"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Senin, 10 November 2014

Indonesian Dramatic Reading Festival (IDRF) : Menyimak dan Membayangkan Festival Pembacaan Naskah Lakon

“Itu sudah dari dulu begitu. Karena itu saja selalu mengatakan, sandiwara penggemar tidak akan bisa berdiri. Barangkali tjuma bisa berdiri buat satu kali main sadja kemudian akan mati sebagai lilin ditiup angin” (Usmar Ismail, Liburan Seniman)

Kalimat diatas meluncur dari seorang aktor kelompok Rendezvous, ketika mereka membacakan naskah Liburan Seniman. Naskah lawas milik Usmar Ismail tersebut dibacakan Selasa kemarin di LIP, pada kegiatan IDRF (Indonesian Dramatic Reading Festival) 2014. Lakon tersebut diselesaikan pada tahun 1944. Liburan Seniman juga sempat dimainkan oleh kelompok sandiwaranya Usmar Ismail, yaitu Sandiwara Penggemar Maya pada 31 Maret – 1 April 1945.

Sebuah lakon dalam lakon. Naskah Liburan Seniman menggambarkan sekelompok pemuda dan pemudi amatiran teater. Gejolak nasionalisme membumbung tinggi pada masa pendudukan Jepang. Mereka ingin turut andil dalam perjuangan bangsa. Karena tidak dapat kesempatan untuk angkat senjata, pementasan teater menjadi pilihannya. Naskah Liburan Seniman sendiri bernyawa realisme. Serta sedikit dibumbui unsur propaganda Jepang. Maklum, di jaman pendudukan Jepang, setiap naskah harus diketik rapi, lalu diserahkan ke Badan Sensor untuk dinilai layak tidaknya.

Nah, naskah Liburan Seniman milik Usmar Ismail mewakili kaum-kaum intelektual yang memilih realisme sebagai jalan perjuangan mereka. Biarpun lakon realisme sudah muncul di tahun 1920an, terutama di kalangan Cina Peranakan. Namun, publik lebih memilih pertunjukkan yang cetar semacam sirkus atau stambul. Karena itu Usmar Ismail memasukkan satu tokoh yang mewakili golongan tua dan masih setia dengan teater ala stambul yang penuh atraksi. Bagi Usmar Ismail, teater seperti itu hanya menyuguhkan romantisme palsu, klise. Padahal, teater bisa menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia.

Usmar Ismail tidak sendirian, bersama kawan-kawannya di kelompok Maya, gaya realisme terus mereka lancarkan. Mereka merupakan golongan intelektual namun dianggap golongan amatir dalam teater. Maya menggugat apa itu teater komersil. Proses tersebut mirip dengan awal mula berkembangnya realisme di Barat. Gaya tersebut pada awalnya muncul karena gerah dengan dominasi teater istana. Gerakan realisme muncul di Barat sekitar tahun 1850-an. Mereka menggugat dominasi teater istana yang penuh fantasi. Contohnya, masyarakat lebih mengenal cerita-cerita fantasi dan imajiner tentang dewa, ksatria, raja, orang ningrat dsb. Realisme menggantinya dengan cerita yang wajar, daily life. Di jagad realisme, masyarakat diajak untuk menikmati pengalaman keseharian yang tentunya dekat dengan mereka. Jadi, tidak dapat dipungkiri, apabila pemikiran dari Barat mempengaruhi Usmar Ismail dkk.

Dari empat naskah yang dibacakan dalam rangkaian IDRF 2014, tiga diantaranya mewakili tren realisme pada periode 40an-50an. Selain Liburan Seniman ada dua lakon lawas lain, yaitu Awal dan Mira (1951) karya Utuy Tatang Sontani dan Bung Besar (1957) karya Misbach Yusa Biran. Ketiga naskah diatas mewakili peristiwa yang terjadi pada zaman itu. Lakon Liburan Seniman menggambarkan semangat pemuda-pemudi yang bercita-cita membangun apa itu Indonesia dengan medium teater. Naskah Awal dan Mira, menjadi refleksi atas perang yang berkecamuk (revolusi) dimana rakyat kecil yang menjadi korbannya. Sedang naskah Bung Besar secara tidak langsung mencerminkan konflik-konflik internal yang ada ditubuh partai politik.

Sebelum tahun 70an, lakon-lakon realis memang sangat dominan. Hal tersebut juga didukung dengan maraknya pementasan bergaya realis oleh beberapa kelompok teater. Akan tetapi lakon-lakon pengarang lokal harus bersaing dengan lakon-lakon terjemahan (saduran). ATNI (Akademi Teater Indonesia) misalnya. Basis penciptaan teater milik ATNI memang berorientasi ke Barat. Identitas mereka identik dan kental dengan nilai-nilai Barat, seolah-olah menunjukkan (mewakili) sebuah unsur kemajuan, modernitas. Pentas-pentas ATNI memang mutlak ala Barat. Acuan realisme konvensional milik Stanislavsky atau Bolevlavsky dipakai oleh ATNI dan kelompok-kelompok teater lainnya. Subagio Sastrowardoyo menggugat kondisi tersebut pada tahun 1955, saat Simposium Sastra di Yogyakarta. Kritikan tadi berisi bahwa dunia teater Indonesia sedang berada dalam krisis, yaitu krisis dari segi penciptaan dramatik serta syarat intrisik lakon.

Meminjam istilah yang disampaikan Michael H. Bodden, “realisme psikologis” semakin mewarnai dan mendominasi di kalangan seniman teater, pasca kemerdekaan. Pada kurun tahun 1950-an, kurikulum yang diajarkan oleh ATNI mengacu ke pendidikan Barat. Mereka menerapkan apa itu “method acting”. Namun, kondisi tersebut tidak diimbangi dengan output naskah realis yang dibuat. Karena itulah, kelompok-kelompok teater sering memakai naskah orang asing. Naskah drama penulis Barat disadur lalu diadaptasi ke dalam bentuk yang lebih Indonesia. Tercatat ada 23 pementasan yang dimainkan oleh ATNI, dari kurun waktu 1957 – 1963. Dari 23 pentas tersebut, naskah pengarang asing lebih disukai ketimbang naskah-naskah yang dibuat oleh pengarang dari Indonesia. Seperti, Malam Djahanam (Mottingo Boesje), Titik-titik Hitam (Nasjah Djamin), Domba-Domba Revolusi (B. Soelarto), Ajahku Pulang, Mutiara dari Nusa Laut (Usmar Ismail), Pagar Kawat Berduri (Trisnojuwono). Sisanya, ATNI mementaskan beberapa naskah terjemahan atau saduran dari Barat yang juga lekat dengan unsur realisme. Semacam, Sel (William Saroyan), Orang Asing (Rupert Brooke), Burung Tjamar, Lagu Terachir (Anton Chekov), Sang Ajah (A. Strindberg), Pintu Tertutup (Jean Paul Sartre), Mak Tjomblang (Nikolai Gogol), Montserrat (E. Robles), Si Bachil (Moliere).

Apabila mengacu pada pendapat Jakob Sumardjo, drama serta naskah realis kehilangan tajinya di era 70an. Goenawan Mohammad juga turut mengamini asumsi Jakob Sumardjo. Mereka menyebut bahwa di tahun 70an merupakan kemunculan teater mutakhir. Setidaknya, di periode tersebut berkembang biak apa itu teater eksperimental. Sejatinya, teater eksperimental sudah dimulai sejak kemunculan naskah absurd milik Iwan Simatupang pada tahun 50an. Selain itu, kelompok seperti STB (Studiklub Teater Bandung) dan SGDD (Studi Grup Drama Djogja) juga kerap melakukan eksperimen-eksperimen di tahun 60an. Entah, kenapa gaya realis “kukut” pada tahun 70an. Apakah karena gaya realisme dianggap sulit untuk menyampaikan kritik ? Mengingat pemerintah yang berkuasa saat itu sangatlah represif.

Beruntung, IDRF sudah berlangsung selama lima tahun. Sejak awal, festival tersebut bertujuan untuk mengenalkan naskah lakon terbaru, baik dari Indonesia atau naskah asing kepada khalayak lebih luas. Selain memfasilitasi lakon-lakon baru, mereka juga mengenalkan naskah-naskah lawas di setiap penyelengaraan. IDRF juga sempat mampir ke beberapa kota-kota di luar Jogja. Mereka berkeliling ke Jakarta, Bandung, Semarang dan Lampung. Terhitung sudah lima kali kali gelaran IDRF terlaksana sejak tahun 2010. IDRF sendiri diinisiasi oleh Joned Suryatmoko, Gunawan Maryanto dan Lusia Neti Cahyani.

(Photo by, Gading Paksi)

Namun, seperti yang termaktub di dalam pengantar IDRF 2014. Panitia mengakui bahwa mengumpulkan naskah-naskah baru memang tidak mudah. Padahal, pada kurun 1940an – 1970an, geliat menulis lakon di Indonesia sangat gencar. Masalah tersebut berusaha difasilitasi oleh IDRF. Supaya semangat menulis lakon di Indonesia kembali marak. Cita-cita tersebut pernah dicanangkan pula oleh Komunitas Salihara. Di tahun 2010, mereka mengadakan Sayembara Penulisan Lakon Realis. Sayangnya, sayembara tersebut tidak berkelanjutan lagi sampai sekarang.

Entah karena disengaja atau tidak, di setiap penyelengaraan IDRF, panitia menyajikan tema yang berbau realis. Pada IDRF 2010, tema yang diusung adalah “Melihat Kembali Drama Realis di Indonesia”. Di tahun kedua mereka menawarkan “Mengolah Kembali Realisme”. Lalu “Memperkarakan Realisme” menjadi tajuk di tahun 2012. Sedangkan di tahun kemarin, tema yang diolah agak berbeda. Mereka mengangkat tema “Membaca dan Menulis Ulang Lakon-Lakon 70-an”. Di tahun 70an, realisme memang agak sedikit tergusur. Penulisan lakon kala itu didominasi tema-tema eksperimental. Di penyelenggaran yang kelima ini, IDRF membawakan tema “Indonesia Futura”.

Beberapa kelompok teater baik dari Yogyakarta ataupun luar pernah terlibat dalam pembacaan di IDRF. Seperti, Teater Gandrik, Teater Dinasti, Teater Gardanalla, Teater Stemka, Teater Garasi, Komunitas Sego Gurih dsb yang mewakili Yogyakarta. Di lain pihak ada Teater Koma (Jakarta), Studiklub Teater Bandung (Bandung), Teater Gidag-Gidig (Solo), Teater Satu (Lampung). Menariknya, setiap generasi yang giat berproses dalam teater mereka ajak untuk membacakan naskah lakon. Aktivis teater kampus misalnya, pernah mengicipi IDRF, baik secara personal atau membawa nama kelompoknya. Seperti Teater Tangga (UMY) dan Teater Lakon (UPI Bandung). Lalu di tahun 2011, beberapa remaja SMA juga menghiasi pembacaan naskah lakon di IDRF.

Bagaikan sebuah mesin waktu yang mengajak kita untuk menyusuri masa lalu. Beberapa lakon lawas pernah disajikan dalam IDRF. Antara lain Lelakon Raden Bei Surio Retno yang diciptakan F. Wiggers tahun 1901, Citra karya Usmar Ismail (1943), lakon Senja Dengan Dua Kelelawar tulisan Kirdjomulyo (1957). Uniknya di tahun 2013, mereka mencermati beberapa naskah lawas lalu diadaptasi ulang menjadi sebuah naskah baru. Enam lakon lawas yang dipilih adalah Wot Atawa Jembatan (1977) karya Yudhistira AN Massardi, Malin Kundang (1978) ciptaan Wisran Hadi, Ben Go Tun (1977) oleh Saini KM, lalu karya milik Kuntowijoyo yang berjudul Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatmah, Barda, dan Cartas (1972), berikutnya Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Sehat (1974) karya Akhudiat dan yang terakhir, Saat Drum Band Menggeram-geram Di Bekas Wilayah Tuanku Raja (1973) karya Ikranagara.

Setelah perayaan IDRF 2014 menyelesaikan refleksi mereka atas tatapan tentang Indonesia oleh pendahulu kita. Patut kita tunggu, apa yang dipikirkan panitia untuk menyambut IDRF 2015 ? Selepas acara, saya memang sempat bertanya kepada salah satu panitia mengenai hal tersebut. Tema tahun depan masih belum diketahui, karena baru dipikirkan pada awal tahun. Eh, haa kok setelah itu malah “dinasehati” perihal skripsi. -,-

Sejak awal, IDRF memang tidak memakai acuan mengenai periodisasi teater untuk membungkus tema. Ketika bicara soal periodisasi mengenai teater, tentu akan ada banyak pilihan. Jakob Sumardjo misalnya, beliau membagi perkembangan lakon ke dalam lima bagian. Sastra Drama Melayu Rendah, Sastra Drama Pudjangga Baroe, Sastra Drama Zaman Jepang, Sastra Drama Sesudah Kemerdekaan dan Sastra Drama Mutakhir. Atau meminjam konsep yang diajukan oleh Boen Sri Oemarjati, yaitu Lakon-lakon Periode Kebangkitan (1926-1942), Lakon-lakon Djaman Jepang/Periode Pembangunan (1942-1945) dan Lakon-lakon Periode Perkembangan (1950-1963). Kedua pembabakan diatas memang tidak mencakup periode baru-baru ini. Namun ada alternatif lain, yaitu pembabakan yang ditawarkan oleh Michael H Bodden. Beliau membagi perkembangan teater beserta lakon di Indonesia ke dalam empat bagian. Pertama, Teater Seni Nasional dalam era Pembentukan Bangsa. Kedua, Teater-Seni Nasional , Teater Komersil Kota dan Peralihan ke “Realisme”: Penerjemahan “Warga Dunia” Baru 1942-1965. Ketiga, Indigenisasi, Teater Eksperimental dan Alegori Kekuasaan: Adaptasi-Adaptasi Teater Orde Baru 1966-1986. Terakhir, Gelombang Kedua Teater Eksperimental dan Perubahan Peran “Tradisi”: Teater Seni dari 1986-2001.

Nah, apabila meneruskan kembali tema “Indonesia Futura”, tentu kita akan berjumpa dengan masa yang kerap disebut “vivere pericoloso”. Tahun-tahun, disaat dua kubu saling bersaing, yaitu Manikebu dan Lekra. Realisme Universal/Psikologis kontra Realisme Sosialis/Revolusioner, apabila kita terjemahkan ke dalam persaingan gaya (bentuk) lakon. Memang bukan hanya dua kubu tersebut yang terjun ke dalam perang ideologi. Masih banyak kelompok lain seperti Lesbumi, Leksi, LKN dll. Itu belum mencakup lembaga kebudayaan serta lebih khususnya kelompok teater lain yang juga turut beraktifitas pada periode 60an. Perebutan ideologi tersebut terbagi ke dalam tiga lingkaran, yaitu religius, kiri dan nasionalis.

Sebelum Manikebu berdiri, kontestasi dan persaingan perebutan ideologi sudah melebar luas. Perang kata-kata dan pendapat merebak di berbagai surat kabar, majalah dsb. Masing-masing menunjukkan gayanya di panggung teater. Di balik meja, tersisip debat mengenai kebudayaan Indonesia. Musyawarah Teater Nasional Indonesia (1962) di Jogja menjadi saksinya. Menurut pengakuan Taufiq Ismail, kubu Lekra dan LKN “kalah”. Mereka walk out dari sidang tersebut karena menuntut dimasukkannya Manipol/Usdek. Musyawarah Teater 1962 sejatinya mempunyai tema menarik, yaitu membentuk sebuah badan teater dengan asas Pancasila dan Manipol/Usdek, supaya tuntutan Revolusi di bidang kebudayaan terpenuhi. Pertemuan tersebut diakhiri dengan penetapan Hari Teater Nasional pada 2 Desember 1962 dan mengangkat Presiden Soekarno sebagai Bapak Pembina Kebudayaan Nasional. Selain itu, dibentuk pula Badan Pembina Teater Nasional, nyaris nama-nama tokoh Lekra tidak tercantum dalam kepengurusan.

Mengupas Lekra yang dianggap komunis itu memang tidak ada habisnya. Tema komunis, marxis dll seakan-akan tak pernah basi. Iya, pasca reformasi “menjadi kiri memang sexy”. Baiklah, mari kita kulik sesaat beberapa naskah lakon karangan seniman Lekra. Sepengetahuan publik, Lekra identik dengan teater-teater tradisional macam ketoprak, wayang, ludruk dsb. Padahal, beberapa naskah lakon juga dibuat oleh seniman-seniman Lekra. Bakri Siregar misalnya, beliau pernah menyadur cerita Saidjah dan Adinda karangan Max Havelaar. Seperti yang disampaikan oleh Michael H Bodden, lakon-lakon Lekra memang lakon propaganda, perlawanan terhadap “tujuh setan desa”. Misalnya lakon yang mendukung reformasi agraria seperti, Prajurit Pulang (1964), Hari-hari Terakhir (1964) dan Saat-saat yang dinanti (1964) karangan P.H. Muid. Lalu, Bebas Gadai (1964) dan Sersan Suparman (1964) karya K. Sunaryo, serta Runtuhnya Sebuah Desa Raja (1965) karya Bachtiar Siagian.

Bahkan, naskah Utuy Tatang Sontani, yaitu Sayang Orang Lain yang dibuat sebelum beliau masuk Lekra pun ditambahi unsur anti haji. Padahal, orangtua Utuy sendiri bergelar haji. Utuy juga menulis naskah lakon ketika dirinya bergabung dengan Lekra, yaitu Si Kampeng dan Si Sapar.

Lalu, adapula naskah yang berbau kritikan terhadap birokrat kapitalis. Misalnya, Tuan Hasim (1965) karya Sugiarti Siswadi, Keluarga Murbanto (1965) ciptaan P.H. Muid, Terjungkirnya Seorang Kabir (1965) karangan S.W. Kuntjahjo dan Banting Stir (1965) karya Putu Shanti. Selain naskah-naskah diatas, Bodden juga mengidentifikasi naskah lakon Lekra yang lain, sayangnya belum diketemukan jejaknya. Yaitu, Jalan Hanya Satu (Traktor) dan Lonceng Kebangkitan karya P.H. Muid, Api di Pematang (1965) karya Kusni Sulang dan Topan di Kaltara (1965) karya Albar Djumbak. Akan menarik apabila IDRF mengangkat naskah-naskah yang dikarang oleh tokoh-tokoh Lekra diatas. Tentunya dibenturkan dengan lakon-lakon karya kelompok yang kontra dengan Lekra. Dari pembacaan naskah lakon, penonton akan membayangkan derasnya dinamika kebudayaan Indonesia kala itu.

(Photo by, Gading Paksi)

Membangun sebuah festival memang tidak mudah. Seturut dengan apa yang disampaikan oleh Joned Suryatmoko di kolom Kompas yang berjudul “Bukan Festival Apa Adanya”. Apabila sebuah festival masih didanai dengan modal sosial, perjuangan mereka untuk terus menghidupkan festival tersebut tidaklah gampang. Terutama festival yang berbau seni pertunjukkan. Mas Joned memberikan contoh, bertahannya Biennale Jogja dan FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) sejak akhir 80an sampai sekarang karena ada bantuan dari pihak pemda sejak awal. Kasus tersebut juga mirip dengan PKB (Pesta Kesenian Bali) yang tiap tahun terselenggara. Begitu juga dengan IDF (Indonesian Dance Festival) yang dibiayai oleh pemda DKI Jakarta dan menjadi agenda rutin mereka. Biarpun awal kemunculannya digalangi oleh pelaku-pelaku tari.

Tentu kita sendiri juga menyaksikan bagaimana para pelaku seni berusaha mengelola festival yang sudah mereka bangun sejak lama. Untuk di Jogja, kita bisa melihat YGF (Yogyakarta Gamelan Festival) atau FFD (Festival Film Dokumenter) yang umurnya sudah lebih dari 10 tahun terus bertahan dengan segala keterbatasannya. Mari kita tunggu, apa yang akan disuguhkan di dalam IDRF 2015. Semoga masih mewarnai perayaan festival-festival tahun depan, khususnya di Yogyakarta.