(A Tribute To Onghokham)
Apakah orang dapat belajar dari sejarah? Jawaban saya selalu, “Sayang,
rupanya tidak”, sebab kalau kita dapat dari sejarah, maka kita semua akan lebih
bahagia dan sentosa.
Ong Hok Ham, Onghokham, OHH, Sinyo Hans, Baba Ong, Onze Ong
(Surabaya, 1 Mei 1933 – Jakarta, 30 Agustus 2007)
“Hidup
untuk makan, bukan makan untuk hidup!”. Itulah prinsip dari Pak Ong yang terus
ia pegang sampai akhir hayatnya. Sejarawan satu ini cenderung berbeda dengan
kolega-kolega beliau di UI. Ia tidak seperti Nugroho Notosutanto, R.Z.
Leirissa, Koentjaraningrat, Soekmono yang selalu berpakaian rapi dan bersepatu.
Pak Ong lebih senang memakai sendal, lalu kemeja yang digulung sampai siku
serta kancingnya selalu dibuka dan tas kumal dari kain warna khaki. Pak Ong
memang unik. Bukan hanya sosok sejarawan handal, namun juga dosen, kolumnis, koki
serta pemabuk. Ia adalah penggila pesta yang "membujang" seumur hidup.
Beliau lahir di Surabaya, 1 Mei
1933. Dilahirkan sebagai “Cina Peranakan”. Setelah lulus dari ELS (Europese
Lagere School) sekitar tahun 1950an, ia melanjutkan studinya ke HBS (Hogere
Burger School). Di HBS ini ia mulai tertarik dengan sejarah. Pelajaran sejarah
Belanda dan Eropa ia dapatkan dari Boeder Rosarius, guru sejarah yang ia kagumi.
Ong Hok Ham gemar sekali melahap buku-buku sejarah, terutama mengenai Revolusi
Prancis (1789) serta berbagai peristiwa yang dramatis.
Dari Kampus Rawamangun
menuju Kampus Yale
Pada awalnya, tahun 1955 Ong Hok Ham
terpaksa melanjutkan studinya di Fakultas Hukum UI yang berada di Jln Salemba
no.4. Namun kata hatinya mengatakan bahwa ia ingin menekuni studi sejarah. Biarpun
hal tersebut sempat menjadi pembicaraan di kalangan keluarganya. Dengan bantuan
A.B Lapian, beliau minta dikenalkan dengan ketua jurusan sejarah UI, yang saat
itu dipegang oleh Prof. Dr. Soekanto. Akhirnya beliau pindah ke jurusan Sejarah
Fakultas Sastra UI, yang lokasinya di daerah Rawamangun. Jenjang sarjana muda
ia selesaikan dengan skripsi mengenai Gerakan Samin, sebuah gerakan perlawanan
petani di Pantai Utara Jawa Tengah (Rembang, Pati. Blora dll) pada tahun
1900-1920. Di tahun 1968, skripsi S1 berhasil ia selesaikan dengan judul Runtuhnya Hindia Belanda, dengan periode
antara 1930an-1940an. Yang diterbitkan menjadi buku pada tahun 1987. Pak Ong
mengakui bahwa skripsi miliknya ditulis dengan perspektif Nerlandosentris.
Sebenarnya saat Ong Hok Ham menempuh
perkuliahan di UI ia merasa tidak mendapat guru yang menarik seperti Boeder
Rosarius. Namun disaat menempuh doktor di Universitas Yale, perkuliahan Prof.
H.J. Benda sangat menarik dan provokatif. Dari sinilah gelar doktor ia dapatkan
pada tahun 1975 dengan disertasi yang berjudul The Residency of Madiun: Priyayi and Peasant in the 19th Century.
Sekembalinya dari Universitas Yale, ia lalu aktif mengajar kembali di UI. Pak Ong
telah memberi warna baru mengenai sejarah petani dan pedesaan. Ia bersama
Sartono Kartodirjo merupakan sejarawan Indonesia yang konsisten dalam kajian
sejarah pemberontakan petani. Tulisan dari pak Ong sendiri kebanyakan bertema
mengenai periode kolonial, salah satunya adalah mengenai rijsttafel, sebuah hidangan yang berisi nasi dan berbagai lauk
pauk, sayuran dan sambal. Oleh Pak Lapian, beliau disuruh menulis artikel sejarah
kuliner pada masa kolonial di Jurnal Sejarah yang bertema 4 Abad VOC. Ia sering
dijuluki intelektual publik, sebab ia kerap menulis di Tempo, Kompas dan
Prisma. Bahkan semasa kuliah ia juga aktif menulis di Starweekly pada kurun waktu antara 1958-1961. Tulisan pak Ong dari
segi bahasa tidaklah bagus. Namun tulisannya merupakan komparasi dan analogi
sejarah satu dengan yang lain, sebuah refleksi historis.
Sinyo Hansje atau Hans adalah
panggilan dia disaat masih muda. Keturunan keluarga Han dan Tan, keluarga kaya
dan terkenal di jawa Timur. Kakek dari pihak ibu adalah kapitan Cina di
Pasuruan. Sedang ayahnya, Klaas adalah kawula Belanda. Lies, yaitu ibu Ong
sempat menikah dua kali. Ia mempunyai dua saudara laki-laki, Yan dan Freedy.
Sedang kakak perempuannya bernama Olga. Keluarga Ong hidup dengan gaya
kebarat-baratan. Makan dengan makanan Eropa, berpakaian Barat serta berbahasa
Belanda. Periode 50an dan 60an adalah masa-masa sulit bagi Ong. Pada zaman itu
golongan asing begitu dibenci. Banyak warga Tionghoa atau Belanda mengungsi ke
daerah asalnya. Namun Ong tetap bertahan, akhir 1950 ia sering menulis mengenai
Cina peranakan dalam Star Weekly yang
dipimpin Auwjong Peng Koen atau P.K Ojong.
Bersama P.K Ojong dan Ong Tjong Hay
(Sindhunata), ia mendirikan LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa).
Perkembangan selanjutnya, LPKB pun berubah menjadi Bakom PKB (Badan Komunikasi
Penghayat Kesatuan Bangsa). Saat itu Ong menjadi aktivis golongan “asimilasi”,
golongan yang menghendaki peleburan etnis Cina menjadi warga Indonesia.
Golongan “asimilasi” sendiri mendapat perlawanan dari golongan “integrasi”.
Golongan yang menolak peleburan 100% etnis Cina menjadi warga Indonesia.
Tanggal 24 Maret 1960, Ong Hok Ham ikut menandatangani piagam “Menuju Asimilasi
yang Wajar”. Setelah pemberontakan G 30 S di tahun 1965, Ong sempat frustasi.
Saat kembali ke Pasuruan ia melihat banyak manusia yang dibunuh. Bahkan ada
deretan bambu runcing yang dipasangi penggalan kepala-kepala korban. Sontak ia
berteriak, “Hidup PKI !, hidup Aidit!”. Setelah itu ia ditahan dan dijebloskan
ke penjara beberapa bulan, sebelum dibebaskan atas bantuan Nugroho Notosutanto.
Ada banyak kejadian menarik dalam
kehidupan Ong Hok Ham. Seperti yang diutarakan oleh Benedict Anderson, saat
masih muda Ong Hok Ham sering bertengkar dengan Soe Hok Gie. Masalahnya tentu tentang
politik. Dimana Ong merupakan pendukung PNI, sedang Gie saat itu masih simpati
dengan PSI. Ong sering mengejek Gie dengan sebutan bordjuis, sebaliknya Gie
mengatakan bahwa Ong adalah seorang feodal. Ong juga sering mengeluarkan sebuah
anekdot. Diantaranya ia mengatakan bahwa Belanda itu membosankan, angkuh,
goblok dan picik. Lalu Tionghoa totok adalah orang yang rakus, lihai, kikir dan
tidak berkebudayaan. Sedang Tionghoa peranakan itu pemalas, gila judi, menor,
pintar menipu diri. Ong juga mempunyai julukan atau istilah tersendiri bagi
orang-orang Sumatera, yaitu “dull” khususnya orang-orang Padang dan Palembang.
Sedang Batak dan Aceh, bagi Ong masih ada pamor membuat dia takut. Sedang
anekdot untuk orang Sunda, Madura, Banten atau Osing tidak ada.
Sang Koki Sejarah Indonesia
Selain dikenal pandai mengolah sejarah, pak Ong juga seorang kolumnis yang gemar makan. Seorang gourmet (ahli mencicipi/menilai makanan) dan juga koki. Sebenarnya kepandaian dia memasak di dapat saat kuliah di Yale. Tidak salah apabila sekembali dari Yale, ia mendapat dua gelar yaitu sebagai doktor dan koki. Pak Ong merupakan pengajar yang unik. Ong lebih senang bepergian dengan bus. Menurutnya dengan naik bus, dia dapat mengetahui dan mengamati bagaimana kehidupan masyarakat di luar.
Pak Ong sangat senang menyantap tempe Malang, sambal gandaria, bandeng bakar, jangkang, nasi rawon dan telur asing yang masih masir (berserbuk). Pak Ong juga hobi minum kopi robusta yang ia beli di Stasiun Jatingera dan menghisap rokok Gudang Garam filter. Mengenai selera kuliner Chinese, beliau gemar mengudap babi panggang, babi hong, bakut tei, mie dan pangsit goreng, baso tahu dll. Di siang hari dia akan menjadi pria yang sederhana, namun di kala malam dia sudah siap berpesta bersama kolega-kolega asing dan berbincang-bincang dengan bahasa Belanda serta bahasa Inggris. Onze Ong memang bergaya kosmopolitan.
Selain itu Ong Hok Ham juga menggemari masakan Eropa. Contohnya seperti, pate, Hungarian salami, Scandinavian salmon smoked, berbagai jenis keju, roti baguette dan masih banyak lagi. Mengenai minuman favorit dari pak Ong jelas Scotch whisky. Pak Ong juga gemar meminum bir, serta wine. Mengenai Scotch whisky, pak Ong mengaku pertama kali mengenal minuman tersebut saat menjadi liasion officer di KAA Bandung tahun 1955. Di tiap malam ia seringkali mabuk. Parahnya lagi, pak Ong juga sering datang mengajar dalam kondisi setengah mabuk. Kebiasaan minumnya masih ia lakukan, biarpun dirinya terkena serangan stroke pada tahun 2001. Beliau terkena serangan stroke saat mau menghadiri perayaan 80 tahun Pak Sartono di Jogja, Februari 2001. Ia pun langsung dilarikan ke RS Panti Rapih, dan semenjak itu beliau harus memakai kursi roda. Anehnya disaat sedang sekarat, ia masih sempat-sempatnya memikirkan isi lemari es dan koleksi alkohol. Sungguh pribadi yang unik.
Oleh mahasiswa atau mahasiswinya,
pak Ong dikenal sebagai dosen killer.
Ia kerap meneror murid-muridnya dengan pertanyaan yang susah. Bahkan tidak
segan-segan ia melempar penghapus papan tulis ke arah muridnya yang tidak bisa
menjawab pertanyaannya serta ribut dikelas. Kata-kata goblok sering beliau
lontarkan kepada para muridnya. Untuk mahasiswa atau mahasiswi yang malas
membaca, sering dikatakan “bayi-bayi besar yang buta huruf”. Tradisi membaca
memang beliau tanamkan kepada murid-muridnya di UI. Selain killer, pak Ong juga
unik. Beliau seringkali membawa ikan segar yang habis dibeli dipasar ikan, bau
amis pun mencemari ruang kelasnya. Ia tidak mengajar penuh di UI, umur 55 tahun
beliau pensiun dari UI. Ia terpaksa berhenti disaat pangkatnya masih golongan
III C. Ada yang mengatakan bahwa ia terpaksa pensiun karena nomor pegawainya
tiba-tiba hilang.
Sosok satu ini paling senang
menghadiri pesta-pesta. Bukan karena soal makanan, tapi juga mencari gelas yang
isinya alkohol. Ong Hok Ham juga sering menggelar pesta dirumahnya yang
terletak di daerah Cipinang, terutama saat beliau ulang tahun. Makanan yang
disajikan ia masak sendiri. Dan bahan-bahannya juga ia beli sendiri. Ia akan
naik kendaraan umum untuk berangkat ke Pasar Senen membeli daging babi, lalu ke
Blok M membeli daging sapi dan mencari ikan bandeng segar di Pasar Pagi.
Dimalam hari begitu banyak kolega-koleganya yang hadir. Mulai dari kalangan
intelektual, artis, seniman, duta besar, politikus dll. Menurut Takashi
Shiraishi, pesta yang diadakan oleh Ong adalah pesta yang menghidangkan nice meal, nice drink, and nice talk.
Refklesi Sejarah Kritis
Onze Ong
Kesehatan Ong lama kelamaan makin
memburuk. Ia masih saja menegak wine, padahal penyakit stroke menyerangnya.
Makanan yang dikonsumsi juga kaya akan kolesterol. Hidangan kentang goreng dan
bistik kakap merah menjadi hidangan terakhir bagi Ong Hok Ham. Ia meninggal
pada tanggal 30 Agustus 2007, sekitar pukul 19.00. Beliau disemayamkan di Rumah
duka Dharmais Jakarta Barat dengan baju gaya China berwarna merah buatan Peter
Sie. Ong Hok Ham, seorang agnostik yang upacara pemakamannya dibalut dengan
ritual Budha, Katholik serta Konghucu. Dan dibibirnya terselip sebuah mutiara.
Banyak karya beliau yang telah
diterbitkan. Sebuah tulisan maestro sejarah Indonesia. Beberapa buah karya Ong
Hok Ham yang telah dipublikasikan antara lain, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara
(2003) yang merupakan kumpulan tulisan beliau di Harian Kompas. Selanjutnya, Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang
(2003), buku ini berisi 70 buah karangan Ong di Majalah Tempo. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa
(2005), yang didalamnya terdapat 14 buah tulisannya di Star Weekly. Selain itu ada pula buku The Thugs, the Curtain, and the Sugar Lord – Power, Politics, and
Culture in Colonial Java (2003), Negara
dan Rakyat (1983), Runtuhnya Hindia
Belanda (1987), Anti Cina,
Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia lalu Sukarno: Orang Kiri, Revolusi dan G 30 S
1965. Lalu ada juga tulisan Ong yang berjudul “The Inscrutable and the Paranoid: an Investigation into the Sources of
the Brotodiningrat Affair” dalam buku Southeast
Asian Transition, Approaches Through Social History (ed) Ruth Mc Vey,
sebuah buku persembahan untuk Prof. Harry J. Benda.
Prof. Sartono pernah melontarkan
sebuah sindiran kepada Ong: “Kapan Ong ini mau keluar dari Madiun”. Sebuah
candaan mengenai disertasi Ong Hok Ham yang isinya tentang petani dan priyayi
di Madiun. Ong Hok Ham memang sejarawan yang handal, ia mengembangkan sebuah
pendekatan global dalam studi sejarah Indonesia. Maksudnya, kita harus paham
sejarah dunia, khususnya sejarah Eropa dan Asia apabila ingin menulis sejarah
Indonesia pada masa kolonial agar analisis dan rekonstruksinya tepat. Beliau
mengajarkan sebuah pendekatan global untuk rekonstruksi dan metodologi sejarah
yang pada akhirnya untuk karya historiografi Indonesia. Ong Hok Ham pernah
mendirikan dan mengetuai LSSI (Lembaga Studi Sejarah Indonesia). Yang tujuannya
mengembangkan studi sejarah Indonesia lebih luas dan mendalam. Namun LSSI tidak
dapat bertahan lama, ditambah kondisi pak Ong yang semakin rapuh. Menurut
Bambang Purwanto dalam buku Gagalnya
Historiografi Indonesiasentris?!, pak Ong telah menyumbangkan sebuah warna
lain dalam memahami sejarah Indonesia dan menawarkan beberapa gagasan
alternatif di tengah-tengah arus historiografi yang dominan. Sejatinya, Ong Hok
Ham memang sejarawan yang hobinya teler, namun dia telah membuktikan sebuah
kajian sejarah kritis kepada kita.
Sumber :
Bambang Purwanto (2007). Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ?! Yogyakarta : Ombak.
David Reeve, et.al. (2007). Onze Ong : Onghokham dalam Kenangan. Jakarta : Komunitas Bambu.
Onghokham (2004). Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong : Refleksi Historis Nusantara. Jakarta : Kompas.
Henri Chambert-Loir (1999). Panggung Sejarah Persembahan kepada Prof.Dr.Denys Lombard. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia