"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Kamis, 26 September 2013

“Karena aku merokok !”

Malam itu, oh maaf mungkin dini hari, iya dini hari. Ada cerita tentang laki-laki dan perempuan yang sedang mengobrol. Mereka saling bertemu di malam minggu, tanpa janjian terlebih dahulu. Mereka bukan sepasang kekasih, nampaknya itu perlu ditekankan. Ingat, bukan sepasang kekasih.

Ceritanya, si perempuan tiba-tiba ingin menonton wayang. Si lelaki akhirnya menjemput si perempuan dikostnya. Tapi karena lika-liku pikiran lelaki yang sedang ruwet, akhirnya mereka malah mampir untuk meminum kopi sebentar. Pada akhirnya mereka berhasil menyaksikan pagelaran wayang dan saling berpamitan sebelum adzan subuh berkumandang.

Nah, ketika sedang meminum kopi, terciptalah sebuah percakapan diantara mereka. Ada beberapa pohon beringin disekitar mereka, mungkin usianya sudah ratusan tahun. Mungkin juga pohon beringin tadi ikut nimbrung dan menguping apa sih yang sedang mereka bicarakan.

Lalu, si lelaki ingin merokok, namun koreknya habis. Si perempuan tiba-tiba mengeluarkan sebuah korek. Laki-laki tadi heran, “Kok kamu bisa bawa korek ?” Gadis tersebut sempat tertawa, lalu menyahut dengan girang “Karena aku merokok !” Sebungkus rokok Sampoerna Mild Flava ia keluarkan dari tasnya lalu diletakkan diatas meja.

Gadis tadi sempat menyalakan rokoknya disela-sela perbincangan. Dia mengaku, bahwa dirinya bukanlah seorang perokok. Namun si lelaki menyadari, perempuan yang sedang bersamanya tersebut, sudah cukup lihai untuk merokok. Banyak hal yang mereka obrolkan, mulai dari watak orang Jogja, kuliah, unit kegiatan mahasiswa, si Kribo, dan lain-lain. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menyudahi pembicaraan. Sekian ..

Jumat, 20 September 2013

Perang, Kebencian dan Dendam di Kota Abadi


“Who will fight with me? Who will fight with me? Will you fight for me? Will you fight for me?” (Ancient Rome The Rise and Fall of an Empire : Caesar | BBC )

Siapakah yang akan menjadi bangkai di hari Minggu besok ? pertanyaan tersebut agaknya tepat untuk dilayangkan kepada tifosi Lazio dan AS Roma. Sejarah akan mencatat rekor baru, dimana Serie A 2013/14 akan mempertontonkan lima derbi (derbi satu kota) dalam satu musim. Derby Della Capitale patut berbangga, karena mereka menjadi bagian dari kelima derbi yang lain. Sisanya, Derby Della Mole (Juventus vs Torino), Derby Della Madonina/Derby Milano (AC Milan vs Inter Milan), Derby Della Lanterna (Sampdoria vs Genoa) dan Derby Verona (Chievo vs Verona).

Beberapa media ada yang mengatakan kalau Derby Della Capitale merupakan derby paling panas dibanding derby-derby lain di Italia. The Rome Derby lebih ganas dan sarat emosi dibanding Derby Della Madoninna atau Derby Della Mole bahkan Derby Italia. Harga diri menjadi taruhannya, serta siapa yang layak mengibarkan bendera diseantero kota Roma.

Faktanya, persaingan sengit kedua klub tersebut dimulai sejak tahun 1927. Perlu diingat, Giallorossi adalah gabungan dari tiga klub di Roma pada saat itu. Yaitu Pro Roma (1911), FBC Roma (1899) dan Alba Audace (1907). Secara resmi, AS Roma baru terbentuk pada tahun 1927. Penggabungan alias merger tiga klub kota Roma tersebut digagas oleh diktator Italia kala itu, yaitu Benito Musollini. Dimana Musollini merasa jengah atas dominasi klub Italia Utara di jagad sepakbola Italia. Uniknya, Lazio merupakan satu-satunya klub kota Roma yang menolak merger tersebut, Lazio sendiri lahir pada tahun 1900.

Sejauh ini, Lazio menganggap bahwa merekalah klub pertama di kota Roma, mengingat AS Roma baru muncul 27 tahun kemudian. Merekalah yang pantas mendapatkan gelar kaisar Roma. Nah, AS Roma pun menghujat Aquile. Bagi mereka, pendukung adalah orang luar/outsider di kota Roma. Lazio adalah sekumpulan petani dari pedesaan. Selain itu, warna biru langit serta lambang burung elang sama sekali tidak menunjukkan ciri khas dari sebuah kota Roma. Warna biru langit milik Lazio justru menunjukkan tipikal dari bendera Yunani. Sedangkan elang adalah hewan sakral milik Dewa Jupiter.

Apabila mengacu dari mitologi Romulus dan Remus, serigala menjadi peranan penting dalam sejarah kota Roma. Warna merah mewakili Vatikan, sedang warna kuning mengadopsi warna kebanggaan kekaisaran Romawi. Selain itu, serigala juga kerap dihubungkan dengan Mars (dewa perang), ayah dari dua bayi kembar yang lahir dari rahim Rhea Silvia.

Akan tetapi, seekor elang juga merupakan simbol penting disaat kekaisaran Romawi mengalami masa kejayaan. Entahlah, elang ataupun serigala. Pastinya, di setiap tahun mereka selalu bertemu, siapa yang tercabik, lalu dikencingi.

Disisi lain, Lazio juga berpendapat bahwa para fans AS Roma adalah para turis (pendatang dan keturunan imigran) dari daerah selatan nan jauh. Sekedar tambahan, para pendukung Lazio kebanyakan berasal dari utara kota Roma yang kaya serta berhaluan politik sayap kanan. Sedang tifosi AS Roma didominasi oleh masyarakat kelas menengah (kaum proletar) berpaham politik sayap kiri. Mayoritas berasal dari selatan kota Roma. Tempat mereka di stadion Olimpico pun berbeda, Lazio menghuni Curva Nord, sedang AS Roma di Curva Sud.

Berbagai kerusuhan, penghinaan, hujatan serta banner rasis kerap kali muncul di saat berlangsung Derby Della Capitale. Salah satu pemain favorit Lazio, yaitu Paolo Di Canio adalah pemain yang kerap memberikan salam fasis dihadapan pendukungnya. Di tahun 2001, sempat terbentang sebuah banner bernada fasis dan rasis yang ditujukan untuk AS Roma. Banner tersebut menghujat AS Roma, mereka lahir dari ras kulit hitam serta sekelompok masyarakat Yahudi. Rentangan banner tersebut merupakan respon dari Laziale yang sebelumnya sempat dihina oleh suporter AS Roma. Romanisti pernah memajang sebuah banner yang menyatakan bahwa Lazio adalah kambing dan pendukungnya merupakan sekumpulan para penggembala. Sejauh ini pendukung Lazio memang identik dengan simbol-simbol bernada fasis, mereka juga sering memajang lambang swastika. Di musim 98-99, Laziale pernah membuat banner dengan panjang sekitar 50 m yang berbunyi "Auschwitz is your town, the ovens are your houses”


Permusuhan dua klub yang sarat emosi tersebut pun sampai memakan korban, dimana suporter Lazio tewas pada saat derby berlangsung. Di tahun 1979, salah seorang fans Lazio, Vicenzo Paparelli tewas setelah matanya terkena serangan roket jarak jauh. Kematian tersebut menjadi noda hitam persepakbolaan Italia, seorang suporter tewas di stadion. Selanjutnya, pada tahun 2004, pertandingan AS Roma vs Lazio sempat dihentikan oleh suporter AS Roma. Dimana tiga orang dedengkot ultras AS Roma turun ke lapangan dan meminta Fransesco Totti untuk menghentikan pertandingan. Pertandingan tersebut diselimuti rumor adanya kematian seorang anak kecil di luar Olimpico, karena tertabrak mobil polisi. Derby kota Roma akhirnya dihentikan, setelah wasit Roberto Rosetti menelpon Adriano Galliani selaku presiden FIGC. Ada indikasi yang sebenarnya terjadi diluar lapangan adalah keributan suporter AS Roma dengan para polisi. Kerusuhan tersebut mengakibatkan 170 orang terluka dan 13 orang ditahan akibat peristiwa memalukan tadi. Di tahun 2009, pertandingan sempat dihentikan selama 13 menit karena luncuran kembang api ke dalam lapangan yang menyebabkan mata pedih.

Sejauh ini Derby Capitolino sudah berlangsung 172 kali. AS Roma berhasil meraih kemenangan sebanyak 63 kali dibanding Lazio yang baru mengoleksi 48 kemenangan. Sisanya kedua klub tersebut berbagi 61 kali hasil imbang. Derby Roma pertama kali berlangsung pada 8 Desember 1929 di stadion Campo Rondinella. 1-0 untuk AS Roma, gol tersebut dicetak oleh Rodolfo Folk. Kemenangan Lazio yang pertama terjadi pada tanggal 23 Oktober 1932, 2-1 untuk mereka. Gol dari Lazio dicetak oleh DemarĂ­a dan Castelli. Kemenangan terbaik untuk AS Roma terjadi pada musim 1933-1934, mereka menang 5-0 atas Lazio. Kelima gol tadi dicetak oleh Tomasi (3 gol) dan Bernardini (2 gol). Sedang hasil terbaik bagi Lazio terjadi pada tahun 2006-2007,  mereka berhasil membungkam AS Roma dengan skor 3-0. Ketiga gol tadi dicetak oleh Ledesma, Oddo dan Mutarelli. Di musim 1997-98 ada peristiwa unik bagi Lazio. Mereka meraih empat kali kemenangan Derby Roma dalam satu musim. Mereka menang 3-1 dan 2-0 di kompetisi Serie A. Serta dua kemenangan lagi di perempat final Coppa Italia dengan skor 4-1 dan 2-1.

Il Capitano Fransesco Totti merupakan pemain dengan penampilan terbanyak dalam Derby Roma, total 31 pertandingan ia jalani. Di Lazio ada Aldo Pulcinelli dan Giuseppe Wilson, masing-masing menjalani 19 kali Derby. Legenda AS Roma, Dino Da Costa meduduki puncak pertama sebagai top scorer di Derby Della Capitale. Sebelas gol berhasil ia lesakkan ke gawang Lazio. Pelatih Fiorentina saat ini, Vicenzo Montella menjadi satu-satunya pemain yang mencetak gol terbanyak dalam satu pertandingan. Montella membobol 4 gol ke gawang Lazio pd 11 Mar 2001. Montella mengakui, dirinya begitu gembira saat pertandingan tersebut. Sampai sekarang,Montella masih mencintai AS Roma. Scudetto di tahun 2001 adalah momen terindahselama hidupnya


Mungkin agak dibuat-dibuat, tapi fakta membenarkan bahwa haram hukumnya, AS Roma memakai jasa (membeli) pemain yang pernah berbaju Lazio ataupun sebaliknya. Ketika Pazzini pindah ke Milan, atau Ogbona bermain untuk Juventus, hal tersebut tidak menjadi problem bagi mereka. Beberapa pemain yang pernahberseragam Lazio dan AS Roma antara lain, Sinisa Mihajlovic, Roberto Muzzi,Diego Fuser, Luigi Di Baggio, Lionello Manfredonia dll. Entah patut berbangga atau tidak, fakta unik lainnya adalah, Arne Selmosson merupakan pemain yang pernah mencetak gol baik saat membela Lazio atau AS Roma.

"Much more than just a game", itulah kata yang tepat untuk menyebut Derby Della Capitale. Tomasso Rochi juga berujar, bagi mereka Roma adalah Lazio, biarpun warna kota Roma dipakai oleh Il Lupi. Bagi fans Lazio ataupun AS Roma, menang dalam Derby Della Capitale itu lebih indah dan bergengsi daripada meraih Scudetto. Fransesco Totti dan legenda AS Roma, Giacomo Losi juga mengamini pendapat tersebut. Mereka bukan sekadar pemain, tetapi suporter bagi AS Roma. Roman adalah simbol bagi kedua klub. Bagi para Laziale, Paolo Di Canio adalah icon dan menginspirasi mereka, Di Canio adalah Lazio. Kebencian yang mengitari laga tersebut bisa kita nikmati dalam dokumenter yang dibuat oleh Football Rivalries. Kalau boleh bermimpi, entah tahun berapa, saya ingin melihat Montella melatih Roma lagi dan Di Canio menukangi Lazio. Lalu mereka berdua bertemu dalam Derby Della Capitale, Montella yang kalem melawan Di Canio yang agresif. It's very beautiful. Forza Roma !


Kita tahu, benteng terbesar di Italia adalah seorang nyonya yang mampu mengoleksi emas begitu banyak. Tahun kemarin nyonya tersebut berhasil mendulang emas kembali. Musim yang panjang nan terjal harus dilewati seekor serigala. Serigala pincang, iya serigala ompong. Secara tragis, mereka gagal menambang sebongkah perak. Serigala tadi terlihat sangat kelelahan, matanya nanar, menonton seekor elang terbang dengan gemilang dihiasi cincin perak dijarinya. Serigala pincang tadi dianggap wafat. Sebuah pemakaman diadakan untuk menghormatinya. Ironis, ribuan tangis palsu mengiringi jasadnya. Serigala mungkin hanya mati suri. Mereka mencoba untuk bangkit, mencakar dan mencabik-cabik seekor elang. Mencoba menancapkan kembali bendera kuning dan merah diatas kota abadi.


“Are you ready for a war ?” (William Wallace | Braveheart)


Rabu, 18 September 2013

Cerita, Kota dan Senja

Ada cerita dalam senja di sebuah kota tertua di Jogjakarta
Di balik kempul dan gong itu, aku berusaha mencuri pandanganmu
Tanpa harapan, bahwa kamu akan membalasnya
Bisa saja, karena dirimu, aku lupa satu ketukan nada
Satu tabuhan salah, rusak sudah semua perpaduan irama
Asap rokok mengepul, tanpa mempedulikan kiri dan kanan
Sangat disayangkan, tiada lagi pertemuan tabuhanmu dan tabuhanku
Pedih, seperti asap rokok yang menyelip di mataku
Kamu tahu, aku rindu rutinitas di hari itu
Dan disela ramahnya kota tersebut, aku mengingat senyumanmu


2013

Senin, 16 September 2013

Imagining Argentina

Ketika sebuah negara telah berada “dibawah acungan senjata”, saya kira warga yang berdiam disana akan berontak. Entah dalam batin, atau dimunculkan dalam bentuk tindakan. Ada beberapa film mengenai pergulatan antara masyarakat dengan negara yang pernah saya tonton. Antara lain, Diaz Don’t Clean Up The Blood (Italia : 2012). Beberapa hari yang lalu, saya menonton sebuah film Argentina. Film tersebut berjudul Imagining Argentina. Salah satu teman saya, yaitu mbak Heni, merekomendasikan film tadi. Mbak Heni berujar, film tersebut menarik karena menceritakan “petrus-petrus” Argentina pada tahun 1979-1983. Ketika rezim militer menguasai negeri para pesepakbola kondang. Mungkin saja Maradona menjadi saksi ketika Argentina berada “dibawah acungan senjata”.

Imagining Argentina, film yang dibuat oleh Christopher Hampton pada tahun 2004 ini, merupakan adaptasi atas novel karya Lawrence Thornton dengan judul yang sama. Sebuah novel yang latar belakangnya berbasiskan sejarah. Di saat Argentina berada dalam posisi yang pelik, negeri tersebut terlibat “Dirty War” antara tahun 1979-1983. Kita juga tahu, pada tahun-tahun tersebut Argentina sempat beradu meriam dengan Inggris. Pulau Malvinas atau Falkland yang menjadi taruhannya.

Carlos Rueda (Antonio Banderas) dan Cecilia Rueda (Emma Thompson) hidup di Argentina disaat pemerintahannya dikuasai oleh militer. Mereka mempunyai satu putri, yaitu Teresa Rueda (Leticia Dolera). Carlos sekeluarga terpaksa harus melawan pemerintah, ketika Cecilia mengirimkan sebuah artikel yang mengkritik pemerintah Argentina atas kasus “hilangnya” beberapa siswa sekolah yang memprotes kenaikan tarif bus. Akhirnya Cecilia ditangkap oleh sekelompok oknum yang dikendalikan oleh pemerintah.

Berbagai macam usaha dilakukan oleh Carlos untuk menemukan istrinya. Entah darimana datangnya, tiba-tiba Carlos mempunyai kekuatan ajaib alias indera keenam. Carlos bisa mengetahui nasib para korban yang terindikasi telah “hilang”, apabila ia berdekatan dengan siapapun yang berkaitan atas korban-korban yang “dihilangkan”. Tidak ada penjelasan kenapa atau dari siapa Carlos memperoleh kekuatan misterius tersebut. Carlos yang berprofesi sebagai pengajar teater tersebut, akhirnya mengadakan sebuah forum tiap hari Selasa. Forum tadi berisi rekan atau keluarga para korban “hilang”. Carlos memberikan sebuah penawaran atau mungkin bisa disebut solusi, yaitu pembacaan nasib korban-korban yang “hilang”. Menurut saya, forum tersebut bukanlah solusi yang tepat. Carlos tidak menawarkan sebuah solusi, ia hanya membuat problem dan menciptakan kesedihan.

Saya sendiri memberikan nilai tujuh atas film Imagining Argentina. Ada beberapa tokoh atau adegan yang menurut saya tidak terlalu menarik. Antara lain, pertemuan Carlos dengan sepasang suami istri yang sempat menghuni kamp Auschwitz. Carlos yang linglung berusaha mencari pencerahan di sekitar pedalaman Argentina. Sepasang suami istri Yahudi tersebut nampaknya menjadi pemanis atas simbol “imajinasi” dan “perjuangan” dalam film Imagining Argentina.

Selain itu, sang sutradara doyan sekali mengumbar adegan eksploitasi terhadap perempuan. Penamparan, pukulan serta pemerkosaan kerap muncul. Bukannya kelompok subversif di Argentina tidak melulu perempuan. Namun kenapa, korban yang dianiaya oleh pemerintah militer hanyalah perempuan. Ada satu adegan yang mungkin mewakili kaum laki-laki. Yaitu, disaat teman kerja Carlos, Silvio Ayala (Ruben Blades) dipenjara lalu diinterogasi dan akhirnya dihukum dengan cara dijatuhkan dari helikopter. Silvio lebih memilih bungkam dan memproklamirkan dirinya sebagai seorang Argentina sejati ~> “I’m Silvio Ayala, I’m Argentinian !”

Apabila kita berekspektasi bahwa Imagining Argentina akan memunculkan suasana panasnya rezim diktator nan militeristik, sayang sekali, kita tidak akan menemukannya. Imagining Argentina menawarkan kepada kita, untuk tidak mengulangi kembali masa lalu yang suram. “Never to look back. But it is our sacred duty to look back.”

Imagining Argentina, menyuguhkan data-data sejarah untuk mengawali dan mengakhiri adegan. Caption yang disuguhkan untuk mengawali film adalah tampilan foto atau video pada masa berlangsungnya tragedi berdarah di Argentina. Wajah bengis barisan militer, sekelompok ibu-ibu berdemo dll. Sedangkan di penghujung film, si sutradara berusaha menunjukkan kegilaan rezim militer Argentina selama 1979-1983. Ada sekitar 30.000 ribu korban “hilang”, baik laki-laki, perempuan ataupun anak-anak. Data tersebut berdasarkan Amnesti Internasional. Selain itu ditunjukkan pula puluhan ribu korban yang “hilang” diberbagai macam negara. Seperti, Bosnia Herzegovina, Irak, Kongo, Rusia, India, Kuba, Chili, Kolombia, Mexico, Peru, Srilanka, Libya dan tentunya tanah air beta, Indonesia.

Somewhere in the world today, someone is “disappearing!” (Imagining Argentina)