Tahun 2014, Miley Cyrus mengibarkan
bendera Ikurrina disela-sela gelaran konsernya di Barcelona. Sebuah hal yang
tak lazim tentunya, mengingat Ikurrina merupakan bendera resmi “tetangga”
Catalonia, yaitu Basque Country (Euskadi/Pais Vasco). Barcelona yang berada di
Catalonia lebih kerap diwarnai dengan bendera Senyera, notabene sebagai bendera
resmi Catalonia. Ataupun Estelada yang kerap digambarkan sebagai simbol
perjuangan kemerdekaan Catalan. Senyera juga menjadi bendera resmi di tiga
autonomus communities lain, yaitu Valencia, Balearic Islands serta Aragon.
Apabila Miley Cyrus menggelar konser
tersebut sekitar 60 tahun yang lalu. Bisa jadi langsung “didor”, nyawanya berakhir
dibawah acungan pistol rezim pada masa itu. Francisco Franco yang berkuasa
sejak usainya Perang Sipil Spanyol hingga mangkat di tahun 1975, melarang
segala atribut yang berbau Catalonia ataupun Basque, baik itu bendera, bahasa
dsb. Rezim fasis kala itu benar-benar mengokupasi kultur dua region diatas
dengan dalih atas nama nasionalisme Spanyol ala Castillan. Hingga saat ini,
hantu Franco masih membayang-bayangi Spanyol. Franco Yang Maha Fasis pun
menjadi “senjata” utama bagi Catalonia untuk memperjuangkan (atau “berjualan”)
kemerdekaan. Hantu Franco menjelma ke rezim yang dipimpin Mariano Rajoy, Perdana
Menteri Spanyol saat ini.
Lebih dari seminggu, kita disuguhi berita
tentang referendum Catalonia. Jagad sepakbola pun ramai soal wacana Barcelona
keluar La Liga ataupun seperti apa kelak timnas Catalonia. Saya lalu teringat,
balasan twit dari seorang teman yang menyebut bahwa publik internasional hanya
berkepentingan pada urusan bal-balan. Merujuk pada rivalitas Barcelona vis a
vis Real Madrid. Catalonia yang sekarang jelas berbeda dengan gambaran Eric
Blar aka George Orwell dalam magnum opusnya tentang Catalonia. Urusan El
Clasico tak ada lagi hubungannya dengan Perang Sipil Spanyol. Begitupun dengan
referendum yang dilakukan oleh pemerintah Catalan yang dikomandoi Carles
Puigdemont pada 1 Oktober kemarin. Jargon-jargon bahwa pemerintah Spanyol
adalah pemerintah fasis yang dilancarkan oleh petinggi Catalonia dalam kampanye
terkait referendum, bagi saya pribadi terkesan berlebihan. Pemerintah Spanyol
pun naik pitam, mereka mengancam akan mencabut distribusi keuangan Catalonia
sudah melakukan peyalahgunaan wewenang, yaitu penggunaan dana untuk referendum
yang dianggap illegal. Lalu beberapa situs Catalan mereka tutup, beberapa petinggi
Catalan ditangkap hingga diterjunkannya polisi dan Guardia Civil untuk
menggagalkan referendum. Tepat di tanggal 1 Oktober, warga Catalonia menggelar
referendum. Jutaan masyarakat turun ke jalan untuk menyalurkan aspirasi.
Pilihannya cuman dua, Si or No. Tetap di Spanyol atau membentuk republik
sendiri. Tapi siapa yang menyangka akan muncul sikap represif Guardia Civil
terhadap partisipan referendum. Tak sekedar menyita kotak suara atau kertas
suara, tapi juga memukuli dan menembaki
warga dengan peluru karet. Terlepas dari berita hoax yang beredar, kerusuhan
diatas mengakibatkan 800 orang lebih terluka. Pada titik tersebut, Catalonia
unggul 1-0 atas Spanyol. Lain cerita, apabila pemerintah Spanyol tidak
melakukan kekerasan atas warga Catalonia, secara psikologis, merekalah
pemenangnya.
Dunia internasional nyaris tak bersuara
mengenai referendum Catalonia, adem ayem. Mereka baru membuka diri setelah
adanya kabar tindakan represif pemerintah Spanyol atas warga Catalonia yang
ingin menyuarakan aspirasinya. Kritikan tersebut ditanggapi permintaan maaf
dari pemerintah Spanyol atas tindakan kekerasan yang terjadi di Catalonia. Sikap
dunia internasional tersebut berbeda jauh dengan kejadian 81 tahun lalu, ketika
Perang Sipil Spanyol meletus. Ketika negara-negara lain turut bersuara baik di
kubu Republikan ataupun Nasionalis. Spanyol saat itu menjadi panggung gladi
resik sebelum peluit Perang Dunia II dibunyikan. Baru-baru ini, melalui
pernyataan Menteri Prancis Urusan Eropa, secara terang-terangan, Prancis
menyatakan tidak akan mengakui Catalonia sebagai negara yang merdeka apabila
mereka mendeklarasikan kemerdekaan. Sikap Prancis tersebut dibalas oleh
Emannuel Macron (Presiden Prancis) yang menyarankan agar Uni Eropa tidak usah
memediasi krisis yang terjadi antara Catalonia dan Spanyol. Berbeda dengan Angela
Merkel, bersama Jean Claude Juncker selaku Presiden Komisi Eropa, menghimbau
Mariano Rajoy untuk berdialog dengan pemerintah Catalonia. Jean Claude Juncker
sendiri pernah beropini, bahwa Komisi Eropa menghormati langkah Catalonia untuk
menempuh referendum. Pernyataan tersebut sempat membingungkan beberapa pihak
dan dianggap sebagai opini pribadi, bukan mewakili Komisi Eropa.
Uni Eropa jelas tidak akan mendukung
Catalonia sebagai negara yang merdeka. Biarpun pemerintahan Carles Puigdemont mendeklarasikan
kemerdekaan. Keputusan tersebut akan dianggap sebagai kemerdekaan yang sepihak.
Catalonia kelak akan menjadi acuan bagi wilayah-wilayah lain di Eropa yang juga
ingin memerdekaan diri. Uni Eropa jelas tak ingin melakukan sebuah blunder
seperti yang sudah dilakukan oleh Spanyol. Sejauh ini, sikap mereka masih
sepaham dengan pemerintah Spanyol. Voting yang dilakukan oleh pemerintah
Catalonia adalah inkonstitutional dan illegal. Donald Tusk, selaku Presiden
Dewan Uni Eropa meminta Puigdemont untuk menghormati konstitusi Spanyol dan
menyarankan kepada Mariano Rajoy untuk segera mencari solusi dengan cara
berdialog. Uni Eropa tentu tak mau menjadi pemain dalam konflik antara Spanyol
dan Catalonia. Agaknya, para pemimpin Uni Eropa lupa, pihak Catalonia beberapa
kali meminta kepada Mariano Rajoy untuk berdialog. Tapi sayang, tawaran
tersebut selalu ditolak. Catalonia tak pernah memakai cara kekerasan dalam
mengupayakan kemerdekaan. Bahkan, daerah tersebut kerap menjadi bulan-bulanan
terorisme, lucunya, teror terakhir datang dari pemerintah Spanyol.
Setelah Franco wafat, Catalonia mendapatkan
haknya untuk mengelola wilayahnya sendiri. Kebudayaan mereka pun sudah tidak
lagi dilarang di publik. Toh, daerah kelahiran Pep Guardiola tersebut merupakan
salah satu dari autonomus communities terkaya. Setidaknya, Catalonia termasuk
lima daerah penyumbang GDP terbesar di Spanyol. Sebelum tahun 2010, nyaris
tuntutan untuk merdeka jarang terdengar. Alasan terbesar adalah krisis ekonomi
yang menimpa Spanyol di tahun 2008. Disusul polemik Statuta Otonomi Catalonia
di tahun 2010. Hingga distribusi keuangan dari pajak yang tidak merata. Saya
sendiri berpandangan, persoalan Catalonia dewasa ini adalah urusan ekonomi.
Biarpun Carles Puigdemont pernah mengungkapkan di Al Jazeera TV bahwa
referendum Catalonia adalah persoalan politik. Catalonia mungkin tidak akan
menyerah begitu saja. Penantian panjang mereka melaksanakan referendum akan
terasa sia-sia. Deklarasi kemerdekaan Catalonia akan berdampak buruk pada
status otonomi. Spanyol mempunyai senjata yang cukup ampuh, yaitu pengunaan
Pasal 155 Konstitusi Spanyol. Catalonia akan kehilangan pengelolaan ekonomi
serta (mungkin) pelarangan simbol atau budaya Catalonia. Apalagi, baru-baru ini
ratusan ribu warga Catalonia turun ke jalan menolak pemisahan diri dari
Spanyol. Salah satu politikus yang getol menolak referendum adalah Ines
Arrimadas dari partai Ciudadanos. Bagi saya, salah satu alternatif adalah
pengelolaan pajak mandiri layaknya di Basque Country serta Navarre. Pertanyaannya,
apakah pemerintah Spanyol bersedia memberlakukan peraturan tersebut dan
menyerahkan secara cuma-cuma ke wilayah Catalonia ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar