"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Senin, 16 September 2013

Imagining Argentina

Ketika sebuah negara telah berada “dibawah acungan senjata”, saya kira warga yang berdiam disana akan berontak. Entah dalam batin, atau dimunculkan dalam bentuk tindakan. Ada beberapa film mengenai pergulatan antara masyarakat dengan negara yang pernah saya tonton. Antara lain, Diaz Don’t Clean Up The Blood (Italia : 2012). Beberapa hari yang lalu, saya menonton sebuah film Argentina. Film tersebut berjudul Imagining Argentina. Salah satu teman saya, yaitu mbak Heni, merekomendasikan film tadi. Mbak Heni berujar, film tersebut menarik karena menceritakan “petrus-petrus” Argentina pada tahun 1979-1983. Ketika rezim militer menguasai negeri para pesepakbola kondang. Mungkin saja Maradona menjadi saksi ketika Argentina berada “dibawah acungan senjata”.

Imagining Argentina, film yang dibuat oleh Christopher Hampton pada tahun 2004 ini, merupakan adaptasi atas novel karya Lawrence Thornton dengan judul yang sama. Sebuah novel yang latar belakangnya berbasiskan sejarah. Di saat Argentina berada dalam posisi yang pelik, negeri tersebut terlibat “Dirty War” antara tahun 1979-1983. Kita juga tahu, pada tahun-tahun tersebut Argentina sempat beradu meriam dengan Inggris. Pulau Malvinas atau Falkland yang menjadi taruhannya.

Carlos Rueda (Antonio Banderas) dan Cecilia Rueda (Emma Thompson) hidup di Argentina disaat pemerintahannya dikuasai oleh militer. Mereka mempunyai satu putri, yaitu Teresa Rueda (Leticia Dolera). Carlos sekeluarga terpaksa harus melawan pemerintah, ketika Cecilia mengirimkan sebuah artikel yang mengkritik pemerintah Argentina atas kasus “hilangnya” beberapa siswa sekolah yang memprotes kenaikan tarif bus. Akhirnya Cecilia ditangkap oleh sekelompok oknum yang dikendalikan oleh pemerintah.

Berbagai macam usaha dilakukan oleh Carlos untuk menemukan istrinya. Entah darimana datangnya, tiba-tiba Carlos mempunyai kekuatan ajaib alias indera keenam. Carlos bisa mengetahui nasib para korban yang terindikasi telah “hilang”, apabila ia berdekatan dengan siapapun yang berkaitan atas korban-korban yang “dihilangkan”. Tidak ada penjelasan kenapa atau dari siapa Carlos memperoleh kekuatan misterius tersebut. Carlos yang berprofesi sebagai pengajar teater tersebut, akhirnya mengadakan sebuah forum tiap hari Selasa. Forum tadi berisi rekan atau keluarga para korban “hilang”. Carlos memberikan sebuah penawaran atau mungkin bisa disebut solusi, yaitu pembacaan nasib korban-korban yang “hilang”. Menurut saya, forum tersebut bukanlah solusi yang tepat. Carlos tidak menawarkan sebuah solusi, ia hanya membuat problem dan menciptakan kesedihan.

Saya sendiri memberikan nilai tujuh atas film Imagining Argentina. Ada beberapa tokoh atau adegan yang menurut saya tidak terlalu menarik. Antara lain, pertemuan Carlos dengan sepasang suami istri yang sempat menghuni kamp Auschwitz. Carlos yang linglung berusaha mencari pencerahan di sekitar pedalaman Argentina. Sepasang suami istri Yahudi tersebut nampaknya menjadi pemanis atas simbol “imajinasi” dan “perjuangan” dalam film Imagining Argentina.

Selain itu, sang sutradara doyan sekali mengumbar adegan eksploitasi terhadap perempuan. Penamparan, pukulan serta pemerkosaan kerap muncul. Bukannya kelompok subversif di Argentina tidak melulu perempuan. Namun kenapa, korban yang dianiaya oleh pemerintah militer hanyalah perempuan. Ada satu adegan yang mungkin mewakili kaum laki-laki. Yaitu, disaat teman kerja Carlos, Silvio Ayala (Ruben Blades) dipenjara lalu diinterogasi dan akhirnya dihukum dengan cara dijatuhkan dari helikopter. Silvio lebih memilih bungkam dan memproklamirkan dirinya sebagai seorang Argentina sejati ~> “I’m Silvio Ayala, I’m Argentinian !”

Apabila kita berekspektasi bahwa Imagining Argentina akan memunculkan suasana panasnya rezim diktator nan militeristik, sayang sekali, kita tidak akan menemukannya. Imagining Argentina menawarkan kepada kita, untuk tidak mengulangi kembali masa lalu yang suram. “Never to look back. But it is our sacred duty to look back.”

Imagining Argentina, menyuguhkan data-data sejarah untuk mengawali dan mengakhiri adegan. Caption yang disuguhkan untuk mengawali film adalah tampilan foto atau video pada masa berlangsungnya tragedi berdarah di Argentina. Wajah bengis barisan militer, sekelompok ibu-ibu berdemo dll. Sedangkan di penghujung film, si sutradara berusaha menunjukkan kegilaan rezim militer Argentina selama 1979-1983. Ada sekitar 30.000 ribu korban “hilang”, baik laki-laki, perempuan ataupun anak-anak. Data tersebut berdasarkan Amnesti Internasional. Selain itu ditunjukkan pula puluhan ribu korban yang “hilang” diberbagai macam negara. Seperti, Bosnia Herzegovina, Irak, Kongo, Rusia, India, Kuba, Chili, Kolombia, Mexico, Peru, Srilanka, Libya dan tentunya tanah air beta, Indonesia.

Somewhere in the world today, someone is “disappearing!” (Imagining Argentina)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar