"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Kamis, 30 Agustus 2012

SILAU WAYANGKU ~


Adakah yang melebihi kesetiaanku?
Serta mudah tertipu oleh ketampanan Arjuna?
Perkenalkan, namaku Anggraeni
#Anggraeni

Kematian kami demi riuh nya Baratayudha
Perang suci, berbasuh darah
Pada akhirnya, kemenangan itu dirusak oleh cucu Arjuna
#Ontoseno #Wisanggeni

Hasratku, nafsuku, parasku hanya untuk dia
Lipstik ku, bedak ku, wangiku juga untuk dia
Keperawananku juga untuk dia
#Banowati

Perang itu bukan kehendak ku,
Kematian mereka juga bukan kehendak ku,
tapi kehendak ayahku, Wisnu..
#Sitija

Merajut asmara dengannya adalah mimpiku
Aku merasa bahagia, karena dia lelaki yang setia
Namun, kematian ayahku tidak pernah terlintas dalam pikirku
#Setyawati

Saat ribuan panah menghujam tubuhku
Aku merasa bahagia,
Penantian itu telah tiba
#Bhisma

"Wes wae lah Gog, rasah kakean cerewet. Wayah'e micek. Sesuk esuk kudu ketemu Semar lho"
#Togog #Mbilung

12:33 | Pemalang, 30 Sept 2012


Jumat, 24 Agustus 2012

Menonton Wayang

PUKUL dua malam, mungkin dua pagi tepatnya. Sepasang bola mata milik Rizki masih terlihat segar. Tersirat decak kagum dari raut mukanya. Pagi itu ia menonton pagelaran wayang kulit semalam suntuk. “Ting ting ting ting”, sayup-sayup bunyi kecrek milik sang dalang menghipnotis Rizki. Aliran darahnya serasa dialiri rintikan air terjun, begitu menusuk. Perhelatan wayang digelar sedemikian rupa, kelirnya panjang, kemungkinan lebih dari 5 meter. Lalu sindhennya berjumlah sepuluh, cantik-cantik, muda-muda, adapula sindhen tua. Gamelannya mengkilap, bersinar kala tersorot lampu. Terlihat jelas ada gap penonton saat itu. Kalangan pejabat universitas serta para tamu undangan duduk diatas sofa empuk. Paling depan tentunya. Sedang penonton biasa hanya duduk diatas kursi merah bermerk Fukuda. Adapula yang ndeprok di rumput taman, lebih unik lagi ada yang niat membawa tikar panjang.
            Bersama teman perempuannya, Rizki begitu menikmati sajian dalang kondang kota Jogja tersebut. Keahlian mayang sang dalang mungkin warisan dari orangtuanya. Antawacana serta sanggitnya amat menawan. Mengingat ayahnya memang mantan dalang terkenal. Seorang dalang Lekra. Ia satu-satunya anak yang mewarisi bakat ayahnya. Saudara kandung ataupun saudara beda ibu tidak ada yang menjadi dalang kecuali dirinya. Konon bayaran dalang muda tersebut mencapai 30 juta lebih. Itu sudah komplit. Ya, agak mendingan memang bila dibandingkan dalang kesohor Ki Mantheb “pancen oyee”. Dalang sabet asal Solo tersebut biasanya dihargai dengan kisaran ratusan juta rupiah. Wow.
            Rizki begitu cekatan menerangkan siapa tokoh-tokoh wayang kepada temannya tadi. Bagaimana alur ceritanya, ataupun mengartikan bahasa yang diucapkan dalang. Maklum, teman Rizki besar di luar “Jawa”, tetapi letak daerahnya di pulau Jawa. Biarpun sebenarnya si gadis tadi mempunyai darah Surakarta dari orangtuanya. Sembari menikmati suguhan jahe anget serta gorengan, mereka saling mengobrol, saling berkicau di pagi buta. Mengobrol soal wayang. Adegan di kelir menyiratkan bahwa sudah tiba waktunya pertempuran habis-habisan. Adegan wana alias perang begal. Pasca pecahnya gara-gara.

DENGAN setelan kaos abu-abu bergambar muka John Lennon, si perempuan mengajukan sebuah pertanyaan sambil mengigit tempe goreng. “Kenapa Janaka membela Raden Samba?”
“Karena Janaka tahu bahwa si Samba itu titisan Bathara Drema, sedang Bathara Dremi menitis dalam tubuh Dewi Agnyanawati.”
“Siapa itu Drema sama Dremi?”
“Ya, dewa. Dewa dari khayangan yang turun ke bumi karena dihukum. Ya, ya begitu pokoknya,” Terlihat gelagat Rizki bahwa ia kebingungan menjelaskan.
Malam itu lakon yang dibawakan oleh ki dalang adalah “Samba Juwing”. Lakon yang bercerita tentang kematian Samba ditangan kakaknya sendiri, Raden Sitija. Kematian Samba mungkin karma karena tingkahnya, mungkin juga takdir. Kodrat dewa memang tak bisa ditebak. Sang Panyarikan bisa dengan mudahnya menghapus keadaan di marcapada. Biarpun terkadang ulah manusia di bumi sering membuat Bathara Panyirikan mengetuk-etuk kepala dengan telunjuknya sendiri.
            “Wah kasihan dong Raden Sitija. Istrinya berkasih-kasihan, selingkuh sama saudaranya. Jahat ya Samba sama Janaka,” tukas si perempuan.
            “Ah ya tidak tho yo. Sitija kan menyalahi kodrat dewa. Karena ia menikah dengan perempuan yang bukan hak nya,” jawab Rizki.
            “Tapi kan Raden Sitija tadi pas ketemu ibunya, rela kan menyerahkan istrinya dengan Samba?”
            “Lha iya, tapi tetap saja Sitija salah besar karena memutilasi Samba. Membunuh dengan kejam. Memotong – motong tubuh adiknya sendiri.”
            “Lhoh, perbuatan Raden Sitija karena terpengaruh omongan dua punokawannya tadi. Aku kalau jadi Raden Sitija juga akan marah. Harga dirinya sudah diinjak-injak. Padahal dia begitu sayang kepada Raden Samba.”
            “Lha iya.” sahut Rizki.
            “Emang iya,” balas teman Rizki. “Apalagi Janaka tadi malah pergi sewaktu kalah melawan Raden Sitija. Padahal yang membujuk Samba untuk menemui Agnyanawati adalah dirinya. Lelaki macam apa itu, bisanya cuma mengandalkan ketampanan. Tidak bertanggung jawab. Nggak mau deh kalau besok punya anak dikasih nama Janaka atau Samba.”
            Rizki hanya tersenyum kaku mendengar ocehan temannya. Ia kelabakan dengan semua pernyataan yang terurai dari mulut kawan perempuannya. Lalu tempo gamelan semakin cepat kala itu, inilah adegan ketiga dari pagelaran wayang. Manyura. Babak habis-habisan dimulai pada pukul tiga pagi.
           
DALANG malam itu benar-benar menghentak hati Rizki. Kekagumannya atas wayang begitu kuat, wayang semacam candu baginya. Tidak bisa tidur kalau tanpa ditemani wayangan. Adegan perang antara negara meletus di tlatah Trajutrisna. Ngamarta, Mandura, Kumbina, Lesanpura, Dwarawati serta Pringgodani berhadapan dengan kubu Ngastina dan Ngawangga yang membantu pasukan negara kecil Trajutrisna. Peperangan berlangsung amat dahsyat. Korban berjatuhan satu persatu, diawali para sesepuh Mandura. Prabu Basudewa, Prabu Bismaka serta Prabu Setyajid wafat di medan peperangan. Sabetan lesatan anak panah terasa bagaikan kilat menyambar. Serta seolah-olah darah bertumpah ruah dibalik kelir.
            Putra Pandawa yang turut perang dengan lihai menahan keberingasan gempuran buto-buto atau denawa Trajutrisna. Mereka tidak terima dengan kematian menggenaskan saudara mereka dari Parang Garuda. Di pimpin Patih Pancadnyana, serta para wadyabala manggala Trajutrisna yaitu, Yayahgriwa, Ancak-ogra, Mangudhara serta Sinundha. Trajutrisna terpaksa berjuang sendirian menggelar perang besar melawan enam negara. Kubu Ngastina dan Ngawangga dibawah komando Patih Sengkuni dan Adipati Karna lari terbirit – birit. Kalang kabut, ketakutan setelah mendengar Prabu Baladewa mengamuk. Pertempuran terus berkecamuk, berlangsung ramai. Menyusul kematian tetua Mandura, cucu – cucu mereka juga turut meninggal. Palguna, Wisata, Walmuka tewas di tanah lapang Trajutrisna. Perang saudara sebelum Baratayudha ini hanya bisa diakhiri oleh titisan Wisnu, sesuai kehendak dewa. Matinya Raden Sitija berada di tangan ayahnya sendiri, Bathara Kresna menjadikannya sebagai korban pamungkas. Selesai sudah perang besar melibatkan  perseteruan bapak dan anak yang konon disebut perang Gojali Suto tadi.
Paripurna pula pagelaran wayang nan megah di gedung pusat kampus, tempat Rizki menggayuh ilmu. Lalu lalang orang pergi meninggalkan tempat pagelaran. Ada yang lebih dahulu menyulut rokok sebagai teman dinginnya pagi. Muncul pula bunyi suara motor, dimana gendhing Bubaran sedang dimainkan oleh para niyaga. Para penjual rokok dan lapak wayang dadakan bersiap-siap mengemas dagangannya. Sedang dibarisan depan hanya tersisa dua atau tiga pejabat kampus dari sekian puluh tamu undangan yang hadir.
            Rizki lalu mengantar pulang si gadis berkaos John Lennon. Letak kostnya tak jauh dari gedung pusat, tidak sampai satu kilo. Sebelum pamitan Rizki sempat melontarkan untuk mengajak temannya menonton wayang lagi. Kawan perempuan tadi menganggukkan kepala, tanda mengiyakan. Lalu ia melontarkan kata-kata kepada Rizki, “Sitija itu tidak jahat lho Ki’,”
            Rizki terhenyak dengan perkataan tadi. Ia ingat dengan omongannya sendiri sewaktu di motor sekitar tiga menit yang lalu . Pernyataannya terhadap tokoh Sitija dianggap salah oleh rekannya. Rizki hanya mengangkat pundaknya. Sambil berbalik arah, ia melemparkan senyum serta melambaikan tangan. Si gadis membalas senyum Rizki. Lesung pipinya menghiasi raut muka serta senyum manis dari bibirnya yang indah.

SESAMPAI di rumah, kata-kata temannya tadi masih terngiang-ngiang dipikiran. Di otaknya tergambar sosok Raden Sitija. Ia tewas entah dikubur dimana. Jasadnya melayang, karena Sitija tidak bisa mati di atas tanah berkat ajian Pancasonabumi. Namun mata Rizki semakin tak kuat lagi menahan kantuk. Lengkingan suara adzan tak menyurutkan niatnya untuk terlelap.
            Raden Sitija atau Prabu Boma Narakasura ada di luar angkasa. Mayatnya tidak terdeteksi, biarpun ada kemungkinan, jasadnya disimpan oleh kakeknya Sang Hyang Nagaraja di Jalatunda. Sitija melayang, ia merasa bersalah melanggar pesan sang bapa, ia berani melawan serta melukai klangenan cempaka putih[1] Bathara Kresna. Ia menyesal membunuh adiknya Samba, memotong-motong tubuh adik tercintanya. Di angkasa ia melihat Samba dan Agnyanawati bermesraan di khayangan. Wajahnya tertunduk mengingat peristiwa di keputren Trajutrisna. Namun ia bahagia dengan kematiannya, mati ditangan ayahnya, mati ditangan Wisnu. Ia bahagia. Sitija mati sempurna.
            Sebuah kilatan menyambar tubuh Sitija. Seakan-akan tubuhnya jatuh dibumi. Tiba-tiba muncul tiga sosok manusia. Di hadapan sebuah batu nisan mereka sedang memanjatkan doa-doa. Satu orang berbadan besar, berkulit bule. Disampingnya ada dua sosok bertubuh kecil, yang satu gemuk, yang satu kurus pendek. Tiga orang tadi terlihat sedih meratapi batu nisan. Suasana disekitar begitu sepi, jauh dari keramaian dan juga kebisingan umat manusia. Agak angker namun diselimuti keharuan.
            Si bule menyentuh nisan dengan tangannya. Dipukul-pukul nisan tersebut tiga kali. Sedang si gemuk langsung membalikkan badan, ia mengusap tetesan air matanya. Sedang si kurus pendek berucap, “Bahagia disana ya Sinuwun”.
Tidak lain sebenarnya tiga orang tadi adalah Baladewa serta Togog dan Mbilung. Sepeninggal Raden Sitija, nyawa dua punokawan tadi terancam. Ia diincar banyak orang karena ulahnya menimbulkan kemarahan Sitija dan berakibat dengan kematian Samba. Namun Baladewa tahu bahwa Togog dan Mbilung tidak salah. Mereka dituduh secara sepihak untuk mencari sosok yang bisa dikambing hitamkan. Baladewa mengerti bahwa provokasi terhadap Sitija tidak terlontar dari mulut duo punokawan bengal, melainkan Patih Pancadyana serta garuda Wilmuna. Ia tahu persis, sebab dirinyalah orang terakhir yang berdialog dengan Patih Pancadnyana.  Akan tetapi dari peristiwa Arjuna Wiwaha sampai Prabu Kresnadwipayana memimpin Ngastina, hidup Togog dan Mbilung tidak pernah tenang. Begitu nggenes nasib mereka.
            Baladewa, Togog dan Mbilung bergegas pergi. Mereka berkeliling kota, meninggalkan tanah Mandura menuju negara Ngastina. Di kerajaan Mandura, Dwarawati, Ngastina ataupun kerajaan lain, tidak tertanam sebuah jalan bertuliskan Sitija atau Boma Narakasura. Sedang pahatan nama Samba atau Wisnubarata diabadikan serta dibuatkan sebuah patung dan amat dipuja-puja. Kisah tentang Sitija tidak diajarkan disekolah-sekolah. Namanya telah terhapus dari pewarisan kisah lalu. Entah itu berupa mitos, sastra ataupun sejarah.
           
BERDERING keras bunyi alarm dari balik HP milik Rizki. Ia tersadar dari buaian lelap nikmatnya mimpi. Dirinya langsung teringat ucapan teman perempuannya. Dalam batin terurai sebuah kata-kata, “Dia benar. Sitija adalah ksatria yang hilang.”

* di ilhami dari lakon “Samba Juwing” yang dibawakan oleh alm. Ki Nartosabdho dan alm. Ki Hadi Sugito.



[1] Kata klangenan cempaka putih berdasarkan audio wayang Ki Hadi Sugito “Samba Juwing”.