"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Rabu, 21 Juni 2017

Membedah Azzurrini di Piala Eropa U21 (2017)

Tanggal 27 Mei 2000, mungkin menjadi hari istimewa bagi anak asuh Marco Tardelli. Skuad Italia U21 berhasil mencuri tiga poin di match pertama ajang Euro U21 (2000). Di stadion Tehelne Pole (Bratisalva, Slovakia) Italia berhasil mengalahkan Inggris. Dua gol tersebut dicetak oleh Gianni Comandini serta Andrea “L’Architetto” Pirlo. Pertandingan pertama yang akan mengantarkan Italia menjadi kampiun European U21 keempat kalinya. Entahlah, sosok Tardelli yang pernah membantu Italia meraih Piala Dunia 1982, mungkin bertuah bagi beberapa punggawa Italia muda kala itu. Tiga pemain yang memperkuat tim Azzurrini (2000), enam tahun kemudian berhasil mengangkat tropi Piala Dunia. Yakni, Andrea Pirlo, Gennaro Gattuso dan Simone Perotta. Kelak, tradisi Tardelli tadi akan diteruskan oleh suksesornya, yaitu Claudio Gentile. Pemain yang diplot oleh Enzo Bearzot untuk “membunuh” Maradona di semifinal Piala Dunia 1982 tersebut juga sempat melatih Italia muda di Euro U21 (2004). Hasilnya, Italia menjadi kampiun untuk kelima kalinya dan alumnus dari skuad tersebut (Amelia, Barzagli, Zaccardo dan De Rossi) juga menikmati tropi Piala Dunia 2006, racikan Marcello Lippi.

Bolehlah kita berangan-angan sebentar atau othak athik gathuk tepatnya. Seperti yang sudah disebutkan diatas, Italia U21 mengalahkan The Young Lions di partai pembuka mereka dengan skor 2-0 di kompetisi Euro U21 (2000). Hal tersebut berulang kembali, 17 tahun kemudian. Minggu malam, di Krakow, Polandia, Italia U21 yang saat ini dilatih oleh Luigi Di Biagio mengulang kembali sejarah seniornya. Angka 2-0 terpampang dipapan skor hingga peluit ditiup. Pencetaknya Lorenzo Pellegrini, berposisi gelandang seperti Andrea Pirlo, serta Andrea Petagna yang dipasang sebagai penyerang, begitupun Gianni Comandini. Selama 19 kali penampilan di European U21 sejak 1978, kemenangan 2-0 di partai pembuka hanya terjadi dua kali (2000 dan 2017). Pertanyaannya, bisakah skuad Italia muda saat ini meneruskan tradisi pendahulunya ? Italia sudah puasa gelar Euro U21 selama 13 tahun. Apabila tidak keburu merebut kembali mahkota tersebut, bisa saja Spanyol menyusul rekor Italia sebagai pemegang gelar terbanyak pada tahun ini. Spanyol masih menguntit di bawah Italia dengan raihan empat gelar.


Banyak yang menyanjung komposisi pemain Italia yang dibawa oleh Luigi Di Biagio di Polandia. Bahkan, Carlo Tavecchio selaku presiden FIGC sempat sesumbar, target minimal yang harus diraih oleh mereka adalah lolos ke semifinal. Bisa dikatakan, skuad Italia U21 kali ini terbilang amat mewah dibandingkan dua skuad sebelumnya. Merujuk pada situs transfermarkt, nilai transfer Italia U21 mencapai 213,2 juta euro. Bandingkan dengan skuad Italia di tahun 2015, mengacu pada match terakhir mereka di fase grup kontra Inggris, transfer value nya hanya mencapai 91,2 juta euro. Lalu skuad Italia di Piala Eropa U21 2013 yang diselenggarakan di Israel, saat tim asuhan Devis Mangia berhasil lolos ke final menantang Spanyol. Starting line-up yang diturunkan oleh Devis Mangia, nilai jualnya hanya 60,60 juta euro, setengah dari nilai transfer skuad inti yang dimainkan oleh Spanyol (129 juta euro). Di tahun tersebut, apabila dihitung keseluruhan, transfer value yang dimiliki Azzurrini berkisar 104,3 juta euro. Spanyol ? harga pasaran transfernya mencapai 186,1 juta euro.

Wajar memang apabila membandingkan Italia dengan Spanyol di kompetisi European U21 (2017). Sejauh ini, skuad Spanyol masih memimpin pasaran transfer pemain, keseluruhan pemain dibanderol 264,5 juta euro. Disusul Italia dengan pasaran mencapai 213,2 juta euro. Selanjutnya, Jerman (147,65 juta euro), Portugal (123,83 juta euro), Inggris (96,85 juta euro), Serbia (46,4 juta euro), Rep. Ceko (39,4 juta euro), Polandia (32,28 juta euro), Slovakia (20,13 juta euro), Denmark (16,30 juta euro), Swedia (14,40 juta euro), terakhir Macedonia (7,73 juta euro). Nilai transfer diatas memang menyajikan komposisi terkini. Perlu dicatat, beberapa pemain yang sebenarnya berhak merumput di turnamen, beberapa “dibajak” ke tim senior. Semisal skuad Jerman di Piala Konfederasi yang mencomot beberapa pemain dari tim U21. Kasus lain yang menarik adalah Polandia, dimana dua pemain terbaiknya (Arkadiusz Milk dan Piotr Zielinski) “dilarang” tampil oleh Napoli, selaku pemilik pemain.

Dari 23 pemain yang di bawa ke Polandia, beberapa nama sudah mengenyam caps tim senior. Apabila mengacu pada starting line-up yang diturunkan Di Biaggo ketika kontra Denmark kemarin, nama paling mentereng jelas Donnarumma. Kiper binaan AC Milan itu sedang menjadi bulan-bulanan media serta suporter, terkait penolakan kontrak baru yang diajukan Rossoneri. Usianya baru 18 tahun, tapi nilai transfernya mencapai 25 juta euro. Statistik menunjukan, kapasitas Donnarumma memang luar biasa. Di musim ini, pemuda kelahiran Naples tersebut membubuhkan 147 penyelamatan dan 12 kali clean sheet. Disamping Donnarumma, ada beberapa nama lain dari starting line-up Azzurrini yang pernah “naik kelas” seperti Petagna, Bernardeschi, Pellegrini, Gagliardini, Rugani, Caldara serta Andrea Conti. Nama-namanya memang tidak semoncer pemain Spanyol U21 seperti Asensio (Real Madrid) ataupun Saul Niguez (Atletico Madrid). Atau Renato Sanchez, pemain yang sempat ngehip ketika Portugal juara Eropa, namun malah melempem di Bayern Muenchen. Reputasi sepakbola Italia memang menurun, namun munculnya bibit-bibit baru diatas merupakan pertanda baik untuk menjadi macan Eropa kembali. Beberapa klub sudah mulai “percaya” kembali akan talenta lokal. Paling mendominasi tentu saja Atalanta yang memang dikenal sebagai pabriknya (akademi) pemain muda. Klub semacam Sassuolo ataupun AC Milan juga sedang asyik-asyiknya memainkan pemain muda dari negeri Pizza.

Formasi 4-3-3 yang diusung oleh Di Biagio kemarin mengalami kebuntuan di babak pertama. Pola permainan yang digagas Di Biagio adalah menyerang melalui flank. Beruntung, Italia muda mempunyai Andrea Conti serta Antonio Barreca yang dikenal sebagai bek sayap enerjik. Sekedar info, menurut Squawka, Andrea Conti mengemas 8 gol musim ini. Terbanyak diantara bek-bek lain yang merumput di lima liga top Eropa. Nilai plus tadi juga didukung oleh dua sayap Azzurrini, Bernardeschi dan Berardi. Sedang sebagai ujung tombak dipasang Petagna. Sebenarnya Petagna hanya dipasang sebagai penahan bola saja. Mengingat, Berardi sangat lemah dalam menahan bola. Sayang, di pertandingan kemarin, penyakit lama Beradi kambuh. Emosional, work ratenya kurang serta mudah frustrasi. Italia benar-benar bermain menarik setelah masuknya Federico Chiesa. Posisi Bernardeschi yang semula di sisi kiri, dipindah ke sisi kanan. Sangat efektif permainan Bernardeschi, Chiesa pun juga. Kecepatan serta “hobi” mereka untuk menusuk jantung pertahanan Denmark benar-benar membuat kelabakan. Gol kedua Italia pun tercipta dari assist putra Enrico Chieso tersebut.


Memasang Bernardeschi dan Berardi secara bersamaan memang dilematis. Tidak memasang salah satu dari mereka rasanya juga eman-eman. Sejauh ini, mengacu pada pertandingan di Krakow, kedua pemain tersebut kerap saling tukar posisi. Maklum, posisi natural Bernardeschi adalah sayap kiri. Akan tetapi, strategi tersebut tak membuahkan hasil. Federico Bernardeschi belum lama ini mencetak gol pertamanya bagi Italia dan itu ditempatkan diposisi naturalnya. Tak diragukan apabila Bernardeschi digadang-gadang sebagai “number ten” nya Italia. Bersama Fiorentina musim ini, winger elegan tersebut sukses menciptakan 645 passing dengan akurasi 78%. Situs transfermarkt melabeli 30 juta euro bagi pemain berkaki kidal diatas. Nilai positif lain adalah keahlian Bernardeschi memanfaatkan situasi set pieces.

Opsi lain yang bisa dipertimbangkan Luigi Di Biagio adalah mengorbankan taktik paten yang selama ini ia pakai. Yaitu mengubah pola 4-3-3 menjadi 4-2-3-1. Dari segi pertahanan, memakai empat bek merupakan pakem dari formasi Di Biagio. Untuk dua bek sayap, seperti yang sudah disinggung diatas. Memasang Conti dan Barreca sangat mendukung daya gedor serangan Azzurrini. Salah satu peluang pertama yang diciptakan Italia kemarin berawal dari crossing Barreca ke Andrea Conti. Sayang, sepakan Conti sedikit melenceng. Di fase awal kualifikasi, pelatih yang sempat membela Roma selama lima musim tersebut, lebih sering memplot duo Romagnoli dan Rugani (5 kali pertandingan). Selebihnya, lebih sering diisi Romagnoli dan Caldara. Mengingat, sejak 24 Maret 2016, Daniele Rugani kerap dipanggil ke tim senior. Di turnamen kali ini, Romagnoli yang sudah menjadi pasangan Rugani sejak Euro U21 2015 absen karena cedera. Rugani dan Caldara menjalani debut sebagai duet pada pertandingan melawan Denmark kemarin dengan apik. Rugani berhasil melakukan 4 clearance serta 7 ball recovery, terbanyak diantara rekan-rekan setimnya. Caldara sendiri kerap melepaskan umpan-umpan panjang, gaya bermainnya setipe dengan seniornya, Leo Bonucci. Di Serie A musim kemarin, bersama Atalanta, akurasi passing Caldara mencapai 85%. Nampaknya, area pertahanan milik Italia U21 bisa dikatakan cukup aman di turnamen kali ini. Italia memang tak pernah kehabisan bek-bek tangguh.

Ketika melawan Denmark di kota berdirinya pabrik milik Oskar Schindler tersebut, Di Biagio memasang Gagliardini untuk memainkan peran sebagai regista. Kontribusinya sangat minim sebagai pengatur permainan. Gagliardini juga sering terlambat melakukan ball recovery. Usaha tadi malah lebih sering dijalankan oleh Lorenzo Pellegrini. Bisa jadi, kegagalan Gagliardini membaca permainan kemarin karena minimnya bermain bersama rekan-rekannya di Italia U21. Gagliardini tak pernah sekalipun turut serta dalam di fase kualifikasi Euro U21 2017. Membangku cadangkan Gagliardini bisa menjadi opsi. Di Biagio cukup memakai dua gelandang, yaitu Benassi dan Pellegrini. Memang beresiko, sebab di klubnya masing-masing, kedua pemain tersebut terbiasa bermain dengan pola 4-3-3. Kalaupun toh tetap memakai tiga gelandang, sejatinya peran regista bisa diisi oleh Danilo Cataldi ataupun Locatelli. Cataldi sendiri pernah diplot pada posisi tersebut oleh Di Biagio.

Hanya saja, yang menjadi titik persoalan adalah peran Berardi dan Bernardeschi. Skenario dari 4-2-3-1 adalah menempatkan Bernardeschi sebagai second striker, di belakang Petagna. Agar Berardi lebih leluasa bermain di sayap kanan, lalu Federico Chiesa biar diberikan tugas untuk menyisir sisi kiri lapangan. Mengacu formasi tersebut, ujung tombak sejatinya berada dibahu Bernardeschi. Sebab, Petagna bukanlah tipe striker pembunuh.

Bagi saya pribadi, peluang Italia untuk mencuri gelar di Polandia sangat minim. Kalau melihat dari jam terbang serta kualitas pemain. Diatas kertas, Spanyol mempunyai modal tersebut. Baru saja mereka memastikan lolos ke semifinal, setelah menggilas Portugal, 3-1. Italia masih harus membenahi skuad serta model pembinaan yang tepat. Dari skuad utama Italia, sisi positif mulai diperlihatkan oleh Ventura. Gemar menjajal pemain-pemain muda, tanpa mengesampingkan peranan mentor-mentor semacam Buffon, De Rossi ataupun Bonucci. Namun, pembinaan di level klub juga harus diperhatikan. Terlalu banyak klub-klub yang mengesampingkan mata atas bibit-bibit yang mereka “tanam” di skuad Primavera. Ingat, Italia tidak mempunyai sistem reserve team seperti di Spanyol, Inggris ataupun Jerman. Pembatasan pemain asing pun akan menurunkan kualitas liga. Berkaca dari komposisi skuad Italy U21 saat ini, percaya pada pemain muda bukanlah hal yang negatif. Di lihat dari asal klub akademi pemain, Atalanta dan AC Milan merupakan penyumbang terbanyak. Toh memanfaatkan pemain muda juga membuat kedua klub yang berasal dari region Lombardy tersebut lolos ke Europa League musim ini. Jadi apa salahnya gais ?

1 komentar:

  1. Silakan Kunjungi Artikel Hasil Bola

    Prediksi Bola Netherlands W vs Sweden W 04 Juli 2019
    Prediksi Bola England W vs USA W 03 Juli 2019
    https://hasilbola.co/prediksi-sepakbola/baca/2232/netherlands-w-vs-sweden-w-04-juli-2019/
    https://hasilbola.co/prediksi-sepakbola/baca/2228/england-w-vs-usa-w-03-juli-2019/

    Dan dapat Hubungi Kontak Whatsapp Kami +62-8122-222-995

    BalasHapus