"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Selasa, 02 Februari 2016

Kampus Meong, Meong...


Semalam, empat pria yang masih bujang (sebut saja mereka, si A, si K, si R dan si M) berkumpul di bawah Jembatan Budaya, FIB UGM. Di bawah naungan tempat “sakral” tersebut, terdengar rintik-rintik hujan. Ada banyak percakapan yang tercipta di malam itu. Semisal, si A menanyakan mengenai puncak tertinggi mencintai seseorang. Obrolan apaan sih ini, hihihi. Hinggap pula ke perbincangan, “situ masih kontak-kontakkan sama dia gak’e ?” Hingga meluncur ke pencarian gadis-gadis cantik via Instagram dan teman-temannya. Awalnya, meja hitam yang diduduki berisi si A, si R, si M dan si V. Namun, si V memutuskan untuk pulang duluan. Setelah si V pulang, datanglah si K menjinjing tote bag dipundaknya.
Makin malam, obrolan makin seirus. Diawali si R dan si K, mereka berbincang-bincang tentang teori-teori rumit yang susah dikunyah oleh si A serta si M. Si K lalu menceploskan sebuah “gosip” hangat yang barusan terjadi di kampusnya penyair ternama Sapardi Djoko Dhamono tersebut. Ia bercerita bahwa diskusi mengenai International People’s Tribunal 1965 (IPT 65) dibatalkan. Diskusi yang menghadirkan Ratna Saptari selaku panitia IPT 65 tersebut sejatinya diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah UGM. Entahlah, tapi panitianya dari Jurusan Sejarah UGM. IPT 65 sendiri sudah dilangsungkan pada bulan Oktober tahun kemarin di Den Haag, Belanda. Hasilnya, ada sebuah rekomendasi yang diputuskan Majelis Hakim agar pemerintah Indonesia mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM terkait pembantaian massal pada Peristiwa 1965-1966. Mereka juga meminta agar pemerintah Indonesia mengucapkan permintaan maaf kepada keluarga korban. Apalagi, pada tahun 2012, Komnas HAM juga sudah mengajukan hasil penyelidikan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat pada Peristiwa 1965-1966. Namun, hingga sekarang pemerintah Indonesia belum memproses laporan tersebut.
Si K juga berujar, dirinya sempat menuju Ruang Multimedia, Gedung Margono, FIB UGM, ruangan yang akan diselenggarakan untuk diskusi. Sayang, suasananya sepi, tak ada panitia sama sekali. Ia lalu berinisiatif menuju Jurusan Sejarah, menanyakan soal kepastian diskusi. Salah seorang staf Jurusan Sejarah menjawab bahwa diskusinya dibatalkan. Weh, kok bisa ? usut punya usut, tersebar kabar burung, bahwa pihak “Pusat” tidak berkenan diadakan diskusi tersebut. Dikhawatirkan akan timbul sabotase terhadap diskusi yang bertajuk “Catatan di Balik International People’s Tribunal (IPT) 1965” tersebut. Memang, diskusi mengenai IPT 65 akan merujuk pada pembicaraan mengenai komunis. Sebab, ditahun-tahun 1965-66 merupakan masa dimana simpatisan komunis berada dibawah teror acungan senjata. Sekarang pun komunisme masih dianggap sebagai musuh bersama bangsa ini. Hingga detik ini, belum keluar klarifikasi dari panitia penyelenggara. Tapi mungkin saja, panitia memberikan klarifikasi ke email masing-masing peserta. Sebab, setahu si M, kalau mau mengikuti diskusi tersebut harus konfirmasi lebih dahulu ke salah satu email panitia.
Betewe nih, betewe, pihak “Pusat” juga tidak mengeluarkan pernyataan resmi agar diskusi tersebut lebih baik dibatalkan demi kemaslahatan bersama. Katanya lho ini, katanya, “intelijen” sudah mengetahui akan diadakannya diskusi tersebut. Ya mungkin saja, “intelijen” melapor ke “Pusat” agar diskusi IPT 65 ditiadakan saja. Kan nggak tahu juga apakah akan diserang oleh “oknum-oknum” tertentu. Intinya gitu sih kali ya, buat antisipasi. Haa posisi “Pusat” tuh gimana aslinya selama ini ? kalau menurut si R via akun line pribadinya sih begini, “Sesudah diskusi IPT ditiadakan, lalu apa lagi, pus kampus hesjaaan”. Ya dijawab aja tho bung, “Pus, meong...”
Selanjutnya, keempat pria diatas tentu bertanya-tanya, kok bisa diskusi seperti itu dibatalkan. Bukankah Kampus UGM itu mimbar pendidikan untuk menyuarakan pengetahuan. Si M lalu teringat, ia sempat bertemu dengan salah seorang dosen Jurusan Sejarah beberapa waktu yang lalu. Saat itu si M bertanya apakah dosen tersebut bisa menjadi moderator di acara diskusi novel Cintaku di Kampus Biru yang akan diadakan oleh Teater Gadjah Mada. Sayang, dosen tersebut tidak bisa karena harus ke Kalimantan pada tanggal yang sama. Dosen tadi juga paham, bahwa diskusi novel tersebut berhubungan dengan pentas Cintaku di Kampus Biru yang diselenggarakan di Fisipol pada bulan Desember tahun kemarin. Pentas tersebut memang urung diselenggarakan, namun dari pihak TGM memutuskan untuk menggantinya menjadi pentas bongkaran. Beredar desas-desus, bahwa pihak “Pusat” resah mengetahui poster non formal yang tersebar di media sosial. Nah, saat peristiwa tadi, dosen Sejarah tersebut sedang berada di istananya orang-orang “Pusat”. Ia mendengar, bahwa pimpinan “Pusat” resah atas poster non formal pertunjukan TGM tadi dan meminta agar pertunjukan ditiadakan. Tapi “Pusat” tak pernah mengeluarkan pernyataan resmi. Menurut dosen Sejarah tadi, hal tersebut biasa dilakukan “Pusat” agar tidak terkesan menjadi insititusi pendidikan yang konservatif. Sengaja dibuat agar menjadi “gosip”, “kabar burung”. Apakah kasus yang dialami panitia diskusi IPT 65 juga seperti itu ? bisa jadi sih, tapi ya bagaimana, namanya juga gosip murahan, hhe, hhe.
Tapi ya, apabila benar-benar pihak “Pusat” memberikan amanat untuk meniadakan diskusi tersebut, tentu menjadi pertanyaan besar. Sebenarnya, gimana sih posisi “Pusat” sendiri ? FYI nih, bosnya “Pusat” pernah berujar kalau UGM tuh mendukung penegakan HAM di Indonesia, tapi UGM juga wajib menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Nah, pernyataan tersebut muncul setelah kesaksian salah seorang penyintas di IPT 65. Seorang perempuan berusia sekitar 70 tahun dengan nama samaran Kingkin Rahayu berujar bahwa salah satu yang menyiksa dirinya bernama Loekman Soetrisno, dosen UGM. Yak, (alm) pak Loekman Soetrisno memang dosen Jurusan Sejarah UGM, guru besar pula. Bahkan, UGM juga pernah dianugerahi sebuah plakat dari RPKAD atas kontribusinya menanggulangi penumpasan simpatisan komunis pada tahun 1965.
Nah, diskusi yang niatnya akan diadakan Senin siang kemarin seharusnya menjadi momen penting dong bagi UGM, terutama Jurusan Sejarah UGM. Menjadi bukti bahwa mereka peduli terhadap isu tersebut. Apabila Loekman Soetrisno memang benar-benar seorang interogator, ya cukup diakui saja. Entah apa motivasinya saat itu, apakah karena keinginan pribadi atau memang ada perintah dari atasan “Pusat”. Gosip lagi nih, gosip, konon pak Loekman Soetrisno tuh dulu kalau kuliah suka bawa “beceng” alias pistol. Tapi, di ranah akademis, salah seorang dosen Sejarah, yaitu Bambang Purwanto mengakui kecerdasan seorang Loeman Soetrisno. Toh, beliau juga sudah meninggal. Sayang, momen yang bisa dijadikan sarana rekonsiliasi tersebut malah digagalkan oleh pihak tertentu. Sebab, ada kabar bahwa beberapa korban peristiwa 65 sempat datang ke FIB UGM untuk mengikuti diskusi IPT 65 tadi.
Ah, tapi ya mau gimana lagi. Kita juga tak tahu, besok akan ada “pembatalan” apa lagi. Mungkin benar apa yang dikatakan tokoh fiksi ciptaan Ashadi Siregar, yaitu Anton Rorimpandey, seorang mahasiswa Psikologi ketika sedang berbincang-bincang dengan dekannya.
"Apakah Bapak mentolerir tindakan-tindakan semacam itu? Kalau begitu, apakah gunanya prinsip-prinsip kebenaran, prinsip-prinsip ilmiah yang kita agung-agungkan selama ini?"
Kata-kata diatas tertulis di dalam novel Cintaku di Kampus Biru. Perbincangan antara Anton dengan dekannya masih terus berlangsung. Hingga akhirnya Anton memutuskan untuk pulang dan mengucapkan rasa terima kasih. Dekan tersebut hanya bisa termenung mendengar kata “terima kasih” yang disampaikan Anton. Ia hanya bisa membatin dalam hati,
“Apakah yang diterimakasihkannya? Apakah yang telah kuberikan kepadanya? Apakah yang kuajarkan selama ini? Dusta, kebohongan, atau cuma mimpi-mimpi? Sementara itu, dalam realita, aku mengajarkan sesuatu yang sama sekali mengentuti ajaran-ajaran di mimbar kuliah..”
Hujan belum juga reda, mereka berempat masih terus berbincang-bincang, nggosip serius lebih tepatnya. Soal relokasi kantin Bonbin, pembangunan gedung baru yang urung terlaksana hingga kasus seorang remaja yang mulai belajar menjadi maling. Mungkin mereka sudah bosan membincangkan gadis-gadis cantik yang tersebar di kampus UGM atau membahas gosip murahan sudut kampus yang selalu menemani ketika senja dijemput oleh Bathara Candra. Karena terlalu lama menahan rasa lapar, mereka memutuskan untuk menerjang hujan dan kembali ke peraduan masing-masing.
Eh ada yang ketinggalan, menarik lho tulisan ini.