"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Minggu, 17 Januari 2016

The Ecstasy of Giallorossi Gold


“Eh Rudi Garcia wis resmi dipecat to bung ?” kata seorang teman via wasap pada Rabu malam. Saya sendiri tak tahu menahu soal pemecatan pelatih berkebangsaan Perancis tadi. Tapi, apabila Rudi Garcia benar-benar dipecat, bukan sebuah kabar yang mengagetkan. Maklum, salah satu pengamat bursa transfer di jagad sepakbola, yaitu Gianluca Di Marzio sudah mengemukakan rumor tersebut pada hari Minggu, pasca hasil imbang yang diderita AS Roma kontra AC Milan. Gianluca Di Marzio sendiri memang dikenal valid apabila menyampaikan pemberitaan mengenai transfer pemain maupun pergantian pelatih. Saat itu, Gianluca Di Marzio menyatakan bahwa Luciano Spalletti menjadi pilihan utama AS Roma, opsi lainnya adalah Marcelo Bielsa dan Jorge Sampaoli.

Info yang disampaikan Di Marzio ternyata terbukti, tanggal 15 Januari kemarin Roma mengumumkan pelatih baru mereka, Luciano Spalletti. Juru taktik berkepala plontos yang pernah menangani AS Roma dari tahun 2005 hingga 2009. Pertanyaannya, apakah Rudi Garcia layak dipecat ? Kalau aku sih yes, entah yang lain kayak coach Justin yang kerap mengisi acara ESPN FC di Net TV. Bagi coach Alvin, Rudi Garcia masih layak melatih Roma, alasannya selisih poin dengan pemuncak klasemen tidak terlalu banyak. Tapi, ia agak pesimis apabila Roma berambisi meraih scudetto dengan materi pemain yang ada. Saya kurang setuju dengan pendapat tersebut. Apabila membandingkan skuad Roma dengan tim lain, seperti Inter Milan, Napoli ataupun Fiorentina. Jelas, kualitas pemain Roma lebih mewah. Skuad mereka secara kualitas hanya kalah dengan Juventus.

Rudi Garcia layak dipecat karena tak punya variasi taktik. Pelatih yang pernah merumput bersama Lille tersebut dikritik oleh banyak pihak karena tak mempunyai plan B. Ia tetap konsisten memakai formasi 4-3-3 yang secara permainan sudah terbaca oleh lawan-lawannya. Selain itu, kekalahan telak di Camp Nou atas Barcelona juga sebuah blunder besar. Memakai high pressing pula, ealah Rud, ya jelas keteteran menghadapi kecepatan pemain Barca. Pasca kekalahan tersebut, mental pemain Roma langsung turun. Mirip seperti musim kemarin, ketika Roma dibabat 1-7 oleh Bayern Muenchen. Dewi fortuna mungkin mampir sebentar skuad Roma, mereka berhasil lolos ke fase 16 besar Liga Champions dan mencatatkan diri sebagai tim yang pernah lolos dengan poin paling minim sepanjang sejarah. Bayangkan, Il Lupi hanya mengemas enam poin dari lima pertandingan yang mereka jalani. Mereka bersanding dengan Zenit St Petersburg yang pernah lolos ke fase 16 besar dan hanya mengemas enam poin pada musim 2013/14. Siapa pelatih Zenit kala itu ? sayang sekali, pria yang beruntung tersebut bernama Luciano Spalletti.


Tapi toh, bagaimanapun juga, sebagai fans AS Roma, ucapan terima kasih layak disampaikan kepada Rudi Garcia. Di musim pertamanya, beliau berhasil mengubah AS Roma menjadi penantang serius Juventus. Ia berhasil menumbuhkan mental pemain yang turun, apalagi sejak menelan kekalahan dari rival abadinya di ajang final Coppa Italia 2013. Di musim pertamanya, Rudi Garcia mengantarkan Roma menjadi runner up dengan raihan 85 poin, jumlah terbanyak sepanjang Roma berlaga di Serie A. Sepakbola menyerang nan indah yang disajikan oleh Garcia juga menuai pujian. Memang, pada musim tersebut Roma tidak berpartisipasi di kompetisi Eropa dan menjadi nilai plus agar lebih fokus ke liga domestik. Tapi kesalahan demi kesalahan terus dipelihara oleh Rudi Garcia pada musim kedua dan ketiganya. Kesalahan di bursa transfer juga menjadi biang masalah sejatinya. Walter Sabatini, selaku direktur sepakbola patut bertanggung jawab atas pilihan pemain yang gagal nyetel dengan permainan Rudi Garcia.

Lalu, apa yang bisa diharapkan Romanisti terhadap Luciano Spalletti ? memang sih, ada yang bilang bahwa yang namanya mantan tuh susah untuk dilupakan. Tapi, apabila bicara soal mantan, bagaimana dengan Zdenek Zeman ? ya, rezim Zeman II memang menuai kegagalan dibalik sepakbola cantik yang ia suguhkan. Nah, apakah Spalletti akan mengikuti jejak Zdenek Zeman ? atau mungkin akan seperti Nils “The Baron” Liedholm yang kembali lagi ke Roma pada tahun 1979 dan berhasil menjadikan Roma sebagai serigala yang disegani pada periode 1980an. Liedholm, Zeman dan Spalletti merupakan pelatih yang menyuguhkan inovasi baru di Italia. Liedholm mengenalkan sistem zonal marking disaat klub Italia lainnya cenderung pada sistem libero dan man marking. Zdenek Zeman sendiri selalu bersikukuh menerapkan “attack, attack, attack” dari detik pertama, padahal kala itu klub Italia sedang digandrungi model catenaccio. Terakhir, formasi 4-6-0 yang kerap disebut strikerless pernah dipopulerkan oleh Spalletti ketika melatih Roma. Gaya tersebut kelak akan melahirkan peran false nine yang menuai kesuksesan di kubu Barcelona dan timnas Spanyol. Persamaan lain yang patut diperhitungkan dari ketiga pelatih tadi adalah, mereka gemar mengorbitkan pemain-pemain muda.


Luciano Spalletti memang menjadi pelatih yang terakhir kali memberikan gelar bagi AS Roma. Bisa dibilang, kejelian Spalletti membuahkan kesuksesan di tubuh AS Roma. Selama tiga musim, Roma berhasil finish di posisi kedua dan menjadi kompetitor utama Inter Milan. Wajar, selepas kasus calciopoli, performa Juventus dan Milan agak melempem di liga domestik. Kondisi tersebut, layak dibandingkan dengan persaingan Serie A musim ini. Serie A tidak melulu dikuasai oleh dua tim. Sampai detik ini, Roma masih bertengger di peringkat lima dengan jarak 10 poin dari Napoli, pemuncak klasemen sementara. Kans Scudetto bisa dibilang masih terbuka lebar. Asalkan konsistensi permainan terus terjaga hingga akhir musim. Kalaupun gagal meraih titel juara, bagi saya pribadi bukan sebuah masalah. Berhasil lolos Liga Champions merupakan raihan yang positif bagi De Rossi dkk. Asalkan mereka mampu bermain konsisten, penuh semangat dan menyuguhkan sepakbola atraktif.

Seperti biasa, Spalletti dikenal sebagai pelatih yang konsisten memakai formasi 4-2-3-1. Empat bek berada di depan kiper, fullback kanan dan kiri akan membantu serangan.  Spalletti juga kerap menempatkan dua gelandang yang beroperasi sebagai holding midfielder. Di posisi lain, dua winger akan mengapit gelandang serang untuk membantu striker. Namun, cedera yang mendera beberapa pemain Roma pada musim 2006/2007 memaksa Spalletti untuk memutar otaknya. Formasi 4-2-3-1 seolah-olah berubah menjadi 4-6-0 atau 4-5-1-0 ataupun 4-1-5-0. Totti yang mempunyai keahlian untuk menyuplai bola tetap berada pada posisi gelandang serang. Ia tetap turun ke bawah untuk menjemput bola, distribusi akan ia alirkan ke dua pemain sayap, yaitu Rodrigo Taddei atau Mirko Vucinic di sisi kiri dan Mancini di sebelah kanan. Dua gelandang ditengah akan membantu serangan, plus dua bek sayap yang terkadang juga menyisir lapangan untuk membangun serangan. Di satu sisi, posisi De Rossi akan mengemban tugas sebagai jenderal di area pertahanan AS Roma. Kelihaian Spalletti untuk tetap memasang Totti sebagai gelandang serang dengan asumsi terlihat seperti striker palsu terbukti efektif. Pemain yang akan berumur 40 tahun pada September mendatang berhasil mengemas 26 gol di musim 2006/2007. Spalletti juga berhasil menyulap Vucinic yang sebenarnya berposisi asli sebagai striker untuk beroperasi disisi kiri sebagai sayap.

Eksperimen atas taktik 4-2-3-1 tersebut memang berbuah manis, dua Coppa Italia (2006-2007 dan 2007-2008) serta satu buah Super Coppa (2007) berhasil mendarat di Olimpico. Di jagad Champions League, permainan Roma juga mencuri perhatian banyak pihak. Sayang, di tahun 2007, Roma menelan kekalahan telak (7-1) atas Manchester United di fase perempatfinal. Kekalahan tersebut mengindikasikan, bahwa permainan yang diterapkan Spalletti cenderung “sangat menyerang”. Konon, Sir Alex Ferguson terinspirasi atas inovasi yang dilakukan Luciano Spalleti. Formasi dengan role striker palsu sempat diterapkan Manchester United pada musim 2007/2008. Rudi Garcia juga pernah menyuguhkan gaya tersebut di musim pertamanya melatih Roma. Peran Totti sebagai false nine terbukti ampuh ketika anak asuh Rudi Garcia berhasil menjungkalkan Inter Milan dengan skor 0-3.


Melatih klub semacam AS Roma memang bukan hal yang mudah. Tekanan dari pemilik klub dan suporter sangatlah tinggi. Apabila menilik dari periode 90an, terhitung hanya ada empat pelatih yang mampu bertahan selama dua musim lebih, yaitu Carlo Mazzone (1993-1996), Fabio Capello (1999-2004), Luciano Spalletti (2005-2009) dan tentu saja, Rudi Garcia (2013-awal 2016). Beban yang diemban Luciano Spalletti sangatlah berat. Satu hal utama yang perlu diperbaiki adalah mental pemain. Hal tersebut akan berimbas pada konsistensi permainan Giallorossi. Selain itu, harapan agar skema permainan cantik kembali diperlihatkan oleh Spalletti juga bukan hal yang mudah untuk direalisasikan. Pertanyaannya, apakah gaya bermain dengan role false nine mampu diterapkan Spalletti. Katakanlah, peran Totti saat itu diserahkan kepada Edin Dzeko ? Striker asal Bosnia tersebut sejauh ini masih kurang konstribusi golnya. Ia seringkali terlihat turut menjemput bola. Kondisi tadi wajar, sebab pemain sayap Roma semacam Salah atau Gervinho memang dikenal pelit untuk crossing. Padahal Dzeko sendiri lebih dikenal sebagai orthodox forward. Dzeko sebagai false nine secara skill jelas diragukan, akan tetapi menempatkan Pjanic pada role tersebut jelas lebih efektif. Posisi Dzeko alangkah baiknya disulap seperti Vucinic, bisa diletakkan di sisi kanan menggantikan Gervinho yang kemungkinan besar akan berlabuh di negeri China. Posisi lain yaitu sayap kiri akan ditempati oleh Mohammed Salah maupun Iago Falque. Dua gelandang tengah akan diisi oleh Florenzi dan Nainggolan, dibelakang mereka akan ada De Rossi. Kualitas gelandang yang dimiliki AS Roma tak perlu diragukan lagi. Apalagi, ketika Strootman benar-benar fit, daya jelajah pemain tersebut akan sangat efektif di gaya bermain Spalletti.

Problem yang perlu diperbaiki Roma adalah masalah pertahanan, terutama bek sayap. Ingat, Lucas Digne tidak punya pelapis yang sepadan. Begitupun pada posisi bek kanan, Maicon sudah termakan usia, Torosidis bermain angin-anginan dan support serangan sangatlah minim. Memakai Florenzi sebagai bek kanan juga tak terlalu efektif. Solusinya jelas, beli bek sayap. Rumor yang beredar, Adriano sudah memberikan sinyal berminat merumput dengan Pjanic dkk. Kabarnya, dalam waktu dekat, Roma akan melakukan negoisasi dengan Barcelona. Opsi lain yang muncul adalah Domenico Cristico. Pemain Zenit tersebut secara blak-blakan rindu untuk merumput kembali di kompetisi Serie A dan bersedia reuni dengan Spalletti. Selain kedua nama diatas, Davide Santon dan Matteo De Sciglio dirumorkan menjadi target AS Roma. Bagi saya, kedua nama terakhir masih terlalu hijau untuk bermain di kompetisi Eropa. De Sciglio yang mampu bermain sebagai bek kanan maupun bek kiri dikenal sering mengidap riwayat cedera. Davide Santon jarang dimainkan oleh Mancini pada musim ini. Kalaupun ingin mengambil pemain Inter, nama lain yang layak dipertimbangkan adalah Juan Jesus. Posisi lain yang rawan adalah bek tengah. Penjualan Romagnoli jelas blunder besar Sabatini musim ini, apalagi penggantinya adalah Rudiger yang sejauh ini belum menunjukkan konsistensinya sebagai bek tengah. Sisi pertahanan Roma kehilangan seorang komandan seperti Benatia atau Burdisso. Manolas tak punya mental tersebut, jiwa seorang Mexes sudah terlanjur menitis ditubuh pemain asal Yunani tersebut. Disatu sisi, Castan tak kunjung fit pasca operasi tumor. Faktor komunikasi antar lini pertahanan mungkin juga menjadi problem. Bayangkan, ada empat bek dan satu kiper dengan latar belakang negara yang berbeda-beda. Hal tersebut berimbas pada performa Szczesny yang seringkali kehilangan fokus akhir-akhir ini.


Kamis, 14 Januari, seorang pria berkepala botak tiba di kota Roma. Namanya dielukan-elukan di bandara Fiuminico, “Daje Mister !”, teriak beberapa orang. Pria tersebut lalu menuju Trigoria, markas AS Roma. Di depan pintu gerbang, terpampang satu buah spanduk bertulisan “Bentornato Mister”. Dunia maya pun turut gempar, ada yang pesimisis, adapula yang optimis. Ya, namanya masih dikenang oleh fans AS Roma sampai saat ini. Luciano Spalletti adalah “The Ecstasy of Gold”, meminjam judul lagu yang dipopulerkan oleh Ennio Morricone. Iya, “The Ecstasy of Giallorossi Gold”. Doni, Panucci, Mexes, Juan, Cassetti, Tonetto, Pizzaro, Perrotta, Vucinic, Mancini, Giuly, Aquilani dsb adalah masa lalu. Sekarang merupakan era kedua De Rossi dan Totti bersama Spalletti untuk menjaga kapal Roma supaya tidak oleng. Sebuah kapal yang penuh warna dengan sentuhan Italia, Brasil, Perancis, Bosnia, Spanyol dll. “Roma, Roma, Roma.. core de sta citta”


Trivia:
  1. Diawal tahun ini, Spalletti akan bereuni dengan Totti dan De Rossi di Trigoria, markas AS Roma. Ternyata, bukan hanya dua nama tersebut yang akan berenuni. Aurelio Andreazolli akan kembali bekerja dengan Luciano Spalletti di AS Roma sebagai asisten pelatih. Semenjak Spalletti meninggalkan Roma pada tahun 2009, Andreazolli tetap bertahan di Roma sebagai staff. Bahkan, Andreazolli sempat naik jabatan menjadi pelatih tim utama ditahun 2013 menggantikan Zdenek Zeman. Selain itu, Daniele Baldini dan Domenichini juga diminta Spalletti untuk bekerja lagi di Trigoria. Sebenarnya Morgan De Sanctis juga bereuni dengan Spalletti. Iya, De Sanctis pernah dipercaya Spalletti untuk menjaga mistar gawang Udinese dari tahun 2002-2005.
  2. Bersama keluarganya, Luciano Spalletti menjalankan bisnis custom furniture. Usaha pribadi juga dilakukan oleh Rudi Garcia, ia memiliki usaha butik fashion di Perancis.
  3. Luciano Spalletti dan Rudi Garcia sama-sama pernah membubuhkan rekor sebagai pelatih yang mengalami kekalahan terbesar di ajang Liga Champions. Saat itu, Cristiano Ronaldo dkk berhasil mengobrak-abrik pertahanan Roma dengan skor 7-1 pada musim 2006/2007. Nasib lebih buruk menimpa Rudi Garcia ditahun 2014, pemain Roma dipermalukan di kandangnya sendiri, skor 1-7 untuk tim Bavaria.