"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Rabu, 11 Oktober 2017

Jalan Panjang Catalonia

Tahun 2014, Miley Cyrus mengibarkan bendera Ikurrina disela-sela gelaran konsernya di Barcelona. Sebuah hal yang tak lazim tentunya, mengingat Ikurrina merupakan bendera resmi “tetangga” Catalonia, yaitu Basque Country (Euskadi/Pais Vasco). Barcelona yang berada di Catalonia lebih kerap diwarnai dengan bendera Senyera, notabene sebagai bendera resmi Catalonia. Ataupun Estelada yang kerap digambarkan sebagai simbol perjuangan kemerdekaan Catalan. Senyera juga menjadi bendera resmi di tiga autonomus communities lain, yaitu Valencia, Balearic Islands serta Aragon.

Apabila Miley Cyrus menggelar konser tersebut sekitar 60 tahun yang lalu. Bisa jadi langsung “didor”, nyawanya berakhir dibawah acungan pistol rezim pada masa itu. Francisco Franco yang berkuasa sejak usainya Perang Sipil Spanyol hingga mangkat di tahun 1975, melarang segala atribut yang berbau Catalonia ataupun Basque, baik itu bendera, bahasa dsb. Rezim fasis kala itu benar-benar mengokupasi kultur dua region diatas dengan dalih atas nama nasionalisme Spanyol ala Castillan. Hingga saat ini, hantu Franco masih membayang-bayangi Spanyol. Franco Yang Maha Fasis pun menjadi “senjata” utama bagi Catalonia untuk memperjuangkan (atau “berjualan”) kemerdekaan. Hantu Franco menjelma ke rezim yang dipimpin Mariano Rajoy, Perdana Menteri Spanyol saat ini.

Lebih dari seminggu, kita disuguhi berita tentang referendum Catalonia. Jagad sepakbola pun ramai soal wacana Barcelona keluar La Liga ataupun seperti apa kelak timnas Catalonia. Saya lalu teringat, balasan twit dari seorang teman yang menyebut bahwa publik internasional hanya berkepentingan pada urusan bal-balan. Merujuk pada rivalitas Barcelona vis a vis Real Madrid. Catalonia yang sekarang jelas berbeda dengan gambaran Eric Blar aka George Orwell dalam magnum opusnya tentang Catalonia. Urusan El Clasico tak ada lagi hubungannya dengan Perang Sipil Spanyol. Begitupun dengan referendum yang dilakukan oleh pemerintah Catalan yang dikomandoi Carles Puigdemont pada 1 Oktober kemarin. Jargon-jargon bahwa pemerintah Spanyol adalah pemerintah fasis yang dilancarkan oleh petinggi Catalonia dalam kampanye terkait referendum, bagi saya pribadi terkesan berlebihan. Pemerintah Spanyol pun naik pitam, mereka mengancam akan mencabut distribusi keuangan Catalonia sudah melakukan peyalahgunaan wewenang, yaitu penggunaan dana untuk referendum yang dianggap illegal. Lalu beberapa situs Catalan mereka tutup, beberapa petinggi Catalan ditangkap hingga diterjunkannya polisi dan Guardia Civil untuk menggagalkan referendum. Tepat di tanggal 1 Oktober, warga Catalonia menggelar referendum. Jutaan masyarakat turun ke jalan untuk menyalurkan aspirasi. Pilihannya cuman dua, Si or No. Tetap di Spanyol atau membentuk republik sendiri. Tapi siapa yang menyangka akan muncul sikap represif Guardia Civil terhadap partisipan referendum. Tak sekedar menyita kotak suara atau kertas suara, tapi juga memukuli  dan menembaki warga dengan peluru karet. Terlepas dari berita hoax yang beredar, kerusuhan diatas mengakibatkan 800 orang lebih terluka. Pada titik tersebut, Catalonia unggul 1-0 atas Spanyol. Lain cerita, apabila pemerintah Spanyol tidak melakukan kekerasan atas warga Catalonia, secara psikologis, merekalah pemenangnya.

Dunia internasional nyaris tak bersuara mengenai referendum Catalonia, adem ayem. Mereka baru membuka diri setelah adanya kabar tindakan represif pemerintah Spanyol atas warga Catalonia yang ingin menyuarakan aspirasinya. Kritikan tersebut ditanggapi permintaan maaf dari pemerintah Spanyol atas tindakan kekerasan yang terjadi di Catalonia. Sikap dunia internasional tersebut berbeda jauh dengan kejadian 81 tahun lalu, ketika Perang Sipil Spanyol meletus. Ketika negara-negara lain turut bersuara baik di kubu Republikan ataupun Nasionalis. Spanyol saat itu menjadi panggung gladi resik sebelum peluit Perang Dunia II dibunyikan. Baru-baru ini, melalui pernyataan Menteri Prancis Urusan Eropa, secara terang-terangan, Prancis menyatakan tidak akan mengakui Catalonia sebagai negara yang merdeka apabila mereka mendeklarasikan kemerdekaan. Sikap Prancis tersebut dibalas oleh Emannuel Macron (Presiden Prancis) yang menyarankan agar Uni Eropa tidak usah memediasi krisis yang terjadi antara Catalonia dan Spanyol. Berbeda dengan Angela Merkel, bersama Jean Claude Juncker selaku Presiden Komisi Eropa, menghimbau Mariano Rajoy untuk berdialog dengan pemerintah Catalonia. Jean Claude Juncker sendiri pernah beropini, bahwa Komisi Eropa menghormati langkah Catalonia untuk menempuh referendum. Pernyataan tersebut sempat membingungkan beberapa pihak dan dianggap sebagai opini pribadi, bukan mewakili Komisi Eropa.

Uni Eropa jelas tidak akan mendukung Catalonia sebagai negara yang merdeka. Biarpun pemerintahan Carles Puigdemont mendeklarasikan kemerdekaan. Keputusan tersebut akan dianggap sebagai kemerdekaan yang sepihak. Catalonia kelak akan menjadi acuan bagi wilayah-wilayah lain di Eropa yang juga ingin memerdekaan diri. Uni Eropa jelas tak ingin melakukan sebuah blunder seperti yang sudah dilakukan oleh Spanyol. Sejauh ini, sikap mereka masih sepaham dengan pemerintah Spanyol. Voting yang dilakukan oleh pemerintah Catalonia adalah inkonstitutional dan illegal. Donald Tusk, selaku Presiden Dewan Uni Eropa meminta Puigdemont untuk menghormati konstitusi Spanyol dan menyarankan kepada Mariano Rajoy untuk segera mencari solusi dengan cara berdialog. Uni Eropa tentu tak mau menjadi pemain dalam konflik antara Spanyol dan Catalonia. Agaknya, para pemimpin Uni Eropa lupa, pihak Catalonia beberapa kali meminta kepada Mariano Rajoy untuk berdialog. Tapi sayang, tawaran tersebut selalu ditolak. Catalonia tak pernah memakai cara kekerasan dalam mengupayakan kemerdekaan. Bahkan, daerah tersebut kerap menjadi bulan-bulanan terorisme, lucunya, teror terakhir datang dari pemerintah Spanyol.

Setelah Franco wafat, Catalonia mendapatkan haknya untuk mengelola wilayahnya sendiri. Kebudayaan mereka pun sudah tidak lagi dilarang di publik. Toh, daerah kelahiran Pep Guardiola tersebut merupakan salah satu dari autonomus communities terkaya. Setidaknya, Catalonia termasuk lima daerah penyumbang GDP terbesar di Spanyol. Sebelum tahun 2010, nyaris tuntutan untuk merdeka jarang terdengar. Alasan terbesar adalah krisis ekonomi yang menimpa Spanyol di tahun 2008. Disusul polemik Statuta Otonomi Catalonia di tahun 2010. Hingga distribusi keuangan dari pajak yang tidak merata. Saya sendiri berpandangan, persoalan Catalonia dewasa ini adalah urusan ekonomi. Biarpun Carles Puigdemont pernah mengungkapkan di Al Jazeera TV bahwa referendum Catalonia adalah persoalan politik. Catalonia mungkin tidak akan menyerah begitu saja. Penantian panjang mereka melaksanakan referendum akan terasa sia-sia. Deklarasi kemerdekaan Catalonia akan berdampak buruk pada status otonomi. Spanyol mempunyai senjata yang cukup ampuh, yaitu pengunaan Pasal 155 Konstitusi Spanyol. Catalonia akan kehilangan pengelolaan ekonomi serta (mungkin) pelarangan simbol atau budaya Catalonia. Apalagi, baru-baru ini ratusan ribu warga Catalonia turun ke jalan menolak pemisahan diri dari Spanyol. Salah satu politikus yang getol menolak referendum adalah Ines Arrimadas dari partai Ciudadanos. Bagi saya, salah satu alternatif adalah pengelolaan pajak mandiri layaknya di Basque Country serta Navarre. Pertanyaannya, apakah pemerintah Spanyol bersedia memberlakukan peraturan tersebut dan menyerahkan secara cuma-cuma ke wilayah Catalonia ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar