"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Selasa, 04 Agustus 2015

Menanti Keajaiban Transfer AS Roma


Disaat para rivalnya berbenah diri, Roma malah terlihat lamban di bursa transfer musim ini. Memang, sebelum jendela transfer dibuka, Roma sudah bermanuver terlebih dahulu untuk mengunci Radja Nainggolan. Pemain keturunan Batak tersebut memang bermain apik musim kemarin. Performanya paling konsisten dibanding pemain-pemain yang lain. Imbasnya, Roma harus merelakan salah satu talenta dari akademi mereka, yaitu Andera Bertolacci yang dilego ke AC Milan dengan mahar 20 juta euro. Harga yang teramat “wah” untuk ukuran pemain semacam Bertolacci. Bandingkan dengan Julian Draxler yang diincar oleh Juventus, mereka menyiapkan 25 juta euro untuk merekrut pemain berbakat dari Schalke tersebut. Jelas, kualitas jam terbang Draxler jauh lebih baik ketimbang Bertolacci.
            Lalu kenapa fans Roma patut was-was disela-sela bursa transfer yang akan ditutup akhir bulan ini. Bayangkan, Juventus selaku juara musim lalu sangat jeli melakukan pembenahan. Sebab beberapa pemain bintang meninggalkan Turin, seperti Tevez, Pirlo, Vidal, Storari. Tapi toh skuad mereka lalu dibenahi lagi, datang Dybala, Khedira, Neto dan mungkin saja Gotze atau Draxler akan merapat ke kubu La Vechia Signora. Sisi negatifnya, Allegri mungkin akan merombak total formasi Juventus musim ini. Duo klub Milano juga sangat gencar untuk membuang pundi-pundi uang mereka. Milan semakin gila-gilaan di daya gedor serangan. Bacca dan Luiz Adriano merapat di San Siro. Sungguh beruntung nasib Mihajlovic, bak tertimpa durian runtuh ketika pertama kali menapakkan kaki di Milanello. Berbanding terbalik dengan Inzaghi yang sejak awal sudah tertimpa batu. Inter Milan juga tak mau kalah saing. Mereka sudah mendatangkan Kondogbia, biarpun banyak yang berpendapat bahwa harganya terlalu mahal. Inter juga sukses memperpanjang kontrak Handanovic. Pertahanan Inter memang kacau balau musim kemarin. Akan menjadi mimpi buruk bagi fans Inter apabila musim ini mereka melepas Handanovic. Selain Kondogbia, Inter juga menampung Jovetic yang kembali merumput di tanah Italia. Di sisi pertahanan, tiga pemain muda berbakat akan diasuh Mancini, yaitu Murillo, Davide Santon dan Martin Montoya.
Bagaimana dengan Roma ? Target mereka banyak dibajak oleh rival-rivalnya di Serie A. Carlos Bacca serta Luiz Adriano memilih AC Milan. Marton Montonya serta Davide Santon merapat ke Inter Milan. Alih-alih menyibukkan diri untuk mencapai kesepakatan dengan Dzeko, seakan-akan Roma lupa bahwa skuad mereka masih bolong diposisi bek kiri dan kiper. Beruntung, disaat gonjang-ganjing tadi, secara lihai Sabatini “menculik” Szczesny dari Arsenal dengan status pinjaman. Nah, tinggal satu yang jadi masalah, yaitu bek kiri serta menjual beberapa pemain yang menumpuk di posisi sayap dan striker.
Beberapa minggu yang lalu, jurnalis ESPN, James Horncastle berpendapat bahwa Roma masihmenjadi kandidat kuat dalam perebutan Scudetto musim ini. Asalkan target mereka untuk mendatangkan Dzeko terpenuhi. Asumsi tadi dapat dibenarkan, mengingat kualitas serangan Roma musim lalu menurun drastis. Apalagi fans Roma tidak bisa lagi berharap banyak terhadap legenda mereka, Francesco Totti. Bisa dipastikan, apabila Dzeko benar-benar merapat ke Trigoria, Totti rela untuk dicadangkan. Kabarnya, kesepakatan secara personal dengan Dzeko sudah tercapai. Hanya tinggal menyelesaikan nilai transfer dengan Manchester City. Namun, sejauh ini semua berita tersebut stautsnya masih “kabarnya”. Yak, sebagai suporter Roma, saya masih skeptis, bahkan pesimis untuk berkata “mampu bersaing” dengan Juventus di musim 2015/16.
Lagi-lagi petir kembali menyambar suasana hati pendukung Roma. Terlempar kabar bahwa Roma mungkin akan menjual talenta muda mereka, yaitu Alessio Romagnoli ke AC Milan apabila Dzeko ataupun Mohamed Salah akan bergabung dengan Roma. Patut diakui, kabar bahwa Romagnoli ingin bereuni dengan Mihajlovic terdengar santer. Roma mematok harga yang sangat besar sejatinya, 30 juta euro bagi pemain kelahiran Anzio tersebut. Kabar terbaru, Arsenal juga tertarik untuk meminangnya.


Apakah Roma diuntungkan dengan penjualan tadi ? saya sendiri berpendapat tidak. Bayangkan, Roma hanya punya empat bek musim ini. Yaitu, Manolas, Castan, Mbiwa dan Romagnoli sendiri, dengan jaminan Leandro Castan sudah fit total setelah hampir setahun absen merumput karena tumor otak. Selain itu, Romagnoli juga dapat diplot sebagai bek kiri. Di musim 2013/14, Rudi Garcia sempat memasangnya sebagai bek kiri dan penampilannya lumayan bagus. Satu lagi nilai plus adalah Romagnoli merupakan didikan asli Roma dan penting untuk dipertahankan sebagai syarat aturan homegrown Liga Champions. Pemain berusia 20 tahun tersebut akan bergabung dengan putra Roma yang lain, seperti Florenzi, De Rossi dan Totti.
Memang, disaat menyaksikan beberapa laga ujicoba yang dilakoni Roma kemarin, penampilan Romagnoli tidak terlalu istimewa. Disaat melawan City, Romagnoli kerap lengah mengawal pemain Manchester City, terutama saat offside trap. Begitu pula ketika bertemu Sporting Lisbon, Romagnoli dan Mbiwa masih kurang klop. Tapi, apabila kita berpatokan pada penampilannya bersama Sampdoria musim lalu, memang layak diacungi jempol. Situs WhoScored mencatat rating 7,02 bagi penampilannya selama 28 sebagai starter dan 2 kali dari bangku cadangan. Kalau toh pemain yang menyukai Valentino Rossi tersebut jadi dijual, tentu dana segar yang Roma dapatkan akan dipakai untuk membeli Dzeko. Tapi perlu diingat, akan timbul lubang di bagian pertahanan. Roma mungkin belum yakin untuk memasang talenta mereka yang sudah malang melintang di skuad Italia U-19, seperti Capradosi dan Calabresi sebagai backup di jantung pertahanan tim utama. Bagaimanapun juga, menjual Romagnoli sama saja dengan bunuh diri. Apalagi melegonya ke AC Milan, akan menjadi dosa besar yang tak termaafkan bagi Il Lupi musim ini.
Tersirat kabar, Roma fokus untuk meminjam Lucas Digne dari PSG. Pemain berusia 22 tahun akan kembali dilatih oleh Garcia apabila setuju merapat di Roma. Namun, Roma tak boleh bersantai, pemain yang sempat bermain di Lille tadi juga diincar oleh Liverpool. Saya sendiri memang tidak mengikuti Liga Prancis, jadi tak paham seluk beluk Lucas Digne. Tapi penampilannya di Piala Dunia 2014 kemarin cukup menjanjikan, apalagi usianya masih muda. Satu hal yang menarik adalah, Lucas Digne merajah tubuhnya dengan gambar bintang-bintang. Mengingatkan saya kepada salah satu pemain kesayangan yang juga berkewarganegaraan Prancis dan mempunyai tatto bintang,  Philippe “Rugantino” Mexes. Secepatnya, Roma harus mendapatkan pemain yang berposisi bek kiri, siapapun itu. Bergantung dengan Ashley Cole sama saja dengan mimpi untuk bisa kencan dengan Raisa Andriana.
Lalu skenario apa yang seharusnya dijalankan oleh Roma di bursa transfer musim ini. Pertama, pertahankan Romagnoli sebisa mungkin. Kita tak bisa mengharapkan penampilannya akan seperti musim lalu dari pemain yang digadang-gadang sebagai the next Nesta tersebut. Namun, ketimbang menjual bek tengah dan mencari lagi bek tengah sama saja dengan gali lubang tutup lubang. Apalagi di bursa transfer kali ini, tak terlihat gelagat Roma untuk mendatangkan bek tengah. Kedua, menjual Destro, Gervinho dan Doumbia. Kesalahan besar Sabatini musim lalu adalah membeli Seydou Doumbia. Kualitasnya sungguh tak sesuai dengan ekspektasi, hanya dua gol yang dia cetak. Untuk Destro, pemain tersebut memang tak betah di Roma. Ia mengharapkan supaya bisa bermain reguler, solusinya cuman satu, jual saja ketimbang menjadi duri dalam skuad inti. Begitu juga dengan Gervinho, toh Roma juga sudah punya Iturbe dan Ibarbo. Florenzi juga kerap diplot sebagai sayap. Mumpung harganya masih tinggi, tak ada salahnya untuk menjual Gervinho, biarpun secara skill masih dibutuhkan oleh skuad semacam AS Roma dan sesuai dengan gaya bermain Rudi Garcia. Lagi pula Roma sudah deal dengan Mohamed Salah. Pemain Mesir tersebut juga sudah berlatih dengan tim utama. Hanya saja, Fiorentina masih ngeyel dan menganggap bahwa mereka masih punya hak peminjaman Salah dari Chelsea satu musim lagi. Pundi-pundi uang dari transfer ketiga pemain tadi bisa dialokasikan untuk membeli Dzeko serta meminjam Mohamed Salah. Ingat, Roma bukan PSG, Real Madrid ataupun Manchester City yang bisa seenaknya membuang-buang jutaan euro untuk belanja pemain. Prinsipnya, harus ada pemain yang keluar apabila ingin mendatangkan pemain baru.


Detik-detik menuju tutupnya bursa transfer memang masih lama. Jadi, bersiap-siaplah dengan transfer madness musim ini. Sebagai penggemar Roma, saya sangat mengharapkan tangan emas Walter Sabatini. Seperti ketika dia berhasil menggaet Strootman dan Kostas Manolas. Ataupun mendatangkan Jose Holebas menjelang tutupnya bursa transfer musim kemarin. Kalau perlu Ashley Cole juga dijual musim ini dan tiba-tiba Sabatini berhasil merayu Adriano atau Ricardo Rodriguez, hihihi. Mungkin itu hanya mimpi, tapi kota Roma kan memang ditakdirkan untuk diselimuti keajaiban bukan ? Forza La Magica Roma !!!

Selasa, 17 Maret 2015

Menanti Laga Pamungkas Copa Del Rey 2015


Dua gol yang dicetak oleh Aduriz dan Etxeita ke gawang Espanyol berhasil mengantarkan Athletic Bilbao melaju ke final Piala Raja Spanyol. Klub yang bernama resmi Athletic Club tersebut berhak lolos dengan agregat 3-1 atas Espanyol. Tropi Copa Del Rey merupakan target paling realitis bagi Los Leones. Apalagi setelah mereka terlempar dari fase 32 besar UEFA Europe League. Mereka juga memastikan bonus tiket otomotis berlaga di Europe League musim depan. Sebab, musuh mereka di final besok adalah Barcelona. Sejauh ini, Barcelona masih memimpin klasemen La Liga, sedangkan Athletic Bilbao berada di peringkat delapan. Menang atau kalah, jatah Europe League sudah dikunci oleh anak asuh Ernesto Valverde. Teramat mustahil, Barcelona terlempar dari empat slot kursi Liga Champions yang dimiliki kompetisi La Liga. Apalagi bagi klub sebesar Barcelona, tampil di ajang kelas dua macam Europe League merupakan takdir yang memalukan.

Kekalahan Espanyol tentu mengubur penantian panjang masing-masing suporter yang ingin menyaksikan Derby Catalonia di laga pamungkas tersebut. Maklum, terakhir kali Espanyol dan Barcelona bertemu di laga pamungkas Copa Del Rey terjadi sekitar 58 tahun yang lalu.  Akan tetapi, kesuksesan Athletic Bilbao dan Barcelona melaju ke final juga dianggap sebagai momentum penting bagi kedua kubu. Terhitung sudah sembilan kali mereka bertemu di laga pamungkas Copa del Rey. Di sisi lain, final tersebut seakan mengingatkan peristiwa 20 tahun yang lalu. Ketika Athletic Bilbao berhasil menjungkalkan Maradona dkk di Stadion Santiago Bernabeu, bahkan diakhiri dengan perkelahian antar pemain. Kala itu, rivalitas antara Athletic Club dengan Barcelona sedang memanas.
Disatu sisi, laga final yang mempertemukan Barcelona dan Bilbao ini membuat pening federasi sepakbola Spanyol. Sebab, laga final tersebut diyakini kental dengan nuansa politik. Ya, Barcelona kerap dianggap sebagai representasi bangsa Catalan. Sedang Athletic Bilbao mewakili entitas Basque. Kedua bangsa tersebut masih berusaha untuk melepaskan diri dari pemerintahan Spanyol. Lalu, sejauh apa peranan Barcelona dan Athletic Club mewarnai percaturan konflik politik di Spanyol ? Terutama terkait dengan tuntutan kemerdekaan yang terus dilontarkan oleh masyarakat Catalan dan Basque sendiri.

Konflik kedua daerah dengan pemerintah pusat sudah terjadi sejak lama. Terutama disaat meletusnya Perang Sipil Spanyol pada tahun 1936-1939. Perang saudara di Spanyol yang kerap diartikan sebagai gladi resik Perang Dunia II tersebut melibatkan dua kubu, yaitu Republikan dan Nasionalis. Sebab, beberapa negara yang kelak bertarung di jagad Perang Dunia II turut membantu kedua kubu diatas. Misalnya, Italia dan Jerman yang mendukung front Nasionalis. Bahkan, oleh Jenderal Franco, mereka “dihadiahi” sebuah daerah di Basque Country, yaitu Guernica untuk menjajal bom atom. Sedangkan Inggris, Amerika Serikat, Mexico, Uni Sovyet menjadi sekutu blok Republikan. Uniknya, beberapa intelektual serta seniman asing turut mendukung kaum Republikan. Semisal, Ernest Hemingway, Pablo Piccasso, Robert Capa, Leon Trotsky dan George Orwell.

Daerah Catalan dan Basque sendiri didominasi oleh kaum sosialis, komunis dan anarkis. Mereka membela kubu Republikan yang sempat memimpin pemerintahan setelah berhasil menjungkalkan kekuasaan monarki di Spanyol. Kala itu faksi Republikan jengah dengan tindakan otoriter kerajaan Spanyol yang didukung oleh otoritas gereja serta tuan tanah. Pungutan pajak yang teramat tinggi membuat kubu Republikan melakukan kudeta. Mereka juga didukung oleh kaum buruh yang menuntut upah lebih tinggi. Setelah itu kaum Republikan berhasil menguasai pemerintahan Spanyol. Namun pemerintahan mereka mendapatkan tentangan dari kaum Nasionalis yang dipimpin Jenderal Franco. Mereka tetap menginginkan adanya campur tangan pihak kerajaan di tubuh Spanyol. Pada akhirnya Madrid jatuh ditangan Nasionalis.

Setelah itu tampuk kekuasaan berpindah ke kubu Nasionalis yang disokong oleh Falange, partai berpaham fasis. Jenderal Franco lalu dinobatkan sebagai Perdana Menteri Spanyol. Selama pemerintahan fasisme Franco, Catalan dan Basque dibungkam. Mereka dilarang berbincang-bicang dengan bahasa Basque atau Catalan. Pemerintah Spanyol mewajibkan sekolah-sekolah yang berada di kedua wilayah tersebut mengajarkan bahasa Spanyol. Di jalanan, bendera Catalan dan Basque tidak boleh dikibarkan. Apabila ada yang berani melanggar peraturan tersebut, jawabannya hanya ditangkap lalu dibunuh. Biarpun, ada pengecualian ketika warga Basque menggelar txoxo. Yaitu, acara masak bersama sembari bercakap-cakap membincangkan makanan dengan bahasa Basque dan secara khusus hanya dikuti oleh kaum laki-laki. Akan tetapi, secara keseluruhan pemerintahan Franco melarang pemakaian simbol Catalan dan Basque disegala lini. Namun, ada satu tempat yang tidak bisa dikontrol oleh Jenderal Franco, yaitu stadion sepakbola. Masyarakat Basque dan Catalan bebas berbicara dengan bahasanya masing-masing di tempat itu. Di stadion, mereka berduyun-duyun menampakkan simbol-simbol yang berhubungan dengan kedua bangsa tersebut. Di tempat itu, masyarakat Basque dan Catalan merayakan rasa sukacitanya.


Sampai detik ini, sebagian besar masyarakat Catalan menganggap bahwa mereka bukanlah warga Spanyol. Biarpun tetap ada segelintir pihak yang menginginkan agar Catalonia menjadi bagian dari negara Spanyol. Konflik yang mendera Catalonia dengan pemerintah pusat sebenarnya disebabkan oleh problem yang menyangkut masalah identitas, politik dan ekonomi. Faktor-faktor tersebut juga menjadi alasan utama kenapa Euskadi (Basque Country) ingin melepaskan diri dari Spanyol dan Prancis.

Sebelumnya, Barcelona dan Athletic Club sempat bertemu di final Copa Del Rey 2009 dan 2012. Kedua laga tersebut diwarnai insiden menarik, disaat lagu nasional Spanyol didengungkan. Dua kali bertemu di final, baik suporter Blaugrana maupun Los Leones malah menyoraki lagu kebangsaan tersebut. Mereka bahkan membawa peluit untuk menimbulkan suara berisik disaat lagu kebangsaan Spanyol dinyanyikan. Mereka “menghina” lagu kebangsaan masyarakat Spanyol, sebuah kamera sempat menangkap beberapa suporter yang mengacungkan jari tengahnya. Padahal pertandingan tadi dihadiri oleh Raja Spanyol dan beberapa pejabat pemerintahan. Ketika final Piala Raja Spanyol tahun 2009, panitia sudah mengantisipasi adanya insiden tersebut dengan memasang sound sebesar 100.000 watt. Namun, tetap saja sorak sorai yang diluapkan masing-masing pendukung tetap bergema di Stadion Mestalla, Valencia.



Bahkan di final Copa Del Rey 2012, kapten Barcelona yaitu Carlos Puyol serta Xavi Hernandez merayakan kegembiraannya dengan mengibarkan bendera Senyera dan Ikkurina. Senyera merupakan bendera kebangsaan Catalan, sedang Ikkurina milik Basque. Selain itu, kedua klub tersebut paling kerap menunjukkan simbol Catalan atau Basque di setiap pertandingan dibandingkan klub sekota yang lain. Misalnya, di laga Espanyol kontra Athletic Bilbao kemarin. Pendukung Espanyol lebih memilih membawa bendera nasional Spanyol daripada bendera masyarakat Catalan, baik Senyera ataupun Estelada.


Sampai detik ini, federasi sepakbola Spanyol belum memastikan dimana laga final akan digelar. Sebelumnya, mereka sempat memutuskan untuk memakai stadion Santiago Bernabeu. Sayang, presiden Real Madrid menolak keputusan tersebut. Ia berkilah bahwa pada bulan Mei, mereka berencana memperbaiki toilet stadion. Pernyataan tersebut keluar setelah Barcelona dan Athletic Club dipastikan melaju ke final Copa del Rey. Media pun berspekulasi bahwa keputusan Florentino Perez diatas sebagai bentuk larangan atau antisipasi supaya Barcelona tidak merayakan kemenangannya di tanah suci sang rival. Disamping kemungkinan timbulnya protes yang dilancarkan oleh masing-masing pendukung. Perlu diingat, pada bulan November kemarin, Catalonia sempat mengajukan referendum. Namun, pemerintah Spanyol menunda usulan tersebut.

Jauh-jauh hari, federasi sepakbola Spanyol sudah menyiapkan plan B untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut. Opsi terdekat adalah Stadion Vicente Calderon. Akan tetapi, pada minggu yang sama jelang laga final, stadion milik Atletico Madrid tersebut menggelar konser band AC/DC. Stadion Ramon Sanchez-Pizjuan kepunyaan Sevilla juga dijadikan pilihan lain. Problemnya adalah suporter Athletic Club harus menempuh jarak sekitar 1000 km. Stadion lain yang paling fleksibel adalah Mestalla milik Valencia. Sayangnya stadion lawas tersebut kapasitasnya hanya sekitar 55.000.

Bagi anak asuh Luis Enrique, laga final di Santiago Bernabeau dianggap paling ideal. Bayangkan, apabila Barcelona merayakan kemenangannya di tanah Madrid. Mereka akan menginjak-injak kedigdayaan Real Madrid dan meludahi seluruh simbol yang terpampang. Selain itu, kapasitas stadion yang mampu menampung 81.044 penonton juga menjadi keuntungan apabila dilihat dari segi finansial. Kedua kubu sudah memastikan akan membawa ribuan massa di ajang final, setidaknya masing-masing klub akan membawa 40.000 pendukungnya ke Madrid. Kedatangan kedua suporter juga bisa diartikan secara simbolik. Seolah-olah masyarakat Catalan dan Basque “menyerang” kota Madrid sambil meneriakkan “independencia, independencia !” Akan tetapi penolakan Real Madrid bisa kita anggap sebagai keputusan yang wajar. Sebagai warga Spanyol, tentu mereka akan naik pitam apabila mendengar atau melihat simbol negara dan lagu kebangsaan mereka dihina oleh masyarakat Catalan dan Basque.

Barcelona dan Athletic Club kerap dianggap sebagai klub klasik di Spanyol. Rivalitas antara Barcelona dan Athletic Bilbao sempat memanas pada medio 80an. Bersama Real Madrid, mereka belum pernah terdegradasi ke Segunda Division. Sejauh ini, Barcelona mengoleksi 26 gelar Piala Raja Spanyol dari 36 laga final yang pernah mereka jalani. Sedangkan Athletic Club sudah merasakan final sebanyak 26 kali dan membawa pulang tropi Copa del Rey sebanyak 23 gelar.

Disisi lain, pembinaan akademi mereka termasuk kategori jempolan di Spanyol. Nama La Masia sudah dikenal sebagai gudangnya pemain-pemain kaliber. Sedang La Lezema milik Athletic Club juga lumayan disegani sebagai pabrik yang konsisten menelurkan pemain berdarah Basque. Mungkin, nama-nama pemain Athletic Club tidak sehebat didikan La Masia. Pengembangan akademi pemain jelas menjadi fokus utama Los Leones. Sebab, klub yang bermarkas di San Mames tersebut menerapkan kebijakan khusus dalam segi transfer pemain. Sampai detik ini mereka hanya merekrut pemain keturunan Basque. Aturan tersebut sebenarnya sempat diterapkan oleh rival mereka, yaitu Real Sociedad. Namun di tahun 1989, mereka mulai merekrut pemain non Basque karena aturan tadi dirasakan memberatkan klub. Kebijakan tersebut sebenarnya menguntungkan dari sisi finansial. Sebab klub lebih leluasa memanfaatkan jasa pemain dari akademi mereka. Akan tetapi, acuan “pemain keturunan Basque” yang diterapkan oleh Athletic Club juga banyak diperdebatkan oleh beberapa pengamat. Mengenai rincian kebijakan tersebut akan dibahas dilain waktu.
Kebijakan transfer yang dipakai oleh Athletic Club tersebut secara simbolik menyatakan rasa cinta mereka terhadap suku Basque. Disamping itu, Athletic Club juga dikenal dekat PNV (Partido Nationalista Vasco/Basque Nationalist Pary), salah satu partai besar di Basque Country. Beberapa anggota PNV menduduki posisi penting di struktur organisasi Athletic Bilbao. Di sisi lain, Barcelona memang tidak menerapkan aturan khusus untuk memakai pemain Catalan di timnya. Akan tetapi, pemain berdarah Catalan selalu menghiasi skuad Barcelona. Untuk musim ini kita bisa menyebut nama-nama seperti Xavi Hernandez, Pique, Busquet ataupun Martin Montoya. Semboyan milik Barcelona, yaitu “Mes que un club” (Something more than a club) juga mengartikan bahwa mereka bukanlah sekedar klub sepakbola. Representasi Catalan sangat melekat di dalam tubuh Barcelona.

Federasi sepakbola Spanyol berjanji akan memastikan venue final Copa del Rey pada tanggal 25 Maret. Belum lama, Javier Tebas selaku presiden La Liga, melontarkan gertakan kepada pendukung Barcelona dan Athletic Bilbao. Dirinya mengancam akan menghentikan laga final apabila masing-masing suporter bersiul ketika lagu kebangsaan Spanyol dinyanyikan. Biarpun laga final besok sarat akan unsur politis. Kita pun bisa menampiknya dengan pendapat yang cukup ironis. Kita tahu bahwa laga tersebut ibarat sebuah hadiah dari seorang raja untuk rakyatnya. Pertanyaannya, kenapa Barcelona dan Athletic Bilbao berambisi untuk meraihnya ? Mengingat, masa lalu Catalonia dan Basque pernah dilumuri darah, akibat kebencian mereka terhadap seorang raja. Esperanza Aguirre, seorang politikus senior di Spanyol sempat menyampaikan kritikannya di koran El Mundo. Klub yang “membenci” Spanyol seharusnya tidak boleh berpartisipasi di ajang Copa del Rey selama-lamanya. Apakah Real Madrid sudi menyewakan stadionnya sehari saja demi keberlangsungan final Piala Raja Spanyol besok ? Ataukah, fans Barcelona dan Athletic Club harus melawat ke Valencia ? Baiklah, kita nantikan saja laga yang akan digelar pada 31 Mei besok.

Jumat, 13 Februari 2015

Viareggio Cup : Karnaval Talenta-talenta Muda di Italia


Di bulan Februari ini, negeri Italia menggelar kembali kompetisi Viareggio Cup atau Torneo di Viareggio. Ajang unjuk gigi talenta-talenta muda, baik dari Italia sendiri maupun dari luar negeri. Beruntung sekali, pada kompetisi Viareggio Cup ke 67 tersebut, salah satu klub dari Indonesia diundang, yaitu Pro Duta. Banyak pengamat yang menganggap, Viareggio Cup merupakan ajang prestisius untuk menapaki ke jenjang berikutnya. Kompetisi yang nama resminya adalah Viareggio Cup World Football Tournament tersebut bahkan lebih bergengsi ketimbang kompetisi reguler antar Primavera di Italia. Baik, Campionato Nazionale Primavera ataupun Coppa Primavera.

Viareggio Cup digelar oleh CGC (Centro Giovani Calciatore) Viareggio. Sebuah organisasi yang terbentuk pada tahun 1947 dan fokus pada pembinaan olahraga (atletik, hockey, basket, voli dan sepakbola). Tentunya CGC Viareggio bekerjasama dengan CONI, FIGC, UEFA serta FIFA dalam penyelenggaraan kompetisi tersebut. Torneo di Viareggio baru digelar dua tahun kemudian setelah berdirinya CGC. Ajang sepakbola khusus untuk tim U-21 (baik klub ataupun negara) tadi juga kerap disebut Coppa Carnevale. Mengingat, waktu penyelenggaran turnamen bersamaan dengan Viareggio Carnival. Karnaval tahunan tiap bulan Februari yang digelar oleh Region Tuscany sejak tahun 1873. Nah, di kompetisi pertamanya, mahkota Viareggio Cup berhasil direbut oleh AC Milan. Kala itu, panitia sudah mengundang beberapa klub non Italia. Yaitu Nice dan Rapid Menton dari Prancis, serta Bellinzona dari Swiss.

Format Viareggio Cup selalu berubah-ubah sejak 1949 hingga sekarang. Statistik serta format kompetisi tersebut, bisa kita cek di web RSSSF berikut. Perubahan secara berkala selalu mereka lakukan untuk memperbaiki kualitas turnamen. Mengundang klub-klub asing tentu akan meningkatkan daya tawar Coppa Carnevale sebagai ajang internasional. Mereka pun mulai menambah kuota peserta menjadi 48 tim sejak tahun 2006. Di ajang pertama, Viareggio Cup hanya diikuti 10 tim. Beranjak ke turnamen tahun kedua, 12 tim mereka undang. Berikutnya, di tahun 1951 hingga 1974, Coppa Carnevale mulai diikuti 16 tim dengan sistem gugur. Pengecualian untuk tahun 1957 dan 1959 yang hanya diikuti 8 tim.

Di tahun 1975, mereka mulai memakai sistem grup. Kompetisi dibagi menjadi empat grup yang diikuti 16 tim. Peringkat 1 dan 2 di masing-masing grup berhak lolos babak berikutnya. Sistem tadi bertahan hingga gelaran Viareggio Cup ke 42. Sistem kembali dirubah di tahun 1990, dimana setiap peserta terbagi ke dalam 8 grup. Setiap grup diisi 3 tim dan hanya juara pertama saja yang berhak lolos ke babak perempatfinal. Sistem paling rumit terjadi dari tahun 1991 hingga 1997. Misalnya, di tahun 1991, Coppa Carnevale terbagi menjadi enam grup. Di dalam satu grup, empat tim tidak saling bertemu satu sama lain. Melainkan tim A akan melawan tim B dua leg, begitu pula dengan tim C dan D. Dua tim yang lolos secara agregat tersebut akan bertemu untuk menuju ke perempatfinal. Mengingat dari masing-masing grup hanya bisa meloloskan enam tim. Maka, dua tim lain yang diperbolehkan untuk melaju ke babak berikutnya adalah mereka yang unggul berdasar agregat gol. Misalnya, kasus di Grup C dan Grup E kala itu. Bologna melawan Bari berakhir imbang, 0-0. Sedang Roma dan Torino berkesudahan 1-1. Tak ada yang menang, tapi keempat tim tersebut berhak lolos ke perempatfinal karena di empat laga lain, terdapat tim yang menderita kekalahan.Peraturan semacam itu juga dipakai kembali di Viareggio Cuo 1992. Hanya saja, di fase grup mereka saling bertemu satu sama lain. Dua tim terbaik akan lolos ke fase 2nd round. Nah, di babak ini, peraturan agregat gol berlaku. Pada saat itu, fase 2nd round berkesudahan sebagai berikut :

Torino 1-1 Roma [6-5 pen]
Bari 2-1 Napoli
Parma 3-2 Cesena
Milan 5-0 Modena
Fiorentina 2-0 Inter
Atalanta 1-0 Dinamo Moscow

Biarpun menderita kekalahan, Roma dan Dinamo Moskow diperbolehkan maju ke babak perempatfinal karena menjadi tim terbaik diantara tim-tim yang kalah (best losers). Model semacam itu terus berjalan hingga tahun 1996. Karena di tahun 1997, Viareggio Cup sudah memakai sistem delapan grup. Biarpun, di tahun 1994, dua belas tim yang lolos dibagi lagi kedalam dua grup di fase 2nd round. Namun, prinsipnya tetap sama, tim yang menjadi best loser tetap akan lolos ke babak perempatfinal. Hanya saja, di tahun 1996, ada sebutan lucky losers di fase second round. Saat itu diterima Parma dan Bari.

Penambahan kuota peserta kembali terjadi di tahun 1997-1999. Viarregio Cup mulai dikuti 32 tim dan dibagi ke dalam 8 grup. Selanjutnya, eksebisi di tahun 2000-2005, mereka mengundang 40 tim yang dipisahkan ke dalam 10 grup. Pengoleksi nilai terbaik serta agregat terbaik untuk peringkat 1 dan 2 di masing-masing grup, berhak melaju ke babak 16 besar. Di ajang yang ke 58, Viareggio Cup mulai diikuti 48 tim dan terbagi menjadi 12 grup. Format tersebut bertahan hingga tahun 2013. Kecuali kompetisi di tahun 2009 yang hanya memakai 10 grup. Selanjutnya, peserta Coppa Carnevale kembali disusutkan menjadi 32 tim pada tahun 2014 hingga saat ini.

Mulai tahun 2009, laga perebutan tempat ketiga dihapus oleh panitia. Namun, di tahun yang sama, mereka mulai memberikan predikat pemain terbaik ( Torneo di Viareggio Golden Boy). Pemain pertama yang disematkan gelar tersebut adalah Guido Marilungo. Sedangkan tahun kemarin diraih Alberto Cerri dari Parma.

Ajang Silaturahmi antar Klub se-Dunia

Apabila dilihat dari segi mutu dan kualitas permainan, turnamen Viareggio Cup memang layak dicap sebagai kompetisi skala internasional. Biarpun, baru-baru ini pihak AC Milan mengeluarkan pernyataan mengenai buruknya kualitas lapangan. Selepas menerima kekalahan atas PSV, Filipo Galli selaku kepala akademi AC Milan menyatakan, mungkin tahun ini merupakan partisipasi terakhir mereka di ajang tersebut. Ketika menonton siaran langsung AS Roma melawan Belgrano, saya juga berpendapat bahwa lapangannya sangat buruk sekali. Sulit untuk melakukan umpan-umpan datar dan pendek. Namun, patut diakui, secara keseluruhan fasilitas akademi sepakbola di Italia memang tidak sebagus di negara lain. Misalnya, di Spanyol, Jerman, Belanda, Belgia ataupun Inggris. Apalagi di Viareggio, fasilitas pembinaan sepakbola tidak semoncer milik Atalanta, Empoli, AS Roma atau AC Milan. Terlepas dari segala kontroversialnya, ajang Viareggio Cup tetap layak dinikmati. Sebab, kompetisi tersebut menjadi ajang pertemuan antar talenta-talenta muda sedunia. Biarpun kurang kompetitif jika mencermati komposisi tim yang turut berlaga.

Sejak awal kompetisi, klub-klub luar Italia sudah diundang untuk berpartisipasi. Biarpun secara keseluruhan, mayoritas peserta kompetisi Viareggio Cup adalah klub dari Italia. Setidaknya, perwakilan antar benua sudah pernah menikmati Coppa Carnevale. Pada awalnya, panitia hanya mengundang klub dari Italia serta sekitaran Eropa. Tim luar Eropa yang pertama kali mencicipi kompetisi tersebut adalah Boca Juniors, pada tahun 1970. Selanjutnya, klub-klub dari benua lain pun mulai turut mengikuti Viareggio Cup. China misalnya, mereka menjadi negara Asia pertama yang menjajal Torneo di Viareggio. Kala itu mereka diwakili sebuah tim yang bernama, Beijing Youth. Indonesia juga boleh berbangga, sebab mereka merupakan negara di Asia Tenggara yang pertama kali mengikuti ajang tersebut. Di tahun 1994, Indonesia berada di grup A, bersama dengan Napoli, Torino dan Cosenza. Sayang, mereka tak mampu lolos ke fase berikutnya. Bahkan gawang Indonesia menjadi pundi-pundi gol bagi ketiga kompetitornya.

Sejauh ini, wakil dari Asia Tenggara hanyalah Indonesia dan Malaysia. Di tahun 2007 dan 2008, Malaysia mengirimkan timnya ke Italia, yaitu Malaysia Indian. Nasibnya tak jauh beda dengan Indonesia, dua tahun mengikuti Viareggio Cup, Malaysia Indian selalu menempati juru kunci. Kenyataan tersebut juga dirasakan Pro Duta FC baru-baru ini. Di pertandingan pertama, mereka dibantai 6-0 oleh Parma yang diasuh Hernan Crespo. Biarpun pulang dengan tangan hampa, satu hal yang penting bagi mereka adalah pengalaman. Benua Afrika tidak ketinggalan untuk mengirimkan perwakilannya. Beberapa tim yang sempat ambil bagian di ajang tersebut adalah Aljazair, Nairobi (Kenya) dll. Citra internasional semakin terasa, ketika Australia mulai mengirimkan tim ke ajang tersebut. Di tahun 1998, Club Marconi menjadi perwakilan pertama dari negeri Kangguru. Nah, pada tahun 2002, Leichhardt Tigers mewakili Australia untuk tampil di ajang Viareggio Cup. Klub yang berasal dari Sydney tersebut unik, sebab didirikan oleh komunitas imigran Italia yang tinggal di Australia. 

Salah satu hal yang menarik adalah kompetisi ke 54. Saat itu, panitia mengundang dua perwakilan dari Israel dan Palestina. Tidak bermaksud untuk merujuk ke arah politik, namun masing-masing kubu tidak bertemu dalam satu grup. Kita bisa menafsirkan bahwa sepakbola berusaha menyatukan perpecahan yang disebabkan hal-hal berbau rasial. Salah satu sisi positifnya adalah Viareggio Cup mampu mengundang dua negara yang sedang berkonflik. Di tahun itu, untuk pertama kalinya Viareggio Cup didatangi para pemuda dari seluruh benua di dunia. Masing-masing benua mengirimkan perwakilannya di kompetisi Coppa Carnevale 2002. Di gelaran yang sama, New York United ikut serta mewakili Amerika Serikat. Keberanian panitia saat itu patut diacungi jempol. Mengingat, iklim politik internasional sedang memanas pada tahun-tahun tersebut. Isu terorisme semakin menguat setelah tragedi 9/11. Selain itu, Amerika Serikat juga menginvansi Irak dua tahun sesudahnya. Viareggio Cup secara tersirat menyatakan, bahwa sepakbola bisa menjadi arena untuk mencapai perdamaian.

Peristiwa menarik juga terjadi di tahun 2000. Saat itu, Maccabi Haifa (Israel) berada satu grup dengan Lazio. Sejarah berkata, bahwa Lazio menjadi basis suporter getol mengeluarkan slogan-slogan anti-semit. Hal tersebut menjadi perhatian bagi presiden Lazio saat itu. Di bulan September 2001, Sergio Cragnotti memutuskan untuk mengikuti laga persahabatan yang digelar di Stadion Olimpico, Shalom Cup namanya. Suporter garis keras Lazio sempat mengecam dan memboikot adanya pertandingan tersebut. Karena Lazio akan menghadapi Maccabi Haifa dan ASEC Abidjan (Pantai Gading). Pertemuan antara Lazio dengan Maccabi Haifa tersebut, baik ditingkat junior ataupun senior layak diapresiasi. Tentu, citra Lazio yang buruk bisa sedikit terhapus dengan adanya pertandingan diatas. Hal tersebut juga menjadi harapan Sergio Cragnotti kala itu.

Sedikit tambahan, Shalom Cup sebenarnya sudah digelar sejak tahun 2000. Laga persahabatan yang bertujuan untuk mendukung terciptanya perdamaian di tanah Arab. Saat itu sedang bergejolak konflik antara Israel dengan negara-negara Arab. Tiga klub bertemu satu sama lain dengan durasi 45 menit/pertandingan. Tiga klub yang berlaga saat itu adalah AS Roma, Beitar Jerusalem (Israel) dan Waquass (Jordania).

Secara sekilas, partisipasi antar negara menunjukkan bahwa Viareggio Cup merupakan ajang yang patut diperhitungkan. Mengingat, kompetisi reguler U-21 yang melibatkan klub di seluruh dunia jarang digelar. Kalaupun ada, turnamen tersebut sifatnya lebih ke ajang persahabatan dan tidak berlangsung secara tahunan. Kompetisi yang mempertemukan antar negara menjadi nilai plus bagi Viareggio Cup. Selain menjadi ajang pamer para talenta muda, Coppa Carnevale merupakan karnaval para pemuda dari antar negara dan saling bergandengan satu sama lain.

Menengok Kembali Lulusan dan Pemenang Viareggio Cup


Kurang lengkap rasanya apabila tidak membahas beberapa pemain top dari Italia yang sempat menjajal Viareggio Cup. Kita tahu bahwa Italia berhasil merebut Piala Dunia untuk ketiga kalinya di tahun 1982. Rata-rata skuad yang diusung oleh Italia saat itu merupakan jebolan turnamen Viareggio. Misalnya, Dino Zoff muda yang sempat menjajal Viareggio Cup bersama Udinese. Nama-nama lainnya seperti, Paolo Rossi, Franco Baresi, Fulvio Collovati, Gaetano Scirea, Giancarlo Antognoni, Ivano Bordon, Gabriele Oriali, Franco Causio, Bruno Conti serta Francesco Graziani. Lalu, Italia kembali meraih gelar keempat mereka di tahun 2006. Seakan-akan tuah Viareggio kembali melengkapi kesuksesan negeri Pizza tersebut. Skuad yang dibawa rata-rata pernah menikmati turnamen Viareggio Cup. Seperti, Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, Gattusso, Del Piero, Totti, De Rossi, Luca Toni, Angelo Peruzzi, Nesta, Amelia, Inzaghi, Barone, Oddo, Perrotta, Zambrotta serta Andrea “the architect” Pirlo. Tuah Viareggio semakin terbukti, mengingat Marcelo Lippi berasal dari daerah tersebut.

Beberapa pemain lain patut disebutkan, biarpun mereka tidak pernah meraih gelar Piala Dunia. Namun setidaknya sempat merumput bersama timnas Italia. Misal beberapa pemain yang sudah gantung sepatu atau bahkan sudah tiada. Antara lain Giancinto Fachetti, sang kapten juara Euro Cup 1968 lalu Sandro Mazzola, Pierino Prati, Giancarlo De Sisti, Aldo Maldera atau Francesco Rocca. Untuk pemain yang besar di era 90an hingga 2000an, ada Roberto Mancini, Gianluca Vialli, Giuseppe Gianinni, Angelo Di Livio, Walter Zenga, Pagliuca, Panucci, Ferrara, Di Biaggio, Costacurta, Tacchinardi serta Paolo Maldini.

Generasi Viareggio Cup di era 2000an terus berkibar sampai sekarang. Kompetisi tersebut setidaknya berperan menghasilkan talenta-talenta Italia yang sampai detik ini masih kita lihat keahliannya mengolah bola. Siapa yang tidak mengenal si bengal Antonio Cassanno, lalu Alberto Aquilani, putra Roma yang rawan cedera, duo bek tangguh Chiellini dan Bonucci atau mungkin Morgan De Sanctics. Disamping itu, ada pula beberapa nama yang sampai sekarang masih berkesempatan untuk membela timnas Italia. Seperti, Marchisio, Candreva, Cerci, Florenzi, Insigne, Perin, El Shaarawy, Balotelli, Destro, Bertolacci, Immobile, Gabbiadini, Simone Zaza, Cristante, Romagnoli hingga si wonderkid, Domenico Berardi. Yak, mereka semua pernah mengenyam turnamen Viareggio Cup.

Apabila penjelasan diatas lebih fokus kepada pemain dari Italia. Kali ini, mari kita telusuri beberapa pemain non Italia yang pernah mengikuti Coppa Carnevale. Jadi, sebelum Gabriel Batistuta merumput bersama Fiorentina, ternyata legenda Fiorentina tersebut pernah “merasakan rumput” di Italia bersama Deportivo Italiano di tahun 1989. Di tanah Italia, dirinya berhasil mengemas tiga gol. Batistuta dkk tergabung di dalam grup B, satu grup dengan Milan, Napoli dan CSKA Sofia. Sayang, laju Deportivo Italiona terhenti di babak perempatfinal. Mereka kalah adu penalti dengan juara Coppa Carnevale 1989, yaitu Torino. 

Batistuta hanyalah satu diantara ratusan pemain non Italia yang pernah mendatangi Viareggio Cup. Nicolas Burdisso, Zalayeta, Edinson Cavani, Cafu, Marquinhos serta Icardi adalah beberapa nama dari Amerika Latin yang rela berlayar ke Italia demi berkompetisi di Viareggio Cup. Di kancah Eropa tentunya kita mengenal Gareth Southgate, P. Neville, West Brown, Owen Hargreaves, Andy Carroll, Philip Lahm, Bastian Schweinsteiger, Radja Nainggolan, Aubameyang, F. Djordjevic, Lukaku, Varane hingga Julian Draxler. Pemain-pemain tersebut pernah menghiasai Torneo di Viareggio ketika masih menggayuh ilmu di tim U-21.

Diatas diceritakan apabila di tahun 2009, Viareggio Cup mulai memberikan hadiah bagi pemain terbaik di kompetisi tersebut. Entahlah, bisa disebut sebagai kutukan atau tidak. Sejauh ini, sudah ada lima pemain yang memperoleh gelar Torneo di Viareggio Golden Boy. Diawali Guido Marilungo (2009), Ciro Immobile (2010), Simone Dell’Agnello (2011), Leonardo Spinazzola (2012), Bryan Cristante (2013) dan Alberto Cerri (2014). Akan tetapi, apabila dilihat sampai detik ini, karir mereka tidaklah fenomenal. Mengenai Simone Dell’Agnello serta Leonardo Spinazzola, saya tidak bisa memberi komentar. Namanya saja baru saya dengar sekarang. Sedang Guido Marilungo, gak asing sih, ya karena namanya kerap malang melintang gitu di game Football Manager. Ciro Immobile mungkin sempat bersinar ketika membela Torino dan berhasil menjadi capocannoniere Serie A musim kemarin. Namun, karirnya sekarang bisa dibilang malah anjlok. Atau mungkin masih perlu adaptasi bersama Borrusia Dortmund. Begitu juga dengan Cristante yang sampai detik ini masih ditunggu tuah “wonderkid”nya. Karir mudanya dihabiskan di akademi AC Milan, kemudian dilego ke Benfica dan sejauh ini baru memainkan empat laga. Terakhir, ada striker jangkung Alberto Cerri yang juga menyandang predikat wonderkid di Football Manager. Mungkin, masih terlalu hijau untuk membicarakan karirnya. Semoga saja karir buruk tidak menimpa Alberto Cerri serta para penerusnya.

Tahun 2015 merupakan gelaran Viareggio Cup ke 67. Itu berarti sudah ada 66 gelar yang diserahkan kepada sang juara tiap tahunnya. AC Milan boleh berbangga, selain mendapat kehormatan sebagai pemenang pertama kali Viareggio Cup. Klub yang bermarkas di Milanello tersebut juga menyandang predikat sebagai peraih trofi terbanyak. Total, sembilan gelar Viareggio Cup telah mereka raih. Keberhasilan di ajang Viareggio Cup bagi AC Milan dirasa cukup menggembirakan, sebab mereka sama sekali belum pernah merasakan gelar di kompetisi Campionato Nazionale Primavera. Sayang, di kompetisi yang ke 67 ini, mereka gagal mempertahankan gelar karena sudah tereliminasi sejak fase grup.

Di bawah AC Milan ada Juventus dan Fiorentiona, masing-masing mengoleksi delapan piala. Disusul Dukla Praha, Inter Milan serta Torino yang sudah meraih enam gelar. Lalu Sampdoria (4x), AS Roma (3x), Atalanta (2x), Genoa (2x) serta Vicenza (2x). Sisanya ada Anderlecht, Bari, Bologna, Bresica, Cesena, Empoli, Juventud de Las Piedras, Napoli, Partizan Belgrade dan Sparta Praha yang sejauh ini baru mendapatkan satu gelar Viareggio Cup. Partizan Belgarde menjadi tim pertama dari luar Italia yang berhasil menyabet piala. Di tahun 1951, kemenangan mereka atas Sampdoria mengakibatkan trofi Viareggio Cup harus singgah sebentar di Yugoslavia.

Sekali lagi, kita boleh berpendapat bahwa Viareggio Cup merupakan kompetisi U-21 yang prestisius. Tujuannya memang untuk pengembangan sepakbola. Namun, apabila Viareggio Cup kita ibaratkan sebagai sebuah bunga, kok kurang harum wanginya. Predikat kompetisi internasional memang layak disematkan. Namun, turnamen Coppa Carnevale rasanya kurang menggigit dan tidak terlalu kompetitif. Ketika melihat dominasi tim Italia memenangi kompetisi diatas. Sebaiknya, Viareggio Cup mengundang akademi-akademi yang notabene dicap berhasil. Disamping mengundang akademi kelas dua yang tujuannya untuk mengembangkan sepakbola dan memberikan mereka pengalaman. Kuota akademi dari Italia mungkin bisa dikurangi. Kita tunggu tahun depan, apakah Viareggio Cup berani mengajak dan mengumpulkan akademi sepakbola terbaik di dunia menjadi satu. Seperti, Barcelona, Southampton, West Ham, Manchester United, Santos, Gremio, Argentinos Junior, Benfica, Sporting CP, River Plate, Boca Juniors, Standard Leige, Mimosas, Feyenoord, Ajax, Dinamo Zagreb, Partizan Belgrade, Anderlecht dll.

Viareggio merupakan daerah yang bersejarah dalam sepakbola Italia. Di tempat itu, untuk pertama kalinya seorang hakim garis tewas karena tidak sengaja ditembak oleh polisi yang sedang berusaha menghentikan kerusuhan antar suporter yang turun ke lapangan. Selanjutnya, Viareggio menjadi tempat penting bagi FIGC. Digelar sebuah pertemuan petinggi-petinggi sepakbola Italia disana dan menghasilkan Viareggio Charter. Muncul kesepakatan, disetiap pertandingan hanya boleh ada satu pemain asing di lapangan. Selain itu, pertemuan tersebut juga menjadi awal babak baru (era) profesional sepakbola Italia.

Sebagai penutup, mari kita membuat prediksi, tim mana yang menjadi juara Viareggio Cup tahun ini. Sampai tulisan ini selesai dibuat, Coppa Carnevale sudah mencapai babak perempatfinal. Adapun hasilnya sebagai berikut : 1) AS Roma vs Atalanta (1-1*), 2) Inter Milan vs Pescara (3-1), 3) Spezia vs Fiorentina (0-3), 4) Verona vs Napoli (3-2 pen). Sedianya, babak semifinal akan digelar dua hari kemudian. Inter Milan masih menunggu hasil akhir antara Roma dan Atalanta. Sedangkan Fiorentina dipastikan melawan Verona. Karena saya fans AS Roma, ya jelas dong kalau menebak juara tahun ini adalah mereka. Forza Roma !