"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Sabtu, 26 Oktober 2013

Perpustakaan

Ketika paduan kata dan pikiran sempat bersatu menjadi sebuah nada berupa suara ketikan. Hanya saja, semua menjadi goyah ketika ada satu sosok tiba-tiba lewat. Suasana ruangan tersebut memang sunyi, menciptakan ketenangan.

"JAGA KETENANGAN RUANGAN INI"

"ANDA AKAN DIPERINGATKAN APABILA AKTIVITAS ANDA MENGGANGGU KETENANGAN DI RUANGAN INI"

Begitulah.

Iya, dia lewat, menemui teman-temannya, lalu duduk. Tanpa diduga, tanpa diprediksi, dia muncul. Entahlah, mungkin dia sedang ada tugas. Beberapa menit berlalu, dia hendak keluar. Sempat lewat disampingku, namun tak menyapa. Maklum kita memang tidak akrab.
Lalu, aku menengok ke belakang, dan tiba-tiba dia juga menengok ke arahku. Ah, mungkin mau melihat orang lain. Haha

Aku pikir semuanya sudah selesai dan dia pergi. Ternyata tidak, dia datang lagi, lalu duduk di tempat semula. Pukul 14.25 WIB, dia belum keluar juga. Dering bel berbunyi, tanda bahwa perpustakaan akan tutup. Aku belum beranjak dari kursiku. Menunggu.

Lalu, aku pun tersadar, "Oh tidak, Philip Morris ku terbengkalai".

25-10-2013
2.26 PM

Selasa, 08 Oktober 2013

Elegi Negeri Bahari

Perlu ada upaya melihat,
Upaya melihat dengan menjungkir-balikan segala makna
yang sudah ada
Untuk sampai pada yang tak dikenal
Hidup sejati yang berada di tempat lain
Di bawah sini cuma khayali
Dijejali dengan rangka kerontang
Hasil pemikiran sempit masyarakat Barat
Arthur Rimbaud | Penyair terkenal dari Prancis yang sempat mampir di Salatiga dengan menaiki kapal serdadu Hindia Belanda di tahun 1876

Ketika berkunjung ke ART|JOG, saya sempat memandangi salah satu karya yang berjudul “Bahtera Kaum Urban”. Saya sendiri lupa, siapa perupa karya tersebut. Satu hal yang membuat saya tertarik dari karya tersebut adalah wayang. Ya, si perupa menampilkan sosok punakawan dalam karya tadi. Sebuah kapal yang diisi oleh Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka saling bekerja satu sama lain dengan riang dan gembira. Itulah punakawan, simbol pekerja keras dan gemar bernyanyi, biarpun mereka ditempa oleh kerasnya kehidupan.
Saya jadi ingat sebuah tulisan milik (alm) AB Lapian, sejarawan bahari kita yang terkemuka. Di dalam bukunya yang berjudul Pelayaran dan Perniagaan Nusantara : Abad Ke-16 dan 17,[1] beliau menjelaskan mengenai strata sosial pelayaran di sekitar abad 16 dan 17. Golongan paling atas adalah para “perwira”. Mereka yang disebutkan sebagai “perwira” antara lain nakhoda, jurumudi, jurubatu, serta mualim. Nakhoda sendiri masih dibagi menjadi dua, yaitu nakhoda laut yang mengurusi pelayaran serta nakhoda darat, tugasnya mengurusi muatan, mencatat segala pemasukan dan pengeluaran. Lalu jurumudi, sudah terlihat dari namanya, tugasnya pasti mengemudikan kapal. Lain jurumudi, lain pula jurubatu, apa itu jurubatu ? namanya unik juga ya. Ternyata jurubatu bertugas mengurusi jangkar. Kadang-kadang jurubatu jumlahnya ada dua, posisi mereka berada di haluan karena bertanggung jawab supaya kapal tidak menabrak karang.
          Posisi berikutnya adalah mualim, sekarang lebih dikenal sebagai navigator. Posisi ini sangat penting disaat kapal sedang berlayar. Seorang mualim yang bekerja dalam kapal dengan ukuran besar, biasanya dibantu oleh mualim kecil. Tugasnya juga beda, mualim kecil berurusan dengan layar dan tali temali kapal. Selain itu, mualim kecil harus mempunyai pengetahuan tentang arah angin. Maka dari itu, mualim kecil juga disebut sebagai mualim angin.
          Hierarki selanjutnya ada golongan para tukang atau bintara. Pemimpin golongan ini disebut tukang agung. Tukang agung mempunyai beberapa asisten, yaitu tukang kiri (mengurusi lambung kapal bagian kiri) serta tukang kanan (mengurusi lambung kapal bagian kanan). Lalu ada tukang tengah yang bertugas dibagian tengah kapal. Selain itu adapula tukang petak, tugasnya memilah-milah penempatan barang. Terakhir, tukang gantung layar, pekerjaannya langsung dibawah pengawasan mualim angin.
          Golongan paling bawah dalam kapal adalah awak kapal (anak kapal). Awak kapal dipimpin oleh serang (mandor). Bisa dikatakan isi dari awak kapal adalah para orang rendahan. Misalnya orang banyak (orang merdeka), orang abdi (budak) serta orang berhutang. Ada juga yang disebut sebagai orang turun penukan , dirinya dipekerjakan oleh nakhoda selama masih mempunyai hutang, namun dirinya punya kekuasaan atau tanggungjawab tertentu dalam kapal. Selanjutnya ada golongan yang disebut sebagai muda-muda, yaitu seorang taruna atau pelajar yang sedang mencari pengalaman di kapal. Saat magang, mereka bertugas mengawasi orang abdi serta menemani nakhoda apabila turun ke darat. Selain itu, saat pelayaran berlangsung, muda-muda juga bertugas mengawasi orang jaga dan orang yang bekerja di bagian anjungan.
          Ada juga sosok-sosok lain dalam kapal, namun posisi mereka tidak masuk dalam hierarki atau struktur organisasi dalam kapal. Contohnya, para kiwi, yaitu pedagang-pedagang yang kepentingannya hanyalah berdagang, mereka tidak turut andil dalam pelayaran. Para kiwi  tadi dipimpin oleh maula kiwi. Lalu, orang tumpang atau orang penumpang , mereka ikut berlayar dengan cara membayar uang tambang. Terakhir, orang senawi, mereka menumpang dan ikut berlayar dengan cara membantu di kapal tanpa membayar uang tambang.
          Saya pikir karya “Bahtera Kaum Urban” memang sarat akan simbol di dunia pelayaran kita. Terutama ketika si perupa menghubungkan antara kapal dengan wayang. Kapal merupakan warisan maritim kita, begitu pula dengan wayang (punakawan). Apakah kita pernah menemukan sosok punakawan dalam cerita Mahabharata di India ? tentunya belum pernah. Lautan yang luas cerminan dunia yang keras, terombang-ambing oleh derasnya badai dan ombak. Namun kejamnya alam tadi, dicairkan oleh luwesnya punawakan, sosok yang kuat nan penggembira, penghibur para raja dikala gundah gulana.
***
Menarik, ketika pergelaran ART|JOG kali ini mengangkat tema mengenai maritim. Karya-karya yang ditampilkan memang menawan. Lekat dengan suasana maritim, ya ini Indonesia, ini Maritim ! Budaya maritim bukanlah sekedar gambaran mengenai hamparan lautan luas, lalu dihiasi oleh kapal-kapal yang berlayar. Atau mungkin para nelayan yang terombang-ambing karena besarnya ombak. Saat mengunjungi ART|JOG, kita akan sadar dan tercengang, bahwa maritim lebih dari itu semua. Transaksional (ekonomi), ikan, budak, buku harian, rempah-rempah, strata sosial, konflik, imigran dan masih banyak lagi.
          Siapa yang tidak tahu bahwa negara kita adalah negara maritim. Ketimbang disebut negara agraris, Indonesia lebih layak disebut sebagai negara maritim alias bahari. Mengingat luas lautnya lebih besar ketimbang daratan. Mengamini apa yang disampaikan Anthony Reid, salah satu sejarawan terkemuka mengenai Asia Tenggara, beliau menyatakan bahwa Indonesia merupakan tempat penting dalam perdagangan Asia Tenggara. Sebelum abad ke 19, jaringan perdagangan (pelayaran) sangatlah ramai. Namun setelah abad 19, sistem tersebut dihancurkan. Reid juga menjelaskan, di abad 18 Indonesia dilanda krisis ekonomi. Penyebabnya adalah hancurnya kekuasaan lokal serta jayanya kongsi dagang terkenal di dunia kala itu, VOC. Ada cerita, bahwa Sultan Agung menjadi salah satu faktor krisis tersebut.
***
          Sesungguhnya, kita patut bertanya-tanya, apakah benar “Di Laut Kita Jaya?” Kalau kita menengok masa lalu, jawabannya mungkin “iya”. Siapa yang tidak mengenal digdayanya Majapahit serta Sriwijaya. Atau mungkin, kita juga bisa mempertanyakan, kenapa sampai ada relief kapal di Candi Borobudur, mengingat secara geografis, wilayah Borobudur berada di daerah agraris.
Dulu, negeri ini memang mendominasi jalur-jalur perdagangan di Asia Tenggara. Bayangkan, saking ramainya, Malaka membutuhkan empat orang syahbandar untuk mengurusi pelabuhan tersebut. Di pelabuhan Banda Aceh juga mengalami nasib yang sama, terutama pada rezim Sultan Iskandar Muda. Agaknya romantisme historis seperti itu perlu dihilangkan sejenak, sudah saatnya kita merefleksikan kisah historis negeri ini, menjadikannya sebagai pengalaman dan tumpuan untuk melihat ke depan. Jangan sampai kita dikebiri lagi, bercerminlah pada pengalaman yang dulu-dulu. Ingat, di abad 17, rakyat di Maluku dibebani pajak yang amat berat. Siapa yang menikmati keuntungan tersebut ? Tentunya para pedagang asing, raja-raja lokal serta para pegawai pelabuhan. Mereka menikmati hasil pungutan pajak tadi. Degradasi ekonomi benar-benar dialami Maluku ketika VOC memutus tali perdagangan dengan pedagang asing. Hak monopoli rempah-rempah semakin membabi buta. Habis sudah Maluku di sekitar abad ke-18 dan 19.
          Maritim bukanlah petualangan sekelompok pelaut untuk menemukan pulau Greenland seperti yang digambarkan komik One Piece. Namun maritim adalah ranah ekonomi ( urusan perut, urusan duit ), politik, sosial dan juga budaya. Negeri ini sudah cukup dibohongi atau dikhianiati, baik oleh oknum asing ataupun penguasa lokal. Mari kita kembalikan lagi semboyan “Di Laut Kita Jaya !”



[1] Bisa dilihat dalam Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17  (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008).