"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Minggu, 28 Agustus 2011

Huru Hara dan Hura Hura Minuman Keras

Gambaran Indonesia sebagai negara pengonsumsi alkohol merupakan pemandangan biasa dalam tataran keseharian kita. Jauh sebelum terbentuknya negara ini, tradisi mabuk-mabukkan merupakan ritual keagamaan. Namun setelah masuknya Islam, alkohol menjadi barang yang diharamkan. Disaat periode kolonial, alkohol makin menjadi-jadi. Hidup di negeri yang tropis memang asyik sembari menegak minuman keras.

            Pada masa pemerintahan kolonial, pos pemberhentian yang letaknya di antara rute Yogyakarta-Surakarta seperti daerah Prambanan, Kebonarum, Klaten, Delanggu, Kartasura, serta Balapan menjadi tempat istirahat bagi kereta-kereta yang sedang lewat. Biasanya mereka akan menikmati teh ginastel. Serta mencicipi candu, bahkan disuguhi dengan pijat dan para pelacur.[1]
            Para penikmat wanita pelacur tadi pada umumnya adalah masyarakat pribumi. Mereka berpesta sembari bermain judi sambil menikmati candu. Sedangkan pejabat Belanda akan menghabiskan waktunya dengan pesta dansa atau minum jenewer. Para pribumi akan menginap di losmen-losmen yang terdapat di dekat tempat pemberhentian kereta. Bedanya, para orang Belanda menginap di hotel-hotel sekitar perusahaan perkebunan.[2] Maraknya usaha losmen atau hotel tadi disebabkan oleh kebijakan ekonomi pemerintah kolonial sekitar pertengahan abad ke-19, yang saat itu membuka usaha perkebunan besar-besaran.
            Mengenai kebiasaan masyarakat pribumi yang gemar menghisap candu, kebiasaan itu semakin lezat apabila ditemani oleh minuman keras. Minuman keras jenis lokal yang mendapatkan perpaduan dari tradisi China, contohnya adalah arak. Pada mulanya masyarakat Jawa mengonsumsi minuman keras, terutama anggur hanya untuk menyenangkan atau menghormati tamu Eropa. Namun ada juga para penguasa yang terpengaruh dengan gaya hidup bangsa Eropa dengan mengonsumsi minuman keras.[3] Tradisi tentang minuman keras juga sudah dikenal lama, berdasarkan apa yang terdapat di Negarakertagama, diketahui bahwa minuman keras menjadi bagian pada saat perjamuan agung di kerajaan. Saat masa kolonial para pejabat Belanda juga turut andil dalam kebiasaan mabuk-mabukkan tadi. Mereka berbisnis minuman keras impor jenis brendi dan jenewer.[4] Di lain pihak, masyarakat pribumi lebih gemar mengonsumsi arak, chiu atau badeg yang merupakan jenis minuman keras tradisonal favorit.

Huru-hura dan Hura-hura Beralkohol di Masa Kolonial
            Tidak dapat dipungkiri apabila masyarakat Eropa, terutama Belanda yang datang ke Indonesia akan membawa kebiasaan sehari-hari mereka disini. Peranan masyarakat Eropa memang sangat penting. Pemerintah kolonial pertama kali mengenalkan es terhadap kita. Pada tahun 1869, keluarga-keluarga kaya di Batavia gemar meminum air es yang mencair. Air es tersebut didatangkan langsung dari Boston.[5] Bahkan pada pertengahan abad 19, kapal-kapal yang datang dari Amerika Utara membawa berblok-blok es batu ke Hindia Belanda.[6] Es batu tadi juga dikenal dengan nama aijer batoe. Perkembangan es selanjutnya tidak lagi harus mengimpor. Pengenalan teknologi pembuatan amoniak di Jawa terjadi pada akhir tahun 1880. Teknologi pembuatan amoniak tadi pada awalnya dikuasai bangsa Eropa, namun pengusaha China dengan tanggap meminati usaha pabrik es tersebut.[7]
            Es tadi sangat nikmat apabila dipakai saat meminum bir. Bir diimpor langsung dari luar negeri. Merek bir yang terkenal antara lain seperti, Heineken’s Bier, Haantjes Bier, Pittig Hollandsch Pils, lalu ada juga Koentji Bir yang merek sebenarnya adalah Beck’s Beer, bir buatan Jerman.[8] Bisnis minuman keras tadi membawa dampak yang besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Kebiasaan meminum bir seringkali terjadi disaat mereka (para elite) selesai menyantap sajian rijsttafel. Bir sendiri dilarang oleh kalangan muslim karena mempunyai kadar alkohol.[9]           
            Hura-hura dalam saat mengonsumsi alkohol mungkin menjadi hal yang biasa saat ini, terutama dikalangan pemuda. Merayakan pesta dengan alkohol merupakan menu wajib, terutama saat malam minggu. Kurang pas rasanya jika mengonsumsi alkohol hanya sendirian. Namun bagaimana peranan pemerintah dalam menanggulangi kasus tersebut. Sampai sekarang peredaran alkohol masih marak. Pemerintah mungkin sudah punya aturan atau cara untuk mengatasinya. Baik itu melalui peran masyarakat atau aparat keamanan. Namun pada kenyataannya, masih banyak para aparat kita yang membekingi para penjual minuman keras tadi. Pada masa kolonial tradisi mengonsumsi alkohol juga menimbulkan masalah tersendiri. Dan uniknya lagi, aparat yang bertugas untuk mengusut kasus tersebut malah menjadi bagian dari bisnis alkohol di masa kolonial.
            Minuman keras yang beredar saat masa kolonial sangatlah banyak. Mulai dari minuman keras impor dan minuman keras lokal. Bisnis minuman keras impor sesungguhnya sangat menguntungkan. Dan minuman keras lokal seperti, ciu, arak dan badeg menjadi saingan mereka. Di tahun 1915, hasil keputusan Kongres Sarekat Islam mengusulkan agar pemerintah memberlakukan undang-undang larangan kepada masyarakat untuk mengonsumsi minuman keras. Sedangkan Muhammadiyah dalam pernyataannya di Yogyakarta menginginkan supaya pemerintah menerapka sistem monopoli penjualan minuman keras. Layaknya monopoli pada bisnis candu.[10]
            Lain lagi dengan sikap Boedi Oetomo, mereka menyuruh pemerintah saat itu untuk membatasi tenpat penjualan minuman keras. Ditambah dengan dinaikkannya harga cukai minuman keras tadi supaya di pasaran harganya menjadi lebih mahal. Boedi Oetomo juga berpesan kepada masyarakat supaya memilih pamong atau pemimpin yang jauh dari alkohol.[11]
            Mengonsumsi alkohol merupakan hal wajib masyarakat, khususnya orang Eropa. Para turis yang sedang berkunjung ke Hindia Belanda saat itu, dapat memesan whiskey di hotel yang mereka tempati. Selain whiskey tersedia pula air soda yang dulu lebih dikenal dengan nama aijer blanda. Mereka tinggal memanggil para djongos untuk menyerahkan daftar menu yang ada.[12]
            Di tahun 1918, pemerintah kolonial membentuk sebuah Komisi Pemberantasan Alkohol (Alcoholbes-trijdings-commissie). Mereka mempunyai tugas untuk menyelidiki dan memberantas alkohol yang beredar di khalayak ramai. Komisi ini dipimpin oleh PTA Koesoemo Joedo, seorang bupati Ponorogo. Dan anggotanya terdiri dari inspektur, zending, priyayi, militer dan organisasi sosial.[13]
            Komisi Pemberantasan Alkohol tadi melaporkan bahwa di daerah Senen menjadi pusat transaksi minuman keras. Selain daerah Senen, tempat-tempat yang menjadi kawasan lokalisasi pelacuran (broedplat-sen) juga rawan dalam hal peredaran alkohol. Meluasnya minuman beralkohol di Batavia semakin mengkhawatirkan.[14] Komisi Pemberantasan Alkohol juga menyasar minuman keras jenis tradisional seperti arak, badeg dan chiu. Menurut polisi, minuman tadi beredar dikalangan pribumi tanpa izin pemerintah.[15] Minuman tadi illegal dan banyak beredar di daerah pulau Jawa.
            Usaha untuk memberantas minuman keras tradisional ternyata mendapat tanggapan yang bagus dari masyarakat. Para wedana, lurah, camat dan para penduduk yang menjadi mata-mata. Mereka diberi imbalan berupa uang apabila mampu mengungkap keberadaan oknum-oknum pembuat arak. Namun karena saking semangatnya, kebanyakan dari mata-mata tadi salah memberikan informasi kepada pihak berwenang. Beberapa kasus salah tangkap terjadi di Madiun, Gombong, dan Surakarta, tepatnya di distrik Bekonang. Para informan kebanyakan melaporkan para pembuat tape singkong sebagai pembuat arak. Biarpun tape singkong mengandung alkohol, tapi bukan berarti mereka membuat arak gelap. Pada daerah tertentu, tidak jarang terjadi konflik antara para telik sandi dengan simbok-simbok penjual tape singkong.[16]
            Tampaknya usaha pemerintah kolonial untuk memberangus alkohol tadi tidak optimal. Kegagalan tadi jelas bukan tanpa sebab. Ternyata oknum yang diterjunkan langsung kedalam operasi pemberantasan tadi turut serta terlibat dalam bisnis minuman keras. Mereka juga malas untuk memberantas peredaran minuman keras yang sembunyi dibalik kedai kopi (kroegjes) remang-remang di kawasan perkotaan. Para pemilik dan pelanggan kedai lama-lama menjadi akrab dengan polisi yang bertugas didaerah tersebut. Pada akhirnya minuman keras tadi malah lancar peredarannya di warung atau kedai karena dibekingi oleh para polisi, baik asing atau pribumi.[17]
            Disisi lain, minuman beralkohol banyak didatangkan oleh pemerintah kolonial. Seperti yang sudah disampaikan diatas. Bir diimpor langsung dari luar negeri. Merek bir yang terkenal antara lain seperti, Heineken’s Bier, Haantjes Bier, Pittig Hollandsch Pils, bir pahit cap ayam dari Belanda. Lalu ada juga Koentji Bir yang merek sebenarnya adalah Beck’s Beer, bir buatan Jerman. Bisnis minuman keras tadi membawa dampak yang besar bagi pemerintah Hindia Belanda.[18] Disamping itu mereka juga turut serta dalam usaha minuman keras impor jenis brendi dan jenewer.
            Berdasarkan laporan petugas cukai impor-ekspor (In-en Uitvoerrechtensac-cijnzen) Departemen van Financiën, sejak awal abad 20 cukai minuman alkohol ternyata terus menurun. Sepertinya pemerintah sengaja melakukan kebijakan tadi demi menghancurkan bisnis minuman tradisional yang dianggap meresahkan. Padahal pemerintah kolonial sendiri kedapatan ikut berbisnis minuman beralkohol yang dimpor langsung dari Eropa.[19]
            Selain itu Departemen van Financiën juga melaporkan bahwa usaha minuman keras impor jenis brendi dan jenewer yang mendapatkan campur tangan pemerintah kolonial berhasil mendatangkan ribuan gulden cukai ke kas pemerintah.[20] Padahal disisi lain sudah disinggung diatas bahwa pemerintah kolonial membentuk Komisi Pemberantasan Alkohol di tahun 1918. Namun pada kenyataannya, bisnis minuman keras impor malah merajalela. Dapat dipastikan kebijakan pemerintah untuk menyelidiki serta membasmi maraknya minuman beralkohol hanya untuk menghancurkan bisnis minuman keras tradisional seperti ciu, badeg dan arak. Itu jelas karena minuman tadi mereka anggap illegal.[21] Namun yang lebih penting lagi, minuman seperti arak, badeg, dan ciu tidak bisa menghasilkan untung sebesar minuman keras impor. Padahal minuman keras tradisional sangat populer di kalangan masyarakat Hindia Belanda. Jadi tidak bisa dipungkiri jika minuman keras tradisional harus diberantas dikarenakan menjadi saingan bisnis pemerintah dalam konteks minuman beralkohol impor.




Catatan Kaki
[1] Peran Serta Masyarakat Dalam Pengembangan Kepariwisataan Indonesia Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Depari, 1997, hlm.11.

[2] Ibid., hlm. 12

[3] Sir Thomas Stamford Raffles , History of Java (Yogyakarta: Narasi, 2008), hlm. 65.

[4] Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[5] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 322.

[6] Ibid.

[7] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 36.

[8] Ibid., hlm. 37.

[9] Onghokham, The Thugs, the Curtain Thief, and the Sugar Lord: Power, Politics, and Culture in Colonial Java (Jakarta: Metafor, 2003), hlm.29.

[10] Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[11] Ibid.

[12] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 38-39.

[13] Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[17] Ibid.

[18] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 38.

[19] Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[20] Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[21] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 38.

ADAKAH TEORI DALAM ILMU SEJARAH?

Di dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, Kuntowijoyo secara gamblang menyatakan bahwa sejarah itu mempunyai teori pengetahuan, yang juga disebut sebagai filsafat sejarah kritis.[1] Selanjutnya, Kuntowijoyo juga menjelaskan bahwa sejarah sendiri mempunyai tradisi yang panjang. Dalam perkembangannya, terdapat sebuah teori sejarah. Teori sejarah berkembang sesuai dengan kemajuan keilmuan di zamannya. Masing – masing universitas mempunyai tradisi teori sejarah yang berbeda. Di Amerika, cenderung teori sejarah yang non filosofis. Sedang di Belanda berkembang teori sejarah filosofis.[2]
            Memang di dalam perkembangan keilmuan sejarah sendiri terdapat sebuah pengembangan, bahwa sejarah harus memakai bantuan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial agar lebih kuat untuk merekonstruksi masa lampau. Namun pembahasan disini bukanlah teori-teori milik ilmu sosial. Melainkan, apakah sejarah sendiri mempunyai teori tanpa embel-embel (teori) ilmu sosial tentunya. Tanpa mengabaikan anjuran untuk memakai teori-teori ilmu sosial.
            Nampaknya, perlu sedikit penjelasan mengenai apa itu teori. Dan disini tidak perlu berdebat mengenai definisi teori yang benar. Teori di dalam ilmu sejarah seringkali disebut “kerangka referensi”, “skema referensi”, “personal equation” atau “presuposisi”. Maksud dari istilah-istilah tadi adalah suatu perangkat metode atau aturan yang memandu sejarawan saat meneliti. Mulai dari pencarian sumber, analisis sumber serta evaluasi hasil penemuannya.[3] Teori sendiri pada dasarnya merupakan sebuah perangkat proposisi yang menerangkan, mempunyai hubungan kausal. Konsep-konsep saling berhubungan dengan cara-cara tertentu atau kerangka konseptual.[4] Istilah kerangka konseptual diperkenalkan oleh sejarawan Amerika, Robert F. Berkhofer, Jr.
            Disamping itu ada satu definisi lagi mengenai apa itu teori. Menurut Christian Lloyd, teori adalah bahasan mengenai penyusunan konsep-konsep dan model-model dan pembuatan eksplanasi-eksplanasi umum tetapi rinci mengenai tipe-tipe peristiwa dan proses-proses tertentu yang dapat digunakan untuk menjelaskan sebab-sebab dan peristiwa-peristiwa dan proses-proses sebenarnya (Lloyd, 1986 : ix).[5]
            Tampaknya, teori merupakan sebuah hal yang penting dalam sejarah. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa yang namanya metodologi itu memerlukan sebuah teori dan konsep. Teori dan konsep hanya digunakan sebagai alat analisis dan sintesis sejarah. Teori akan membuat pekerjaan kita menjadi lebih terarah. Namun perlu diingat, bahwa sejarah itu ilmu berdasarkan empiris. Teori memang penting, namun teori itu sekedar membantu mengatur fakta.[6] Jadi, mungkin dapat juga dikatakan bahwa teori itu berada didalam sebuah metodologi.
            Agaknya kita perlu mengetahui mengenai tiga konsep besar yang ada dalam sejarah. Yaitu, sejarah common sense, sejarah ilmiah dan sejarah filosofis. Masing-masing dari tiga konsep sejarah diatas, pada dasarnya sudah mempunyai teori sendiri-sendiri. Teori-teori yang ada dalam masing-masing konsep tersebut berkembang dengan sendirinya.
            Mungkin sedikit susah untuk mencari teori di dalam konsep sejarah common sense. Karena perkembangan sejarah common sense sudah ada sejak zamannya Herodotus dan Thucydides. Namun dalam penulisan sejarah common sense selalu dipenuhi dengan unsur seni dan sastra. Hal tersebut ada di zaman Yunani Kuno serta Romawi Kuno. Sejarah common sense cenderung subjektif dan melibatkan intuisi semata.[7]
            Sedangkan sejarah ilmiah dipelopori oleh Ranke. Bersama dengan J. Burry dan Thomas Buckel, mereka memegang teguh aliran positivisme. Begitu juga dengan penerusnya seperti von Humbolt, Auguste Comte, Lord Acton dll. Lalu mengenai sejarah filosofis. Konsep sejarah satu ini cenderung melampaui asas empiris, mereka malah melompat sampai metafisika. Mereka mempunyai pendekatan untuk mencari arti atau makna sejarah. Sejarah filosofis sering disebut sebagai sejarah metafisis atau metahistory. Namun biarun seperti itu, mereka tidak mengabaikan pentingnya fakta.[8]
           
           


[1] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2005), hlm. 63.

[2] Ibid.

[3] Social Science Research Council (SSRC), The Social Sciences in Historical Study, A Report of the Committee on Historiography, 1954, hlm. 26. Social Science Research Council (SSRC), Theory an Practice in Historical Study : A Report of the Committee Historiography, 1946, hlm. 125., dalam Teuku Ibrahim Alfian, “Konsep dan Teori dalam Disiplin Sejarah”, Basis, Oktober 1992, hlm. 362.
Penjelasan oleh Ibrahim Alfian mengenai hal tersebut juga terdapat dalam buku Dari Babad, Hikayat sampai Sejarah Kritis.

[4] The Social Sciences in Historical Study, A Report of the Committee on Historiography, (1954), hlm. 26 dalam Teuku Ibrahim Alfian, “Konsep dan Teori dalam Disiplin Sejarah”, Basis, Oktober 1992, hlm. 365.

[5] Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah. (Yogyakarta : Ombak, 2007), hlm. 18.

[6] Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. (Jakarta : Gramedia, 1993), hlm. 5-6.

[7] Mestika Zed, “Beberapa Catatan Tentang Epistemologi Sejarah” dalam Taufik Abdullah et.al, Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta : Dipersembahkan kepada Teuku Ibrahim Alfian (Jakarta : MSI, 2002), hlm. 57.

[8]  Ibid., hlm. 58-59.

Antara Sejarah dan Sastra : Akankah Tumpang Tindih?

Kedekatan antara sejarah dengan sastra dapat kita lihat dari berbagai macam produk-produk karya sastra. Peristiwa sejarah seringkali menjadi latarbelakang dari peristiwa yang diungkapkan oleh karya sastra semacam novel, puisi, cepen, naskah/lakon  dll. Lebih lanjut jarak sejarah dengan sastra disampaikan oleh Arthur Koestler dalam The Act of Creation : A Study of the Conscious and Unconscious in Science and Art. Koestler menunjukkan kedekatan-kedekatan antar disiplin sebagai berikut : Kimia, Biokimia, Biologi, Kedokteran, Psikologi, Antropologi, Sejarah, Biografi, Novel, Epik dan Lirik (Kuntowijoyo, 2006 : 172).

Pernyataan diatas mengindikasikan bahwa jarak disiplin keilmuan sejarah dengan sastra sangat tipis. Akan tetapi tetap ada perbedaan yang mutlak antara sejarah dengan sastra. Secara tegas, Kuntowijoyo mengatakan bahwa sejarah itu bukan sastra. Sejarah itu kenyataan, faktual. Biarpun fakta-fakta yang didapatkan sudah terolah dalam subjektifitas sejarawan. Sedangkan sastra merupakan hasil imajinasi pengarang. Di dalam kesimpulannya, sastra bisa berakhir dengan sebuah pertanyaan. Berbeda dengan sejarah yang harus memberikan informasi yang tegas, lengkap dan tuntas dalam kesimpulannya (Kuntowijoyo, 2005 : 12). Disisi lain, A. Teeuw juga berpendapat “syukurlah ada sastra serta ilmu sejarah sebagai dua ragam pengungkapan persepsi manusia tentang dirinya !” (Teeuw dalam Alfian dkk, 1987 : 33).
            
Sastra dan sejarah sifatnya empiris. Sastra dan sejarah begitu juga dengan mitos merupakan arena pewarisan pengalaman masa lalu. Bedanya, sastra dan mitos penuturannya secara subjektif. Sedang sejarah, penyampaiannya condong inter subjektif (Kuntowojoyo, 2002 : 38-39). Pembahasan mengenai perbedaan sastra dan sejarah, secara gamblang disampaikan oleh Kuntowijoyo. Perbedaan tadi terletak pada struktur dan substansi (Kuntowijoyo, 2004).
            
Akhir-akhir ini ilmu sejarah dipengaruhi oleh postmodernisme. Postmodern memberikan pengaruh linguistic turn (kembali ke linguistik). Epistemologi tadi memasuki ranah teori sejarah. Perhatian sejarawan mulai merujuk pada kajian postmodernisme, semacam masalah bahasa, identitas, simbol dan kosntruksi-konstruksi sosial. Bahasa (mungkin makna) menjadi bagian dari kajian ilmu sejarah (Sjamsuddin, 2007 : 339-340).
            
Dalam tulisannya mengenai sejarah sosial di Jakarta, Bambang Purwanto mengajukan sebuah pendekatan baru. Merebaknya kajian postmodern (linguistic turn) dianggap membantu penulisan sejarah. Citra, simbol, makna atau arti, wacana, perasaan dll dianggap mampu memberikan warna baru dalam tradisi penulisan sejarah. Karena menurut beliau, sampai sekarang model penulisan sejarah di Indonesia dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial/multidimensional dianggap masih kurang. Dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai pendekatan tersebut dan sering disalah artikan (Purwanto dalam Nordholt dkk, 2008 : 274-276).
            
Bambang Purwanto juga menyarankan agar sejarawan Indonesia mulai memakai karya sastra sebagai sumber untuk menulis sejarah sosial, sejarah masyarakat, daily life history, tanpa mengabaikan sumber inkonvensional tentunya (Purwanto dalam Nordholt dkk, 2008 : 246). Memang sastra merupakan refleksi kultural serta sosial atas kehidupan sehari-hari. Sastra sendiri imajinatif, sementara sejarah berbicara kenyataan atau fakta. Biarpun fakta sendiri sudah mengandung subjektivitas, begitu juga dengan imajinasi. Pada tulisannya yang lain, Bambang Purwanto berpendapat mengenai pembedaan sastra itu fiksi, sedang sejarah itu fakta. Dasar dari tulisan beliau berawal atas pandangannya dengan kacamata dekonstruktif. Dimana posisi sastra dan sejarah tidak dapat dibedakan secara mentah, antara kandungan fiksi dan fakta. Bahkan sebagai realitas, posisi sejarah dan sastra itu sama. (Purwanto, 2001 : 29).


Di sisi lain, penolakan-penolakan terhadap dekonstruksionisme dan postmodernisme juga deras. Karena paham-paham tadi menolak narasi sejarah yang dianggap tidak mampu menyajikan masa lampau seperti apa adanya (Alfian dalam Lubis, 2001 : 4). Memang sedikit membingungkan apabila kita membicarakan apa itu postmodern, linguistic turn, dekonstruktif. Karena saya sendiri dalam perkuliahan S1 jurusan Ilmu Sejarah UGM, hal-hal tersebut belum saatnya diajarkan. Apalagi jika ditambah pengaruhnya terhapa sejarah. Karena oleh Helius Sjamsuddin dikatakan, dengan pendekatan postmodernisme akan mengakibatkan sejarah seperti sastra. Karena linguistic turn tadi, atau juga narrative turn (Sjamsuddin, 2007 : 10). Namun tidak salah apabila kita ingin sedikit mengetahui mengenai perkembangan - perkembangan keilmuan, yang konon katanya sedang fashionable itu.

Beberapa Keseharian Masyarakat Eropa Pada Masa Kolonial Sebuah Kajian Sejarah Kuliner di Hindia Belanda( akhir 1800an – 1930an)

A. Pendahuluan
            Bagi masyarakat asing yang tiba di Hindia Belanda[1], menghuni sebuah wilayah baru pasti memerlukan sebuah adaptasi. Menilik keseharian masyarakat Eropa di negeri nan tropis ini, dapat dipastikan mereka menemukan sebuah kondisi berbanding terbalik dengan daerah asalnya.
            Aktivitas sehari-hari mereka pasti berbau unsur-unsur kebarat-baratan. Namun tidak memungkiri juga, masyarakat Eropa mengonsumsi produk-produk asli Hindia Belanda. Salah satu bentuk kebiasaan masyarakat Eropa saat itu adalah makan. Kegiatan mereka dalam hal mengisi perut sangat menarik untuk dibahas. Bukan hanya mengenai kuliner saja, tetapi akan diisi juga dengan minuman-minuman kegemaran masyarakat Eropa.
            Ada catatan penting yang harus  kita perhatikan sebelum membahas tradisi kuliner masyarakat Eropa. Yaitu mengenai pertumbuhan masyarakat/penduduk asing di Hindia Belanda. Awal abad XIX, ada perkiraan terdapat sekitar 4.000 orang Eropa, 100.000 orang China dan beberapa masyarakat Arab di Jawa dan Madura.[2] Akan tetapi jumlah tadi dianggap kurang valid.
            Pada abad 19, banyak masyarakat asing yang mulai menetap di Hindia Belanda. Mereka mulai tinggal dan membentuk keluarga. Perlu kita bedakan, antara masyarakat Eropa pendatang dengan masyarakat Eropa yang lahir di Hindia Belanda. Begitu juga dengan masyarakat kelompok Indis/Indo.[3]
Perhatikan dua tabel dibawah ini.
Tabel 1. Pertumbuhan Penduduk Asing di Hindia Belanda (1860-1930)[4]
Jumlah pada tahun
Eropa
China
Arab
1860
43.876
221.438
8.909
1880
59.903
343.793
16.025
1900
91.142
537.316
27.399
1905
94.518
563.449
29.588
1920
168.114
809.039
44.902
1930
240.417
1.233.214
71.335
Rata Pertumbuhan tiap tahun dalam persen
Dalam Masa
1860-1880
1,6 %
2,2%
3%
1880-1900
2,1%
2,3%
2,7%
1900-1920
3,1%
2,1%
2,5%
1920-1930
3,6%
4,3%
4,7%
Sumber : Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (eds.), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 32.

Tabel 2. Jumlah Wanita Asing Setiap 1.000 Pria
Tahun
Eropa
China
Arab
1860
-
590
809
1880
481
620
830
1900
636
548
857
1905
672
526
890
1920
800
563
865
1930
884
646
841
Sumber : Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (eds.), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 33.

Pada tabel pertama, dapat kita simpulkan bahwa dari tahun ke tahun pertambahan penduduk asing semakin banyak. Pesatnya pertumbuhan masyarakat asing dipengaruhi oleh faktor imigran menetap di Hindia Belanda.
            Tabel kedua, memperkuat argumen besarnya kelompok inti para penetap tadi. Karena bertambahnya jumlah wanita dalam kelompok asing. Sejak tahun 1900, imigran wanita Eropa meningkat pesat. Sedangkan peningkatan imigrasi wanita China ke Hindia Belanda terjadi sejak tahun 1920. Namun pertambahannya tidak terlalu signifikan. Berbeda dengan wanita Arab dan India yang jarang berimigrasi.[5]
                Di tahun 1930, jumlah masyarakat Eropa kelahiran Hindia Belanda lebih besar dibanding Eropa Totok. Jumlah masyarakat Eropa Totok sekitar 30% dari total masyarakat Eropa yang ada. Namun untuk jumlah pria Eropa Totok dengan pria kelahiran Hindia Belanda terbagi secara seimbang. Sensus di tahun 1930 menyimpulkan bahwa sekitar 50% masyarakat Eropa dianggap sebagai penduduk tetap (blijver).[6]
            Mengingat begitu banyak jumlah penduduk asing di Hindia Belanda, otomatis menyebabkan adanya akulturasi dalam kuliner masa itu. Status sosial lebih tinggi yang disandang oleh masyarakat Eropa akan menyebabkan adanya diferensiasi yang tajam dalam konteks kuliner tadi. Disamping itu, impor produk barat akan membanjiri Hindia Belanda karena kebutuhan konsumsi masyarakat Eropa tadi.

B. “Diskriminasi” Soal Kuliner antara Golongan Eropa dan Pribumi
            Seperti yang sudah umum kita ketahui, bahwa strata paling tinggi pada masa kolonial adalah masyarakat Eropa. Nomor dua dipegang oleh golongan Timur Asing. Sedangkan pribumi berada di posisi paling bawah. Setidaknya anggapan itu masih dipercayai sampai sekarang. Bahkan tercipta hierarki tersendiri dalam golongan Eropa.
            Kalangan Eropa Totok tua yang menempati jabatan lebih tinggi merupakan golongan nomor satu dari seluruh populasi Eropa. Rata-rata dari mereka bekerja sebagai pegawai negeri, tentara dan direktur perusahaan. Sedangkan Eropa Totok muda serta Indo Eropa berada di tengah-tengah. Golongan paling rendah adalah Indo Eropa yang pekerjaannya sebagai juru tulis di perusahaan-perusahaan atau pemerintah kolonial.[7]
            Kasus diskriminasi antara penduduk Eropa dengan pribumi juga terjadi. Salah satu buktinya adalah larangan dari orangtua anak-anak Eropa Totok untuk bermain dengan pribumi. Kisaran tahun 1920an dan 1930an, ibu-ibu Eropa Totok muda yang modern mulai mendidik sendiri anak-anaknya. Dengan bantuan materi-materi Montessori yang dibawa dari Eropa. Ada aturan bahkan larangan untuk berbicara dengan pembantu mereka. Ada juga seorang anak Indo Eropa kelas atas diperingatkan bahwa kontak dengan pribumi tidak bisa ditolerir.[8]
            Lalu, bagaimana kasus diskriminasi yang terjadi dalam kuliner?. Persoalan tadi terjawab dengan adanya tradisi rijsttafel.[9] Permasalahan rasial seakan-akan tercipta dalam kasus rijsttafel. Sebelumnya, akan disampaikan lebih dahulu mengenai apa itu rijsttafel.
            Ada sebuah kejadian menarik yang menimpa Desire Charnay, seorang Prancis yang berkunjung ke Jawa karena diutus oleh Kementerian Pendidikan Hindia Belanda (1878-1879). Begitu sampai di hotel, ia merasa jijik dengan hidangan yang disajikan. Hidangan tersebut berisi nasi, sayur kari, telur dadar, ikan asin, ikan rebus, daging ayam, daging kambing, bistik. Hidangan itu masih dihiasi dengan ketimun dan atasnya diberi sambal serta empat atau lima jenis acar.[10]
            Hidangan yang disajikan hotel tadi kepada Desire Charnay sesungguhnya merupakan jenis makanan mewah saat itu. Karena makanan tadi hanya dapat dinikmati oleh kalangan atas saja. Sajian yang “dinikmati” oleh Desire Charnay tadi, sejatinya termasuk kategori tradisi rijsttafel. Sebuah hidangan yang menjadi menu utama bagi warga Belanda dan juga disetiap hotel mewah.
            Beberapa kejadian lain juga dirasakan oleh Augusta de Wit. Augusta de Wit[11] adalah seorang wisatawan yang berkunjung di Hindia Belanda pada akhir abad 1890an. Pengalamannya mengenai rijsttafel ia ungkapkan dalam buku Java :Feiten en Fantasieën (1905). Pertama, ia menyatakan bahwa hidangan rijsttafel tidak disajikan di ruang makan, melainkan di bagian belakang hotel. Kedua, kostum para pelayan/djongos (pribumi) yang mengantarkan makanan. Para pelayan tadi memakai sarung dan ikat kepala serta pakaian semi Eropa. Anehnya pelayan tadi mondar-mandir mengantarkan makanan dengan kaki telanjang.[12]
            Coba perhatiakan, sajian rijsttafel selalu dibubuhi dengan sambal. Sebuah kejadian lucu menimpa Augusta de Wit. Saat pertama kali dirinya mencicipi sambal,  bibirnya langsung gemetar kepedasan. Karena saking pedasnya, ia merasakan panas dilehernya. Sehingga harus diguyur air untuk menenangkan “kebakaran” dilehernya. Sampai-sampai air mata Augusta de Wit bercucuran. Oleh seorang pengunjung, dirinya disarankan agar menaruh sedikit garam di lidah. Ia pun bersyukur, karena rasa pedasnya sudah hilang. Ia bersumpah tidak akan mencicipi rijsttafel lagi. Akan tetapi, Augusta de Wit malah ketagihan menikmati hidangan pedas tadi.[13]
            Dalam tulisannya mengenai sejarah kolonial, Onghokham menjelaskan bahwa orang Belanda lebih memilih rijstaffel disajikan dalam kondisi panas, padahal orang Jawa lebih senang makan apabila nasinya sudah dingin atau hangat. Kenikmatan rijstaffel semakin memuncak dengan tambahan menegak bir. Masyarakat Belanda memang gemar meminum bir. Selain bir, mereka juga meminta agar dalam penyajian rijsttafel ditemani hidangan berupa pisang goreng.[14]
            Pernyataan, tadi dikuatkan oleh pengalaman Justus van Maurik. Wisatawan serta pengusahan cerutu asal Belanda. Pengalamannya mengenai kuliner Hindia Belanda, diungkapkannya dalam buku Indrukken van een totok (1897). Dalam buku tadi, Maurik senantiasa teringat hotel-hotel di Hindia Belanda. Ia teringat pada kopi dan pisang yang lezat serta ‘harum’ buah nanas dan terasi.[15]
            Keharusan para koki untuk mampu memasak hidangan ala Eropa dan Indonesia dikalangan keluarga-keluarga kaya menjadi faktor penting adanya rijstaffel. Rijstaffel menjadi menu wajib dan termahsyur di abad 19, terutama di kalangan para bangsawan Eropa, khususnya orang-orangnya Belanda.[16]
            Kasus-kasus pembedaan dalam hal kuliner tidak hanya terjadi dalam meja makan rijstaffel. Terutama pada saat pesta atau perjamuan di hotel-hotel. Kemungkinan sajian rijstaffel di rumah-rumah pada hari minggu hanya sekedar rutinitas layaknya sarapan di pagi hari. Batas-batas mengenai sajian kuliner juga terjadi di hotel prodeo. Peristiwa ini tidak terjadi di hotel-hotel mewah yang dikunjungi orang-orang Eropa nan kaya. Kemewahan cita rasa kuliner juga terjadi dalam penjara.
            Dalam buku Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia (1964) karya R.A Koesnoen, disebutkan perbaikan jatah makanan yang terjadi di tahun 1856 ternyata tidak menimpa tahanan pribumi. Hanya jatah makanan bagi tahanan Eropa saja yang diperbaiki. Sesuai peraturan jatah makanan yang tertuang dalam Statblad 1829 Nomor 73. Sajian makanan untuk tahanan pribumi (termasuk golongan Tionghoa) hanya mendapat nasi dan garam setiap dua hari sekali. Selain itu mereka juga menyantap setengah pon ikan kering atau daging kerbau, sayuran, bawang merah dan sedikit merica. Mengenai menu khusus bagi tahanan berkewarganegaraan Eropa. Setiap pukul enam pagi, mereka menikmati roti serta kopi. Saat makan siang para tahanan Eropa menyantap nasi kentang, sayur, sup, daging, ikan dan kerry. Pukul empat sore, mereka mendapat jatah makanan sesuai hidangan saat makan siang.[17]
            Di tahun 1870-1905, terjadi lagi perubahan jatah makanan bagi tahanan Eropa. Perubahan tadi dilaksanakan sesuai dengan Statblad 1871 Nomor 78. Pada tahun 1877, tahanan Eropa tadi setiap hari mendapat 9,20 pon roti, 0,35 pon nasi, 0,20 pon sayur, 0,003 pon lemak sapi, 0,005 pon kerry, 0,002 pon lombok, 0,02 garam, 0,001 pon lada, 0,015 pon kopi dan 0,004 teh hitam. Dalam enam kali seminggu mereka mendapat 0,20 pon daging sapi dan 0,20 pon kentang. Selain itu masih ditambah lagi dengan jatah 0,15 daging babi, 0,25 pon kapri hijau dan 0,025 ikan cuka dalam sekali seminggu.[18]

C. Beberapa Produk – produk Cita Rasa Barat
            Pada uraian diatas, dapat kita asumsikan rijsttafel beredar dikalangan masyarakat Eropa pada sekitar akhir 1800an. Namun tak bisa disangkal bahwa produk-produk Barat harus dirasakan oleh masyarakat Eropa. Ada sebuah data mengenai impor makanan kaleng. Data tersebut menyatakan bahwa makanan Barat semakin laku di Hindia Belanda. Kemungkinan besar rijsttafel mulai tersingkir dengan “serangan” makanan kaleng dari Eropa. Lihat tabel dibawah ini.

Nilai impor makanan kaleng ke Hindia Belanda (1926-1928) dalam gulden[19]
Jenis
1926
1927
1928
Mentega
7.665
6.937
8.125
Keju
1.125
1.265
1.169
Ikan
22.040
21.379
20.046
Daging
2.995
3.420
3.688
Biskuit
4.692
5.123
4.849
Buah-buahan
4.204
4.083
3.745
Sayuran
6.015
6.669
6.807
Sumber : Handboek of The Netherlands East-Indies 1930, Buitenzorg : Departement of Agriculture, Industry and Commerce, 1930, 323         
            Dari data tersebut, keju mungkin berada diposisi paling rendah. Keju sudah tiba di Hindia Belanda semenjak tahun 1890. Saat itu keju merupakan makanan mewah, makanan para elite. Sewaktu masih muda, Haji Agus Salim diminta untuk tinggal dirumah kepala sekolahnya.[20] Saat berada di rumah kepala sekolah tadi, Agus disuruh makan keju. Agar bahasa Belandanya lancar.[21]
            Selain itu, berdasarkan buku panduan turisme terbitan pemerintah, Gids voor Indië (1938). Tercantum iklan-iklan toko keju di Hindia Belanda. Tujuannya agar wisatawan Belanda mau mengunjungi Hindia Belanda karena akan merasakan suasana dan kondisi mirip negeri Belanda. Salah satu yang ditampilkan adalah iklan toko  Toko Li Liong Hin di Pasar Senen, Batavia-Centrum.[22]
            Lalu produk barat selain keju adalah susu. Di tahun 1906, Pemerintah Hindia Belanda mengimpor beberapa jenis sapi pedaging ke Sumba, Nusa Tenggara Timur. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menetapkan Sumba sebagai pusat pengembangbiakan ternak sapi daging dari jenis O ngole (India). Sekitar tahun ini pula, sapi perah mulai masuk ke Hindia Belanda.[23] Akan tetapi sebelum tahun 1906, berdasarkan catatan Heer Medici. Ia bersama rombongan berkuda dari Batavia plesir ke Bandung. Sesampai di Cianjur, mereka sudah mencicipi segarnya susu Bandung.[24]
            Di tahun 1938, perusahaan susu Bandoengsche Melk Centrale (BMC) yang berada di Bandung mampu menampung 22 usaha pemerahan susu. Dari usaha tersebut omset yang mereka peroleh sekitar 13.000 liter susu per hari. Produksi-produksi susu di Jawa Barat dipegang oleh BMC. Mereka juga memproduksi es krim dan susu coklat.[25]
            Selain susu segar, ada juga susu kaleng yang diproduksi oleh NESTLE’S MELK CO di Batavia-Centrum. Sedangkan di daerah Petamboeran, Palmerah terdapat peternakan sapi tertua dan terbesar, yaitu Melkerij “Petamboeran”.[26]
            Disisi lain, minuman beralkohol banyak didatangkan oleh pemerintah kolonial. Bir diimpor langsung dari luar negeri. Bir-bir tadi disajikan dengan air es atau es batu. Disamping hal tersebut, pemerintah kolonial pertama kali mengenalkan es terhadap kita. Pada tahun 1869, keluarga-keluarga kaya di Batavia gemar meminum air es yang mencair. Air es tersebut didatangkan langsung dari Boston.[27] Bahkan pada pertengahan abad 19, kapal-kapal yang datang dari Amerika Utara membawa berblok-blok es batu ke .[28] Es batu tadi juga dikenal dengan nama aijer batoe. Perkembangan es selanjutnya tidak lagi harus mengimpor. Pengenalan teknologi pembuatan amoniak di Jawa terjadi pada akhir tahun 1880. Teknologi pembuatan amoniak tadi pada awalnya dikuasai bangsa Eropa, namun pengusaha China dengan tanggap meminati usaha pabrik es tersebut.[29]
            Es tadi sangat nikmat apabila dipakai saat meminum bir. Bir diimpor langsung dari luar negeri. Merek bir yang terkenal antara lain seperti, Heineken’s Bier, Haantjes Bier, Pittig Hollandsch Pils, bir pahit cap ayam dari Belanda. Lalu ada juga Koentji Bir yang merek sebenarnya adalah Beck’s Beer, bir buatan Jerman.[30] Disamping itu mereka juga turut serta dalam usaha minuman keras impor jenis brendi dan jenewer.
            Bisnis minuman keras tadi membawa dampak yang besar bagi pemerintah . Disamping itu pemerintah juga membuat sebuah Komisi Pemberantasan Alkohol (Alcoholbes-trijdings-commissie) pada 1918. Komisi ini dipimpin oleh PTA Koesoemo Joedo, seorang bupati Ponorogo. Dan anggotanya terdiri dari inspektur, zending, priyayi, militer dan organisasi sosial. Ternyata tujuan utama dari komisi tersebut untuk memberantas minuman keras lokal seperti, arak, chiu, badeg yang mereka anggap illegal.[31]
            Terakhir adalah produksi air mineral di Hindia Belanda. Dalam Gids voor Indie (1933) terdapat sebuah iklan pabrik air mineral dan limun NOVA di Bandung. Mereka menyediakan limonades Hollandsech smaak, Aer Blanda gelijk Apollonaris, dan Orange Crush.[32]
            Produk air mineral paling terkenal adalah milik H.F. Tillema, ahli farmasi dari Semarang. Tillema merupakan distributor brandy paling besar di Semarang (“ini baik untuk kesehatanmu”). Ia menjadi terkenal karena menjual air mineral botol dengan merk Hygeia. Air Hygeia berasal dari pegunungan di Jawa Timur. Namun, harga air Hygeia terlalu mahal bagi pribumi yang ingin membelinya.[33]
            Di tahun 1909-1910 ia membangun sebuah pabrik baru. Dengan 80 pekerja, pabrik Hygeia mampu memproduksi 10.000 botol Hygeia perhari. Tillema berambisi menguasai Semarang, ia mempromosikan produknya dengan balon udara yang bertuliskan merek Hygeia. Sarana iklan tadi melayang di atas kota Semarang. Minuman Hygeia baik limun bergas dan air mineral sangat populer di seluruh Hindia Belanda. Botol-botol dengan tutup dari porselen berlapis karet berharga 25 sen gulden. Selain itu, dapat juga membeli air Hygeia dengan menukar enam botol kosong ditambah 75 sen. Botol Hygeia pada masa itu disegel dengan sehelai kertas.[34]

D. Kesimpulan
            Berbicara mengenai kuliner memang menarik. Pembahasan terakhir tadi menunjukkan bahwa tradisi rijsttafel lama-lama tergantikan dengan adanya impor-impor makanan kaleng dari Barat. Di tahun 1919, rijsttafel masih menjadi idola orang-orang Eropa saat pagi hari. Begitu juga dengan masyarakat Eropa yang miskin.[35]
            Akan tetapi ditahun 1900, masakan Eropa lebih populer dibandingkan hidangan Hindia Belanda. Disetiap pesta makan malam, hidangan Eropa selalu disajikan.[36] Periode diantara Perang Dunia I dan Perang II, rijsttafel menjadi menu tersendiri di hari minggu. Pada hari-hari lain, hidangan yang disajikan adalah hidangan Eropa. Seperti, ayam dan saus apel, kobis merah, dan sauerkraut menjadi menu para Eropa Totok. Perubahan tadi disebabkan besarnya impor makanan kaleng serta meningkatnya penanaman sayur di daerah dataran tinggi di Jawa, seperti Bandung dan Malang.[37]
            Karena cepatnya perkembangan transportasi, para perempuan Eropa semakin banyak yang datang. Sampai tahun 1930, 113.000 dari 240.000 warga Eropa adalah perempuan. Mereka kesulitan mengontrol atau mengurus rumah tangga. Maka dari itu kebanyakan dari wanita Eropa mulai menggunakan jasa pembantu (pribumi). Sebuah asosiasi untuk ibu rumah tangga berdiri di Batavia pada tahun 1930. Mereka mulai mengajari para pembantu, bagaimana menyiapkan makanan Eropa yang pantas.[38]
            Kedatangan para wanita Eropa tadi menjadi kegelisahan tersendiri bagi pria-pria Eropa. Karena jauh sebelum itu, skandal-skandal seksual sering terjadi antara pria Eropa dengan perempuan pribumi.[39] Akan tetapi, diakhir masa kolonial juga terjadi skandal antara perempuan Eropa dengan pribumi. Batas-batas strata sosial seakan terpisah saat percintaan berlangsung di halaman belakang dan dapur. Hubungan tadi dapat terjadi saat suami sedang bepergian. Uniknya perselingkuhan terjadi para istri terjadi dengan djongos. Perselingkuhan dengan tukang kebun tidak mungkin terjadi karena mereka dilarang masuk ke dalam rumah.[40]
            Mempunyai seorang koki (pribumi)[41] merupakan hal yang sangat istimewa bagi keluarga Eropa. Apalagi koki tadi pandai dalam menyajikan masakan Eropa. Para istri tidak sempat memasak.[42] Mereka tidak kuat memasak didepan tungku arang yang panas. Pekerjaan berat harus diemban para koki karena harus mempersiapkan makanan dengan api arang atau kompor gas di tahun 1920an-1930an.[43]
            Pesatnya makanan kaleng serta munculnya produk-produk berlabel kebarat-baratan seakan-akan mampu mengubah keadaan. Rijsttafel mulai tergantikan, namun munculnya produk-produk berbau barat tadi justru sebagai sarana promosi pariwisata. Akan tetapi jarak antara pribumi dan orang Eropa memang masih terjadi. Antara majikan dan koki tidak diperbolehkan untuk makan dengan piring yang sama. Diskriminasi yang sama dengan kasus kuliner di penjara dan kasus di pesta Rijsttafel.
            Lucunya, djongos-djongos yang menjadi bahan lelucon saat maraknya rijsttafel malah menjadi jaya di masa kolonial akhir. Perselingkuhan dengan nyonya-nyonya Eropa menjadi kajian menarik sebenarnya. Jarak Barat dan Timur seakan terlepas. “Polusi” pribumi tidak dirasakan lagi saat perselingkuhan terjadi. Akan tetapi, belum diketahui juga apakah terjadi sebuah skandal antara koki-koki dengan para nyonya. Nampaknya masalah tadi masih perlu ditelusuri.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU dan JURNAL
Creutzberg, Pieter dan J.T.M. van Laanen (eds.), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1987.

Djoko Marihandono (ed), Titik Balik Historiografi di Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008.

Dorléans, Bernard., Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006.

Lombard, Denys., Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama (cetakan keempat), 2008.

Protschky, Susie., “The Colonial Table : Food, Culture and Dutch Identity in Colonial Indonesia”, dalam Australian Jurnal of Politics and History, Volume 54, Number 3, 2008.

Schulte Nordholt, Henk (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. Leiden: KITLV, 1997.

Vickers, Adrian., A History of Modern Indonesia. New York : Cambridge University Press, 2005.

SURAT KABAR
Andreas Maryoto. “Jejak Kuliner di Hotel Prodeo” Kompas, 17 Desember 2009. hlm. 60.

Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006. hlm. 42.

INTERNET

http://sunjayadi.com/?p=183 (diakses 21 Mei 2010)
http://sunjayadi.com/?p=60 (diakses 21 Mei 2010)
http://sunjayadi.com/?p=59 (diakses 21 Mei 2010)
http://sunjayadi.com/?p=53 (diakses 21 Mei 2010)























           



[1] Dalam makalah ini, penyebutan nama Indonesia atau Nusantara akan ditulis Hindia Belanda. Mengingat konsep pembentukan Indonesia saat itu belum jelas. Namun ada pula sebuah pendapat yang menyatakan bahwa kita layak menyebut nama Indonesia, biarpun kita menulis sejarah pada masa VOC atau masa kolonial. Karena pada dasarnya semua itu saling berkesinambungan.

[2] Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (eds.), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 34.

[3] Penyebutan untuk masyarakat Eropa pendatang akan disebut Eropa Totok. Untuk membedakan dengan penduduk Eropa yang lahir di Hindia Belanda. Maksud dari penduduk Eropa yang lahir di Hindia Belanda adalah mereka yang menikah dengan sesama bangsanya. Bukan sebuah keluarga campuran antara Eropa dengan pribumi, China ataupun Arab.

[4] Ibid., hlm. 32. Data statistik dalam buku tersebut diambil dari Volkstelling 1930, bagian VIII, hlm. 8 – 12, Batavia, 1930.

[5] Ibid., hlm. 35.

[6] Volkstelling 1930, bagian VI, hlm. 21, Batavia, 1933 dan Volkstelling 1930, bagian VIII, hlm. 3, Batavia, 1936 dalam Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food: European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 153-154.

[7] Henk van Dijk, “De Hollandse vrouw in Indië”, dalam Wim Hoogbergen and Marjo de Thije (eds), Vruchtbaar onderzoek : Essays ter ere van Douwe Jongmas. (Utrecht : Instituut voor Culturele Antropologie, Universiteit van Utrecht, 1986) hlm. 55-78 dalam Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food: European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 155.

[8] Elvire Spier, De maan op het water. (Cadier en Keer : 60 plus, 1993), hlm. 120 dalam Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food: European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 157. Anak Indo Eropa tadi termasuk golongan atas (Eropa Totok) karena pernikahan ibunya yang kedua.

[9] Rijsttafel bila diartikan dalam bahasa Inggris berarti rice table. Secara harfiah berarti nasi dalam meja “makan” (?) atau “hidangan nasi”. Rijsttafel adalah sebuah hidangan berisi nasi yang begitu banyak. Lalu dihiasi dengan sayur-mayur, lauk pauk dan sambal. Sangat banyak sajian pendamping dari rijstaffel, namun pada intinya adalah menu atau hidangan makan dengan nasi yang sangat banyak.

[10] Bernard Dorléans, Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 497.

[11] Lebih rincinya, Augusta de Wit merupakan jurnalis perempuan dan juga seorang guru.

[12] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di ”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 33.

[13] http://sunjayadi.com/?p=59, diakses pada Jumat, 21 Mei 2010
[14] Onghokham, The Thugs, the Curtain Thief and the Sugar Lord : Power, Politics, and Culture in Colonial Java. (Jakarta : Metafor, 2003), hlm. 311-314 dalam Susie Protschky, “The Colonial Table : Food, Culture and Dutch Identity in Colonial Indonesia”, Australian Jurnal of Politics and History, Volume 54, Number 3, 2008 hlm. 346-347.

[15] Justus van Maurik, Indrukken van een totok (Amsterdam: van Holkema & Warendorf, 1897), hlm. 110 dalam Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di ”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 30.

[16] Bernard Dorléans, Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 487.

[17] Andreas Maryoto. “Jejak Kuliner di Hotel Prodeo” Kompas, 17 Desember 2009. hlm. 60. Lihat juga dalam artikel kecil “Kuliner dalam Dua Dunia : Rijsttafel dan Menu Penjara” di Bulletin Suryakanta, edisi Maret 2010 hlm. 8-9.

[18] Ibid.

[19] Dikutip dari Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di ”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 37.

[20] Pada saat itu Haji Agus Salim bersekolah di Europeese Lagere School (ELS) Riau. Seorang kepala sekolah memintanya agar tinggal di rumahnya. Menurut kepala sekolah tersebut, Agus Salim kecil sangat pandai. Maka dari itu lingkungan dan makanan Agus Salim harus tepat. Ia membujuk ayah Agus Salim supaya si Agus kecil tinggal di rumahnya. Akhirnya sang ayah memutuskan, agar Agus makan pagi, makan siang dan makan malam di rumah kepala sekolah tadi. Begitu seterusnya.

[21] http://sunjayadi.com/?p=183, diakses pada Jumat, 21 Mei 2010

[22] Ibid.

[23] http://sunjayadi.com/?p=53, diakses pada Jumat, 21 Mei 2010

[24] Ibid

[25] Ibid.

[26] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di ”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 37.

[27] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 322.

[28] Ibid.

[29] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di ”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 36.
[30] Ibid., hlm. 37.

[31] Lihat Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[32] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di ”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 37.

[33] Rudolf Mrázek, “Indonesian dandy : The Politics of Clothes in the Late Colonial Period, 1893-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 121.
[34] http://sunjayadi.com/?p=60, diakses pada Jumat, 21 Mei 2010

[35] Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food : European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 171.

[36] Sanderella Plak, “Van sarong en kabaya naar mantelpak : De rol van Europese vrouwen in Indie van 1900 tot 1942”, MA thesis, University of Amsterdam, 1993, hlm. 71 dalam Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food : European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 171.

[37] Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food : European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 171.

[38] Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia. (New York : Cambridge University Press, 2005), hlm. 29.

[39] Ibid.

[40] Henk Schulte Nordholt, “Introduction”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 16.

[41] Belum diketahui secara jelas dan pasti. Apakah koki-koki tersebut laki-laki atau perempuan. Koki atau juru masak disini adalah koki yang berkembang dan menjadi trend dikalangan wanita Eropa Totok (ibu rumah tangga) pada masa kolonial akhir.

[42] Namun, paling tidak para istri tadi sesekali memasak kue atau hidangan penutup khas Belanda untuk suaminya. Sesuatu yang spesial dan istimewa bagi suaminya.

[43] Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food : European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 171.