"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Kamis, 29 Desember 2016

Antara Celeng dan Palu Arit : Mengungkap Ingatan Simbolik, Politik dan Agraria Masyarakat Kaliwisnu, Desa Lumeneng, Kecamatan Paninggaran, Pekalongan

Permasalahan mengenai agraria memang merupakan problema pelik di negara ini. Agraria selalu berhubungan dengan permasalahan tanah, entah itu dalam konteks sosial atau ekonomi. Akan tetapi agraria bisa juga dihubungkan dengan persoalan tradisi, politik, kepercayaan serta aspek simbolik

Pendahuluan
“Kaliwisnu itu tempatnya orang payah mas...”
“Disini banyak yang kuliah juga mas, kuli-kuli payah...”
“Pertanian disini sebenarnya bagus mas, tanahnya juga bagus. Tapi ya itu tadi, celeng yang suka ngrusak tanaman...”

Kata-kata yang tertulis diatas menjadi ingatan penulis sampai saat ini. Kalimat tadi paling sering diucapkan oleh pak bahu Kaliwisnu.  Bahu  merupakan jabatan tertinggi dalam tingkatan sebuah dusun. Kemungkinan, kata bahu berasal dari kata mbahurekso alias yang berkuasa atau yang memimpin. Posisi bahu sama dengan apa yang kita kenal sebagai kepala dusun atau dukuh. Memang secara tempat daerah Kaliwisnu merupakan dusun yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Biarpun arus modernitas sudah merasuk ke dalam sela-sela kehidupan masayarakat disana. Kaliwisnu, sebuah daerah yang terletak di dataran tinggi Pekalongan. Daerah ini berada di wilayah desa Lumeneng, kecamatan Paninggaran, Pekalongan. Dusun Kaliwisnu “ditemani” delapan dusun tetangga. Yaitu, Lumeneng Wetan (Krajan), Lumeneng Tengah, Lumeneng Kulon (Dukuh), Karang Sari, Wanasida, Sumingkir, Ujung Parang, Sikembang. Secara letak, daerah Kaliwisnu beserta Karang Sari merupakan dusun dengan lokasi paling tinggi diantara dusun-dusun yang lain.
Penulis berada disana selama 12 hari. Sesuai dengan kaidah apa itu etnografi, penulis jelas harus melakukan sebuah penelitian lapangan. Sesuai pengantar dari Amri Marzali dalam buku Metode Etnografi karya James P. Spradley, etnografi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah tulisan atau laporan mengenai suatu suku atau masyarakat di sebuah daerah. Laporan tadi dilakukan oleh seorang antropolog berdasarkan hasil kerja atau penelitian lapangan. Etnografi bisa diartikan sebagai laporan penelitian atau metode penelitian. Etnografi sendiri dapat memberikan kita sebuah hasil yaitu gambaran atas suatu kebudayaan masyarakat tertentu. Etnografi tidak hanya sekedar mempelajari suatu masyarakat, akan tetapi belajar dari masyarakat itu sendiri selama penelitian lapangan berlangsung. Dari etnografi kita dapat mengetahui suatu makna-makna tertentu atas kejadian yang kita amati, atau kita dengarkan. Makna tadi akan termaktub dari tingkah laku atau bahasa (kata-kata). Makna tadi adalah kebudayaan dari objek yang kita teliti selama kerja lapangan. 
Fokus yang terdapat dalam penelitian kali ini terletak pada ingatan masa lalu dari warga Kaliwisnu. Ingatan yang dimaksud adalah ingatan yang berbau simbolik, politik serta agraria secara tradisi.  Memang, memori manusia tidak dapat dipastikan bahwa itu benar. Kebenaran merupakan sebuah hal yang mutlak, namun sebuah fakta merupakan sebuah hal yang subjektif. Pewarisan ingatan atau pengalaman tadi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu mitos, sastra dan sejarah. Sejarah yang konon dikenal sebagai penjaga fakta, sesungguhnya penuh dengan sifat subjektif. Begitu juga dengan mitos dan sastra. Ketiga-tiganya bersifat subjektif, hanya saja sejarah tidak sepenuhnya subjektif, melainkan intersubjektif. Maksudnya, tidak mutlak objektif, tidak juga murni subjektif (Kuntowijoyo, 2002 : 39-40).  Ingatan-ingatan yang terkumpul dalam laporan atau data harian tadi akan dibenturkan satu sama lain. Benturan-benturan ingatan akan dikumpulkan satu sama lain untuk dicocokkan.
