"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Senin, 13 Februari 2012

SEBUAH “KADO” KECIL DARI RUMAH BUTUT MAIDA


PENCIPTAAN REALITA : IMAGES
          Pengertian film sebenarnya bukan sekedar film yang beredar di bioskop saja. Film-film juga muncul dalam bentuk tayangan sinetron di televisi serta di media elektronik lainnya. Film-film tersebut dibuat oleh pekerja film dengan asas sinematografi.[1] Menurut Alfred Hitchock, membuat film itu harus dipikirkan, bukan hanya merekam apa yang kamu lihat secara langsung. Karena film sendiri tidak hanya berkutat dalam rekaman gambar, melainkan bagaimana kita bisa menciptakan gambar. Pernyataan tadi juga diamini oleh Ingmar Bergman, bahwa faktor utama film adalah images, faktor penunjang lainnya seperti dialog dan suara. Hal itu terbukti bukan dengan adanya film bisu Charlie Chaplin yang sangat legendaris. Itu karena proses penciptaan images saja, minus dialog dan suara.[2]
          Lalu bagaimana dengan penciptaan gambar dalam film Ruma Maida, karena kali ini kita membicarakan film tersebut. Memang Slamet Rahadjo memberikan kritik terhadap perkembangan film di Indonesia isinya miskin imaginasi.[3] Akibatnya film-film kita kalah bersaing dengan film-film asing. Di dalam jajaran jagad 21 atau XXI, dominasi Holywood jelas merajai. Hal tersebut kenapa terjadi, karena film-film Indonesia tidak cerdas. Dalam uraiannya, Slamet Rahardjo memberikan dua contoh film cerdas, yaitu “Petualangan Sherina” (Riri Reza) dan “Arisan” (Nia Dinata). Film-film tadi memberikan suguhan menarik menampilkan realita, agar berbentuk suatu image. Tetap menghibur namun cerdas dan kaya nilai-nilai teknik serta artistik.[4] Film Arisan atau Berbagi Suami merupakan film parodi satire cerminan gaya ibukota yang seolah-olah gemerlap namun dalamnya karatan. Lalu film Petualangan Sherina tergolong berani mendobrak dominasi images-images milik anime Jepang. Film yang sangat polos, dengan menunjukkan keberanian, semangat serta ngglidhiknya anak-anak kecil. Film tersebut jujur, jujur menampilkan kenyataan. Itulah keunggulannya.

IMAGES dalam RUMA MAIDA
          Ya, kali ini berbicara mengenai film Ruma Maida. Awal mula melihat bahilo film tersebut di perempatan Sagan, saya kira film itu akan menceritakan mengenai Laksamana Maeda. Ternyata dugaan tersebut salah. Atiqa Hasiholan begitu cocok memerankan tokoh Maida. Latar belakangnya sebagai aktor teater mungkin sangat membantu proses permainan dia di film Ruma Maida tersebut.[5] Hampir sama dengan apa yang disampaikan diatas, bahwa ini film yang cerdas. Bukan sebuah film yang menyesatkan. Kita dapat melihat berbagai film-film aneh muncul di layar lebar saat ini. Terutama film-film parodi “paha wanita”, film tersebut memang menghibur namun apa nilai akademisnya?
          Sisi kecerdasan dalam film Ruma Maida ini bukan hanya kesadaran sejarah milik Ayu Utami. Akan tetapi bagaimana sang sutradara menampilkan sisi artistik yang menyentuh. Alur-alur yang tersampaikan memang cenderung biasa, tidak membuat kita menebak-nebak atau berpikir layaknya film-film Barat. Namun sekali lagi gambaran realita yang ditunjukkan sangat kaya. Entah itu realita saat masa pendudukan Jepang atau reformasi 1998. Film ini mampu menjadi ajang refleksi bagi kita.
          Film Ruma Maida adalah film fiksi. Beberapa adegan yang tercipta bukan kenyataan. Memang beberapa latar belakangnya ada peristiwa sejarahnya. Apabila film ini oleh Ayu Utami dibuat novel, mungkin kasusnya si Maida akan sama dengan Nyai Ontosoroh nya Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Mereka merupakan tokoh rekaan namun latar belakangnya ditampilkan sesuai dengan realita.
          Saat ditampilkan adegan flashbacknya Ishak Pahing, latar belakang yang ada juga sesuai cerita-cerita sejarah yang ada. Bagaimana proses perpindahan kekuasaan dari tangan Belanda ke Jepang. Kita tahu bahwa di bulan Maret 1942 merupakan proses kekuasaan tadi akan berpindah. Serangan demi serangan harus diterima Hindia Belanda. Onghokham menyampaikan dalam bukunya yang berjudl Runtuhnya Hindia Belanda. Bahwa pada saat itu terdengar penderitaan-penderitaan karena peperangan yang pertama. Mereka (orang-orang Batavia) mengungsi di Hotel Homan karena saat itu tanggal 28 Februari 1942, Tanjung Priok dijatuhi bom. Hotel Homan dipenuhi laki-laki, wanita serta anak-anak dengan membawa koper dan berbagai macam barang.[6]
          Di dalam buku milik Onghokham tadi, juga diceritakan bagaimana keadaan disaat genting tapi masih ada beberapa orang malah berdansa dan berpesta di hotel Homan tadi. Padahal diluar jauh sana tentara-tentara bertempur dengan angkatan perang Jepang.  Makin lama kondisi makin kacau.[7]
          Kembali lagi ke bahasan Ruma Maida. Ruma Maida tampaknya layak menjadi renungan bagi mahasiswa sekarang. Sosok Maida yang mengayomi anak jalanan patut kita contoh. Kepedulian dia terhadap anak jalanan dan pembelajaran sejarah sudah sepatutnya kita tiru. Film ini memang berhasil membuat sebuah images, bukan sekedar merekam images. Tetapi bagaimana penciptaan images tadi dengan pemikiran yang matang. Pada akhirnya images tersebut juga akan dipikirkan oleh khalayak ramai. Film yang cerdas adalah film yang inspiratif.


[1] Slamet Rahardjo Djarot, “Moving Image : Kreatifitas Dalam Kemiskinan Imaginasi”, dalam Waridi dan Bambang Murtiyoso (ed.), Seni Pertunjukan Indonesia : Menimbang Pendekatan Emik Nusantara. (Surakarta: The Ford Foundation dan STSI Surakarta, 2005), hlm. 293.
Yang dimaksud dengan asas sinematografi adalah proses penciptaan film melalu rekaman dengan pita seluloid, pita video, piringan video atau hasil penemuan teknologi lainnya. Proses melewati proses kimiawi, proses elektronik dll. Selanjutnya akan ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik dll. Pengertian tadi diambil dari pengertian film yang termuat dalam UU No.8/1992 tentang Film dan Perfilman. Pengertian film dengan perfilman memang berbeda.

[2] Ibid, hlm. 294.

[3] Baca Slamet Rahardjo Djarot, “Moving Image : Kreatifitas Dalam Kemiskinan Imaginasi”, dalam Waridi dan Bambang Murtiyoso (ed.), Seni Pertunjukan Indonesia : Menimbang Pendekatan Emik Nusantara. (Surakarta: The Ford Foundation dan STSI Surakarta, 2005), hlm. 293-297. Salah satu penyampaian menarik mengenai film juga terdapat dalam uraian milik Umar Kayam dalam bukunya yang berjudul Seni, Tradisi, Masyarakat (1981).

[4] Slamet Rahardjo Djarot, “Moving Image : Kreatifitas Dalam Kemiskinan Imaginasi”, dalam Waridi dan Bambang Murtiyoso (ed.), Seni Pertunjukan Indonesia : Menimbang Pendekatan Emik Nusantara. (Surakarta: The Ford Foundation dan STSI Surakarta, 2005), hlm. 296-297.

[5] Kalau tidak salah, Atiqa terlibat dalam grup Teater Merah Putih.
[6] Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm.258-259.

[7] Untuk lebih jelasnya, baca buku Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda terutama bagian terakhir. Penjelasan mengenai proses serta keadaaan pada saat jatuhyan Hindia Belanda disampaikan secara runtut.

Minggu, 12 Februari 2012

JEJAK ORANG-ORANG PRANCIS DI SIAM (AYUTTHAYA) PADA ABAD KE 17 : Persekutuan Ayutthaya dan Prancis yang Menimbulkan Konflik

 Pendahuluan
          Orang-orang Prancis mengunjungi di kepulauan Asia Tenggara sesungguhnya dimulai pada saat pelayaran ke Asia Tenggara mulai marak. Pada tahun 1664 Menteri Keuangan Prancis, Jean Baptiste Colbert membentuk kongsi dagang kerajaan Prancis di Hindia. Kantor pusatnya di Paris dengan berbagai kantor cabang di berbagai daerah. Tujuan didirikannya kongsi dagang tadi untuk mengembangkan perniagaan dengan kongsi-kongsi dagang yang berada di pelabuhan-pelabuhan utama Ormuz dan Tiongkok. Serta untuk menyaingi kongsi dagang Inggris dan Belanda.[1] Di sekitar abad ke 17, pusat-pusat perdagangan yang pada awalnya berada di Nusantara mulai berpindah ke Ayutthaya. Pelabuhan di Banten, Aceh serta Makassar mulai menurun peminatnya disebabkan monopoli perdagangan oleh VOC atau pedagang dari Belanda.[2]   
          Raja Phra Narai (1657-1688) merupakan tokoh yang sangat berperan memajukan perdagangan di Ayutthaya atau Siam. Narai adalah putra dari Raja Phrasat Thong yang pernah berkuasa pada tahun 1629-1656. Saudara Raja Narai, yaitu Chao Fa Chai dan sepusu Prasat Thong, Sutthamaracha pernah berkuasa menjadi raja Siam. Namun kekuasaan mereka berdua tidak bertahan lama. Padahal saat itu kerajaan Siam (Ayutthaya) sedang berselisih dengan raja Champa yang telah menjadi muslim.[3]
          Pada tahun 1664an, penghasilan Ayutthaya menurun drastis karena terhentinya pelayaran langsung dengan Jepang dan sangat berkurangnya pelayaran dari Cina. Kejayaan perdagangan memang sempat tertunda saat Narai memegang tampuk kekuasaan. Akan tetapi perkembangan selanjutnya Narai berhasil membawa Ayutthaya pada masa keemasan. Ibukotanya tetap menjadi pelabuhan independen karena upayanya untuk mengimbangi satu kelompok asing dengan kelompok asing lainnya.[4]
           Seperti yang sempat diungkapkan diatas, pelabuhan-pelabuhan di Asia Tenggara yaitu Makassar, Banten, dan Aceh jatuh dalam kekuasaan Belanda. Ayutthaya menjadi makin penting bagi para pedagang non Belanda setelah kekalahan pertama Makassar oleh persekutuan Bugis-Belanda di tahun 1660, orang Inggris menganjurkan untuk membuka kantor dagang di Ayutthaya, sedangkan orang Portugis dan Islam bergerak ke tempat itu. Banyak orang Portugis dan Melayu (Makassar) yang mulai menetap sembari berdagang di Siam. Hal itu juga disebabkan perang Kamboja yang berkecamuk besar-besaran.[5]
          Di antara sekian banyak penguasa di Asia Tenggara, Raja Narai merupakan raja yang sangat tertarik akan kebudayaan Barat terutama Prancis. Padahal Raja Narai adalah penganut agama Budha. Mayoritas penduduk Siam adalah Budhis. Ketertarikannya pada Prancis dimulai semenjak para misionaris Prancis atau Misi Asing Prancis berkedudukan di Ayutthaya sejak 1662. Bila kekuasaan Eropa lainnya menyerahkan hubungannya dengan Asia pada wakil-wakil setempatnya, para misionaris Prancis berkali-kali membawa surat pelindung mereka Louis XIV, yang pertama kali tahun 1673.[6]
          Saat Belanda berhasil menguasai Malaka, orang-orang Portugis pindah ke Ayutthaya. Disana mereka mendirikan pemukiman sendiri. Untuk mengimbangi jumlah penduduk Portugis, Raja Narai mengundang orang-orang Inggris untuk mendirikan kantor dagang di Ayutthaya pada tahun 1661. Tidak lama kemudian, Misi Asing Prancis dizinkan untuk mendirikan seminari. Pada tahun 1664, orang-orang Prancis diperbolehkan membuka satu kantor dagang.[7] Pada tahap selanjutnya, terjadi persinggungan antar agama di Siam. Mayoritas penduduk Ayutthaya tidak senang dengan dominasi orang-orang Prancis terhadap raja Narai.
         
Hubungan Diplomatik Ayutthaya dan Prancis
          Sebelum tertarik pada peradaban Barat, Raja Narai lebih tertarik pada peradaban Persia. Ia pernah melaksanakan sebuah diplomasi yang luas dengan Golkonda dan Persia serta kerajaan-kerajaan yang lebih dekat. Pada tahun 1680an Raja Narai berpaling pada kemajuan Barat seperti yang dibawa orang Prancis. Seorang Yunani, Constance Phaulkon[8] menjadi dominan dalam soal-soal dagang dan diplomasi Ayutthaya. Sebagian karena bisa membuktikan bahwa ia sanggup menjadi utusan yang membawa lebih banyak keuntungan komersial bagi raja dibanding orang-orang Persia.
          Narai mengirim utusan yang pertama ke Versailles di tahun 1680. Orang Prancis yang membuka kongsi dagang di Siam mengizinkan utusan tadi naik kapal Vautour menuju Prancis. Kapal yang kecil tadi mengangkut barang-barang yang banyak. Hadiah untuk raja, ratu, putra mahkota, Due d’Orleans, menteri keuangan Colbert, Berrier dan istana Roma, khususnya Sri Paus. Hadiah tadi antara lain meja, bupet, peti, bangku, kotak ajaib dari Jepang, kerajian sutera, jambangan emas dan perak, penyekat dari Cina dll. Kapal tadi juga membawa persediaan makanan dan minuman yang banyak. Bahkan membawa dua ekor gajah muda, jantan dan betina.[9]
          Karena kurangnya persiapan, duta dari Siam tadi harus tinggal di Banten. Mereka disambut oleh saudagar Jean Baptiste de Guilhen dari Tarascon. Salah seorang pedagang yang diutus oleh Colbert untuk berdagang di Hindia. Akhirnya pada bulan September mereka berangkat ke Prancis dengan kapal Soleil d’Orient. Dalam rombongan ada seorang penduduk Banten asal Prancis yang ditugaskan mengawal koleksi batu intan dan surat-surat rsemi dari Sultan Banten untuk Raja Louis XIV dan para direktur kongsi dagang Hindia. Namun kapal mereka karam di daerah dekat Madagaskar.[10]
          Pada akhir tahun 1684, mungkin juga pada tahun 1685 dua “mandarin du Siam” (pejabat tinggi dari Siam) mengunjungi Prancis dan dihadapkan pada Raja Louis XIV di Versailles.[11] Raja Narai mengirim utusan tadi dengan kapal Inggris yang disertai oleh misionaris Prancis yaitu Vachet, dengan tujuan untuk mempelajari Prancis dan memohon agar dibangun sebuah perwakilan Kerajaan Prancis untuk hubungan persekutuan antara kedua kerajaan. Para utusan tersebut bersantap dengan Louis XIV di Versailles dan dengan kakaknya di Saint-Claud, dan menimbulkan perhatian besar karena pakaian mereka yang menarik.[12] Sebagai balasannya Raja Louis XIV mengirim seorang utusan atau duta besar ke Siam dengan tujuan yang amat ambisius dalam hal politik, agama, ilmu pengetahuan dan ekonomi.[13] Masing-masing utusan tadi adalah seorang ksatria bernama kapten (AL) de Chaumont, letnan (AL) Claude de Forbin Gardanne dan seorang bishop atau rahib bernama Choisy.
          Saat duta besar Prancis tiba di Siam pada tahun 1985. Mereka disambut dengan meriah, bahkan raja Narai menyajikan 150 jenis makanan kepadanya.[14] Saat perayaan lomba perahu di Sungai Irawadi atau Chao Phraya, utusan Prancis tadi menyaksikan bagaimana Raja Narai “ingin menjadi salah seorang peserta lomba, tapi mengharuskan perahunya diisi dengan pendayung-pendayung terbaik, dan dengan semua tenaga pilihan itu segera saja ia unggul serta memasuki kota dengan penuh kebanggaan”.[15]
          Akan tetapi kondisi negeri Siam memang sangat buruk. Istana disana tidak semegah istana di Prancis. Istana Raja Narai sangat luas tetapi bangunannya sangat buruk, tanpa proporsi dan tanpa citarasa. Kondisi kotanya sangat kotor, rumah-rumah dibangun dengan kayu dan bambu.[16]
          Ketika Constance Phaulkon yang beragama Katolik dan berbakat itu makin mendapat perhatian dari raja Siam, para misionaris Prancis mengemukakan pada Louis XIV bahwa Narai bisa dikristenkan kalau pendekatannya benar. Perwakilan Prancis pada tahun 1685 memang besar dan mengesankan, dan menghasilkan perjanjian perdagangan dan militer.
          Sedikit tambahan sebelum tiba di Siam, ekspedisi Chaumont dan Forbin sempat singgah sebentar di Hindia. Mereka berangkat dari pelabuhan Brest, Prancis pada tanggal 3 Maret 1685. mereka membawa dua kapal armada Prancis, yang satu diberi nama Oiseau dengan 40 meriam dan satu fregat bernama Maligne bersenjatakan 30 kanon. Tiba di Hindia pada tanggal 18 Agustus, tepatnya di Batavia. Forbin menyindir orang Belanda disana yang tidak memberi sambutan dengan baik. Karena saat itu Prancis baru saja berperang dengan kerajaan Belanda. Ditambah saat Forbin dan Chaumont tiba di Hindia, sedang terjadi konflik di kerajaan Banten. Konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya, Sultan Haji yang bekerja sama dengan Belanda.[17]
          Siam melakukan misi diplomatik ke Prancis yang ketiga pada tahun 1686-1687.  Utusan dari Siam berangkat bersama-sama dengan duta besar de Chaumont yang akan kembali ke negerinya. Karena hubungan akrab telah terjalin, tiga orang pejabat tinggi itu diutus dan mereka diterima dengan sangat megah di Versailles pada bulan September 1686.[18] Selama tujuh bulan di Prancis mereka disibukkan oleh berbagai kegiatan. Termasuk sebuh kunjungan ke Flanders dan dua kali menonton sandiwara Moliere serta dua kali mengunjungi opera yang diselenggarakan oleh Lully. Salah satu duta yang diutus oleh Raja Narai adalah Luang Kalya Ratchamaitin.[19]
          Utusan dari Siam kembali pulang ke asalnya disertai perutusan Prancis lain. Perutusan ini yang dipimpin oleh Simon de la Loubere pada tahun 1687-1688, membawa dua belas orang Jesuit dan merupakan puncak dari kerja sama ilmiah Eropa dan Asia Tenggara, sekalipun berlandaskan misionaris. Namun, perutusan ini juga membawa ratusan tentara bersenjata lengkap sehingga menimbulkan kecurigaan atas motif-motif Prancis yang akhirnya menyebabkan hubungan persekutuan itu terputus dan jatuhnya Phaulkon serta Narai pada bulan Juni 1688.[20]
          Kedatangan utusan Prancis dengan ratusan tentara memang ada sebabnya. Saat itu kondisi Siam sedang kacau. Mereka berkonflik dengan kongsi dagang Inggris, EIC. Isu-isu kudeta terhadap raja semakin tercium setelah adanya konspirasi orang-orang Melayu, Campa, Makassar serta orang-orang Islam lainnya. Kemungkinan besar mereka tidak senang atas adanya kedudukan orang Katolik atau Barat di Ayutthaya.
Kudeta terhadap Raja Narai        
          Semua penguasa Siam pada abad ke 17 sangat bergantung pada satuan tentara bayaran asing. Sebelum raja Narai berkuasa, tentara Jepang, Mon, Portugis dan Melayu sangat dominan. Di tahun 1630an pasukan-pasukan tadi digantikan oleh Muslim Persia dan India. Pada saat era Narai, terutama tahun 1680an para perwira dan pasukan Prancis diperkenalkan oleh Constance Phaulkon sebagai inti pasukan yang profesional.[21]
          Narai memberikan hak-hak istimewa terhadap pasukan-pasukan Prancis dan para misionaris Katolik. Kebiasaan tadi dipandang berlebihan oleh penduduk Budha.[22] Kebijakan Narai yang kontrovesial tidak hanya berhenti disitu. Narai membuat kebijakan mengenai pajak bagi biksu. Ia mengurangi jumlah biksu yang status bebas pajaknya mengurangi pemasukannya melalui dua cara. Ia memberlakukan undang-undang selibat secara ketat untuk mengecilkan hati pentahbisan orang-orang yang sembrono, dan ia mengharuskan para biksu menjalani ujian secara berkala mengenai kitab suci Pali. Di sekitar tahun 1687, Raja Narai memecat beberapa ribu biksu yang tidak lulus tes. Disiplin keras seperti menjadi ciri khas raja-raja Theravada yang kuat, namun kenyataan bahwa seorang muda dari lingkungan istana yang memimpin ujian-ujian itu merupakan suatu penghinaan yang sangat luar biasa. Para “biksu hutan” yang lebih independen (dan pada umumnya lebih suci) menolak mengikuti ujian.[23]
          Saat VOC mulai menguasai daerah-daerah di Nusantara, itu menjadi tanda bahaya bagi kongsi-kongsi dagang Barat lainnya. Raja Narai juga merasa terancam karena di tahun 1664, VOC memonopoli perdagangan kulit rusa ke Jepang. Keadaan itu membuat Narai bekerjasama dengan Inggris maupun Prancis. Namun menjelang tahun 1680 sepertinya Inggris malah akan menjadi tandingannya. Terutama ketika Constance Phaulkon mulai diakui bakatnya, Phaulkon adalah pegawai Siam yang mendapat perlindungan dari Inggris. Phaulkon mempunyai pejabat yang dia percayai, yaitu Samuel White dan Richard Burnaby. Kedua pejabat tadi keluar dari dinas EIC dan semakin bermusuhan dengan perwakilan resmi EIC di Madras. Pada tahun 1683, Burnaby diangkat menjadi gubernur Siam di Mergul, sedang Samule White menjadi syahbandar dalam rangka upaya Phaulkon menjalin hubungan dagang Narai ke India dengan menggunakan keahlian orang Barat. Karena kejadian tadi, pada tahun 1687  benteng St. George di Madras (markas EIC) memaklumkan perang pada Siam tetapi gagal merebut Mergul.[24]
          Keadaan itu memaksa Narai untuk mendekati Louis XIV yang pernah dihadiahi Songkia pada tahun 1685 sebagai imbalan bagi dukungannya melawan Belanda dan Inggros. Pada tahun 1687 armada Prancis yang berkekuatan enam kapal perang berlayar menuju Siam untuk memperkuat persekutuan tersebut. Tetapi tanpa diketahui orang Thai, Prancis telah memutuskan bahwa mereka menginginkan Bangkok (jalan masuk ke arah ibukota dan sungainya) daripada Songkhla, serta menempatkan sebuah pasukan di Mergui. Phaulkon kini makin memusuhi Inggris, sementara perkawinannya dengan seorang gadis Jepang yang beragama Katolik mendekatkannya pada rohaniawan Jesuit yang berharap dapat mengkristenkan raja Siam. Sebab itu ia menganjurkan Narai untuk menerima saja permintaan orang Prancis itu. Dengan hadiahnya 600 orang tentara Prancis di ibukota serta pengendalian politik raja oleh Phaulkon, sikap anti Eropa mencapai puncaknya.[25]
          Constance Phaulkon yang mempunyai kedudukan tinggi di Ayutthaya membuat resah pemeluk agama Islam di sana. Orang-orang Islam dipojokkan oleh Phaulkon. Mereka tidak simpatik dengan pengaruh Eropa di Siam. Gerakan tadi mendapat dukungan dari faksi-faksi istana yang anti Eropa. Mereka melakukan pemberontakan pada tahun 1686. Pemberontakan tadi gagal total, bantuan dari gerakan dalam negeri serta gerakan Melayu urung terlaksana. Pemberontak Muslim dibantu oleh orang-orang Makassar. Biarpun mereka mengalami kekalahan, gerakan kaum Makassar mampu membuat kalang kabut pasukan kerajaan serta tentara bantuan dari Eropa.[26]
          Pada mulanya sebelum pemberontakan oleh orang Islam terjadi. Konspirasi antara Islam, orang Makassar, orang Champa, orang Melayu serta pejabat-pejabat Ayutthaya yang kontra dengan Narai sudah tercium baunya oleh raja. Pemimpin kubu Makassar saat itu adalah Daeng Mangalle. Daeng Mangalle mengakui jika dirinya tidak suka dengan Phaulkon karena alasan perbedaan agama. Kegigihan pihak Islam dan Makassar patut mendapat acungan jempol. Orang-orang Makassar yang jumlahnya sekitar dua ratus dan hanya bersenjatakan tombak keris. Mereka mampu memberikan perlawanan sengit menghadapi ribuan prajurit Siam. Tentara Siam dibantu empat puluhan perwira Prancis, beberapa orang Inggris dan orang asing lainnya seperti Portugis. Pertempuran tadi menewaskan seribu orang Siam dan tujuh belas orang asing.[27]
          Reaksi terjadi dalam bentuk perebutan kekuasaan di bulan April 1688, ketika raja sedang sekarat. Karena Narai tidak punya putra mahkota maka soal pergantian menjadi tidak jelas. Komandan tentara gajah kerajaan, Okphra Phetracha diuntungkan dari semangat anti Eropa di kalangan sangha Budha dan berbagai kalangan penduduk kota. Phetracha merupakan saudara tiri raja Narai. Dalam bulan April ia merebut istana Lopburi (Louvo) dan Phaulkon serta dua saudara raja yang berpeluang menjadi raja dibunuh. Ketika Narai meninggal pada bulan Juli, Phetracha menggantikannya. Markas tentara Prancis diserang pada akhir tahun 1688 dan dipaksa untuk meninggalkan tempat itu, dengan disertai kekerasan terhadap orang asing khususnya para rohaniawan Katolik.[28] Sebelum pemberontakan tadi terjadi konspirasi yang juga dipelopori oleh kalangan Islam berencana untuk mengubah agama Phetracha sebelum diangkat menjadi raja.[29]
          Sejarah Ayutthaya menjadi berubah, kebijaksanaan milik Narai mulai diganti oleh Phetracha. Siam menolak hubungan dengan orang asing. Namun bukan berarti Siam mengisolasi diri, kerajaan tersebut tetap memerlukan pendapatan dan barang-barang melalui perdagangannya. Kerajaan tetap menggunakan bantuan orang-orang Islam India dan orang Cina. Perdagangan di Asia Tenggara menjadi menurun, pusat beralih ke Asia Timur yang umumnya bergantung pada bantuan jung Cina.[30]


DAFTAR PUSTAKA :
Dorléans, Bernard., Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006.

Reid, Anthony., Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 : Tanah di Bawah Angin. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1992.

____________., Dari Ekspansi hingga Krisis : Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999.

____________., Sejarah Modern Awal Asia Tenggara : Sebuah Pemetaan. Jakarta : LP3ES, 2004.






[1] Bernard Dorléans, Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 79.

[2] Nama Belanda akan disamakan dengan VOC, biarpun tidak semua anggota kongsi dagang tersebut berasal dari Belanda.

[3] Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis : Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 1999). hlm. 254.

[4] Ibid., hlm. 408.

[5] Ibid.

[6] Ibid., hlm. 323.

[7] Bernard Dorléans, Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 111-112.

[8] Nama asli dari Constance Phaulkon adalah Constantin Hierachy. Ia beragama Katolik, dulu merupakan pegawai EIC di daerah Bantam dan Surat.

[9] Bernard Dorléans, Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 87-89.

[10] Ibid., hlm. 89.

[11] Ibid., hlm. 107.

[12] Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis : Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 1999). hlm. 323.

[13] Bernard Dorléans, Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 107.

[14] Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 : Tanah di Bawah Angin (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 1992). hlm. 38.

[15] Ibid., hlm. 224.

[16] Bernard Dorléans, Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 111.

[17] Ibid., hlm. 108-109.

[18] Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis : Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 199). hlm. 323.

[19] Ibid., hlm. 326.

[20] Ibid.

[21] Ibid., hlm. 302.

[22] Ibid., hlm. 267-268.

[23] Ibid.

[24] Ibid., hlm. 408-409.

[25] Ibid., hlm. 409.

[26] Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara : Sebuah Pemetaan (Jakarta : LP3ES. 2004). hlm. 51.

[27] Bernard Dorléans, Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 121.

[28] Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis : Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 1999). hlm. 408-409.

[29] Bernard Dorléans, Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 113.

[30] Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis : Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 1999). hlm. 410.