"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Kamis, 15 Mei 2014

All I want is a Roman.. ( Percakapan Pertama )

Belum lama ini, mantan PM Italia, Silvio Berlusconi mengutarakan kegelisahannya terhadap sepakbola Italia dewasa ini. Beliau mengomentari dominasi pemain asing di final Coppa Italia yang berlangsung pekan lalu. Lantaran, hanya Aquilani dan Insigne yang mewakili Italia di line up utama kedua kubu. Selebihnya diisi oleh pemain-pemain impor. Padahal pertandingan Napoli kontra Fiorentina tadi disaksikan oleh PM Italia, Matteo Renzi serta Cesare Prandelli selaku pelatih timnas. Beruntung muka Italia masih diisi dua pemain lagi, yaitu Matri dan Giuseppe Rossi yang sejatinya lahir di Amerika.
Kegelisahan Berlusconi diatas patut direnungkan oleh klub-klub di Italia. Sebelum Berlusconi, mantan presiden Rosella Sensi juga jengah dengan migrasi pemain asing di Italia. Menurut putri Franco Sensi tersebut, pemain asing yang singgah di Italia merupakan pesepakbola buangan alias kelas dua. Mungkin saja dirinya merujuk pada beberapa pemain semacam, Higuain, Callejon, Tevez, Llorente, Kaka dll. Patut diapresiasi kritikan pedas Rosella Sensi diatas. Biarpun komentar tersebut bagaikan menjilat ludah sendiri. Sebagai fans AS Roma, saya ingat benar saat di masa kepemimpinan Rosella Sensi, beliau juga melakukan hal yang sama. Cicinho, Julio Baptista, Gago, Adriano. Apa kabar kalian ?
Oke, sebelum tulisan ini muncul, saya sempat posting curhatan mengenai Roma dan Champions League. Setelah memastikan lolos ke Liga Champions musim depan, tentu ada banyak PR untuk membenahi segala lini. Seperti yang disampaikan oleh Rudi Garcia, bahwa skuad AS Roma musim depan harus kompetitif. Apalagi ada beberapa aturan yang wajib dipatuhi oleh AS Roma sebagai syarat tampil di Liga Champions. Antara lain pemain homeground serta Financial Fair Play (FFP). Apabila pernah bermain FM 14, istilah tersebut tentu sudah akrab ditelinga.
Mengenai FFP, saya memang tidak terlalu paham. Sepengetahuan saya, klub yang tampil di kompetisi kontinental Eropa, keuangannya harus sehat. Masing-masing klub dilarang menderita kerugian diatas 45 juta euro. Aturan tersebut diterapkan mulai musim depan. Namun UEFA sudah melakukan ujicoba FFP ditahun ini. Situs Bola Total pernah membahas tentang aturan FFP, dugaan mereka aturan finansial tersebut justru membuat sepakbola semakin komersial. Lebih jelasnya silahkan baca artikel berikut, “Sisi Lain Financial Fair Play”.
Selanjutnya tentang aturan homeground player. Dari 25 pemain yang didaftarkan ke Liga Champions, delapan diantara mereka harus berstatus homeground. Apa itu homeground ? mengutip kicauan akun sepakbola @bolatotal, homeground adalah pemain yang “sudah terdaftar selama tiga musim penuh di satu atau lebih klub dalam satu asosiasi tertentu sebelum berusia 21 tahun”. Sebenarnya sejak musim 2008/09, UEFA sudah menerapkan aturan diatas. Rumitnya lagi, diantara delapan pemain tersebut, klub wajib mendaftarkan minimal empat pemain asli didikan akademi mereka. Wajar apabila PSG serta Manchester City kelabakan, mengingat mereka lebih senang membeli pemain “jadi”. Ada kabar, kedua klub diatas dikenai sanksi oleh UEFA akibat pelanggaran FFP serta homeground.
Untuk kasus homeground, bagi Roma nampaknya aman-aman saja. Ibaratkan AS Roma mendaftarkan pemainnya di Liga Champions dengan skuad saat ini. Paling tidak kita bisa menyebut Totti, De Rossi, Florenzi serta Romagnoli, empat dari homeground didikan akademi. Berikutnya, sebut saja Nainggolan, De Sanctis, Ljajic, Balzaretti atau Destro. Aku pikir tidak ada masalah dengan aturan homeground.
Mengenai FFP, mungkin baru bisa dicermati ketika bursa transfer sudah dibuka. Karena dapat dicermati dari pengeluaran atau pemasukan transfer klub, keseimbangan gaji, serta sponsor. Saya sendiri kurang paham dengan kondisi keuangan AS Roma sekarang. Memang, belum lama ini muncul berita bahwa AS Roma termasuk dari Top20 Most Valuable Soccer Club versi majalah Forbes. Namun, aku pikir itu belum bisa menjadi patokan. 
Baik, mari kita mulai bercakap-cakap. Kali ini saya mau menguraikan sebuah impian. Serie A tinggal menyisakan satu pertandingan. Pertarungan di papan atas sudah selesai, pertaruhan di zona degradasi juga sudah resmi. Hanya tinggal perebutan jatah Europe League. Apa lagi Serie A ? Yak, gong dimulainya bursa transfer akan segera ditabuh. Masing-masing klub akan saling jegal, bukan lagi Napoli vs Roma, melainkan Roma vs Muenchen. Cakupan wilayahnya begitu luas, dari Italia sampai Inggris, menuju Argentina ataupun Afrika. Intinya, demi menghadapi kompetisi kedepan, apa yang harus dilakukan Roma di kompetisi transfer. Bersiap-siaplah untuk menggerutu atau tertawa, this is Transfer Madness guys...
Sayangnya saya tidak mempunyai kontak telepon Walter Sabatini atau Rudi Garcia. Atau memiliki keahlian untuk menyihir seseorang. Bahkan, aplikasi semacam Football Manager Real Time Editor (FMRTE) di dunia nyata. Apabila semua imajinasi tersebut bisa saya peroleh dari Doraemon, tentu saya akan menyulap AS Roma menjadi tim paling kuat sedunia. Kalaupun boleh bermimpi, saya membayangkan skuad AS Roma diisi oleh pemuda-pemuda yang berasal dari Roma. Lebih tepatnya sih mereka lahir di wilayah yang masih menjadi bagian Region Lazio. Entah itu dari provinsi Roma, Frosinone, Latina, Rieti atau Viterbo. Local youth bung. Huehehehehe.
Katakanlah kebijakan yang masih dianut oleh Athletic Bilbao sampai detik ini kita taruh disistem perekrutan pemain AS Roma. Bilbao memang tim yang unik, kebijakan klub mewajibkan mereka untuk merekrut pemain yang berasal dari Basque Country. Bilbao tidak mungkin membeli Cristiano Ronaldo atau Eden Hazard. Karena kedua pemain tadi punya darah keturunan Basque. Hebatnya lagi, Les Leones bersanding bersama Barcelona dan Real Madrid sebagai klub yang tidak pernah degradasi. Aturan tadi ternyata tidak dipermasalahkan oleh para suporter. Bahkan mereka lebih memilih untuk degradasi ketimbang menghapus kebijakan diatas.
Agak sedikit keras kepala sih kebijakan tersebut. Tapi lucu aja kalau AS Roma menerapkan sebuah aturan bahwa mereka hanya boleh merekrut pemain yang berasal dari region Lazio. Selama ini, AS Roma selalu identik dengan simbol seorang pangeran. Aku kira hal tersebut dipengaruhi oleh faktor sejarah. Maklum, dimasa lampau, kota Roma menjadi pusat Roman Empire. Tidak heran apabila pemimpin atau kapten yang mereka puja, merupakan putra asli Roma. Siapa yang tidak kenal Totti, De Rossi atau Giannini, mereka lahir di Roma. Sebelumnya, sebut saja Rocca "Kawasaki", Agostino Di Bartolomei, Bruno Conti, Giacomo Losi, Atillio Ferrari, Fulvio Bernardini, Amedeo Amedei, dsb. Alangkah menariknya apabila skuad sekarang juga berasal dari Roma atau Region Lazio.

Tapi apakah mungkin hal yang saya uraikan diatas akan terwujud ? aku kira tidak mungkin. Susah sekali mewujudkan tradisi ala Athletic Bilbao, mengingat kebijakan tersebut sudah diterapkan lama oleh mereka. Agak riskan kalau AS Roma coba-coba meniru kebijakan Les Leones. Nah, kalau mayoritas skuad Il Lupi diisi oleh pemuda lokal provinsi Roma dan sekitarnya bagaimana ? emm, besar kemungkinan bisa, karena menyangkut kebijakan UEFA diatas sih. Jadi bagusnya gimana dong ? woles sih, yang penting jangan jadi tim kayak mie instan, xixixixixi.....

Unforgettable : Giorgio Rossi

Suatu ketika, ada sebuah percakapan di Anzio, pinggiran Roma. Di kelas kecil, antara guru dengan sepuluh muridnya. Beberapa murid ada yang menengok ke belakang untuk melihat jam, ada juga yang menoleh ke jendela sebelah kiri. Apabila menengok ke jendela, kita akan melihat sepetak lapangan sepakbola, tidak panjang, tidak pula lebar. Dikelilingi pagar, namun pintunya rusak, ada tiang gawang tapi tidak dihiasi jaring. Si ibu guru mengerti bahwa beberapa muridnya sudah tidak sabar untuk keluar kelas. Putaran jarum memang menunjukkan bahwa waktu di kelas tinggal 10 menit. Sebelum pelajaran sejarah ditutup, sang ibu guru mengajukan satu pertanyaan kepada murid-muridnya.

Bu Guru : Menurut kalian, siapa saja yang pantas menjadi legenda AS Roma ?

Bocah berkacamata : Francesco Totti !

Bocah berkepang : Ago !

Bocah ingusan : Vincezooooooo, Montelllaaaaa....

Bu Guru : ada yang lain ?

Bocah berambut pirang : Bruna..

Bu Guru : yes, Bruno Conti

Bocah jangkung : Pluto ! Delvecchio, Tommasi, Candela, Batigol !

Bocah beranting : Losi, Rocca, Pendolino, Falcao, Bimbo, Nela, Giannini, Perrotta, De Rossi, Rugantino, Prati, Tempestilli, Pruzzo..

Bocah lain tidak kalah girangnya menyebutkan beberapa nama.

Bocah berkucir : Tancredi, Antonioli, Konsel, Doni.. lalu, Carboni, Santarini, Panucci, Spinosi,

Bocah gundul : ah, Spalletti, Capello, Niels “Baron” Liedholm..

Bocah berambut panjang : Voller, Balbo, Rizzitelli, Righeti, Maldera, Boniek, Cerezo... umm, Dino Viola dan Sensi

Bu Guru : yap, Presidente

Bocah bermata biru : Giorgio Rossi

Bu Guru : (kaget dan heran) hah, Giorgio Rossi ?

Bocah bermata biru : ya, Giorgio Rossi, il massagiatore..

Bocah berkacamata : alasannya ?

Bocah bermata biru : Sejak era Guido Masetti, Gunnar Nordahl, Helenio Hererra, Sven Goran Eriksen, Vuja Boskov hingga Zeman II. Dari Olimpico, mampir sejenak ke Flaminio dan kembali ke Olimpico. Segelintir nama yang kalian sebutkan barusan pernah menjalani karir bersama Giorgio Rossi. 55 tahun di Roma. Dia adalah kakek, ayah, pengasuh, rekan bahkan seorang legenda. Giorgio Rossi..

Suasana sempat hening, namun kembali riuh karena tiba-tiba bel istirahat berdering. Ibu guru memimpin doa. Selesai. Para murid berlarian keluar kelas, mencari bola.


AS Roma and Champions League

Kompetisi Serie musim 2013/2014 tinggal menyisakan dua pertandingan. Selamat untuk Juventus ! Sedangkan Roma beserta Napoli sudah dipastikan mendapat jatah Liga Champions. Dua pekan terakhir akan menjadi kompetisi bagi tim yang mengincar kursi di Europe League. Satu slot sudah dikunci oleh Fiorentina. Dua slot lainnya akan diperebutkan oleh Inter Milan, Torino, Parma, Milan, Verona serta Lazio. Gonjang-ganjing di jurang degradasi juga menarik untuk diikuti. Sejauh ini belum ada yang dipastikan siapa yang akan meluncur ke Serie B. Pekan kemarin, Sassuolo berhasil menikam Fiorentina. Berardi dkk terbang ke peringkat 16. Akan tetapi posisi mereka belum aman, peringkat 16 sampai 20 masih terus berjuang untuk menjauh dari zona degradasi (Sassuollo, Chievo, Bologna, Catania dan Livorno)

Baik, mari percakapan tentang AS Roma kita mulai. Maaf apabila sedikit bertele-tele. Satu kata, kompetitif. Itulah yang diinginkan Rudi Garcia untuk menghadapi musim depan. Skuad AS Roma harus kompetitif. Jauh sebelumnya, Totti juga berujar bahwa Roma membutuhkan penyerang yang berkelas agar mampu bersaing di kancah Eropa. Muncul satu nama, yaitu Didier Drogba. Lupakan soal penyerang Galatasaray yang kontraknya akan habis di bulan Juni nanti. Satu hal yang penting adalah, tim yang kompetitif dan bermental juara. Quote kompetitif dan Drogba

Harap maklum apabila Rudi Garcia was was dengan skuad AS Roma sekarang. Mayoritas pemain Roma minim jam terbang di kompetisi Eropa. Beberapa dari mereka seperti Totti, De Rossi, Taddei, Maicon mungkin kerap mengecap kompetisi semacam Liga Champions. Namun yang perlu digaris bawahi, AS Roma sudah lama absen di Eropa. Tentu bukan perkara mudah menghadapi tim-tim luar Italia. AS Roma memerlukan adaptasi setelah sekian lama hanya merumput di negeri Pizza. Apabila mengacu pada beberapa klasemen di kompetisi domestik yang lain, beberapa tim sudah memastikan jatah Liga Champions. Paling tidak AS Roma akan menghadapi klub semacam Real Madrid, Bayern Muenchen, Dortmund, Atletico Madrid, Barcelona, Liverpool, Manchester City, Olympiacos, Ajax, Benfica, PSG, Sporting CP, AS Monaco dan Juventus. Beberapa tim lain yang kemungkinan akan menyusul adalah Chelsea, Schalke, Zenit, Basel, Shaktar Donetsk, Galatasaray atau Besiktas. Tim-tim yang lolos namun harus berjuang lebih dahulu lewat jalur kualifikasi juga patut di perhitungkan. Sebut saja, Bilbao, Napoli, Porto, Feyenoord, atau Celtic. Calon lawan yang tentunya tidak boleh dipandang sebelah mata.

Curhatan saya belum selesai. Apabila diatas sudah ditekankan bahwa Roma membutuhkan skuad yang mumpuni. Satu hal yang cukup meresahkan adalah mengenai tradisi di Eropa. Sejauh ini, tradisi Roma ketika berkompetisi baik di Liga Champions atau Europe League tidaklah mengesankan. Kalau boleh memuji, hanya duo Milano yang kerap membanggakan negerinya di Eropa. Tim yang lain ? menurut saya hanya sebagai penghibur sesaat, angin-anginan. Ingat, Lazio, Sampdoria atau Parma pernah menjajah Eropa. Bahkan gelar UEFA Cup / (RIP) Winners Cup pernah mereka arak dihadapan para pendukungnya. Sekarang ? maaf, untuk saat ini gaung mereka terdengar lirih sekali. Oh, ada yang terlupakan ya ? Juventus, iya Juve, satu-satunya peraih bintang tiga berwarna emas. Delapan belas tahun yang lalu dihadapan “sang ibunda tercinta”, piala Liga Champions mereka rengkuh. Di stadion Olimpico (Rome), pasukan Marcelo Lippi berhasil menundukkan Ajax lewat drama penalti. Di atas sudah saya sebutkan, 18 tahun silam. Italia memang penguasa generasi 90an ya.


Lalu, seperti apa sepak terjang serigala kota Roma di kompetisi kontinental ? Geliat Il Lupi di Eropa pernah dikicaukan oleh akun twitter @RomaIndonesia. Secara sekilas dapat kita cermati via link berikut. Nah, prestasi terbaik AS Roma di Liga Champions terjadi pada musim 1983/84, dulu namanya masih European Cup. Sayang, dihadapan para pendukungnya, mereka menyerah ditangan Liverpool. Konon, keberhasilan Roma lolos ke final diwarnai unsur kecurangan. Polemik tadi terjadi saat semifinal antara Roma kontra Dundee United, lebih jelasnya simak artikel berikut. Final kembali dinikmati punggawa AS Roma pada 1991. Namun buka Champions League, melainkan UEFA Cup (sekarang Europe League). Apabila di musim 1983/84, nama-nama yang tenar adalah Falcao, Conti, Ancelotti, Tancredi, Nela dan tentu saja Il Capitano, Agostino di Bartolomei. Era 90an adalah masanya Aldair, Rudi Voeller, Tempestilli serta Il Principe, Giuseppe Gianinni. Sayang mereka gagal karena dijegal Inter Milan. Roma kalah agregat, 1-2 untuk Inter Milan.

Mari menengok ke belakang sebentar. Di era 60an, sempat ada kompetisi kontinenantal yang bernama Fairs Cup. Beruntung, Roma menjadi juara di tahun 1961 setelah mengalahkan Birmingham City. Menginjak periode 70an, ada kompetisi antar tim Italia dan Inggris, namanya Anglo Italian Cup. Roma merengkuh kejuaraan tersebut pada tahun 1972, Blackpool mereka kalahkan. So last year bung.

Beranjak ke era kekinian. Pada kompetisi Champions League 2007/08, AS Roma berhasil lolos di perempatfinal setelah menyingkirkan Real Madrid. Di Olimpico menang 2-1, dilanjutkan kemenangan fantastis di Bernabeu dengan skor yang sama. Namun, petaka terjadi karena mereka bertemu kembali dengan Manchester United di perempatfinal. Di musim 2006/07, saat leg kedua perempatfinal melawan Manchester United. Sir Alex Ferguson terbukti lihai menjinakkan strategi ciamik Luciano Spalletti yang saat ini dikenal dengan istilah false nine. Kekalahan 7-1 di Old Tradford menjadi penutup kiprah Roma di kompetisi yang kelak disabet AC Milan. Nasib buruk kembali menimpa Totti dkk, mereka takluk dua leg sekaligus. Manchester United lolos setelah menang agregat 3-0 atas Roma. Uniknya, dalam setahun Roma bertemu United empat kali karena sebelumnya mereka juga saling bertarung di grup F. Total, tiga kemenangan untuk MU dan satu hasil imbang.


Sejak kegagalan Roma di perdelapanfinal Champions League 2008/09, kompetisi tersebut tidak pernah lagi dijamah oleh mereka. Musim 2009/10, Roma hanya lolos UEFA Europe League. Parahnya, itulah kompetisi Eropa terakhir yang akan mereka jalani. Sebab di tahun 2010/11, mereka tidak memperoleh jatah Eropa. Lalu saat diasuh Luis Enrique, Roma punya kesempatan untuk bertarung di Europe League. Sayang di fase playoff mereka kandas di tangan Slovan Bratislava. Jadi selama lima tahun Roma absen di kancah Champions League dan selama empat tahun mereka tidak berkeliling Eropa. Akhirnya, lima tahun yang panjang.

Kompetisi di tahun 2014/15 akan menjadi pekan yang padat. Tidak lagi 38 pertandingan, melainkan lebih. Semoga saja musim depan Roma mampu menjalani 57 pertandingan. Hahaha. Artinya, mereka akan menuntaskan kompetisi Serie A, lalu mencapai Final Coppa Italia, serta lolos Final Liga Champions. Syukur-syukur mereka bisa treble musim depan. Ngimpi ya bung ? Emang, namanya juga harapan.

Minggu, 11 Mei 2014

Football Manager

Menjadi pelatih sepakbola memang tidak semudah ketika kita bermain game Football Manager atau sejenisnya. Karir “kepelatihan” saya di Football Manager terbilang lumayan dengan menyandang nama Vito Andolini Corleone, berasal dari kota Corleone, Provinsi Palermo. Maklum saya sendiri penggemar film Godfather.
Selama lima tahun melatih AS Roma, saya berhasil mengangkat derajat klub ibukota Italia tersebut. Beberapa gelar sudah saya persembahkan, antara lain lima kali juara Coppa Italia, empat Super Coppa dan satu Europe League. Sudah berjuta-juta uang saya tinggalkan. Tentunya dari hasil penjualan pemain serta hadiah kompetisi. Pemain-pemain muda pun juga menjadi bintang dan diincar banyak klub besar macam, Barcelona, Manchester United, Real Madrid, PSG dan sejenisnya. Waktu itu juga sempat lolos ke final Liga Champions, namun kalah di tangan Barca. Uniknya, sewaktu semifinal melawan Porto, di kandang mereka kita kalah 4-0. Namun, saat leg kedua dihadapan para suporter, kita mampu menang 8-0. Miralem Pjanic mencetak lima gol sekaligus. Tampaknya tidak mungkin ya kalau di dunia nyata, namanya juga game.
Lalu di musim 2019/20 saya memutuskan meninggalkan AS Roma. Waktu itu James Pallotta selaku presiden klub tidak mau membangun stadion. Sayapun ngambek dan membeberkan hal tersebut ke media. Presiden klub mengajak rapat, mereka tidak senang atas kelakuan tersebut. Saya lebih memilih out, lagian sudah jadi icon di klub. Hahaha.
Akhirnya sayapun nganggur selama beberapa bulan. Beberapa klub dan negara menawari saya pekerjaan, semacam Arsenal, Soton, serta Spanyol, namun saya menolaknya. Di lain pihak, AS Roma mengangkat pelatih yang cukup ternama. Dia adalah Carlo Ancelotti, pelatih sukses dan bertalenta tinggi. Kalau tidak salah, waktu itu Don Carlitto sedang melatih Dortmund.
Di bawah asuhan Ancelotti, AS Roma tampil menggila. Saingan mereka di musim 2019/2020 masih itu-itu saja, semacam Juventus, Milan dan Napoli. Eh, tiba – tiba ada satu klub Italia yang meminta saya untuk jadi pelatih, yaitu Napoli. Saya ogah menerima tawaran mereka, maklum kelahiran Palermo, sejak lahir sudah musuhan sama mereka. Hihihihi. Selanjutnya saya melihat Sampdoria memecat pelatih mereka, yaitu Roberto “Laziale de Merda” Mancini . Sayapun apply for job, siapa tahu mereka tertarik. Setelah berunding dengan pimpinan klub, mereka menawari saya kontrak. Saya setuju dengan tawaran mereka dan optimis mampu bertahan di Serie A, mengingat posisi Sampdoria saat itu berada di peringkat 18. Setelah melihat komposisi pemain, ternyata mereka tidak terlalu menonjol, sebut saja Paloschi, Zapata, Uric, Daniel Akyei, Fossatti, Scheloto dll. Saat jendela transfer kedua dibuka, beberapa pemain hebat saya beli, antara lain Daniele De Rossi, Mandzukic serta pemain regen dari Rusia. Alhamdulillah, saya berhasil membawa Sampdoria finish di peringkat 6 dan juara Coppa Italia. Di sisi lain, klub kesayangan saya berhasil meraih Scudetto serta menggilas Porto di final Liga Champions. Grande Don Carlito !
Berdasar pengalaman “kepelatihan” saya di Football Manager, ternyata David Moyes bisa membawa Manchester United menjuarai Premier League serta Champions League di musim pertamanya. Ironi memang apabila dibandingkan dengan kenyataan sekarang, #MoyesOut. Mungkin waktu itu David Moyes sedang lelah dan lupa save game terlebih dulu. Hahahaha. Erik Lamela sang wonderkid juga bermain bagus dan lumayan sukses saat merumput bersama Tottenham Hotspur. Namun nyatanya, pemain kelahiran Argentina tersebut nasibnya terkatung – katung sekarang, diacuhkan oleh sang pelatih, cedera pula. But, that’s football guys.

Nah, sepakbola selalu menghiasi dinamika kita, baik laki-laki atau perempuan. Saat masih duduk di bangku SD dan SMP, saya masih sering bermain bola setiap sore. Bersama tetangga serta beberapa pemuda yang ngekost di kampung saya. Atau terkadang datang ke Tridadi dengan niat menyaksikan aksi Marcelo Braga dkk. Baik dengan membayar tiket atau jadi laskar jebolan di menit – menit akhir pertandingan. Sepakbola memang candu, Football Manager juga candu. Bagi yang sedang skripsi saya sarankan untuk segera pensiun dari Football Manager. Uninstall dan delete semua file-file yang berhubungan dengan FM. Gitu aja sih. Semoga mencerahkan. Ciao !

Atas Nama Selebrasi

Pada masa ini, setidaknya ada tiga tipe penonton sepakbola. Penonton yang datang ke stadion, penonton sepakbola layar kaca serta penonton bola di lini masa twitter. Ada tambahan ? Nah, tentu saja masing-masing punya cara untuk mengekspresikan dukungannya ke tim yang mereka support. Entah itu koreo yang apik dan kompak, umpatan ke pemain lawan, melompat kegirangan ketika gol tercipta atau secepat mungkin update status (ngetwit) “GOL, Evan Dimas !”

Setiap tim yang bermain tentu saja ingin mencetak gol. Sepakbola tanpa gol ibarat orang Indonesia makan sayur tapi tidak memakai nasi. Nikmatnya kurang pas. Ketika melihat ke belakang, permainan dengan gaya bertahan pernah diacuhkan. Faktanya, strategi bola jaman dahulu pernah memakai empat striker sekaligus. Apabila mengacu di sepakbola modern saat ini, mencetak gol bukan lagi tugas utama striker. Setiap posisi punya kesempatan untuk membobol gawang lawan. Namun, tumpuan utama gol tetap berada dipundak striker.

Gol tercipta, penonton bersorak kegirangan, selebrasi ! Masih ingat gaya khas penyerang mungil Vincenzo Montella ketika berhasil menyarangkan gol ? Atau ayunan tangan legenda sepakbola Indonesia, Bambang Pamungkas. Saat Klose masih muda, kita sangat terhibur bukan ketika dirinya salto sehabis mencetak gol. Sayang, mungkin karena takut encok, gaya khas Klose tersebut tidak pernah muncul lagi. Selebrasi yang unik dan khas memang tidak pernah lekang ditelan zaman. Tersimpan dengan indah di memori pecinta sepakbola.

Beberapa pemain memang mempunyai gaya selebrasi khusus, semacam isapan jempol Totti. Banyak sekali selebrasi yang dilakukan sehabis membobol gawang. Melepas kaos, menari-nari ala capoera Brasil, menimang bayi atau berlari kencang ke arah suporter. Mirko Vucinic pernah melakukan selebrasi dengan cara melepas celananya. Balotelli mencopot jersey lalu mempertontonkan tubuhnya yang kekar. Namun selebrasi tadi tidak melulu mereka lakukan.


Proses terjadinya gol disebabkan aliran kerjasama antar lini. Sepabola adalah permainan kelompok. Tidak pantas apabila luapan kegembiraan dirayakan sendirian. Terlalu banyak perayaan yang indah, bahkan buruk. Semoga artikel The Telegraph atau Buzzfeed bisa mewakili serta mengajak kita semua untuk bernostalgia atas nama selebrasi.

Namun, satu hal yang menganggu pikiran saya. Kenapa seorang kiper tidak pernah bersama-sama ikut selebrasi ? (ataukah saya yang tidak tahu ?) atau mengapa tidak ada perayaan ketika kiper mampu menyelamatkan gawangnya ? saat seorang pemain mampu membuat gol, teman-temannya akan mengerubutinya bukan ? entah itu bek, gelandang, atau striker. Tapi saya jarang sekali melihat seorang kiper ikut berlari lalu ikut bersenang ria. Maklum, sepakbola memang dibatasi oleh waktu, 90 menit saja, eh lebih sedikit sih. Jadi, wajar apabila kiper berhasil mengamankan gawangnya tidak ada yang selebrasi. Mereka dikejar waktu.

Mungkin saja penjaga gawang memang ditakdirkan untuk berbesar hati. Seorang kiper lebih memilih untuk menendang atau mengoper bola ke kawannya. Menyuruh rekan-rekan yang lain untuk secepatnya memainkan bola, lalu bawa ke depan dan cetak gol. Kiper lebih senang selebrasi sendirian di belakang. Mengangkat tangannya, berteriak sendiri atau melompat dengan sukacita. Peristiwa dimana Dante memeluk Neur hanyalah sebagian kecil dari mayoritas bentuk selebrasi yang sudah disampaikan diatas. Perayaan tersebut jarang sekali diperoleh oleh sosok yang bernama, kiper. Satu hal yang perlu kita ketahui, tidak semua kiper itu seperti Chilavert, Rogerio Ceni, Rene Higuita yang mempunyai kemampuan mencetak gol lewat bola-bola mati. Atau seberuntung Asmir Begovic sewaktu membobol gawang Southampton.

Messi, Pacho Rubio, Maldini, Baggio, Rodrigo Araya, Hendro Kartiko, Ahn Jung Hwan, Maradona, Kahn, Roger Mila, Mursyid Effendi atau Platini adalah sebagian dari banyaknya aktor di lapangan hijau. Mereka menyihir jagad sepakbola untuk bersedih atau tertawa. Menggiring bola, menekel, mengumpan, menutup ruang, menarik kaos lawan, menepis bola, mencetak gol, memungut bola, lalu selebrasi, bertengkar, bertukar kostum atau menundukkan kepala. Seperti sosok wayang Kresna yang terkadang membuat kita merasakan keindahan, sering pula meninggalkan kesedihan.

Bergandengan tangan, berlari bersama rekan lain yang duduk di bangku cadangan. Lalu melompat setinggi-tingginya ke arah penonton. Perayaan atas kesatuan permainan (gol, tekel, tepisan, marking, assist, crossing, tangkapan dan lain sebagainya). Atas nama selebrasi. Kemenangan itu adalah kebersamaan....