Fokus dalam penelitian ini terletak ke dalam dua hal. Yaitu ingatan terhadap politik PKI (tragedi 65) serta tradisi yang berbau agraria, yaitu berburu babi hutan atau celeng perusak tanaman (gedhegan). Berburu babi hutan dengan bantuan seorang tokoh semacam dukun yang disebut kemongkong. Usut punya usut, dusun Kaliwisnu dikenal sebagai kampung PKI. Pernyataan tersebut membuat penulis penasaran, apakah cap tersebut benar adanya atau hanyalah sekedar gosip. Karena hal-hal yang berbau PKI pasti sangat sensitif di telinga masyarakat. Uniknya, setiba disana, penulis merasakan bahwa daerah ini sangat muslim sekali, tepatnya NU banget. Setiap sholat maghrib usai, jamaah selalu membaca doa-doa tahlilan, perjanjen (barzanji), yassin dll. Selain itu, foto-foto yang terpakang disetiap rumah adalah gambar-gambar tokoh NU. Seperti Hasyim Asyyari selaku pendiri NU, ataupun seorang kyai yang oleh masyarakat Kaliwisnu sangat mereka puja, yaitu Syekh Ahmad dari Cikura Tegal. Daerah Kaliwisnu memang sarangnya NU.
Mengenai berburu babi hutan alias celeng (gedhegan), tradisi tersebut sebenarnya sudah lama hilang. Namun, beberapa warga masih menyimpan kisah-kisah, kenangan mengenai tradisi tersebut. Penyampaian ulang pengalaman menonton perburuan celeng tersebutlah yang akan menjadi bahasan utama dari tradisi gedhegan. Tradisi berburu babi hutan tersebut sebenarnya juga ada di daerah Petungkriyono. Berburu celeng di Petungkriyono pernah dibahas oleh Pujo Semedi dalam artikelnya yang berjudul "Wild Pig Hunting in Petungkriono". Sayangnya, tradisi tadi juga sudah punah di Petungkriyono. Pembahasan mengenai dua hal tadi akan dilanjutkan dalam bagian selanjutnya.

Menyingkap Kaliwisnu
Wilayah Kaliwisnu terdiri atas tiga RT. Pembagian RT berdasarkan tempatnya, RT 1 terletak paling atas, RT 2 berada di wilayah tengah, sedang RT 3 berada di bawah dekat sungai. Ada satu dusun kecil bernama Cokrah, dusun ini ikut RT 2. Cokrah memang sebuah dusun, namun mereka harus bergabung dengan dusun Kaliwisnu karena penduduknya sedikit.
Pertama kali menginjakkan kaki di Kaliwisnu, penulis berpikir apa yang harus penulis lakukan disana. Mengingat letak daerahnya yang begitu jauh dari dusun-dusun lain. Disaat berjalan menyusuri tanah-tanah berlinangan air hujan, penulis bertemu beberapa anak kecil memakai baju muslim. Mereka menyapa dengan ramah, begitu juga dengan beberapa warga lain. Penulis tetap merasa asing disana, karena pikiran apa yang harus penulis lakukan. Konon daerah ini dulu menjadi sarang PKI. Sebelum tiba di Kaliwisnu, penulis berpikir dan menduga bahwa daerah tersebut pasti sekuler atau kejawen. Namun, setelah masuk daerah Kaliwisnu, dugaan penulis salah. Daerah Kaliwisnu ternyata kampung santri, tepatnya kampung Nahdliyin.
Dusun Kaliwisnu terbilang terpencil, biarpun wilayah Lumeneng sudah diterjang budaya populer. Nampaknya daerah Kaliwisnu tidak terlalu dirasuki budaya tersebut. Wilayah ini tetap ndeso, memang sedikit unsur modernitas sudah masuk. Semacam handphone, motor, tv dll. Namun, dari segi gaya hidup, mereka masih nampak sederhana dan tidak neko-neko. Rumahnya sangat sederhana, terbuat dari papan-papan. Atapnya sudah dari genteng, sedang ternitnya juga dari papan. Jalan-jalan terbuat dari cor-coran semen dengan batu. Beberapa jalan, ada pula yang belum disemen, masih tanah.
Beberapa rumah di Kaliwisnu sebenarnya sudah bagus. Depannya terlihat seperti model rumah di perkotaan, bahkan sudah ada yang diberi pagar dari tralis. Terlihat sangat mewah, bahkan sudah tingkat. Lantai di dalam rumah pun  sudah dikeramik. Kebanyakan rumah warga disni sudah di keramik. Temboknya sudah disemen, berbeda dengan rumah milik pak bahu yang rumahnya masih terbuat dari susunan papan kayu. Hanya saja, bagian belakang rumah (pawon/dapur), lantainya masih beralaskan tanah.
Sistem kekeluargaan disini sifatnya matrilokal. Suami harus tinggal di rumah istrinya. Apabila bercerai, anak akan dirawat oleh pihak perempuan, tapi bisa juga oleh pihak laki-laki, tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi, tanah yang dikelola oleh pihak laki-laki adalah tanah yang asalnya dari pihak perempuan. Otomatis, tanahnya harus diserahkan ke pihak perempuan lagi. Kasus perceraian disini kemungkinan sangat tinggi intensitasnya. Karena banyaknya pihak laki-laki yang menikah beberapa kali. Mereka tidak mungkin menempati dua rumah sekaligus. Jadi harus diceraikan salah satunya.
Perempuan-perempuan disini kebanyakan berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Hanya saja mereka nyambi membantu suaminya, entah dengan cara mencari rumput atau mencari pasir. Kondisi tadi sangat berbeda dengan dusun tetangga Kaliwisnu. Di dusun Sikembang, Lumeneng Wetan, Lumeneng Kulon serta Lumeneng Tengah, sangat jarang ada fenomena perempuan bekerja keras membantu suami mereka. Keempat daerah tadi memang sangat berbeda kondisinya. Daerah tersebut bisa dikatakan lebih maju ketimbang Kaliwisnu.

Cap “Merah” yang Terputihkan
Sebagaimana yang sudah disampaikan diatas. Menarik karena kampung Kaliwisnu dikenal sebagai kampungnya orang-orang PKI. Kejadian tadi bermula saat ada orang yang datang ke Kaliwisnu. Orang tersebut menemui pak Mohari  (bahu saat itu). Orang tadi membawa sebuah dokumen yang isinya entah apa. Namun, pak bahu Mohari beserta warga harus menandatangai dokumen tersebut. Tetapi menurut pak bahu Ra’lim, kejadian tadi berawal sebelum meletusnya G 30 S.
Memang cukup aneh cerita tentang Gestapu/Gestok disini. Pak bahu menyatakan, saat itu Pak Ma’sum, ayah Pak Ra’lim sempat didatangi oleh orang-orang kelurahan. Anehnya, pada malam hari ada sebuah tulisan “G 30 S/PKI” di depan rumah/pintu warga Kaliwisnu. Semua rumah ditempeli atau ditulisi kata-kata “G 30 S/PKI” dengan split (sejenis aspal). Pak Ma’sum kaget melihat didepan rumahnya ada tulisan. Ia menyuruh anaknya, yaitu Pak Karno untuk membaca tulisan tersebut, karena Pak Ma’sum tidak bisa membaca. Mendengar tulisannya berbunyi “G 30 S/PKI”, Pak Ma’sum kaget. Ia menyuruh Pak Karno untuk menutup atau menghapus tulisan tadi supaya aman. Semua rumah di Kaliwisnu terpampang tulisan/stempel/cap G 30 S/PKI. Lucunya, stempel tadi dipasang sebelum meletusnya Gestapu. Pak Ma’sum mendapat info bahwa akan ada orang-orang yang mendatangi Kaliwisnu. Info tadi berisi bahwa orang-orang PKI akan mendatangi dusun tersebut.
Pasca meledaknya pembunuhan jenderal-jenderal di Jakarta, daerah Pekalongan geger. Semua warga diperiksa, mereka simpatisan PKI atau bukan. Kakak Pak bahu Ra’lim sempat diinterogasi oleh petugas, akan tetapi kakak Pak bahu Ra’lim mempunyai kartu GP Anshor jadi aman. Di daerah Paninggaran memang sedang geger-gegernya PKI. Uniknya daerah Kaliwisnu dianggap sarangnya PKI karena cap atau stempel yang terpampang ditiap rumah. Menurut pak bahu, kampung Kaliwisnu sempat akan dibakar oleh RPKAD dan GP Anshor. Oleh Pak Ma’sum dicegah karena mereka tidak tahu apa-apa. Pak Ma’sum selamat karena ia sempat menghapus tulisan “G 30s/PKI” tadi. Sedang warga yang lain tidak sempat menutupinya karena tidak tahu apa-apa. Bahkan Pak Mohari, bahu kala itu ikut terancam juga. Padahal beliau tidak tahu menahu. Yang ia tahu hanyalah disuruh menandatangani sebuah dokumen yang entah isinya apa.
Kemungkinan, dokumen tadi berisi data-data simpatisan PKI. Saat itu juga, Pak Ma’sum disuruh menjadi bahu yang baru menggantikan Pak Mohari. Karena Pak Mohari diduga terlibat PKI. Pak Ma’sum diperintah oleh pak lurah untuk menjadi bahu yang baru. Semua warga Kaliwisnu meminta tolong kepada Pak Ma’sum yang aman dari tuduhan PKI. Di daerah Kaliwisnu yang tertangkap ada dua orang. Yaitu Pak Abdullah (Dullah) dan Pak Waryono. Kemungkinan besar Pak Waryono ditangkap di pasar, disaat dirinya sedang berjualan. Menurut cerita, dirinya mempunyai seorang istri yang saat itu sedang mengandung. Sedangkan Pak Dullah, langsung dibawa Nusakambangan. Pak Dullah mempunyai seorang anak, yaitu Pak Subchi. Kemungkinan besar, Pak Subchi paham tentang nasib ayahnya. 
Kediaman Pak Ma’sum yang tadinya untuk meminta perlindungan disebabkan karena beliau satu-satunya orang atau keluarga yang tidak terseret tuduhan anggota PKI. Sebelumnya Pak Ma’sum sempat meminta perlindungan terhadap kakaknya dan juga adiknya. Pak Ma’sum juga didatangi kyai dari Plumbon untuk menenangkan dirinya. memohon perlindungan supaya kondisinya baik-baik saja alias selamat dari ancaman PKI. Menurut pak bahu, PKI saat itu menawarkan alias berkampanye sebuah program, semacam pemberian tanah, rumah, sawah bahkan wanita. Pentas kesenian juga sering diselengarakan oleh PKI untuk menarik simpati rakyat.
Selanjutnya, berdasarkan info atau cerita dari Pak Rasto, ada sebuah kejanggalan mengenai kisah PKI di Kaliwisnu. Pak Rasto tidak menceritakan soal cap atau stempel “G30S/PKI”. Ia hanya menceritakan soal nasib anak cucu yang diduga anggota PKI. Mereka tidak bisa menjadi PNS, perangkat desa. Ia memberikan contoh, anaknya sendiri yaitu pak bayan Slamet bisa menjadi perangkat desa karena dirinya tidak terlibat PKI. Cerita yang dia sampaikan hanyalah dua warga Kaliwisnu yang tertangkap. Seperti yang sudah disampaikan diatas, yaitu Pak Abdullah dan Pak Waryono. Bagi Pak Rasto, kedua orang tersebut hanyalah korban salah tangkap. Mereka tidak tahu apa-apa, tapi tertangkap karena namanya tercantum dalam sebuah dokumen yang dibawa oleh pemerintah. Seakan-akan, pernyataan dari pak Rasto menunjukkan sebuah kesan menutup-nutupi kasus PKI di Kaliwisnu.
Masing terngiang-ngiang dalam pikiran penulis mengenai mitos PKI di Kaliwisnu. Akhirnya penulis memutuskan untuk kroscek ke dusun lain. Sebab, kemungkinan warga di Kaliwisnu tidak mau bercerita soal cap PKI. Penulis memutuskan untuk bermain ke dusun Sikembang. Bahu disana bernama pak Dul Bashor. Ia menceritakan mengenai kampung Kaliwisnu yang saat ini sudah berubah dibandingkan dulu. Menurut beliau, dulu ada seorang tokoh yang bernama Pak Dullah (ayah Pak Subchi). Berdasarkan cerita Pak Dul Bashor, dulu Pak Dullah ingin menyalonkan diri menjadi camat. Ia juga menambahkan, di Kaliwisnu sering diadakan acara Lekranan serta beberapa warganya menjadi anggota Gerwani.
Hingga tahun 2009 kemarin, Kaliwisnu masih terus diawasi oleh pemerintah. Apakah di daerah tersebut masih ada orang-orang yang tercantum dalam daftar dokumen anggota PKI. Kurang begitu paham, apa isi dokumen tersebut. Tetapi berdasarkan cerita, dapat dipahami bahwa dokumen tadi adalah data orang-orang Kaliwisnu yang terkena cap atau malah dianggap anggota PKI. Pernyataan tadi hampir sama dengan penuturan pak bahu Ra’lim. Dulu dirinya pernah dipanggil ke kecamatan dan ditanyai mengenai daftar orang-orang yang ada didalam data tersebut. Pak bahu Ra’lim hanya menjawab, sudah tidak ada lagi orang-orangnya. Sekarang hanya tinggal anak cucunya saja, yang sebenarnya juga tidak tahu apa-apa.
Memang, berdasarkan pendapat warga di dusun lain, seluruh masyarakat atau keluarga di Kaliwisnu dianggap anggota PKI. Karena itu pula banyak cap dari dusun lain bahwa Kaliwisnu adalah kampung PKI. Akan tetapi hal tersebut akan susah ditelusuri kebenarannya, karena warga Kaliwisnu berusah menutup-nutupi ceritanya. Mungkin pak bahu sangat terbuka menceritakan mengenai masalah tadi. Namun berbeda dengan warga lain yang masih sensitif dan berusaha memelintir pembicaraan mengenai masalah PKI. Bahkan, mbok Ireng yang merupakan salah satu dari beberapa tetua Kaliwisnu, dengan tegas menyatakan bahwa keluarganya tidak terlibat PKI. Tapi loyal terhadap gambar banteng alias PNI.
Resistensi warga Kaliwisnu terhadap cap PKI tampaknya menjadi pembahasan menarik untuk diteliti. Bisa jadi daerah tersebut memang diputihkan oleh pemerintah. Hal tersebut terbukti dengan kuatnya pandangan warga terhadap ajaran Islam, terutama jaran dari kalangan Nahdliyin. Mengingat saat peristiwa pembantaian massal “PKI”, organisasi NU mempunyai “andil” besar dalam peristiwa tersebut. Resistensi mereka terhadap cap PKI sangat jelas terasa. Simbol-simbol NU menjadi tameng bagi mereka untuk mengakali bahwa daerah ini mempunyai aib besar, yaitu “di PKI kan”. Dengan asumsi entah benar atau salah. Resistensi tersebut terbukti dengan terpampangnya simbol NU, semacam foto tokoh-tokoh NU. Entah itu poster pendiri NU atau kyai pujaan hati mereka, yaitu Syekh Ahmad dari Cikura, Tegal.
Perlu diketahui, menurut penuturan warga, Syekh Ahmad selalu menghisap rokok tiap kali memberikan pengajian. Asap rokok yang berhamburan akan menghalangi setiap dosa-dosa atau hal-hal haram yang akan bermunculan dan akan dilihat mata. Uniknya lagi, foto dengan gambar Syekh Ahmad dijual pula saat pengajian. Warga berpendapat, apabila belum membeli foto tersebut, bisa dipastikan hatinya belum mantab. Sebab, dengan membeli foto tersebut, membuat hati semakin tenang dan mampu menghalangi segala macam bahaya yang masuk ke rumah, semacam tuyul, maling dsb.

Gedhegan, Ritus yang Hilang : Celeng-celeng Mengancam Kaliwisnu
Ada sebuah tradisi unik yang sempat hinggap di dusun Kaliwisnu. Tradisi tadi bernama gedhegan, berasal dari kata gedheg atau gedhek yang berarti papan yang terbuat dari anyaman bambu. Tradisi gedhegan merupakan sebuah tontonan menarik bagi warga Kaliwisnu, bahkan Paninggaran. Tradisi tersebut bertujuan untuk mengusir babi hutan atau celeng supaya tidak merusak tanaman warga. Lebih tepatnya, celeng-celeng tadi dibunuh satu per satu dalam sebuah arena.
Berdasarkan cerita dari Pak bahu Ra’lim, dulu ada seorang tokoh yang bernama Pak Mohari. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab diatas, Pak Mohari adalah mantan bahu Kaliwisnu. Pak Mohari dikenal sangat baik dan sakti serta sering berpuasa. Pak Mohari juga seorang bahu yang berwibawa, cakap memimpin. Menariknya, Pak Mohari adalah seorang kemongkong. Apa itu kemongkong ? kemongong adalah pemburu celeng tapi tidak memakai senjata, baik pistol maupun benda tajam, bisa dikatakan dukun. Kemongkong mempunyai seorang asisten, istilahnya adalah sekudi. Menjadi kemongkong merupakan hal yang sulit, karena perlu ilmu yang mumpuni. Entah mantranya seperti apa, warga disekitar Kaliwisnu tidak ada yang tahu. Pak Mohari sendiri merupakan satu diantara dua spesialis kemongkong di kecamatan Paninggaran.
Ritual gedhegan tersebut berfungsi untuk membasmi hama celeng yang dianggap menganggu pertanian atau perkebunan warga Kaliwisnu. Apabila celeng yang sudah tertangkap akan dibawa ke dalam gedheg. Disana warga sudah siap-siap, entah untuk sekedar menonton atau ikut membantai celeng-celeng. Jumlah warga yang menonton melebih ramainya acara Agustusan. Pengunjung tidak hanya dari Kaliwisnu, namun juga dari berbagai dusun se Paninggaran. Gedhegan ibarat sebuah acara “pembunuhan massal” celeng-celeng di tengah arena lapangan. Mereka yang turut membunuh celeng adalah para lelaki dan membawa sebuah tombak sebagai senjata “pemusnah” celeng. Di acara gedhegan tersebut, tidak ada yang menjual makanan atau jajanan.
Lalu bagaimana dengan seorang kemongkong sendiri ? Menurut ingatan mbok Ireng, yang notabene putri kandung Pak Mohari. Kemongkong adalah seorang yang mempunyai ilmu untuk mengumpulkan babi hutan atau celeng. Ayahnya dulu belajar ilmu kemongkong dari Pak Purwadi yang asalnya dari Secengis. Kemongkong mempunyai anak buah, lebih dikenal dengan nama sekudi. Para sekudinya pak Mohari kala itu adalah Pak Sakur, Pak Wahid, serta satu lagi, namun penulis lupa namanya.
Proses pengumpulan celeng tadi dilakukan sesuai kesepakatan warga. Tidak ada waktu atau hari-hari tertentu. Apabila ada celeng-celeng yang merusak tanaman warga, baru akan diadakan ritual gedhegan. Bahkan, dulu bisa sampai setahun tiga kali diadakan acara gedhegan. Pertama yang harus dilakukan adalah pertemuan antar warga. Apabila warga sudah sepakat dan diketahui pula perkiraan jumlah celeng yang merusak tanaman, prosesi kemongkong akan segera dilaksanakan. Menurut mbok Ireng, jumlah KK saat itu sekitar 80-90an KK. Apabila jumlah KK sekitar 80, berarti ada sekitar 80 warga yang merasa tanamannya dirusak oleh celeng. Warga yang merasa terganggu oleh celeng diwajibkan untuk membuat gedheg berbentu kotak atau persegi dengan ukuran 1,5m². Gedheg tadi akan digunakan sebagai perangkap celeng.
Seorang kemongkong wajib melakukan tata cara atau syarat utama. Ia harus puasa patigeni di kamar. Tidak ada lampu yang hidup, makan serta minum ala kadarnya. Setelah mampu melakukan puasa pati geni, ritual kemongkong baru dilaksanakan. Seorang kemongkong harus tidur di depan pintu rumahnya. Tidur beralaskan tabir atau tambah. Posisi tidurnya melingkar (mlungker) dan tangannya mengepal. Ritual itu dilakukan selama tujuh hari, tujuh malam. Hanya boleh makan nasi tiga jimpit dan segelas air putih. Selama tujuh hari tujuh malam, yang diperbolehkan mengantar menu “berbuka” tadi adalah keluarganya sendiri. Mbok Ireng juga sering membantu mengantarkan makanan disaat pak Mohari sedang tertidur di atas tampah.
Ritual tadi diangggap sukses apabila ada kuthuk (anak ayam) yang mendatangi kemongkong ketika sedang tidur. Setelah prosesi tersebut selesai, akan diadakan acara rasulan. Yaitu upacara atau tumpengan yang diadakan warga. Tumpeng-tumpeng tersebut harus berwarna hitam dan putih. Setelah itu juga disajikan lauk pauk berupa ayam tulak. Yaitu ayam yang warnanya hitam dan putih. Biasanya warna putih terletak pada bagian sayap. Pada hari selanjutnya, baru akan diadakan gedhegan. Gedheg-gedheg yang sudah terpasang akan menjadi sarang masuknya celeng. Kemongkong akan menyirep atau irupan, agar celeng-celeng tadi datang. Celeng-celeng yang datang tidak hanya dari Kaliwisnu. Gerombolan celeng dari dusun lain juga berdatangan. Upacara gedhegan dilaksanakan di sebuah lapangan yang luas. Dulu, salah satu lokasi di Kaliwisnu yang pernah dipakai untuk gedhegan berada di RT 1, letaknya paling atas sendiri. Pernah juga diadakan di dekat sungai.
Celeng-celeng yang datang akan ditonton oleh warga. Baik dari Kaliwisnu maupun dari dusun lain di Paninggaran. Baik dari Kaliwisnu ataupun darai dusun lain di luar Paninggaran. Uniknya, perangkat desa jga turut menonton. Bahkan seorang camat dan para polisi juga meluangkan  waktunya untuk melihat acara gedhegan. Penonton yang berani akan membawa tombak atau senjata tajam lainnya (samurai, pedang dsb). Untuk tombak, bisa dibuat dari bambu atau besi yang tajam. Menurut mbok Ireng, hampir ada 100 lebih tombak. Jadi sekitar ratusan masyarakat siap membantai celeng-celeng.
Celeng-celeng yang sudah disirep akan datang dengan sendirinya. Mereka secara otomatis akan masuk ke dalam gedheg yang ukurannya 1,5m². Penonton akan melihat dari kejauhan. Yang berani akan mendekati gedheg dengan membawa senjata. Setelah celeng-celeng terkumpul, kemongkong akan tidur. Celeng-celeng pun juga ikut tertidur. Kemongkong serta celeng akan dibangunkan oleh sekudi. Setelah terbangun, celeng-celeng tadi akan ditusuk atau ditombak oleh ratusan warga.
Selain para warga, asisten kemongkong alias para sekudi juga turut membunuh celeng. Segerombolan celeng yang sudah masuk ke dalam gedheg tidak bisa keluar lagi. Karena gedheg tadi mampu menahan desakan celeng. Gedheg sudah diberi mantra atau ajian terlebih dahulu. Boros-boros akan keliling sambil membunuh celeng. Sedang kemongkong hanya keliling saja, mengamati tanpa turut membunuh. Tugasnya tinggal memantau jalannya pembunuhan hama celeng. Penonton yang berdatangan bisa mencapai ratusan. Acara gedhegan biasanya lebih ramai ketimbang acara 17an. Setelah celeng-celeng tewas, tugas kemongkong selesai sudah. Celeng-celeng yang tewas, dibiarkan begitu saja. mungkin ada beberapa orang yang mengambil mayat-mayat celeng. Namun, berdasarkan cerita para saksi, celeng-celeng tadi dibiarkan di tempat sampai membusuk.
Mbok Ireng menyatakan bahwa dulu ada orang Petung Kriono dan orang Cina yang datang ke rumah. Ia meminta atau belajar soal ilmu kemongkong yang dimiliki oleh pak Mohari. Menurut ingatan mbok Ireng, mereka datang di tahun 1945. Di Petung Kriono memang ada pemburuan celeng oleh kemongkong. Bedanya, celeng-celeng yang mati akan dibawa atau dijual kepada baba-baba Cina. Biarpun selama TPL berlangsung, saya sendiri belum pernah melihat orang Cina di Paninggaran.
Ritual atau tradisi kemongkong mulai habis di tahun 1965. Tidak ada hubungannya dengan tragedi G30S, karena saat itu pak Mohari memang sudah tua dan sakit-sakitan. Semenjak pak Mohari meninggal, acara kemongkong sudah tidak ada. Mbok Ireng juga tidak tahu bagaimana mantra atau jampi-jampi yang dimiliki kemongkong. Sepeninggalan pak Mohari sampai sekarang, celeng-celeng semakin berkeliaran di dusun Kaliwisnu. Celeng-celeng sangat meresahkan warga sekitar karena pertanian mereka menjadi rusak akibat celeng. Pak Mohari adalah satu-satunya kemongkong di Paninggaran. Itu berdasar pengakuan dari Mbok Ireng. Belum diketahui dengan daerah-daerah yang lain. Yang jelas, syarat utama menjadi kemongkong adalah berani prihatin.
Celeng-celeng yang bertebaran di Kaliwisnu makin lama makin banyak. Mereka sempat mengundang pemburu babi dari daerah Paninggaran. Bosnya bernama Bagong. Ia bersama anak buahnya berhasil membantai celeng-celeng. Satu hari bisa mencapai dua sampai tiga celeng. Mereka hanya membawa tombak dan perangkap yang terbuat dari kawat-kawat. Namun, setiap kali memburu, celeng-celeng memang sudah habis. Namun setelah itu selalu muncul lagi celeng-celeng yang baru. Masyarakat merasa resah akan keberadaan celeng yang tidak pernah habis. Mereka merasa rugi karena harus menghidupi keseharian pemburu celeng. Grup pemburu celeng milik Bagong tadi, terakhir kali mendatang Kaliwisnu saat ia berhasil menangkap macan. Setelah itu, tidak pernah datang lagi ke Kaliwisnu.
Menurut cerita pak Bayan, di daerah gunung Bangkok memang ada gua yang namanya gua Srenggi. Gua tadi menjadi tempat berkumpulnya celeng-celeng. Hama celeng banyak bersembunyi dan berkembang biak disana. Uniknya, kemongkong saat ini sudah tiada. Pemburu celeng di Kaliwisnu hampir tidak ada. kebanyakan berasal dari luar dan itupun minta bayaran serta jatah rokok. Mereka, para pemburu celeng tidak lagi dimintai oleh warga Kaliwisnu untuk memburu babi-babi hutan yang liar. Karena kadangkala masih banyak celeng-celeng yang berkeliaran. Karena itu mereka merasa rugi menyewa pemburu celeng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar