“Eh Rudi Garcia wis resmi
dipecat to bung ?” kata seorang teman via wasap pada Rabu malam. Saya sendiri
tak tahu menahu soal pemecatan pelatih berkebangsaan Perancis tadi. Tapi,
apabila Rudi Garcia benar-benar dipecat, bukan sebuah kabar yang mengagetkan.
Maklum, salah satu pengamat bursa transfer di jagad sepakbola, yaitu Gianluca
Di Marzio sudah mengemukakan rumor tersebut pada hari Minggu, pasca hasil
imbang yang diderita AS Roma kontra AC Milan. Gianluca Di Marzio sendiri memang
dikenal valid apabila menyampaikan pemberitaan mengenai transfer pemain maupun
pergantian pelatih. Saat itu, Gianluca Di Marzio menyatakan bahwa Luciano
Spalletti menjadi pilihan utama AS Roma, opsi lainnya adalah Marcelo Bielsa dan
Jorge Sampaoli.
Info yang disampaikan Di Marzio
ternyata terbukti, tanggal 15 Januari kemarin Roma mengumumkan pelatih baru
mereka, Luciano Spalletti. Juru taktik berkepala plontos yang pernah menangani
AS Roma dari tahun 2005 hingga 2009. Pertanyaannya, apakah Rudi Garcia layak
dipecat ? Kalau aku sih yes, entah yang lain kayak coach Justin yang kerap
mengisi acara ESPN FC di Net TV. Bagi coach Alvin, Rudi Garcia masih layak
melatih Roma, alasannya selisih poin dengan pemuncak klasemen tidak terlalu
banyak. Tapi, ia agak pesimis apabila Roma berambisi meraih scudetto dengan
materi pemain yang ada. Saya kurang setuju dengan pendapat tersebut. Apabila
membandingkan skuad Roma dengan tim lain, seperti Inter Milan, Napoli ataupun
Fiorentina. Jelas, kualitas pemain Roma lebih mewah. Skuad mereka secara
kualitas hanya kalah dengan Juventus.
Rudi Garcia layak dipecat
karena tak punya variasi taktik. Pelatih yang pernah merumput bersama Lille
tersebut dikritik oleh banyak pihak karena tak mempunyai plan B. Ia tetap
konsisten memakai formasi 4-3-3 yang secara permainan sudah terbaca oleh
lawan-lawannya. Selain itu, kekalahan telak di Camp Nou atas Barcelona juga
sebuah blunder besar. Memakai high pressing pula, ealah Rud, ya jelas keteteran
menghadapi kecepatan pemain Barca. Pasca kekalahan tersebut, mental pemain Roma
langsung turun. Mirip seperti musim kemarin, ketika Roma dibabat 1-7 oleh
Bayern Muenchen. Dewi fortuna mungkin mampir sebentar skuad Roma, mereka berhasil
lolos ke fase 16 besar Liga Champions dan mencatatkan diri sebagai tim yang
pernah lolos dengan poin paling minim sepanjang sejarah. Bayangkan, Il Lupi
hanya mengemas enam poin dari lima pertandingan yang mereka jalani. Mereka
bersanding dengan Zenit St Petersburg yang pernah lolos ke fase 16 besar dan
hanya mengemas enam poin pada musim 2013/14. Siapa pelatih Zenit kala itu ?
sayang sekali, pria yang beruntung tersebut bernama Luciano Spalletti.
Tapi toh, bagaimanapun juga,
sebagai fans AS Roma, ucapan terima kasih layak disampaikan kepada Rudi Garcia.
Di musim pertamanya, beliau berhasil mengubah AS Roma menjadi penantang serius
Juventus. Ia berhasil menumbuhkan mental pemain yang turun, apalagi sejak
menelan kekalahan dari rival abadinya di ajang final Coppa Italia 2013. Di
musim pertamanya, Rudi Garcia mengantarkan Roma menjadi runner up dengan raihan
85 poin, jumlah terbanyak sepanjang Roma berlaga di Serie A. Sepakbola
menyerang nan indah yang disajikan oleh Garcia juga menuai pujian. Memang, pada
musim tersebut Roma tidak berpartisipasi di kompetisi Eropa dan menjadi nilai
plus agar lebih fokus ke liga domestik. Tapi kesalahan demi kesalahan terus
dipelihara oleh Rudi Garcia pada musim kedua dan ketiganya. Kesalahan di bursa
transfer juga menjadi biang masalah sejatinya. Walter Sabatini, selaku direktur
sepakbola patut bertanggung jawab atas pilihan pemain yang gagal nyetel dengan
permainan Rudi Garcia.
Lalu, apa yang bisa diharapkan Romanisti
terhadap Luciano Spalletti ? memang sih, ada yang bilang bahwa yang namanya
mantan tuh susah untuk dilupakan. Tapi, apabila bicara soal mantan, bagaimana
dengan Zdenek Zeman ? ya, rezim Zeman II memang menuai kegagalan dibalik
sepakbola cantik yang ia suguhkan. Nah, apakah Spalletti akan mengikuti jejak
Zdenek Zeman ? atau mungkin akan seperti Nils “The Baron” Liedholm yang kembali
lagi ke Roma pada tahun 1979 dan berhasil menjadikan Roma sebagai serigala yang
disegani pada periode 1980an. Liedholm, Zeman dan Spalletti merupakan pelatih
yang menyuguhkan inovasi baru di Italia. Liedholm mengenalkan sistem zonal marking disaat klub Italia lainnya cenderung pada sistem libero dan man
marking. Zdenek Zeman sendiri selalu bersikukuh menerapkan “attack, attack, attack” dari detik pertama, padahal kala itu klub Italia sedang digandrungi
model catenaccio. Terakhir, formasi 4-6-0 yang kerap disebut strikerless pernah
dipopulerkan oleh Spalletti ketika melatih Roma. Gaya tersebut kelak akan
melahirkan peran false nine yang menuai kesuksesan di kubu Barcelona dan timnas
Spanyol. Persamaan lain yang patut diperhitungkan dari ketiga pelatih tadi
adalah, mereka gemar mengorbitkan pemain-pemain muda.
Luciano Spalletti memang menjadi
pelatih yang terakhir kali memberikan gelar bagi AS Roma. Bisa dibilang,
kejelian Spalletti membuahkan kesuksesan di tubuh AS Roma. Selama tiga musim,
Roma berhasil finish di posisi kedua dan menjadi kompetitor utama Inter Milan.
Wajar, selepas kasus calciopoli, performa Juventus dan Milan agak melempem di
liga domestik. Kondisi tersebut, layak dibandingkan dengan persaingan Serie A
musim ini. Serie A tidak melulu dikuasai oleh dua tim. Sampai detik ini, Roma
masih bertengger di peringkat lima dengan jarak 10 poin dari Napoli, pemuncak
klasemen sementara. Kans Scudetto bisa dibilang masih terbuka lebar. Asalkan
konsistensi permainan terus terjaga hingga akhir musim. Kalaupun gagal meraih
titel juara, bagi saya pribadi bukan sebuah masalah. Berhasil lolos Liga
Champions merupakan raihan yang positif bagi De Rossi dkk. Asalkan mereka mampu
bermain konsisten, penuh semangat dan menyuguhkan sepakbola atraktif.
Seperti biasa, Spalletti
dikenal sebagai pelatih yang konsisten memakai formasi 4-2-3-1. Empat bek berada
di depan kiper, fullback kanan dan kiri akan membantu serangan. Spalletti juga kerap menempatkan dua
gelandang yang beroperasi sebagai holding midfielder. Di posisi lain, dua
winger akan mengapit gelandang serang untuk membantu striker. Namun, cedera yang
mendera beberapa pemain Roma pada musim 2006/2007 memaksa Spalletti untuk
memutar otaknya. Formasi 4-2-3-1 seolah-olah berubah menjadi 4-6-0 atau 4-5-1-0 ataupun 4-1-5-0. Totti yang mempunyai keahlian untuk menyuplai bola tetap
berada pada posisi gelandang serang. Ia tetap turun ke bawah untuk menjemput
bola, distribusi akan ia alirkan ke dua pemain sayap, yaitu Rodrigo Taddei atau
Mirko Vucinic di sisi kiri dan Mancini di sebelah kanan. Dua gelandang ditengah
akan membantu serangan, plus dua bek sayap yang terkadang juga menyisir
lapangan untuk membangun serangan. Di satu sisi, posisi De Rossi akan mengemban
tugas sebagai jenderal di area pertahanan AS Roma. Kelihaian Spalletti untuk
tetap memasang Totti sebagai gelandang serang dengan asumsi terlihat seperti
striker palsu terbukti efektif. Pemain yang akan berumur 40 tahun pada
September mendatang berhasil mengemas 26 gol di musim 2006/2007. Spalletti juga
berhasil menyulap Vucinic yang sebenarnya berposisi asli sebagai striker untuk
beroperasi disisi kiri sebagai sayap.
Eksperimen atas taktik 4-2-3-1 tersebut
memang berbuah manis, dua Coppa Italia (2006-2007 dan 2007-2008) serta satu
buah Super Coppa (2007) berhasil mendarat di Olimpico. Di jagad Champions
League, permainan Roma juga mencuri perhatian banyak pihak. Sayang, di tahun
2007, Roma menelan kekalahan telak (7-1) atas Manchester United di fase
perempatfinal. Kekalahan tersebut mengindikasikan, bahwa permainan yang
diterapkan Spalletti cenderung “sangat menyerang”. Konon, Sir Alex Ferguson
terinspirasi atas inovasi yang dilakukan Luciano Spalleti. Formasi dengan role striker palsu sempat diterapkan Manchester United pada musim 2007/2008. Rudi Garcia
juga pernah menyuguhkan gaya tersebut di musim pertamanya melatih Roma. Peran Totti sebagai false nine terbukti ampuh ketika anak asuh Rudi Garcia berhasil menjungkalkan Inter Milan dengan skor 0-3.
Melatih klub semacam AS Roma
memang bukan hal yang mudah. Tekanan dari pemilik klub dan suporter sangatlah
tinggi. Apabila menilik dari periode 90an, terhitung hanya ada empat pelatih
yang mampu bertahan selama dua musim lebih, yaitu Carlo Mazzone (1993-1996),
Fabio Capello (1999-2004), Luciano Spalletti (2005-2009) dan tentu saja, Rudi
Garcia (2013-awal 2016). Beban yang diemban Luciano Spalletti sangatlah berat.
Satu hal utama yang perlu diperbaiki adalah mental pemain. Hal tersebut akan
berimbas pada konsistensi permainan Giallorossi. Selain itu, harapan agar skema
permainan cantik kembali diperlihatkan oleh Spalletti juga bukan hal yang mudah
untuk direalisasikan. Pertanyaannya, apakah gaya bermain dengan role false nine
mampu diterapkan Spalletti. Katakanlah, peran Totti saat itu diserahkan kepada
Edin Dzeko ? Striker asal Bosnia tersebut sejauh ini masih kurang konstribusi
golnya. Ia seringkali terlihat turut menjemput bola. Kondisi tadi wajar, sebab
pemain sayap Roma semacam Salah atau Gervinho memang dikenal pelit untuk
crossing. Padahal Dzeko sendiri lebih dikenal sebagai orthodox forward. Dzeko
sebagai false nine secara skill jelas diragukan, akan tetapi menempatkan Pjanic
pada role tersebut jelas lebih efektif. Posisi Dzeko alangkah baiknya disulap
seperti Vucinic, bisa diletakkan di sisi kanan menggantikan Gervinho yang
kemungkinan besar akan berlabuh di negeri China. Posisi lain yaitu sayap kiri
akan ditempati oleh Mohammed Salah maupun Iago Falque. Dua gelandang tengah
akan diisi oleh Florenzi dan Nainggolan, dibelakang mereka akan ada De Rossi.
Kualitas gelandang yang dimiliki AS Roma tak perlu diragukan lagi. Apalagi,
ketika Strootman benar-benar fit, daya jelajah pemain tersebut akan sangat
efektif di gaya bermain Spalletti.
Problem yang perlu diperbaiki
Roma adalah masalah pertahanan, terutama bek sayap. Ingat, Lucas Digne tidak
punya pelapis yang sepadan. Begitupun pada posisi bek kanan, Maicon sudah
termakan usia, Torosidis bermain angin-anginan dan support serangan sangatlah
minim. Memakai Florenzi sebagai bek kanan juga tak terlalu efektif. Solusinya
jelas, beli bek sayap. Rumor yang beredar, Adriano sudah memberikan sinyal
berminat merumput dengan Pjanic dkk. Kabarnya, dalam waktu dekat, Roma akan
melakukan negoisasi dengan Barcelona. Opsi lain yang muncul adalah Domenico
Cristico. Pemain Zenit tersebut secara blak-blakan rindu untuk merumput kembali
di kompetisi Serie A dan bersedia reuni dengan Spalletti. Selain kedua nama
diatas, Davide Santon dan Matteo De Sciglio dirumorkan menjadi target AS Roma.
Bagi saya, kedua nama terakhir masih terlalu hijau untuk bermain di kompetisi
Eropa. De Sciglio yang mampu bermain sebagai bek kanan maupun bek kiri dikenal
sering mengidap riwayat cedera. Davide Santon jarang dimainkan oleh Mancini
pada musim ini. Kalaupun ingin mengambil pemain Inter, nama lain yang layak
dipertimbangkan adalah Juan Jesus. Posisi lain yang rawan adalah bek tengah.
Penjualan Romagnoli jelas blunder besar Sabatini musim ini, apalagi
penggantinya adalah Rudiger yang sejauh ini belum menunjukkan konsistensinya
sebagai bek tengah. Sisi pertahanan Roma kehilangan seorang komandan seperti
Benatia atau Burdisso. Manolas tak punya mental tersebut, jiwa seorang Mexes
sudah terlanjur menitis ditubuh pemain asal Yunani tersebut. Disatu sisi,
Castan tak kunjung fit pasca operasi tumor. Faktor komunikasi antar lini
pertahanan mungkin juga menjadi problem. Bayangkan, ada empat bek dan satu
kiper dengan latar belakang negara yang berbeda-beda. Hal tersebut berimbas
pada performa Szczesny yang seringkali kehilangan fokus akhir-akhir ini.
Kamis, 14 Januari, seorang pria
berkepala botak tiba di kota Roma. Namanya dielukan-elukan di bandara Fiuminico,
“Daje Mister !”, teriak beberapa orang. Pria tersebut lalu menuju Trigoria,
markas AS Roma. Di depan pintu gerbang, terpampang satu buah spanduk bertulisan
“Bentornato Mister”. Dunia maya pun turut gempar, ada yang pesimisis, adapula
yang optimis. Ya, namanya masih dikenang oleh fans AS Roma sampai saat ini. Luciano
Spalletti adalah “The Ecstasy of Gold”, meminjam judul lagu yang dipopulerkan
oleh Ennio Morricone. Iya, “The Ecstasy of Giallorossi Gold”. Doni, Panucci,
Mexes, Juan, Cassetti, Tonetto, Pizzaro, Perrotta, Vucinic, Mancini, Giuly,
Aquilani dsb adalah masa lalu. Sekarang merupakan era kedua De Rossi dan Totti bersama
Spalletti untuk menjaga kapal Roma supaya tidak oleng. Sebuah kapal yang penuh
warna dengan sentuhan Italia, Brasil, Perancis, Bosnia, Spanyol dll. “Roma,
Roma, Roma.. core de sta citta”
Trivia:
- Diawal tahun ini, Spalletti akan bereuni dengan Totti dan De Rossi di Trigoria, markas AS Roma. Ternyata, bukan hanya dua nama tersebut yang akan berenuni. Aurelio Andreazolli akan kembali bekerja dengan Luciano Spalletti di AS Roma sebagai asisten pelatih. Semenjak Spalletti meninggalkan Roma pada tahun 2009, Andreazolli tetap bertahan di Roma sebagai staff. Bahkan, Andreazolli sempat naik jabatan menjadi pelatih tim utama ditahun 2013 menggantikan Zdenek Zeman. Selain itu, Daniele Baldini dan Domenichini juga diminta Spalletti untuk bekerja lagi di Trigoria. Sebenarnya Morgan De Sanctis juga bereuni dengan Spalletti. Iya, De Sanctis pernah dipercaya Spalletti untuk menjaga mistar gawang Udinese dari tahun 2002-2005.
- Bersama keluarganya, Luciano Spalletti menjalankan bisnis custom furniture. Usaha pribadi juga dilakukan oleh Rudi Garcia, ia memiliki usaha butik fashion di Perancis.
- Luciano Spalletti dan Rudi Garcia sama-sama pernah membubuhkan rekor sebagai pelatih yang mengalami kekalahan terbesar di ajang Liga Champions. Saat itu, Cristiano Ronaldo dkk berhasil mengobrak-abrik pertahanan Roma dengan skor 7-1 pada musim 2006/2007. Nasib lebih buruk menimpa Rudi Garcia ditahun 2014, pemain Roma dipermalukan di kandangnya sendiri, skor 1-7 untuk tim Bavaria.
Gambling addiction: Symptoms, triggers and more
BalasHapusMany of the 김해 출장안마 people with gambling addiction often don't know what to do if they 전주 출장샵 are not 보령 출장샵 at their best. While 구리 출장마사지 the treatment can be helpful for reducing 원주 출장마사지