu yang tertangkap. Seperti yang sudah disampaikan diatas, yaitu Pak Abdullah dan Pak Waryono. Bagi Pak Rasto, kedua orang tersebut hanyalah korban salah tangkap. Mereka tidak tahu apa-apa, tapi tertangkap karena namanya tercantum dalam sebuah dokumen yang dibawa oleh pemerintah. Seakan-akan, pernyataan dari pak Rasto menunjukkan sebuah kesan menutup-nutupi kasus PKI di Kaliwisnu.
Masing terngiang-ngiang dalam pikiran penulis mengenai mitos PKI di Kaliwisnu. Akhirnya penulis memutuskan untuk kroscek ke dusun lain. Sebab, kemungkinan warga di Kaliwisnu tidak mau bercerita soal cap PKI. Penulis memutuskan untuk bermain ke dusun Sikembang. Bahu disana bernama pak Dul Bashor. Ia menceritakan mengenai kampung Kaliwisnu yang saat ini sudah berubah dibandingkan dulu. Menurut beliau, dulu ada seorang tokoh yang bernama Pak Dullah (ayah Pak Subchi). Berdasarkan cerita Pak Dul Bashor, dulu Pak Dullah ingin menyalonkan diri menjadi camat. Ia juga menambahkan, di Kaliwisnu sering diadakan acara Lekranan serta beberapa warganya menjadi anggota Gerwani.
Hingga tahun 2009 kemarin, Kaliwisnu masih terus diawasi oleh pemerintah. Apakah di daerah tersebut masih ada orang-orang yang tercantum dalam daftar dokumen anggota PKI. Kurang begitu paham, apa isi dokumen tersebut. Tetapi berdasarkan cerita, dapat dipahami bahwa dokumen tadi adalah data orang-orang Kaliwisnu yang terkena cap atau malah dianggap anggota PKI. Pernyataan tadi hampir sama dengan penuturan pak bahu Ra’lim. Dulu dirinya pernah dipanggil ke kecamatan dan ditanyai mengenai daftar orang-orang yang ada didalam data tersebut. Pak bahu Ra’lim hanya menjawab, sudah tidak ada lagi orang-orangnya. Sekarang hanya tinggal anak cucunya saja, yang sebenarnya juga tidak tahu apa-apa.
Memang, berdasarkan pendapat warga di dusun lain, seluruh masyarakat atau keluarga di Kaliwisnu dianggap anggota PKI. Karena itu pula banyak cap dari dusun lain bahwa Kaliwisnu adalah kampung PKI. Akan tetapi hal tersebut akan susah ditelusuri kebenarannya, karena warga Kaliwisnu berusah menutup-nutupi ceritanya. Mungkin pak bahu sangat terbuka menceritakan mengenai masalah tadi. Namun berbeda dengan warga lain yang masih sensitif dan berusaha memelintir pembicaraan mengenai masalah PKI. Bahkan, mbok Ireng yang merupakan salah satu dari beberapa tetua Kaliwisnu, dengan tegas menyatakan bahwa keluarganya tidak terlibat PKI. Tapi loyal terhadap gambar banteng alias PNI.
Resistensi warga Kaliwisnu terhadap cap PKI tampaknya menjadi pembahasan menarik untuk diteliti. Bisa jadi daerah tersebut memang diputihkan oleh pemerintah. Hal tersebut terbukti dengan kuatnya pandangan warga terhadap ajaran Islam, terutama jaran dari kalangan Nahdliyin. Mengingat saat peristiwa pembantaian massal “PKI”, organisasi NU mempunyai “andil” besar dalam peristiwa tersebut. Resistensi mereka terhadap cap PKI sangat jelas terasa. Simbol-simbol NU menjadi tameng bagi mereka untuk mengakali bahwa daerah ini mempunyai aib besar, yaitu “di PKI kan”. Dengan asumsi entah benar atau salah. Resistensi tersebut terbukti dengan terpampangnya simbol NU, semacam foto tokoh-tokoh NU. Entah itu poster pendiri NU atau kyai pujaan hati mereka, yaitu Syekh Ahmad dari Cikura, Tegal.
Perlu diketahui, menurut penuturan warga, Syekh Ahmad selalu menghisap rokok tiap kali memberikan pengajian. Asap rokok yang berhamburan akan menghalangi setiap dosa-dosa atau hal-hal haram yang akan bermunculan dan akan dilihat mata. Uniknya lagi, foto dengan gambar Syekh Ahmad dijual pula saat pengajian. Warga berpendapat, apabila belum membeli foto tersebut, bisa dipastikan hatinya belum mantab. Sebab, dengan membeli foto tersebut, membuat hati semakin tenang dan mampu menghalangi segala macam bahaya yang masuk ke rumah, semacam tuyul, maling dsb.

Gedhegan, Ritus yang Hilang : Celeng-celeng Mengancam Kaliwisnu
Ada sebuah tradisi unik yang sempat hinggap di dusun Kaliwisnu. Tradisi tadi bernama gedhegan, berasal dari kata gedheg atau gedhek yang berarti papan yang terbuat dari anyaman bambu. Tradisi gedhegan merupakan sebuah tontonan menarik bagi warga Kaliwisnu, bahkan Paninggaran. Tradisi tersebut bertujuan untuk mengusir babi hutan atau celeng supaya tidak merusak tanaman warga. Lebih tepatnya, celeng-celeng tadi dibunuh satu per satu dalam sebuah arena.
Berdasarkan cerita dari Pak bahu Ra’lim, dulu ada seorang tokoh yang bernama Pak Mohari. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab diatas, Pak Mohari adalah mantan bahu Kaliwisnu. Pak Mohari dikenal sangat baik dan sakti serta sering berpuasa. Pak Mohari juga seorang bahu yang berwibawa, cakap memimpin. Menariknya, Pak Mohari adalah seorang kemongkong. Apa itu kemongkong ? kemongong adalah pemburu celeng tapi tidak memakai senjata, baik pistol maupun benda tajam, bisa dikatakan dukun. Kemongkong mempunyai seorang asisten, istilahnya adalah sekudi. Menjadi kemongkong merupakan hal yang sulit, karena perlu ilmu yang mumpuni. Entah mantranya seperti apa, warga disekitar Kaliwisnu tidak ada yang tahu. Pak Mohari sendiri merupakan satu diantara dua spesialis kemongkong di kecamatan Paninggaran.
Ritual gedhegan tersebut berfungsi untuk membasmi hama celeng yang dianggap menganggu pertanian atau perkebunan warga Kaliwisnu. Apabila celeng yang sudah tertangkap akan dibawa ke dalam gedheg. Disana warga sudah siap-siap, entah untuk sekedar menonton atau ikut membantai celeng-celeng. Jumlah warga yang menonton melebih ramainya acara Agustusan. Pengunjung tidak hanya dari Kaliwisnu, namun juga dari berbagai dusun se Paninggaran. Gedhegan ibarat sebuah acara “pembunuhan massal” celeng-celeng di tengah arena lapangan. Mereka yang turut membunuh celeng adalah para lelaki dan membawa sebuah tombak sebagai senjata “pemusnah” celeng. Di acara gedhegan tersebut, tidak ada yang menjual makanan atau jajanan.
Lalu bagaimana dengan seorang kemongkong sendiri ? Menurut ingatan mbok Ireng, yang notabene putri kandung Pak Mohari. Kemongkong adalah seorang yang mempunyai ilmu untuk mengumpulkan babi hutan atau celeng. Ayahnya dulu belajar ilmu kemongkong dari Pak Purwadi yang asalnya dari Secengis. Kemongkong mempunyai anak buah, lebih dikenal dengan nama sekudi. Para sekudinya pak Mohari kala itu adalah Pak Sakur, Pak Wahid, serta satu lagi, namun penulis lupa namanya.
Proses pengumpulan celeng tadi dilakukan sesuai kesepakatan warga. Tidak ada waktu atau hari-hari tertentu. Apabila ada celeng-celeng yang merusak tanaman warga, baru akan diadakan ritual gedhegan. Bahkan, dulu bisa sampai setahun tiga kali diadakan acara gedhegan. Pertama yang harus dilakukan adalah pertemuan antar warga. Apabila warga sudah sepakat dan diketahui pula perkiraan jumlah celeng yang merusak tanaman, prosesi kemongkong akan segera dilaksanakan. Menurut mbok Ireng, jumlah KK saat itu sekitar 80-90an KK. Apabila jumlah KK sekitar 80, berarti ada sekitar 80 warga yang merasa tanamannya dirusak oleh celeng. Warga yang merasa terganggu oleh celeng diwajibkan untuk membuat gedheg berbentu kotak atau persegi dengan ukuran 1,5m². Gedheg tadi akan digunakan sebagai perangkap celeng.
Seorang kemongkong wajib melakukan tata cara atau syarat utama. Ia harus puasa patigeni di kamar. Tidak ada lampu yang hidup, makan serta minum ala kadarnya. Setelah mampu melakukan puasa pati geni, ritual kemongkong baru dilaksanakan. Seorang kemongkong harus tidur di depan pintu rumahnya. Tidur beralaskan tabir atau tambah. Posisi tidurnya melingkar (mlungker) dan tangannya mengepal. Ritual itu dilakukan selama tujuh hari, tujuh malam. Hanya boleh makan nasi tiga jimpit dan segelas air putih. Selama tujuh hari tujuh malam, yang diperbolehkan mengantar menu “berbuka” tadi adalah keluarganya sendiri. Mbok Ireng juga sering membantu mengantarkan makanan disaat pak Mohari sedang tertidur di atas tampah.
Ritual tadi diangggap sukses apabila ada kuthuk (anak ayam) yang mendatangi kemongkong ketika sedang tidur. Setelah prosesi tersebut selesai, akan diadakan acara rasulan. Yaitu upacara atau tumpengan yang diadakan warga. Tumpeng-tumpeng tersebut harus berwarna hitam dan putih. Setelah itu juga disajikan lauk pauk berupa ayam tulak. Yaitu ayam yang warnanya hitam dan putih. Biasanya warna putih terletak pada bagian sayap. Pada hari selanjutnya, baru akan diadakan gedhegan. Gedheg-gedheg yang sudah terpasang akan menjadi sarang masuknya celeng. Kemongkong akan menyirep atau irupan, agar celeng-celeng tadi datang. Celeng-celeng yang datang tidak hanya dari Kaliwisnu. Gerombolan celeng dari dusun lain juga berdatangan. Upacara gedhegan dilaksanakan di sebuah lapangan yang luas. Dulu, salah satu lokasi di Kaliwisnu yang pernah dipakai untuk gedhegan berada di RT 1, letaknya paling atas sendiri. Pernah juga diadakan di dekat sungai.
Celeng-celeng yang datang akan ditonton oleh warga. Baik dari Kaliwisnu maupun dari dusun lain di Paninggaran. Baik dari Kaliwisnu ataupun darai dusun lain di luar Paninggaran. Uniknya, perangkat desa jga turut menonton. Bahkan seorang camat dan para polisi juga meluangkan  waktunya untuk melihat acara gedhegan. Penonton yang berani akan membawa tombak atau senjata tajam lainnya (samurai, pedang dsb). Untuk tombak, bisa dibuat dari bambu atau besi yang tajam. Menurut mbok Ireng, hampir ada 100 lebih tombak. Jadi sekitar ratusan masyarakat siap membantai celeng-celeng.
Celeng-celeng yang sudah disirep akan datang dengan sendirinya. Mereka secara otomatis akan masuk ke dalam gedheg yang ukurannya 1,5m². Penonton akan melihat dari kejauhan. Yang berani akan mendekati gedheg dengan membawa senjata. Setelah celeng-celeng terkumpul, kemongkong akan tidur. Celeng-celeng pun juga ikut tertidur. Kemongkong serta celeng akan dibangunkan oleh sekudi. Setelah terbangun, celeng-celeng tadi akan ditusuk atau ditombak oleh ratusan warga.
Selain para warga, asisten kemongkong alias para sekudi juga turut membunuh celeng. Segerombolan celeng yang sudah masuk ke dalam gedheg tidak bisa keluar lagi. Karena gedheg tadi mampu menahan desakan celeng. Gedheg sudah diberi mantra atau ajian terlebih dahulu. Boros-boros akan keliling sambil membunuh celeng. Sedang kemongkong hanya keliling saja, mengamati tanpa turut membunuh. Tugasnya tinggal memantau jalannya pembunuhan hama celeng. Penonton yang berdatangan bisa mencapai ratusan. Acara gedhegan biasanya lebih ramai ketimbang acara 17an. Setelah celeng-celeng tewas, tugas kemongkong selesai sudah. Celeng-celeng yang tewas, dibiarkan begitu saja. mungkin ada beberapa orang yang mengambil mayat-mayat celeng. Namun, berdasarkan cerita para saksi, celeng-celeng tadi dibiarkan di tempat sampai membusuk.
Mbok Ireng menyatakan bahwa dulu ada orang Petung Kriono dan orang Cina yang datang ke rumah. Ia meminta atau belajar soal ilmu kemongkong yang dimiliki oleh pak Mohari. Menurut ingatan mbok Ireng, mereka datang di tahun 1945. Di Petung Kriono memang ada pemburuan celeng oleh kemongkong. Bedanya, celeng-celeng yang mati akan dibawa atau dijual kepada baba-baba Cina. Biarpun selama TPL berlangsung, saya sendiri belum pernah melihat orang Cina di Paninggaran.
Ritual atau tradisi kemongkong mulai habis di tahun 1965. Tidak ada hubungannya dengan tragedi G30S, karena saat itu pak Mohari memang sudah tua dan sakit-sakitan. Semenjak pak Mohari meninggal, acara kemongkong sudah tidak ada. Mbok Ireng juga tidak tahu bagaimana mantra atau jampi-jampi yang dimiliki kemongkong. Sepeninggalan pak Mohari sampai sekarang, celeng-celeng semakin berkeliaran di dusun Kaliwisnu. Celeng-celeng sangat meresahkan warga sekitar karena pertanian mereka menjadi rusak akibat celeng. Pak Mohari adalah satu-satunya kemongkong di Paninggaran. Itu berdasar pengakuan dari Mbok Ireng. Belum diketahui dengan daerah-daerah yang lain. Yang jelas, syarat utama menjadi kemongkong adalah berani prihatin.
Celeng-celeng yang bertebaran di Kaliwisnu makin lama makin banyak. Mereka sempat mengundang pemburu babi dari daerah Paninggaran. Bosnya bernama Bagong. Ia bersama anak buahnya berhasil membantai celeng-celeng. Satu hari bisa mencapai dua sampai tiga celeng. Mereka hanya membawa tombak dan perangkap yang terbuat dari kawat-kawat. Namun, setiap kali memburu, celeng-celeng memang sudah habis. Namun setelah itu selalu muncul lagi celeng-celeng yang baru. Masyarakat merasa resah akan keberadaan celeng yang tidak pernah habis. Mereka merasa rugi karena harus menghidupi keseharian pemburu celeng. Grup pemburu celeng milik Bagong tadi, terakhir kali mendatang Kaliwisnu saat ia berhasil menangkap macan. Setelah itu, tidak pernah datang lagi ke Kaliwisnu.
Menurut cerita pak Bayan, di daerah gunung Bangkok memang ada gua yang namanya gua Srenggi. Gua tadi menjadi tempat berkumpulnya celeng-celeng. Hama celeng banyak bersembunyi dan berkembang biak disana. Uniknya, kemongkong saat ini sudah tiada. Pemburu celeng di Kaliwisnu hampir tidak ada. kebanyakan berasal dari luar dan itupun minta bayaran serta jatah rokok. Mereka, para pemburu celeng tidak lagi dimintai oleh warga Kaliwisnu untuk memburu babi-babi hutan yang liar. Karena kadangkala masih banyak celeng-celeng yang berkeliaran. Karena itu mereka merasa rugi menyewa pemburu celeng.

Rabu, 15 Juni 2016

Miralem Pjanic, Dibalik lagu “Angie”


Malam itu, petikan gitar dari balik lagu “Angie” mengiringi menit-menit dimana saya harus menunggu sahur. Sembari membuka twitter, line atau apapun lah akun media sosial yang ada di handphone saya. Ya, mendengarkan lagu “Angie” yang dibawakan oleh Rolling Stones tersebut merupakan rutinitas yang kerap saya lalui. “Angie, i still love you...”, lirik yang terus terngiang di telinga, maklum lagu tersebut selalu ada di playlist. Alasannya sih sederhana, karena judul lagu tadi mengingatkan saya pada seseorang. Tapi, ah sudahlah, bukan itu yang ingin saya bicarakan, nek kedawan mah curhat.

Malam itu juga, saya membaca berita mengenai kepindahan Miralem Pjanic ke Juventus. Bukan hal yang mengejutkan bagi saya pribadi, apabila Pjanic akan pergi dari Olimpico musim ini. Ya, Pjanic memiliki klausul transfer saat dirinya menandatangani pembaharuan kontrak pada tahun 2014. Klausul sebesar 38 juta euro merupakan hal yang enteng bagi klub-klub besar macam Barcelona, Real Madrid, City maupun Bayern Muenchen. Tapi, satu hal yang mengusik pikiran saya akhir-akhir ini adalah kapasitas Juventus yang semakin hari makin tangguh. Disamping itu, Juventus juga berhasil mengerogoti kekuatan calon musuh utamanya musim depan. Malam itu pula, lagu “Angie” membuat saya makin tersentak. Pjanic ibarat seorang “Angie”. Iya, banyak sekali Romanisti yang kecewa atas sikap Pjanic untuk berlabuh di Turin. “Angie, you’re beautiful. But ain’t it time to say goodbye..”

Ada banyak interpretasi mengenai siapa perempuan dibalik lagu yang diciptakan Rolling Stones pada tahun 1972 tersebut. Lagu yang pernah dipakai oleh Angela Merkel untuk kampanye tersebut memang bernuansa ballad dan membuat hati serasa galau, hha. Cerita mengenai kepergian seorang yang pernah mengisi hari-hari kita. Seseorang yang selalu membuat kita tersenyum, gembira, terkadang kecewa, sakit hati atau apapun itu. Pjanic, gelandang asal Bosnia yang pernah mengisi hati para fans Roma. Pemain yang konsisten dengan nomor punggung 15, kerap mencium emblem Roma apabila merayakan gol yang ia cetak. Pemuda berumur 26 tahun yang pernah dinobatkan sebagai “Little Prince” oleh Francesco Totti dan diamini seantero Romanisti. Spesialis set pieces di kubu AS Roma, tendangan bebasnya pernah menjebol jala calon rekannya musim depan, Buffon hanya tercengang melihat bola melintas ke gawang yang ia jaga kala itu. Suksesnya transfer ke Juventus tentu sebuah hal yang menyakitkan bagi penggemar Roma. “All the dreams we held so close, seemed to all go up on a smoke..”

Salah seorang jurnalis sepakbola kenamaan, yaitu James Horncastle pernah membuat prediksi bahwa Roma akan kehilangan salah seorang pemain kuncinya, antara Pjanic atau Nainggolan. Hal tersebut wajar, sebab Roma membutuhkan kesegaran baru di beberapa lini. James Horncastle membeberkan, bahwa Roma membutuhkan dana apabila ingin menebus El Sharaawy ataupun Lucas Digne. Isu financial fair play pun terus mencuat dan menganggu keuangan Roma yang urung stabil. Sponsor utama belum didapatkan, rencana pembangunan stadion sempat terkatung-katung. Itupun masih ditambah dengan boikot Curva Sud untuk menonton langsung di Olimpico. Menjual Pjanic atau Nainggolan adalah solusi utama bagi Roma apabila ingin menambal sulam skuadnya. Ditambah, cederanya Rudiger tentu mengagalkan strategi Walter Sabatini untuk melegonya ke Chelsea. Pjanic menjadi jawabannya dan Juventus sangat lihai memanfaatkan situasi tersebut. Mengingat, pangeran Juventus yaitu Marchisio dipastikan absen selama 6 bulan. Tidak salah apabila Pjanic membidik jersey Juventus musim depan. Slot line up utama bisa dipastikan menjadi miliknya. Amat tidak mungkin, Allegri mengesampingkan matanya untuk memanfaatkan jasa pemain yang berhasil mengemas 10 gol dan 12 assist di kancah Serie A musim kemarin.

Selain kelihaiannya memberikan assist, Pjanic juga mempunyai kelebihan lain semacam tackle ataupun intercept. Situs Whoscored menorehkan data, rata-rata dari 33 penampilan di Serie A musim kemarin, Pjanic mampu melancarkan 1,4 tackle dan 1,5 intercept per game. Selain itu, berdasarkan statistik dari Squawka, kaki Miralem Pjanic mampu menyodorkan passing sebanyak 1771 kali dengan akurasi 85% dan 69% diantaranya kerap ditujukan untuk membangun serangan. Sebuah kejeniusan yang tentunya akan dirindukan oleh fans Roma musim depan bukan ? Akan tetapi, bagaimanapun juga, Pjanic tak luput dari segi kelemahan. Rata-rata penampilan Pjanic memang tak cocok apabila harus berduel dengan lawan. Mengingat posisinya adalah gelandang serang yang berada di belakang striker, baik ketika ditangani Rudi Garcia maupun Luciano Spalletti. Formasi 4-3-3 ataupun 4-3-1-2 sangat klop bagi pemain semacam Miralem Pjanic. Karena itu, Squawka hanya menorehkan 36% apabila duel dengan lawan. Hal tersebut juga berakibat pada jumlah kartu yang harus ia terima, total ada 11 kartu kuning dan 1 kartu merah yang didapatkan Miralem Pjanic pada musim 2015/16.

Lalu, apakah wajar apabila fans Roma merasa sangat kehilangan Pjanic ? Baiklah, detik ini gelandang box to box, Radja “Ninja” Nainggolan belum disentuh klub manapun. Biarpun pelatih baru Chelsea, yaitu Antonio Conte sangat “demen” dengan Nainggolan. Kemampuannya mirip dengan mantan anak asuh Conte ketika melatih Juventus, yaitu Arturo Vidal. Namun, ada beberapa pemain yang mungkin terlupakan. AS Roma masih memiliki gelandang yang sebenarnya memiliki perpaduan skill seperti Pjanic dan Nainggolan, dia adalah Kevin Strootman. Yak, gelandang tersebut memang absen lama dikarenakan cedera panjang yang terus mendera. Namun, penampilan apiknya di akhir musim tak boleh dilupakan. Strootman mungkin tidak bertipe playmaker layaknya Pjanic, namun memiliki ketangguhan sebagai gelandang penjelajah. Lebih mirip dengan Radja Nainggolan, kerap membantu serangan maupun ketika bertahan. Disamping itu, Roma juga memiliki Leandro Paredes yang bermain amat impresif bersama Empoli musim kemarin. Whoscored sendiri mencatat, bahwa Paredes punya kemampuan dalam segi passing dan juga setpieces. Pemain berumur 21 tahun tersebut punya keahlian mendistribusikan bola. Berdasar rujukan statistik, setidaknya 83,9% passing berhasil ia sematkan dimusim ini bersama Empoli dengan operan kunci 1,2 per pertandingan. Dari segi bertahan pun Paredes bisa dibilang tidak buruk-buruk amat. Yaitu, rata-rata 2,5 tekel dan 1,5 interception per match. Hanya saja, tajinya di kompetisi Eropa masih belum teruji. Namun, pemain yang besar bersama Boca Juniors tersebut juga dirumorkan menjadi incaran klub besar seperti Zenit, Chelsea serta Liverpool. Saya sendiri lebih kecewa apabila Paredes pergi meninggalkan Roma. Kesalahan fatal apabila Roma benar-benar melegonya musim ini. Selain Paredes dan Strootman, masih ada wonderkid asal Brazil yang dipastikan akan merumput bersama Roma musim depan, yaitu Gerson.

Memaksimalkan pemain muda asli didikan Roma jelas menjadi harapan. Toh, pada musim ini, skuad Roma muda asuhan Alberto De Rossi berhasil menjadi kampiun. Secara kapasistas, mereka memang masih hijau dan belum mampu bersaing dengan pemain senior. Akan tetapi memanfaatkan jasa pemain di skuad Primavera menjadi tantangan tersendiri bagi Luciano Spalletti. Ingat, beberapa pemain AS Roma Primavera cukup diperhitungkan, semisal Ezequiel Ponce, Umar Sadiq ataupun Edoardo Soleri di posisi penyerang. Sebagai gelandang serang masih ada Lorenzo di Livio yang pernah merumput sekali bersama tim senior. Beberapa pemain lain semacam Cristian D’Urso, Elio Capradossi, Lorenzo Vasco ataupun Lorenzo Crisanto patut diperhatikan oleh Luciano Spalletti. Roma sudah cukup banyak kehilangan talenta muda mereka yang pernah dididik di akademi Trigoria, semacam Valerio Verre, Federico Viviani, Andera Bertolacci ataupun Alessio Romagnoli. Disamping itu beberapa pemain yang dipinjamkan juga layak untuk diorbitkan musim depan, seperti Federico Ricci, Matteo Politano serta Antonio Sanabria.
“In Italy, there’s no patience. But what could be more beatiful ? A player, created in the academy, maybe even born in the city ? it’s a fantastic idea.” (Alberto De Rossi)

Bagi saya pribadi, kepergian Pjanic ke kubu rival memang hal yang mengecewakan. Gelandang yang amat sangat kreatif, visinya untuk melepas umpan, menahan bola ataupun mengatur permainan jelas layak diberikan applause. Namun, De Rossi sebagai panutan di kubu Roma sendiri berujar, bahwa Pjanic memang pemain profesional, baik di lapangan ataupun ketika latihan. Tapi, nyawa “icon” belum termaktub di tubuh Pjanic. Mungkin saja, kelak Juventus adalah klub yang akan menjadikan dirinya sebagai ikon. Ingat, bermain di AS Roma penuh dengan atmosfer tekanan, baik dari internal ataupun dari pihak suporter. Agaknya, suasan tersebut tidak akan Pjanic dapatkan ketika merumput bersama Juventus. Saya sendiri terkesan dengan pengakuan Ciro Ferrara dan Angelo di Livio ketika mengenang hari-harinya menjadi pemain Juventus.

Tentu, kita sering melihat meme mengenai Marco Reus yang selalu saja ditinggal rekan setimnya, mulai dari Mario Gotze, Lewandowski hingga Matt Hummels. Namun, sadarkah kita apabila pemain semacam Gerrad, Totti, De Rossi, Raul hingga Del Piero pun seringkali ditinggal pergi oleh kawan-kawannya. Detik ini, sepakbola sudah menjadi ajang jual beli pemain. Loyalitas merupakan hal yang susah untuk diaplikasikan di sepakbola modern. Lagipula, AS Roma pernah menjual pemain ke tangan rivalnya sendiri. Ingatkah dengan Emerson ataupun Zebina yang mengikuti jejak Capello ke Delle Alpi ? Ataupun kerelaan Walter Samuel untuk dijual ke Real Madrid akibat perekonomian Roma yang terseok-seok.

Kepindahan Pjanic memang diselimuti kontroversi. Mulai dari pernyataan James Pallotta yang menekankan bahwa Roma tidak akan menjual Pjanic. Lalu, konfirmasi dari Mauro Baldissoni bahwa Roma sudah menyelesaikan kesepakatan untuk menjual Pjanic ke Juventus, padahal secara resmi belum diumumkan oleh masing-masing kubu. Sebuah pernyataan yang sungguh tidak profesional dari manajemen AS Roma. Kontroversi pun masih ditambah dengan berita bahwa Pjanic lah yang meminta agar dirinya dijual ke Juventus. Ia pun rela merogoh untuk memuluskan klausul transfernya ke Juventus. Rumor yang beredar, Juventus hanya membayar 32 juta euro dari klausul sebesar 38 juta euro, sisanya dibayar oleh Pjanic sendiri. Entah, apakah hal tersebut benar atau tidak, waktu akan menjawabnya. Banyak yang merasa kehilangan Miralem Pjanic, selain Radja Nainggolan tentunya. Kedua pemain tersebut kerap sekali memamerkan kebersamaannya di instagram. Sayang, kebersamaan tersebut akan jarang atau bahkan tidak kita temui di kompetisi Serie A musim depan. “With no loving in our souls and no money in our coats, you can’t say we’re satisfied..”


Ucapan terima kasih kepada Pjanic sudah sepatutnya kita layangkan. Lima tahun di Roma bukanlah yang mudah. Ibarat sebuah pengkhianatan bagi fans Roma bagi seorang pemain yang mengaku sangat mencintai AS Roma tersebut. Cukup satu kalimat saja untuk mengakhiri tulisan ini, “Pjanic, you can’t say we never tried...”

Selasa, 02 Februari 2016

Kampus Meong, Meong...


Semalam, empat pria yang masih bujang (sebut saja mereka, si A, si K, si R dan si M) berkumpul di bawah Jembatan Budaya, FIB UGM. Di bawah naungan tempat “sakral” tersebut, terdengar rintik-rintik hujan. Ada banyak percakapan yang tercipta di malam itu. Semisal, si A menanyakan mengenai puncak tertinggi mencintai seseorang. Obrolan apaan sih ini, hihihi. Hinggap pula ke perbincangan, “situ masih kontak-kontakkan sama dia gak’e ?” Hingga meluncur ke pencarian gadis-gadis cantik via Instagram dan teman-temannya. Awalnya, meja hitam yang diduduki berisi si A, si R, si M dan si V. Namun, si V memutuskan untuk pulang duluan. Setelah si V pulang, datanglah si K menjinjing tote bag dipundaknya.
Makin malam, obrolan makin seirus. Diawali si R dan si K, mereka berbincang-bincang tentang teori-teori rumit yang susah dikunyah oleh si A serta si M. Si K lalu menceploskan sebuah “gosip” hangat yang barusan terjadi di kampusnya penyair ternama Sapardi Djoko Dhamono tersebut. Ia bercerita bahwa diskusi mengenai International People’s Tribunal 1965 (IPT 65) dibatalkan. Diskusi yang menghadirkan Ratna Saptari selaku panitia IPT 65 tersebut sejatinya diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah UGM. Entahlah, tapi panitianya dari Jurusan Sejarah UGM. IPT 65 sendiri sudah dilangsungkan pada bulan Oktober tahun kemarin di Den Haag, Belanda. Hasilnya, ada sebuah rekomendasi yang diputuskan Majelis Hakim agar pemerintah Indonesia mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM terkait pembantaian massal pada Peristiwa 1965-1966. Mereka juga meminta agar pemerintah Indonesia mengucapkan permintaan maaf kepada keluarga korban. Apalagi, pada tahun 2012, Komnas HAM juga sudah mengajukan hasil penyelidikan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat pada Peristiwa 1965-1966. Namun, hingga sekarang pemerintah Indonesia belum memproses laporan tersebut.
Si K juga berujar, dirinya sempat menuju Ruang Multimedia, Gedung Margono, FIB UGM, ruangan yang akan diselenggarakan untuk diskusi. Sayang, suasananya sepi, tak ada panitia sama sekali. Ia lalu berinisiatif menuju Jurusan Sejarah, menanyakan soal kepastian diskusi. Salah seorang staf Jurusan Sejarah menjawab bahwa diskusinya dibatalkan. Weh, kok bisa ? usut punya usut, tersebar kabar burung, bahwa pihak “Pusat” tidak berkenan diadakan diskusi tersebut. Dikhawatirkan akan timbul sabotase terhadap diskusi yang bertajuk “Catatan di Balik International People’s Tribunal (IPT) 1965” tersebut. Memang, diskusi mengenai IPT 65 akan merujuk pada pembicaraan mengenai komunis. Sebab, ditahun-tahun 1965-66 merupakan masa dimana simpatisan komunis berada dibawah teror acungan senjata. Sekarang pun komunisme masih dianggap sebagai musuh bersama bangsa ini. Hingga detik ini, belum keluar klarifikasi dari panitia penyelenggara. Tapi mungkin saja, panitia memberikan klarifikasi ke email masing-masing peserta. Sebab, setahu si M, kalau mau mengikuti diskusi tersebut harus konfirmasi lebih dahulu ke salah satu email panitia.
Betewe nih, betewe, pihak “Pusat” juga tidak mengeluarkan pernyataan resmi agar diskusi tersebut lebih baik dibatalkan demi kemaslahatan bersama. Katanya lho ini, katanya, “intelijen” sudah mengetahui akan diadakannya diskusi tersebut. Ya mungkin saja, “intelijen” melapor ke “Pusat” agar diskusi IPT 65 ditiadakan saja. Kan nggak tahu juga apakah akan diserang oleh “oknum-oknum” tertentu. Intinya gitu sih kali ya, buat antisipasi. Haa posisi “Pusat” tuh gimana aslinya selama ini ? kalau menurut si R via akun line pribadinya sih begini, “Sesudah diskusi IPT ditiadakan, lalu apa lagi, pus kampus hesjaaan”. Ya dijawab aja tho bung, “Pus, meong...”
Selanjutnya, keempat pria diatas tentu bertanya-tanya, kok bisa diskusi seperti itu dibatalkan. Bukankah Kampus UGM itu mimbar pendidikan untuk menyuarakan pengetahuan. Si M lalu teringat, ia sempat bertemu dengan salah seorang dosen Jurusan Sejarah beberapa waktu yang lalu. Saat itu si M bertanya apakah dosen tersebut bisa menjadi moderator di acara diskusi novel Cintaku di Kampus Biru yang akan diadakan oleh Teater Gadjah Mada. Sayang, dosen tersebut tidak bisa karena harus ke Kalimantan pada tanggal yang sama. Dosen tadi juga paham, bahwa diskusi novel tersebut berhubungan dengan pentas Cintaku di Kampus Biru yang diselenggarakan di Fisipol pada bulan Desember tahun kemarin. Pentas tersebut memang urung diselenggarakan, namun dari pihak TGM memutuskan untuk menggantinya menjadi pentas bongkaran. Beredar desas-desus, bahwa pihak “Pusat” resah mengetahui poster non formal yang tersebar di media sosial. Nah, saat peristiwa tadi, dosen Sejarah tersebut sedang berada di istananya orang-orang “Pusat”. Ia mendengar, bahwa pimpinan “Pusat” resah atas poster non formal pertunjukan TGM tadi dan meminta agar pertunjukan ditiadakan. Tapi “Pusat” tak pernah mengeluarkan pernyataan resmi. Menurut dosen Sejarah tadi, hal tersebut biasa dilakukan “Pusat” agar tidak terkesan menjadi insititusi pendidikan yang konservatif. Sengaja dibuat agar menjadi “gosip”, “kabar burung”. Apakah kasus yang dialami panitia diskusi IPT 65 juga seperti itu ? bisa jadi sih, tapi ya bagaimana, namanya juga gosip murahan, hhe, hhe.
Tapi ya, apabila benar-benar pihak “Pusat” memberikan amanat untuk meniadakan diskusi tersebut, tentu menjadi pertanyaan besar. Sebenarnya, gimana sih posisi “Pusat” sendiri ? FYI nih, bosnya “Pusat” pernah berujar kalau UGM tuh mendukung penegakan HAM di Indonesia, tapi UGM juga wajib menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Nah, pernyataan tersebut muncul setelah kesaksian salah seorang penyintas di IPT 65. Seorang perempuan berusia sekitar 70 tahun dengan nama samaran Kingkin Rahayu berujar bahwa salah satu yang menyiksa dirinya bernama Loekman Soetrisno, dosen UGM. Yak, (alm) pak Loekman Soetrisno memang dosen Jurusan Sejarah UGM, guru besar pula. Bahkan, UGM juga pernah dianugerahi sebuah plakat dari RPKAD atas kontribusinya menanggulangi penumpasan simpatisan komunis pada tahun 1965.
Nah, diskusi yang niatnya akan diadakan Senin siang kemarin seharusnya menjadi momen penting dong bagi UGM, terutama Jurusan Sejarah UGM. Menjadi bukti bahwa mereka peduli terhadap isu tersebut. Apabila Loekman Soetrisno memang benar-benar seorang interogator, ya cukup diakui saja. Entah apa motivasinya saat itu, apakah karena keinginan pribadi atau memang ada perintah dari atasan “Pusat”. Gosip lagi nih, gosip, konon pak Loekman Soetrisno tuh dulu kalau kuliah suka bawa “beceng” alias pistol. Tapi, di ranah akademis, salah seorang dosen Sejarah, yaitu Bambang Purwanto mengakui kecerdasan seorang Loeman Soetrisno. Toh, beliau juga sudah meninggal. Sayang, momen yang bisa dijadikan sarana rekonsiliasi tersebut malah digagalkan oleh pihak tertentu. Sebab, ada kabar bahwa beberapa korban peristiwa 65 sempat datang ke FIB UGM untuk mengikuti diskusi IPT 65 tadi.
Ah, tapi ya mau gimana lagi. Kita juga tak tahu, besok akan ada “pembatalan” apa lagi. Mungkin benar apa yang dikatakan tokoh fiksi ciptaan Ashadi Siregar, yaitu Anton Rorimpandey, seorang mahasiswa Psikologi ketika sedang berbincang-bincang dengan dekannya.
"Apakah Bapak mentolerir tindakan-tindakan semacam itu? Kalau begitu, apakah gunanya prinsip-prinsip kebenaran, prinsip-prinsip ilmiah yang kita agung-agungkan selama ini?"
Kata-kata diatas tertulis di dalam novel Cintaku di Kampus Biru. Perbincangan antara Anton dengan dekannya masih terus berlangsung. Hingga akhirnya Anton memutuskan untuk pulang dan mengucapkan rasa terima kasih. Dekan tersebut hanya bisa termenung mendengar kata “terima kasih” yang disampaikan Anton. Ia hanya bisa membatin dalam hati,
“Apakah yang diterimakasihkannya? Apakah yang telah kuberikan kepadanya? Apakah yang kuajarkan selama ini? Dusta, kebohongan, atau cuma mimpi-mimpi? Sementara itu, dalam realita, aku mengajarkan sesuatu yang sama sekali mengentuti ajaran-ajaran di mimbar kuliah..”
Hujan belum juga reda, mereka berempat masih terus berbincang-bincang, nggosip serius lebih tepatnya. Soal relokasi kantin Bonbin, pembangunan gedung baru yang urung terlaksana hingga kasus seorang remaja yang mulai belajar menjadi maling. Mungkin mereka sudah bosan membincangkan gadis-gadis cantik yang tersebar di kampus UGM atau membahas gosip murahan sudut kampus yang selalu menemani ketika senja dijemput oleh Bathara Candra. Karena terlalu lama menahan rasa lapar, mereka memutuskan untuk menerjang hujan dan kembali ke peraduan masing-masing.
Eh ada yang ketinggalan, menarik lho tulisan ini.

Minggu, 17 Januari 2016

The Ecstasy of Giallorossi Gold


“Eh Rudi Garcia wis resmi dipecat to bung ?” kata seorang teman via wasap pada Rabu malam. Saya sendiri tak tahu menahu soal pemecatan pelatih berkebangsaan Perancis tadi. Tapi, apabila Rudi Garcia benar-benar dipecat, bukan sebuah kabar yang mengagetkan. Maklum, salah satu pengamat bursa transfer di jagad sepakbola, yaitu Gianluca Di Marzio sudah mengemukakan rumor tersebut pada hari Minggu, pasca hasil imbang yang diderita AS Roma kontra AC Milan. Gianluca Di Marzio sendiri memang dikenal valid apabila menyampaikan pemberitaan mengenai transfer pemain maupun pergantian pelatih. Saat itu, Gianluca Di Marzio menyatakan bahwa Luciano Spalletti menjadi pilihan utama AS Roma, opsi lainnya adalah Marcelo Bielsa dan Jorge Sampaoli.

Info yang disampaikan Di Marzio ternyata terbukti, tanggal 15 Januari kemarin Roma mengumumkan pelatih baru mereka, Luciano Spalletti. Juru taktik berkepala plontos yang pernah menangani AS Roma dari tahun 2005 hingga 2009. Pertanyaannya, apakah Rudi Garcia layak dipecat ? Kalau aku sih yes, entah yang lain kayak coach Justin yang kerap mengisi acara ESPN FC di Net TV. Bagi coach Alvin, Rudi Garcia masih layak melatih Roma, alasannya selisih poin dengan pemuncak klasemen tidak terlalu banyak. Tapi, ia agak pesimis apabila Roma berambisi meraih scudetto dengan materi pemain yang ada. Saya kurang setuju dengan pendapat tersebut. Apabila membandingkan skuad Roma dengan tim lain, seperti Inter Milan, Napoli ataupun Fiorentina. Jelas, kualitas pemain Roma lebih mewah. Skuad mereka secara kualitas hanya kalah dengan Juventus.

Rudi Garcia layak dipecat karena tak punya variasi taktik. Pelatih yang pernah merumput bersama Lille tersebut dikritik oleh banyak pihak karena tak mempunyai plan B. Ia tetap konsisten memakai formasi 4-3-3 yang secara permainan sudah terbaca oleh lawan-lawannya. Selain itu, kekalahan telak di Camp Nou atas Barcelona juga sebuah blunder besar. Memakai high pressing pula, ealah Rud, ya jelas keteteran menghadapi kecepatan pemain Barca. Pasca kekalahan tersebut, mental pemain Roma langsung turun. Mirip seperti musim kemarin, ketika Roma dibabat 1-7 oleh Bayern Muenchen. Dewi fortuna mungkin mampir sebentar skuad Roma, mereka berhasil lolos ke fase 16 besar Liga Champions dan mencatatkan diri sebagai tim yang pernah lolos dengan poin paling minim sepanjang sejarah. Bayangkan, Il Lupi hanya mengemas enam poin dari lima pertandingan yang mereka jalani. Mereka bersanding dengan Zenit St Petersburg yang pernah lolos ke fase 16 besar dan hanya mengemas enam poin pada musim 2013/14. Siapa pelatih Zenit kala itu ? sayang sekali, pria yang beruntung tersebut bernama Luciano Spalletti.


Tapi toh, bagaimanapun juga, sebagai fans AS Roma, ucapan terima kasih layak disampaikan kepada Rudi Garcia. Di musim pertamanya, beliau berhasil mengubah AS Roma menjadi penantang serius Juventus. Ia berhasil menumbuhkan mental pemain yang turun, apalagi sejak menelan kekalahan dari rival abadinya di ajang final Coppa Italia 2013. Di musim pertamanya, Rudi Garcia mengantarkan Roma menjadi runner up dengan raihan 85 poin, jumlah terbanyak sepanjang Roma berlaga di Serie A. Sepakbola menyerang nan indah yang disajikan oleh Garcia juga menuai pujian. Memang, pada musim tersebut Roma tidak berpartisipasi di kompetisi Eropa dan menjadi nilai plus agar lebih fokus ke liga domestik. Tapi kesalahan demi kesalahan terus dipelihara oleh Rudi Garcia pada musim kedua dan ketiganya. Kesalahan di bursa transfer juga menjadi biang masalah sejatinya. Walter Sabatini, selaku direktur sepakbola patut bertanggung jawab atas pilihan pemain yang gagal nyetel dengan permainan Rudi Garcia.

Lalu, apa yang bisa diharapkan Romanisti terhadap Luciano Spalletti ? memang sih, ada yang bilang bahwa yang namanya mantan tuh susah untuk dilupakan. Tapi, apabila bicara soal mantan, bagaimana dengan Zdenek Zeman ? ya, rezim Zeman II memang menuai kegagalan dibalik sepakbola cantik yang ia suguhkan. Nah, apakah Spalletti akan mengikuti jejak Zdenek Zeman ? atau mungkin akan seperti Nils “The Baron” Liedholm yang kembali lagi ke Roma pada tahun 1979 dan berhasil menjadikan Roma sebagai serigala yang disegani pada periode 1980an. Liedholm, Zeman dan Spalletti merupakan pelatih yang menyuguhkan inovasi baru di Italia. Liedholm mengenalkan sistem zonal marking disaat klub Italia lainnya cenderung pada sistem libero dan man marking. Zdenek Zeman sendiri selalu bersikukuh menerapkan “attack, attack, attack” dari detik pertama, padahal kala itu klub Italia sedang digandrungi model catenaccio. Terakhir, formasi 4-6-0 yang kerap disebut strikerless pernah dipopulerkan oleh Spalletti ketika melatih Roma. Gaya tersebut kelak akan melahirkan peran false nine yang menuai kesuksesan di kubu Barcelona dan timnas Spanyol. Persamaan lain yang patut diperhitungkan dari ketiga pelatih tadi adalah, mereka gemar mengorbitkan pemain-pemain muda.


Luciano Spalletti memang menjadi pelatih yang terakhir kali memberikan gelar bagi AS Roma. Bisa dibilang, kejelian Spalletti membuahkan kesuksesan di tubuh AS Roma. Selama tiga musim, Roma berhasil finish di posisi kedua dan menjadi kompetitor utama Inter Milan. Wajar, selepas kasus calciopoli, performa Juventus dan Milan agak melempem di liga domestik. Kondisi tersebut, layak dibandingkan dengan persaingan Serie A musim ini. Serie A tidak melulu dikuasai oleh dua tim. Sampai detik ini, Roma masih bertengger di peringkat lima dengan jarak 10 poin dari Napoli, pemuncak klasemen sementara. Kans Scudetto bisa dibilang masih terbuka lebar. Asalkan konsistensi permainan terus terjaga hingga akhir musim. Kalaupun gagal meraih titel juara, bagi saya pribadi bukan sebuah masalah. Berhasil lolos Liga Champions merupakan raihan yang positif bagi De Rossi dkk. Asalkan mereka mampu bermain konsisten, penuh semangat dan menyuguhkan sepakbola atraktif.

Seperti biasa, Spalletti dikenal sebagai pelatih yang konsisten memakai formasi 4-2-3-1. Empat bek berada di depan kiper, fullback kanan dan kiri akan membantu serangan.  Spalletti juga kerap menempatkan dua gelandang yang beroperasi sebagai holding midfielder. Di posisi lain, dua winger akan mengapit gelandang serang untuk membantu striker. Namun, cedera yang mendera beberapa pemain Roma pada musim 2006/2007 memaksa Spalletti untuk memutar otaknya. Formasi 4-2-3-1 seolah-olah berubah menjadi 4-6-0 atau 4-5-1-0 ataupun 4-1-5-0. Totti yang mempunyai keahlian untuk menyuplai bola tetap berada pada posisi gelandang serang. Ia tetap turun ke bawah untuk menjemput bola, distribusi akan ia alirkan ke dua pemain sayap, yaitu Rodrigo Taddei atau Mirko Vucinic di sisi kiri dan Mancini di sebelah kanan. Dua gelandang ditengah akan membantu serangan, plus dua bek sayap yang terkadang juga menyisir lapangan untuk membangun serangan. Di satu sisi, posisi De Rossi akan mengemban tugas sebagai jenderal di area pertahanan AS Roma. Kelihaian Spalletti untuk tetap memasang Totti sebagai gelandang serang dengan asumsi terlihat seperti striker palsu terbukti efektif. Pemain yang akan berumur 40 tahun pada September mendatang berhasil mengemas 26 gol di musim 2006/2007. Spalletti juga berhasil menyulap Vucinic yang sebenarnya berposisi asli sebagai striker untuk beroperasi disisi kiri sebagai sayap.

Eksperimen atas taktik 4-2-3-1 tersebut memang berbuah manis, dua Coppa Italia (2006-2007 dan 2007-2008) serta satu buah Super Coppa (2007) berhasil mendarat di Olimpico. Di jagad Champions League, permainan Roma juga mencuri perhatian banyak pihak. Sayang, di tahun 2007, Roma menelan kekalahan telak (7-1) atas Manchester United di fase perempatfinal. Kekalahan tersebut mengindikasikan, bahwa permainan yang diterapkan Spalletti cenderung “sangat menyerang”. Konon, Sir Alex Ferguson terinspirasi atas inovasi yang dilakukan Luciano Spalleti. Formasi dengan role striker palsu sempat diterapkan Manchester United pada musim 2007/2008. Rudi Garcia juga pernah menyuguhkan gaya tersebut di musim pertamanya melatih Roma. Peran Totti sebagai false nine terbukti ampuh ketika anak asuh Rudi Garcia berhasil menjungkalkan Inter Milan dengan skor 0-3.


Melatih klub semacam AS Roma memang bukan hal yang mudah. Tekanan dari pemilik klub dan suporter sangatlah tinggi. Apabila menilik dari periode 90an, terhitung hanya ada empat pelatih yang mampu bertahan selama dua musim lebih, yaitu Carlo Mazzone (1993-1996), Fabio Capello (1999-2004), Luciano Spalletti (2005-2009) dan tentu saja, Rudi Garcia (2013-awal 2016). Beban yang diemban Luciano Spalletti sangatlah berat. Satu hal utama yang perlu diperbaiki adalah mental pemain. Hal tersebut akan berimbas pada konsistensi permainan Giallorossi. Selain itu, harapan agar skema permainan cantik kembali diperlihatkan oleh Spalletti juga bukan hal yang mudah untuk direalisasikan. Pertanyaannya, apakah gaya bermain dengan role false nine mampu diterapkan Spalletti. Katakanlah, peran Totti saat itu diserahkan kepada Edin Dzeko ? Striker asal Bosnia tersebut sejauh ini masih kurang konstribusi golnya. Ia seringkali terlihat turut menjemput bola. Kondisi tadi wajar, sebab pemain sayap Roma semacam Salah atau Gervinho memang dikenal pelit untuk crossing. Padahal Dzeko sendiri lebih dikenal sebagai orthodox forward. Dzeko sebagai false nine secara skill jelas diragukan, akan tetapi menempatkan Pjanic pada role tersebut jelas lebih efektif. Posisi Dzeko alangkah baiknya disulap seperti Vucinic, bisa diletakkan di sisi kanan menggantikan Gervinho yang kemungkinan besar akan berlabuh di negeri China. Posisi lain yaitu sayap kiri akan ditempati oleh Mohammed Salah maupun Iago Falque. Dua gelandang tengah akan diisi oleh Florenzi dan Nainggolan, dibelakang mereka akan ada De Rossi. Kualitas gelandang yang dimiliki AS Roma tak perlu diragukan lagi. Apalagi, ketika Strootman benar-benar fit, daya jelajah pemain tersebut akan sangat efektif di gaya bermain Spalletti.

Problem yang perlu diperbaiki Roma adalah masalah pertahanan, terutama bek sayap. Ingat, Lucas Digne tidak punya pelapis yang sepadan. Begitupun pada posisi bek kanan, Maicon sudah termakan usia, Torosidis bermain angin-anginan dan support serangan sangatlah minim. Memakai Florenzi sebagai bek kanan juga tak terlalu efektif. Solusinya jelas, beli bek sayap. Rumor yang beredar, Adriano sudah memberikan sinyal berminat merumput dengan Pjanic dkk. Kabarnya, dalam waktu dekat, Roma akan melakukan negoisasi dengan Barcelona. Opsi lain yang muncul adalah Domenico Cristico. Pemain Zenit tersebut secara blak-blakan rindu untuk merumput kembali di kompetisi Serie A dan bersedia reuni dengan Spalletti. Selain kedua nama diatas, Davide Santon dan Matteo De Sciglio dirumorkan menjadi target AS Roma. Bagi saya, kedua nama terakhir masih terlalu hijau untuk bermain di kompetisi Eropa. De Sciglio yang mampu bermain sebagai bek kanan maupun bek kiri dikenal sering mengidap riwayat cedera. Davide Santon jarang dimainkan oleh Mancini pada musim ini. Kalaupun ingin mengambil pemain Inter, nama lain yang layak dipertimbangkan adalah Juan Jesus. Posisi lain yang rawan adalah bek tengah. Penjualan Romagnoli jelas blunder besar Sabatini musim ini, apalagi penggantinya adalah Rudiger yang sejauh ini belum menunjukkan konsistensinya sebagai bek tengah. Sisi pertahanan Roma kehilangan seorang komandan seperti Benatia atau Burdisso. Manolas tak punya mental tersebut, jiwa seorang Mexes sudah terlanjur menitis ditubuh pemain asal Yunani tersebut. Disatu sisi, Castan tak kunjung fit pasca operasi tumor. Faktor komunikasi antar lini pertahanan mungkin juga menjadi problem. Bayangkan, ada empat bek dan satu kiper dengan latar belakang negara yang berbeda-beda. Hal tersebut berimbas pada performa Szczesny yang seringkali kehilangan fokus akhir-akhir ini.


Kamis, 14 Januari, seorang pria berkepala botak tiba di kota Roma. Namanya dielukan-elukan di bandara Fiuminico, “Daje Mister !”, teriak beberapa orang. Pria tersebut lalu menuju Trigoria, markas AS Roma. Di depan pintu gerbang, terpampang satu buah spanduk bertulisan “Bentornato Mister”. Dunia maya pun turut gempar, ada yang pesimisis, adapula yang optimis. Ya, namanya masih dikenang oleh fans AS Roma sampai saat ini. Luciano Spalletti adalah “The Ecstasy of Gold”, meminjam judul lagu yang dipopulerkan oleh Ennio Morricone. Iya, “The Ecstasy of Giallorossi Gold”. Doni, Panucci, Mexes, Juan, Cassetti, Tonetto, Pizzaro, Perrotta, Vucinic, Mancini, Giuly, Aquilani dsb adalah masa lalu. Sekarang merupakan era kedua De Rossi dan Totti bersama Spalletti untuk menjaga kapal Roma supaya tidak oleng. Sebuah kapal yang penuh warna dengan sentuhan Italia, Brasil, Perancis, Bosnia, Spanyol dll. “Roma, Roma, Roma.. core de sta citta”


Trivia:
  1. Diawal tahun ini, Spalletti akan bereuni dengan Totti dan De Rossi di Trigoria, markas AS Roma. Ternyata, bukan hanya dua nama tersebut yang akan berenuni. Aurelio Andreazolli akan kembali bekerja dengan Luciano Spalletti di AS Roma sebagai asisten pelatih. Semenjak Spalletti meninggalkan Roma pada tahun 2009, Andreazolli tetap bertahan di Roma sebagai staff. Bahkan, Andreazolli sempat naik jabatan menjadi pelatih tim utama ditahun 2013 menggantikan Zdenek Zeman. Selain itu, Daniele Baldini dan Domenichini juga diminta Spalletti untuk bekerja lagi di Trigoria. Sebenarnya Morgan De Sanctis juga bereuni dengan Spalletti. Iya, De Sanctis pernah dipercaya Spalletti untuk menjaga mistar gawang Udinese dari tahun 2002-2005.
  2. Bersama keluarganya, Luciano Spalletti menjalankan bisnis custom furniture. Usaha pribadi juga dilakukan oleh Rudi Garcia, ia memiliki usaha butik fashion di Perancis.
  3. Luciano Spalletti dan Rudi Garcia sama-sama pernah membubuhkan rekor sebagai pelatih yang mengalami kekalahan terbesar di ajang Liga Champions. Saat itu, Cristiano Ronaldo dkk berhasil mengobrak-abrik pertahanan Roma dengan skor 7-1 pada musim 2006/2007. Nasib lebih buruk menimpa Rudi Garcia ditahun 2014, pemain Roma dipermalukan di kandangnya sendiri, skor 1-7 untuk tim Bavaria.