"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Minggu, 08 Januari 2017

Bernostalgia bersama “Chuck Norris vs Communism”

Bulan Desember 1989.. Sepasang suami istri harus mengakhiri masa hidupnya di tangan pasukan penembak mati. Lesatan peluru yang meluncur dari Kalashnikov alias AK47 menjemput nyawa pasangan tersebut. Si suami menyempatkan diri untuk melantunkan lagu “Internasionale” sebelum dieksekusi, persis seperti yang dilakukan oleh Amir Sjarifuddin pada tahun 1948. Sang suami tadi bernama Nicolae Ceaușescu. Mungkin, Ceaușescu dan istrinya, Elena Ceaușescu tak pernah menyangka, bahwa kado dari rakyat Rumania di hari Natal adalah sebuah kematian.

Di bulan Desember pula, 27 tahun semenjak kematian Nicolae Ceaușescu, saya menonton dokumenter yang menyajikan sebuah kisah unik yang terekam dalam ingatan rakyat Rumania. Sebuah film dokumenter yang digarap Ilinca Calugareanu, berjudul “Chuck Norris vs Communism” (78’ | 2015). Film pertama yang saya saksikan dalam gelaran FFD 15 di Societet Militaire. Judulnya mengundang penasaran, ketika seorang teman “ngebom” beberapa jadwal FFD 15 di salah satu grup yang saya ikuti.

Dokumenter “Chuck Noris vs Communism” membahas tentang film-film Barat (Amerika) yang dikonsumsi oleh masyarakat Rumania secara illegal pada medio 1980an. Maklum, kala itu rezim Rumania dipimpin oleh pemerintah komunis. Secara politik, posisi Rumania lebih condong ke Moskow. Gencarnya arus film-film Amerika masuk ke Rumania disebabkan maraknya alat pemutar VHS. Tentu, kaset-kaset dari film tersebut berlabuh ke Rumania lewat jalur illegal.


Tokoh utama dari film “Chuck Norris vs Communism” adalah Irina Nistor. Seorang perempuan yang setiap pagi sampai sore bekerja di TV pemerintah, di bagian penyensoran. Malamnya, Irina Nistor bekerja lagi sebagai tukang dubbing. Karena keahliannya dalam bahasa Inggris, Irina dipekerjakan oleh seorang pengusaha, namanya Teodor Zamfir. Lewat jalur belakang (pasar gelap), Zamfir membeli film-film Amerika. Agar bisa dijadikan ladang bisnis, film tersebut ia alih suarakan ke dalam bahasa Rumania. Gelombang film Hollywood di Rumania sendiri, mulai marak sejak tahun 1985.


“Chuck Norris vs Communism” merupakan sebuah film yang segar bagi saya pribadi. Penyampaian filmnya masih menggunakan teknik lawas head talking yang mungkin sampai saat ini masih ampuh dan mendominasi dunia dokumenter. Beberapa masyarakat Rumania menceritakan kenangan mereka sewaktu menonton film Barat secara sembunyi-sembunyi. Apabila ada keluarga yang mempunyai VHS, rumahnya akan dijadikan “bioskop mini. Nostalgia yang terbangun lewat wawancara tadi lalu direka ulang ke sebuah adegan oleh beberapa aktor. Baik kenangan ketika warga Rumania menonton film beramai-ramai. Ataupun ketika Irina Nistor sedang bekerja menerjemahkan film-film ke bahasa Rumania. Bahkan, adapula reenactment disaat anggota partai Komunis Rumania “mengrebeg” rumah produksi yang dikelola oleh Teodor Zamfir tersebut. Terakhir, Ilinca Calugareanu memoles karyanya dengan memasukkan scene-scene film Hollywood, baik dari genre action, drama bahkan film religi. Di beberapa menit, kita akan melihat scene-scene film Barat menghiasi Chuck Norris vs Communism. Semisal Taxi Driver, Once Upon a Time in America, Pretty Woman, Jesus of Nazareth, Rocky, hingga Bloodsport.




Menuju penghujung akhir film, sosok asli Irina Nistor dan Teodor Zamfir belum muncul juga. Saksi sejarah yang bermunculan hampir selama satu jam hanyalah perwakilan masyarakat Rumania layaknya sebagai narasumber. Selama itu, sosok Irina Nistor diwakili oleh rekaman suaranya serta aktor yang memerankan dirinya dalam reka adegan. Begitupun dengan sosok Teodor Zamfir. Tentu, saya sendiri bertanya-tanya, apakah Irina Nistor sudah meninggal ? ataupun memang sengaja tidak dimunculkan sosoknya demi alasan keamanan ? ah, ternyata dugaan itu salah. Irina Nistor muncul di menit-menit akhir. Ia juga memberikan kesaksiaan, disaat menerjemahkan film Hollywood dari bahasa Inggris ke Rumania, Irina Nistor tak sempat menonton fillmnya lebih dahulu. Sehari, ia bisa menerjemahkan tiga sampai empat film. Selepas film dialih bahasakan, kopiannya lalu disebarluaskan lewat pasar gelap. Zamfir mengaku, ia menyogok penjaga patroli perbatasan. Sebab, film-film yang ia peroleh, transaksinya berada di perbatasan Rumania dan Hungaria.

Irina Nistor merupakan satu-satunya penerjemah kala itu. Bagi warga Rumania, suara Irina Nistor sangatlah khas. Publik mengamini, bahwa suara Irina Nistor selalu bergaung di kehidupan sehari-hari, nomer dua setelah suara Nicolae Ceausescu. Bahkan, saat itu mereka juga membayangkan, bagaimana bentuk, rupa ataupun rambut dari Irina Nistor. Ada yang mengira wajah Irina Nistor sangat cantik, tubuhnya seperti seorang model dsb. Mereka tidak peduli, apabila suara asli dalam film bertabrakan dengan suara Irina Nistor.



Hingga suatu saat, Teodor Zamfir memperkerjakan satu orang lelaki, yaitu Mircea Cojocaru pada tahun 1987. Mengingat tuntutan akan film Barat semakin tinggi kala itu. Publik kurang simpatik dengan suara laki-laki tadi. Bagi mereka, suara Irina Nistor tetap tak tergantikan. Begitu pula dengan Irina Nistor, ia merasa was-was ketika Zamfir mengangkat Mircea Cojocaru. Bagi Irina, pria tersebut adalah kompetitornya. Namun, siapa yang menyangka bahwa Mircea kelak akan menyelamatkan kerajaan kaset-kaset film yang diproduksi Zamfir. Selama membangun bisnisnya, Zamfir merupakan sosok yang kerap mencurigai para karyawannya. Ia selalu was-was, apabila salah satu dari pegawainya adalah polisi rahasia. Irina Nistor tak luput dari tuduhan tersebut. Kekhawatiran Zamfir tadi terbukti akhirnya. Kantor Zamfir digrebeg oleh polisi-polisi rahasia. Sepucuk pistol sudah berada tepat di depan kening Zamfir. Mircea Cojocaru lalu melontarkan sebuah kata-kata, sebuah “password”, entah apa bunyinya. Para polisi rahasia tadi lalu bergegas pergi meninggalkan kantor Teodor Zamfir. Iya, Mircea merupakan anggota polisi rahasia.



Pilihan reenactment untuk mengambarkan kondisi masa itu merupakan teknik pengambaran yang menarik. Karena apabila dalam waktu 70 menit hanya disuguhi scene wawancara serta penyampaian narasi, bisa dibayangkan, bagaimana bosannya orang yang menonton. Pilihan tadi mirip dengan dokumenter “The Thin Blue Line” (Errol Morris | 1988) yang menyisipkan scene berbau reka adegan. Gaya reenacment juga dipakai “The Missing Picture” besutan Rithy Panh. Bedanya, Rithy Panh menyampaikan kesaksian (peristiwa) sejarah yang ia alami dengan sosok boneka-boneka. Teknik reenacment memang sebuah siasat untuk mengakali sumber-sumber yang susah diperoleh atau tidak terdokumentasikan. Agar bisa “dibaca” dan “diterjemahkan” oleh publik yang menonton. Biarpun secara dramatisasi terkadang berlebihan.


Munculnya sosok Irina Nistor, Teodor Zamfir dan juga Mircea Cojocaru di penghujung film membuat saya berasumsi, ada sisi heroik yang ingin ditampilkan oleh Ilinca terhadap mereka. Bagi Zamfir, turunnya warga Rumania ke jalanan, menginginkan perubahan atas rezim komunis bermula dari film Barat yang mereka tonton. Melihat “luar” lewat film, mengubah cara pandang mereka. Film Chuck Norris vs Communism juga diakhiri dengan rekaman video yang menampilkan kejatuhan Ceausescu. Ketika ribuan rakyat Rumania menuntutnya untuk turun dari jabatan presiden. Akibat krisis ekonomi yang melanda serta kejengkelan warga Rumania melihat keluarga Nicolae Ceausescu yang gemar berfoya-foya.



Sangat disayangkan, tak ada korelasi antara film-film Barat yang dinikmati oleh masyarakat Rumania lalu berimplikasi terhadap jatuhnya dinasti keluarga Ceausescu. Dari sisi pilihan judul pun terkesan sangat bombastis dan heroik. Tapi tak mewakili isi dari film sendiri. Terutama kata “Chuck Norris” sendiri yang secara persinggungan dengan pengalaman narasumber sangatlah minim. Begitu pula dengan hadirnya tiga tokoh utama (Irina Nistor, Zamfir dan Mircea) pada detik-detik akhir. Ilinca mungkin ingin menampilkan sisi kejutan, ibarat pepatah Jawa, “lakon  ki menang keri”. Tapi sayangnya, pilihan tersebut menjadi tidak “berbunyi”. Kemunculan mereka di menit-menit akhir sudah “kalah” dengan metode reenactment yang bagi saya pribadi dikemas dengan apik.

Secara penempatan memang menganggu, namun dari sisi kesaksian, pernyataan yang dilontarkan oleh Zamfir, Irina maupun Mircea cukup membuat saya terhenyak. Irina Nistor misalnya, ia mengaku sudah menerjemahkan sekitar 3000 film. Sembari membuka catatan dari buku kecilnya, ia menuturkan apa saja film yang sudah ia dubbing. Jari-jarinya membuka lembaran kertas dan menunjuk tulisan di buku kecil tersebut. Raut mukanya terlihat bahagia dan bangga ketika melontarkan The Godfather, The Man with Deadly Lens, Cotton Club, Kungfu 2, The Shining, Jaws 2, Death Cruise, Ninja hingga Rough Cut. Di lain pihak, Teodor Zamfir mengungkapkan, rezim Ceausescu saat itu seolah-olah “menutup mata” akan adanya fenomena VHS. Kaset-kaset film yang bertebaran dan menjadi konsumsi publik secara masif akibat teknologi VHS. Zamfir meyakini, saat itu Ceausescu tidak mengontrol fenomena VHS, karena video tape dsb bukan hal yang signifikan. Ceausescu memang luput, para pengikutnya mengonsumsi film Hollywood tanpa sepengetahuannya. Terutama para petinggi polisi rahasia Rumania yang secara diam-diam kerap meminta film-film Hollywood. Zamfir memberinya dengan cuma-cuma, berkedok sebagai pelicin usaha bisnis tentunya. Menonton film-film dari negara kapitalis sama saja sebuah pengkhianatan terhadap rezim komunis yang dikelola oleh Nicolae Ceausescu. “Pengingkaran” tersebut bahkan datang dari orang terdekat Ceausescu, yaitu putranya sendiri yang pernah meminta kaset-kaset film Hollywood kepada Zamfir.



Teknologi VHS memang mengubah cara pandang warga Rumania. Mereka menganggap, film-film Amerika menjadi patokan gaya hidup ataupun fashion yang sedang trendi pada masa itu. Selain itu, anak-anak juga kerap meniru atau menduplikasi dirinya sebagai Chuck Norris, Van Damme ataupun Sylvester “Rambo” Stallone di lapangan bermain selepas menonton film dari Amerika. Salah seorang pria mengungkapkan kisah kecilnya akibat menyaksikan film Rambo. Setiap jam lima pagi, ia berkaca disebuah cermin, berdandan layaknya seorang Rambo. Lalu ia bergegas untuk lari pagi. Tak lupa satu buah telur ayam ia minum, agar kuat layaknya Rambo. Memori-memori sosial warga Rumania terekam dalam “Chuck Norris vs Communism”. Mayoritas film yang masuk ke Rumania pun rata-rata film “kelas dua”. Namun, serangan Hollywood tersebut pengaruhnya sangat signifikan terhadap cara pandang masyarakat Rumania selanjutnya. Landscape yang indah, jalanan lenggang yang dihiasi mobil kelas atas hingga rumah-rumah mewah yang terpampang jelas di dalam film produksi Hollywood. Imajinasi yang tersimpan dalam pikiran mereka saat itu, membayangkan sebuah negara Rumania layaknya negeri Paman Sam. Film menjadi patokan, maklum hanya ada dua channel TV pemerintah. Itupun mengudara dua jam per hari dan hanya berisi agenda propaganda rezim Ceausescu, terutama perkembangan ekonomi Rumania. Seorang narasumber pun mengisahkan pernyataan tantenya sehabis menonton film Nero. Tantenya yang kala itu berumur 70 tahun berujar, “lihat, dia (Nero) seperti Ceausescu, membakar kota Roma, seperti Ceausescu yang menghancurkan gereja dan desa-desa..”

Sayang memang, dalam film “Chuck Norris vs Communism”, Ilinca Calugareanu hanya menunjukan pengakuan dari satu pihak saja, yaitu warga Rumania yang “kontra” terhadap kebijakan Nicolae Ceausescu. Bagaimana dengan pengalaman para polisi rahasia yang juga menikmati film-film Hollywood tersebut ? ataupun dari pihak keluarga Nicolae Ceausescu sendiri ?

Film “Chuck Norris vs Communism” sendiri juga akan mengingatkan kita, bernostalgia ketika film-film dari Amerika “kelas dua” menyerang Indonesia. Film-film laga atau action ala Van Damme, Steven Seagal, Chuck Norris tentu pernah menjejali acara sinema di TV-TV Indonesia bukan. Ataupun memunculkan ingatan kita terhadap pola menonton film di Indonesia. Diawali dengan bioskop, menonton film di rumah melalui betamax, VHS, berlanjut ke VCD lalu DVD. Hingga maraknya budaya meminjam film di rental-rental lalu bertahap lagi pada “generasi internet”, yaitu streaming ataupun mendownload film dan mengadakan nobar film di kost bersama teman-teman kampus. Mau tidak mau, kita harus mengakui, persentuhan terhadap film diawali “Amerikanisasi” yang secara masif masuk lewat budaya populer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar