"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Rabu, 15 Juni 2016

Miralem Pjanic, Dibalik lagu “Angie”


Malam itu, petikan gitar dari balik lagu “Angie” mengiringi menit-menit dimana saya harus menunggu sahur. Sembari membuka twitter, line atau apapun lah akun media sosial yang ada di handphone saya. Ya, mendengarkan lagu “Angie” yang dibawakan oleh Rolling Stones tersebut merupakan rutinitas yang kerap saya lalui. “Angie, i still love you...”, lirik yang terus terngiang di telinga, maklum lagu tersebut selalu ada di playlist. Alasannya sih sederhana, karena judul lagu tadi mengingatkan saya pada seseorang. Tapi, ah sudahlah, bukan itu yang ingin saya bicarakan, nek kedawan mah curhat.

Malam itu juga, saya membaca berita mengenai kepindahan Miralem Pjanic ke Juventus. Bukan hal yang mengejutkan bagi saya pribadi, apabila Pjanic akan pergi dari Olimpico musim ini. Ya, Pjanic memiliki klausul transfer saat dirinya menandatangani pembaharuan kontrak pada tahun 2014. Klausul sebesar 38 juta euro merupakan hal yang enteng bagi klub-klub besar macam Barcelona, Real Madrid, City maupun Bayern Muenchen. Tapi, satu hal yang mengusik pikiran saya akhir-akhir ini adalah kapasitas Juventus yang semakin hari makin tangguh. Disamping itu, Juventus juga berhasil mengerogoti kekuatan calon musuh utamanya musim depan. Malam itu pula, lagu “Angie” membuat saya makin tersentak. Pjanic ibarat seorang “Angie”. Iya, banyak sekali Romanisti yang kecewa atas sikap Pjanic untuk berlabuh di Turin. “Angie, you’re beautiful. But ain’t it time to say goodbye..”

Ada banyak interpretasi mengenai siapa perempuan dibalik lagu yang diciptakan Rolling Stones pada tahun 1972 tersebut. Lagu yang pernah dipakai oleh Angela Merkel untuk kampanye tersebut memang bernuansa ballad dan membuat hati serasa galau, hha. Cerita mengenai kepergian seorang yang pernah mengisi hari-hari kita. Seseorang yang selalu membuat kita tersenyum, gembira, terkadang kecewa, sakit hati atau apapun itu. Pjanic, gelandang asal Bosnia yang pernah mengisi hati para fans Roma. Pemain yang konsisten dengan nomor punggung 15, kerap mencium emblem Roma apabila merayakan gol yang ia cetak. Pemuda berumur 26 tahun yang pernah dinobatkan sebagai “Little Prince” oleh Francesco Totti dan diamini seantero Romanisti. Spesialis set pieces di kubu AS Roma, tendangan bebasnya pernah menjebol jala calon rekannya musim depan, Buffon hanya tercengang melihat bola melintas ke gawang yang ia jaga kala itu. Suksesnya transfer ke Juventus tentu sebuah hal yang menyakitkan bagi penggemar Roma. “All the dreams we held so close, seemed to all go up on a smoke..”

Salah seorang jurnalis sepakbola kenamaan, yaitu James Horncastle pernah membuat prediksi bahwa Roma akan kehilangan salah seorang pemain kuncinya, antara Pjanic atau Nainggolan. Hal tersebut wajar, sebab Roma membutuhkan kesegaran baru di beberapa lini. James Horncastle membeberkan, bahwa Roma membutuhkan dana apabila ingin menebus El Sharaawy ataupun Lucas Digne. Isu financial fair play pun terus mencuat dan menganggu keuangan Roma yang urung stabil. Sponsor utama belum didapatkan, rencana pembangunan stadion sempat terkatung-katung. Itupun masih ditambah dengan boikot Curva Sud untuk menonton langsung di Olimpico. Menjual Pjanic atau Nainggolan adalah solusi utama bagi Roma apabila ingin menambal sulam skuadnya. Ditambah, cederanya Rudiger tentu mengagalkan strategi Walter Sabatini untuk melegonya ke Chelsea. Pjanic menjadi jawabannya dan Juventus sangat lihai memanfaatkan situasi tersebut. Mengingat, pangeran Juventus yaitu Marchisio dipastikan absen selama 6 bulan. Tidak salah apabila Pjanic membidik jersey Juventus musim depan. Slot line up utama bisa dipastikan menjadi miliknya. Amat tidak mungkin, Allegri mengesampingkan matanya untuk memanfaatkan jasa pemain yang berhasil mengemas 10 gol dan 12 assist di kancah Serie A musim kemarin.

Selain kelihaiannya memberikan assist, Pjanic juga mempunyai kelebihan lain semacam tackle ataupun intercept. Situs Whoscored menorehkan data, rata-rata dari 33 penampilan di Serie A musim kemarin, Pjanic mampu melancarkan 1,4 tackle dan 1,5 intercept per game. Selain itu, berdasarkan statistik dari Squawka, kaki Miralem Pjanic mampu menyodorkan passing sebanyak 1771 kali dengan akurasi 85% dan 69% diantaranya kerap ditujukan untuk membangun serangan. Sebuah kejeniusan yang tentunya akan dirindukan oleh fans Roma musim depan bukan ? Akan tetapi, bagaimanapun juga, Pjanic tak luput dari segi kelemahan. Rata-rata penampilan Pjanic memang tak cocok apabila harus berduel dengan lawan. Mengingat posisinya adalah gelandang serang yang berada di belakang striker, baik ketika ditangani Rudi Garcia maupun Luciano Spalletti. Formasi 4-3-3 ataupun 4-3-1-2 sangat klop bagi pemain semacam Miralem Pjanic. Karena itu, Squawka hanya menorehkan 36% apabila duel dengan lawan. Hal tersebut juga berakibat pada jumlah kartu yang harus ia terima, total ada 11 kartu kuning dan 1 kartu merah yang didapatkan Miralem Pjanic pada musim 2015/16.

Lalu, apakah wajar apabila fans Roma merasa sangat kehilangan Pjanic ? Baiklah, detik ini gelandang box to box, Radja “Ninja” Nainggolan belum disentuh klub manapun. Biarpun pelatih baru Chelsea, yaitu Antonio Conte sangat “demen” dengan Nainggolan. Kemampuannya mirip dengan mantan anak asuh Conte ketika melatih Juventus, yaitu Arturo Vidal. Namun, ada beberapa pemain yang mungkin terlupakan. AS Roma masih memiliki gelandang yang sebenarnya memiliki perpaduan skill seperti Pjanic dan Nainggolan, dia adalah Kevin Strootman. Yak, gelandang tersebut memang absen lama dikarenakan cedera panjang yang terus mendera. Namun, penampilan apiknya di akhir musim tak boleh dilupakan. Strootman mungkin tidak bertipe playmaker layaknya Pjanic, namun memiliki ketangguhan sebagai gelandang penjelajah. Lebih mirip dengan Radja Nainggolan, kerap membantu serangan maupun ketika bertahan. Disamping itu, Roma juga memiliki Leandro Paredes yang bermain amat impresif bersama Empoli musim kemarin. Whoscored sendiri mencatat, bahwa Paredes punya kemampuan dalam segi passing dan juga setpieces. Pemain berumur 21 tahun tersebut punya keahlian mendistribusikan bola. Berdasar rujukan statistik, setidaknya 83,9% passing berhasil ia sematkan dimusim ini bersama Empoli dengan operan kunci 1,2 per pertandingan. Dari segi bertahan pun Paredes bisa dibilang tidak buruk-buruk amat. Yaitu, rata-rata 2,5 tekel dan 1,5 interception per match. Hanya saja, tajinya di kompetisi Eropa masih belum teruji. Namun, pemain yang besar bersama Boca Juniors tersebut juga dirumorkan menjadi incaran klub besar seperti Zenit, Chelsea serta Liverpool. Saya sendiri lebih kecewa apabila Paredes pergi meninggalkan Roma. Kesalahan fatal apabila Roma benar-benar melegonya musim ini. Selain Paredes dan Strootman, masih ada wonderkid asal Brazil yang dipastikan akan merumput bersama Roma musim depan, yaitu Gerson.

Memaksimalkan pemain muda asli didikan Roma jelas menjadi harapan. Toh, pada musim ini, skuad Roma muda asuhan Alberto De Rossi berhasil menjadi kampiun. Secara kapasistas, mereka memang masih hijau dan belum mampu bersaing dengan pemain senior. Akan tetapi memanfaatkan jasa pemain di skuad Primavera menjadi tantangan tersendiri bagi Luciano Spalletti. Ingat, beberapa pemain AS Roma Primavera cukup diperhitungkan, semisal Ezequiel Ponce, Umar Sadiq ataupun Edoardo Soleri di posisi penyerang. Sebagai gelandang serang masih ada Lorenzo di Livio yang pernah merumput sekali bersama tim senior. Beberapa pemain lain semacam Cristian D’Urso, Elio Capradossi, Lorenzo Vasco ataupun Lorenzo Crisanto patut diperhatikan oleh Luciano Spalletti. Roma sudah cukup banyak kehilangan talenta muda mereka yang pernah dididik di akademi Trigoria, semacam Valerio Verre, Federico Viviani, Andera Bertolacci ataupun Alessio Romagnoli. Disamping itu beberapa pemain yang dipinjamkan juga layak untuk diorbitkan musim depan, seperti Federico Ricci, Matteo Politano serta Antonio Sanabria.
“In Italy, there’s no patience. But what could be more beatiful ? A player, created in the academy, maybe even born in the city ? it’s a fantastic idea.” (Alberto De Rossi)

Bagi saya pribadi, kepergian Pjanic ke kubu rival memang hal yang mengecewakan. Gelandang yang amat sangat kreatif, visinya untuk melepas umpan, menahan bola ataupun mengatur permainan jelas layak diberikan applause. Namun, De Rossi sebagai panutan di kubu Roma sendiri berujar, bahwa Pjanic memang pemain profesional, baik di lapangan ataupun ketika latihan. Tapi, nyawa “icon” belum termaktub di tubuh Pjanic. Mungkin saja, kelak Juventus adalah klub yang akan menjadikan dirinya sebagai ikon. Ingat, bermain di AS Roma penuh dengan atmosfer tekanan, baik dari internal ataupun dari pihak suporter. Agaknya, suasan tersebut tidak akan Pjanic dapatkan ketika merumput bersama Juventus. Saya sendiri terkesan dengan pengakuan Ciro Ferrara dan Angelo di Livio ketika mengenang hari-harinya menjadi pemain Juventus.

Tentu, kita sering melihat meme mengenai Marco Reus yang selalu saja ditinggal rekan setimnya, mulai dari Mario Gotze, Lewandowski hingga Matt Hummels. Namun, sadarkah kita apabila pemain semacam Gerrad, Totti, De Rossi, Raul hingga Del Piero pun seringkali ditinggal pergi oleh kawan-kawannya. Detik ini, sepakbola sudah menjadi ajang jual beli pemain. Loyalitas merupakan hal yang susah untuk diaplikasikan di sepakbola modern. Lagipula, AS Roma pernah menjual pemain ke tangan rivalnya sendiri. Ingatkah dengan Emerson ataupun Zebina yang mengikuti jejak Capello ke Delle Alpi ? Ataupun kerelaan Walter Samuel untuk dijual ke Real Madrid akibat perekonomian Roma yang terseok-seok.

Kepindahan Pjanic memang diselimuti kontroversi. Mulai dari pernyataan James Pallotta yang menekankan bahwa Roma tidak akan menjual Pjanic. Lalu, konfirmasi dari Mauro Baldissoni bahwa Roma sudah menyelesaikan kesepakatan untuk menjual Pjanic ke Juventus, padahal secara resmi belum diumumkan oleh masing-masing kubu. Sebuah pernyataan yang sungguh tidak profesional dari manajemen AS Roma. Kontroversi pun masih ditambah dengan berita bahwa Pjanic lah yang meminta agar dirinya dijual ke Juventus. Ia pun rela merogoh untuk memuluskan klausul transfernya ke Juventus. Rumor yang beredar, Juventus hanya membayar 32 juta euro dari klausul sebesar 38 juta euro, sisanya dibayar oleh Pjanic sendiri. Entah, apakah hal tersebut benar atau tidak, waktu akan menjawabnya. Banyak yang merasa kehilangan Miralem Pjanic, selain Radja Nainggolan tentunya. Kedua pemain tersebut kerap sekali memamerkan kebersamaannya di instagram. Sayang, kebersamaan tersebut akan jarang atau bahkan tidak kita temui di kompetisi Serie A musim depan. “With no loving in our souls and no money in our coats, you can’t say we’re satisfied..”


Ucapan terima kasih kepada Pjanic sudah sepatutnya kita layangkan. Lima tahun di Roma bukanlah yang mudah. Ibarat sebuah pengkhianatan bagi fans Roma bagi seorang pemain yang mengaku sangat mencintai AS Roma tersebut. Cukup satu kalimat saja untuk mengakhiri tulisan ini, “Pjanic, you can’t say we never tried...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar