"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Jumat, 26 Juli 2013

Keajaiban Itu Ada

Sekitar tujuh tahun yang lalu, saya pernah les disebuah bimbingan belajar, tempatnya disekitar jalan Cik Dik Tiro. Tujuannya untuk persiapan menghadapi UAN serta bertarung untuk kuliah di UGM. Kampus biru itu amatlah mentereng ketika kita masih jadi anak sekolahan. Membuat kita silau terhadap puluhan kampus lainnya di wilayah Yogyakarta.

Sekitar lima tahun yang lalu, dibangun sebuah toko 24 jam di ring road utara. Saat awal dibuka, toko tadi sepi pengunjung, saya masih ingat, pegawai pertamanya adalah perempuan keturunan Tionghoa. Selang beberapa bulan, ada pegawai yang magang, kelihatan dari seragamnya, seperti baju ospek ketika kita menjadi mahasiswa baru. Saya sempat terkesan ketika melihatnya, perasaan seperti pernah melihat perempuan tersebut.Tapi kapan, dimana, siapa dia. Insting sejarah saya pun muncul.

Kembali ke jaman ketika saya masih berseragam putih abu-abu. Sewaktu les, hiruk pikuk di tempat tersebut amat beragam. Mulai dari tingkat SD sampai SMA. Ada satu anak perempuan yang cukup menarik perhatian, dia masih SMP. Raut mukanya nampak seperi anak yang pendiam. Lalu berdasarkan analisis seragam yang dia pakai setiap hari Jumat dan Sabtu, dapat dipastikan, gadis tersebut sekolahnya di SMP yang lokasinya dekat bunderan UGM. Gadis tadi selalu menunggu jemputan setiap pulang les. Kalau tidak salah, ayahnya yang paling sering menjemput. Suatu ketika, saya pernah bertanya kepada adik teman les saya yang kebetulan juga les di tempat yang sama. Siapakah gerangan anak SMP tadi ?

Berlanjut ke petualangan di masa kuliah. Perempuan yang bekerja menjadi karyawan di toko 24 jam, siapakah dia ? ah, sampai sekarang saya pun tidak tahu. Namun, perempuan tadi nomaden ternyata, ia kerap dirolling dari tempat satu ke tempat yang lain. Suatu malam, saya pernah membeli rokok di toko yang letaknya di ringroad, gadis itu sudah tidak disana. Ternyata dia pindah di toko yang ada di jakal atas. Terakhir, saya berjumpa dengannya ketika dia keluar dari toko 24 jam yang berlokasi di jakal bawah. Setelah itu, semua tinggal sejarah (kenangan) bung.

Di tahun 2011, saya masih di aktif di Gelanggang UGM. Tiap Selasa, Kamis dan Sabtu sore saya selalu jogging di GSP bersama kawan alias partner jogging saya yang paling setia, sebut saja dia Apunk. Dari Gelanggang menuju GSP, kita selalu jalan kaki, itung-itung buat pemanasan. Nah, suatu hari, saya melihat anak SMP yang pernah saya lihat sewaktu masih SMA. Dia sedang berlatih hockey di selasar Gelanggang. Kerap sekali saya bertemu dan melihatnya sedang bermain hockey. Saya yakin betul gadis yang bermain hockey tadi adalah dia, gadis yang menurut pandangan saya adalah pendiam.

Pasca pertemuan tadi, saya jadi ingat misteri seorang perempuan yang bekerja di toko 24 jam. Perempuan tersebut memang mirip sekali dengan anak SMP yang pertama kali saya lihat sekitar tujuh tahun yang lalu. Apakah mereka ada hubungan darah ? apakah mereka kakak beradik ? entahlah.

Di tahun 2011, saya jarang sekali ke kampus. Saya memang  sempat “menghilang” dari peredaran mulai tahun 2010 – 2011. Suatu hari saya pernah berjalan dari basecamp anak sejarah menuju ke Bonbin. Tiba-tiba saya berpapasan dengan anak SMP itu. Ternyata dia anak FIB. Terima kasih Tuhan, Kamu mempertemukan kembali saya dengannya. Hahaha.

Hari menjadi minggu dan minggu menjadi bulan. Berbulan-bulan saya sering melihat gadis kecil tadi di kampus, di Gelanggang, di bonbin. Tapi siapakah nama kamu.

Intensitas saya dikampus semakin berkurang, ketika aktivitas di luar begitu banyak. Sayapun sebenarnya juga malas bermain ke kampus. Otomatis, waktu untuk melakukan pelacakan pun semakin surut. Suatu saat saya mengetahui kalau gadis tersebut adalah teman adik kelas saya. Sayapun kroscek ke salah satu adik seperguruan sejarah, kita bisa menyebut nama mereka Ipul dan Rizki. Ternyata perempuan mungil tadi satu organisasi dengan Ipul. Mereka gabung dalam salah satu BSO film di kampusku.

Satu kesempatan tiba untuk mengajak gadis itu mengobrol. Suatu malam, anak-anak sejarah mengadakan kumpul-kumpul antar angkatan di bonbin. Acara tadi berbarengan pula dengan screening yang diselenggarakan oleh BSO film di kampus saya. Dua acara tadi saya hadiri semuanya. Kenapa saya sangat berniat sekali bertemu dengan cewek tadi. Alasannya cuman satu, saya hanya ingin bilang kalau pernah bertemu dengannya tujuh tahun yang lalu. Itu saja. Sepele. Yah, kesempatan untuk mengobrol dengannya memang ada. Biarpun gadis tadi merasa asing dengan saya, yang penting saya dapat jawabannya. Biarpun jawabannya tidak sesuai dengan harapan yang saya pikirkan sebelumnya.

Saya yakin bahwa keajaiban itu memang ada. Bertemu kembali dengan gadis pendiam tadi merupakan keajaiban bagi saya. Meminjam salah satu judul filmnya Vittorio De Sicca, “Miracolo a Sastra”. Keajaiban itu ada, tinggal kita menunggunya saja. Entah kapan dan dimana.


Selamat malam, bulan Juli memang indah bagi saya.

Kamis, 25 Juli 2013

KIPER

Saya teramat terkesan ketika membaca tulisan milik Goenawan Mohamad yang berjudul “Penjaga Gawang”. Entah kenapa tulisan beliau ( baca: Catatan Pinggir ) begitu menyihir, memukau. Goresan tintanya teramat tajam, terkadang lucu dan menggelitik.
            Kita tahu kalau mayoritas penduduk Indonesia, terutama kaum lelaki, sangat hobi menonton siaran sepakbola. Iya, sepakbola. Oh maaf, ternyata tidak hanya siaran sepakbola. Namun game sepakbola, apa itu Football Manager, apa itu FIFA, apa itu PES.
Kaum lelaki begitu menggilai dunia sepakbola. Perhatikan, apabila ada sekerumunan pria sedang nongkrong, apa yang akan mereka bicarakan ? Perempuan ? Pastinya. Selain itu kira-kira apa yang patut diobrolkan para lelaki ? Gadget, ah tidak semua lelaki punya keahlian mengelola keuangan dengan cermat. Politik ? masih nikmat ngomongin itu ? apa tidak muak dan eneg.
Nah, bagaimana dengan sepakbola ? tiap akhir pekan, kita selalu disuguhi siaran sepakbola, baik dalam ataupun luar. Liga Indonesia memang menjadi pilihan kedua masyarakat kita. Itu pasti, mengingat pengelolaan sepakbola Indonesia begitu carut marut, dinodai intrik-intrik badan terbesar sepakbola kita. Secara kualitas juga masih jauh dari sepakbola luar negeri. Tapi ada anehnya bung, tim junior kita bisa merajai kompetisi internasional tiap tahunnya. Pembinaan sepakbola kita tampaknya ada yang salah.
Bagaimana dengan sepakbola luar negeri ? Begitu banyaknya liga Eropa yang tersalur di stasiun tv, membuat kita kelabakan bukan. Ini mana ini siaran bola yang bagus ! mulai dari liga Italia, Jerman, Inggris, Spanyol, belum liga Champions Eropa hingga pertandingan kualifikasi Piala Dunia ataupun Eropa. Banyak pilihan, tapi masing-masing liga tadi sudah mempunyai basis penonton sendiri. Kalau akhir-akhir ini sih, kita disuguhi laga eksebisi alias persahabatan dengan klub-klub beken Eropa.
Diatas tadi saya menyebutkan kata “penjaga gawang”, merujuk tulisannya Goenawan Mohamad. Bung Goenawan menceritakan, besarnya tanggung jawab seorang kiper dalam waktu 45 x 2. Sosok tadi jarang disorot di media, apakah kita kerap menonton cuplikan-cuplikan penyelamatan super seorang kiper ? sangat jarang. Paling sering adalah cuplikan gol-gol indah atau gol yang maha dahsyat dari seorang striker.
Itulah sosok kiper menurut Goenawan Mohamad. Bayangkan, ketika ada counter attack, lalu one on one, siapa yang membantu kiper ? Penjaga benteng terakhir adalah kiper. Bek atau gelandang bertahan bisa saja langsung menyerah, angkat tangan, bahkan cuci tangan. Ketika gol masuk, siapa yang paling disalahkan ? Kiper. “Wah, Valdes ki pancen goblok !”, “Bajigur og Buffon, utek’e !”, “Pancen bosok og si Kurnia Mega”, “Haa kok ra ditepis ki pie jew bung ?”, “Kiper’e ra kendel, ra wani nubruk !”
Kiper. Goenawan Mohamad juga menceritakan, seorang Albert Camus pernah menjadi kiper sewaktu kecil. Kiper, penjaga benteng yang terkadang harus berjuang sendirian serta bertarung matia-matian menghadapi terpaan serangan bertubi-tubi.