Ketika sebuah negara telah
berada “dibawah acungan senjata”, saya kira warga yang berdiam disana akan
berontak. Entah dalam batin, atau dimunculkan dalam bentuk tindakan. Ada
beberapa film mengenai pergulatan antara masyarakat dengan negara yang pernah
saya tonton. Antara lain, Diaz Don’t Clean Up The Blood (Italia : 2012).
Beberapa hari yang lalu, saya menonton sebuah film Argentina. Film tersebut
berjudul Imagining Argentina. Salah satu teman saya, yaitu mbak Heni,
merekomendasikan film tadi. Mbak Heni berujar, film tersebut menarik karena
menceritakan “petrus-petrus” Argentina pada tahun 1979-1983. Ketika rezim
militer menguasai negeri para pesepakbola kondang. Mungkin saja Maradona
menjadi saksi ketika Argentina berada “dibawah acungan senjata”.
Imagining Argentina, film yang
dibuat oleh Christopher Hampton pada tahun 2004 ini, merupakan adaptasi atas
novel karya Lawrence Thornton dengan judul yang sama. Sebuah novel yang latar
belakangnya berbasiskan sejarah. Di saat Argentina berada dalam posisi yang
pelik, negeri tersebut terlibat “Dirty War” antara tahun 1979-1983. Kita juga
tahu, pada tahun-tahun tersebut Argentina sempat beradu meriam dengan Inggris.
Pulau Malvinas atau Falkland yang menjadi taruhannya.
Carlos Rueda (Antonio Banderas)
dan Cecilia Rueda (Emma Thompson) hidup di Argentina disaat pemerintahannya
dikuasai oleh militer. Mereka mempunyai satu putri, yaitu Teresa Rueda (Leticia
Dolera). Carlos sekeluarga terpaksa harus melawan pemerintah, ketika Cecilia
mengirimkan sebuah artikel yang mengkritik pemerintah Argentina atas kasus “hilangnya”
beberapa siswa sekolah yang memprotes kenaikan tarif bus. Akhirnya Cecilia
ditangkap oleh sekelompok oknum yang dikendalikan oleh pemerintah.
Berbagai macam usaha dilakukan
oleh Carlos untuk menemukan istrinya. Entah darimana datangnya, tiba-tiba
Carlos mempunyai kekuatan ajaib alias indera keenam. Carlos bisa mengetahui
nasib para korban yang terindikasi telah “hilang”, apabila ia berdekatan dengan
siapapun yang berkaitan atas korban-korban yang “dihilangkan”. Tidak ada
penjelasan kenapa atau dari siapa Carlos memperoleh kekuatan misterius
tersebut. Carlos yang berprofesi sebagai pengajar teater tersebut, akhirnya
mengadakan sebuah forum tiap hari Selasa. Forum tadi berisi rekan atau keluarga
para korban “hilang”. Carlos memberikan sebuah penawaran atau mungkin bisa
disebut solusi, yaitu pembacaan nasib korban-korban yang “hilang”. Menurut
saya, forum tersebut bukanlah solusi yang tepat. Carlos tidak menawarkan sebuah
solusi, ia hanya membuat problem dan menciptakan kesedihan.
Saya sendiri memberikan nilai
tujuh atas film Imagining Argentina. Ada beberapa tokoh atau adegan yang
menurut saya tidak terlalu menarik. Antara lain, pertemuan Carlos dengan
sepasang suami istri yang sempat menghuni kamp Auschwitz. Carlos yang linglung
berusaha mencari pencerahan di sekitar pedalaman Argentina. Sepasang suami
istri Yahudi tersebut nampaknya menjadi pemanis atas simbol “imajinasi” dan
“perjuangan” dalam film Imagining Argentina.
Selain itu, sang sutradara doyan sekali
mengumbar adegan eksploitasi terhadap perempuan. Penamparan, pukulan serta
pemerkosaan kerap muncul. Bukannya kelompok subversif di Argentina tidak melulu
perempuan. Namun kenapa, korban yang dianiaya oleh pemerintah militer hanyalah
perempuan. Ada satu adegan yang mungkin mewakili kaum laki-laki. Yaitu, disaat
teman kerja Carlos, Silvio Ayala (Ruben Blades) dipenjara lalu diinterogasi dan
akhirnya dihukum dengan cara dijatuhkan dari helikopter. Silvio lebih memilih
bungkam dan memproklamirkan dirinya sebagai seorang Argentina sejati ~> “I’m
Silvio Ayala, I’m Argentinian !”
Apabila kita berekspektasi
bahwa Imagining Argentina akan memunculkan suasana panasnya rezim diktator nan
militeristik, sayang sekali, kita tidak akan menemukannya. Imagining Argentina
menawarkan kepada kita, untuk tidak mengulangi kembali masa lalu yang suram. “Never
to look back. But it is our sacred duty to look back.”
Imagining
Argentina, menyuguhkan data-data sejarah untuk mengawali dan mengakhiri adegan.
Caption yang disuguhkan untuk mengawali film adalah tampilan foto atau video
pada masa berlangsungnya tragedi berdarah di Argentina. Wajah bengis barisan
militer, sekelompok ibu-ibu berdemo dll. Sedangkan di penghujung film, si
sutradara berusaha menunjukkan kegilaan rezim militer Argentina selama
1979-1983. Ada sekitar 30.000 ribu korban “hilang”, baik laki-laki, perempuan
ataupun anak-anak. Data tersebut berdasarkan Amnesti Internasional. Selain itu
ditunjukkan pula puluhan ribu korban yang “hilang” diberbagai macam negara. Seperti,
Bosnia Herzegovina, Irak, Kongo, Rusia, India, Kuba, Chili, Kolombia, Mexico,
Peru, Srilanka, Libya dan tentunya tanah air beta, Indonesia.
Somewhere
in the world today, someone is “disappearing!” (Imagining Argentina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar