"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Minggu, 05 Oktober 2014

Rivalitas itu Terbit Kembali


Romantisme Rivalitas Juve dan Roma
Pada pekan ini, beberapa mantan punggawa AS Roma dan Juventus mengeluarkan statementnya terkait kans Scudetto dan rivalitas Juve – Roma di musim ini. Kedua klub tersebut akan bertemu nanti malam di Juventus Stadium. Mirko Vucinic bersikap netral, namun ia berpendapat bahwa Juve adalah John Cena, sedang Roma adalah Batista. Lalu Zbigniew Boniek, ia berujar bahwa persaingan Juventus – Roma mengingatkannya pada era 80an. Dimana Boniek sempat membela kedua klub tersebut dan merasakan aroma persaingan yang begitu pekat. Don Carlito, mantan kapten Roma yang paling sukses juga memberikan pendapat, ia memprediksi bahwa Roma akan juara di musim ini. Di sisi lain, Antonio Cabrini berujar bahwa Juventus akan meraih tiga poin.

Buffon merasa senang dengan persaingan di musim kemarin. Serie A kembali kompetitif, tidak lagi didominasi oleh penguasa tunggal. Pernyataan paling seru jelas muncul dari Lichsteiner. Ia berujar, Roma bagaikan seorang lelaki yang menghembuskan nafas dileher sang Nyonya Tua. Il Capitano tak ketinggalan untuk membuka mulut. Pada bulan Januari 2014, ia berpendapat bahwa Juventus selalu dibantu “pihak” lain. Nampak mengulang kembali pernyataan Totti di tahun 2005. Kala itu dirinya mendapat hukuman dari FIGC karena menyatakan, ketika melawan Juve, berarti kita harus berhadapan dengan 14 orang. Sebelas pemain, dua penjaga garis dan satu wasit. Begitupun dengan Morgan De Sanctics, Juventus menjadi kuat karena “Italian system”. Karena itulah ketika dilapangan, secara psikologis Juventus amatlah diuntungkan.

Era 80an, persaingan sengit antara Juve dan Roma memang tercipta pada dekade tersebut. Juventus dihuni berbagai macam pemain bintang Italia macam Dino Zoff, Cabrini, Gentille, Sciera atau Paolo Rossi. Lalu bintang Prancis yang sekarang menjadi presiden UEFA juga pernah menghuni skuad Juventus, Michel Platini. AS Roma kala itu tidak kalah hebat sebenarnya. Namun komposisi skuadnya bisa dikatakan kurang imbang. Setidaknya pemain sekaliber Bruno Conti, Falcao, Di Bartolomei, Pruzzo, Ancelotti pernah hinggap di kubu Il Lupi. Masing – masing klub juga diasuh pelatih yang ciamik. Trapattoni berada di Turin, Nils Liedholm mendiami kota Roma.

Permusuhan Juventus dan Roma di era 80an tidak melulu di tengah lapangan. Ada cerita bahwa masing – masing presiden kerap lempar – lemparan pendapat di koran lokal Italia. Suatu ketika, Dino Viola pernah menerima surat dari Giampiero Boniperti, presiden Juventus, entah apa isinya. Kontroversi memang kerap melekat di tubuh Juventus. Di tahun 1983, mereka berhasil mengalahkan Roma pada menit – menit akhir. Konon posisi Platini lebih dahulu offside, ia lalu memberikan crossing dan disambar Sergi Brio, skor 2-1 untuk Juventus.

Sebelumnya di tahun 1981, menurut versi dari kubu Roma, kemenangan mereka telah dicuri. Saat itu Turone berhasil menceploskan bola ke gawang Dino Zoff, namun wasit menganulir gol tersebut. Peristiwa tersebut menjadi pembahasan utama di media – media Italia. Lucunya wasit pada pertandingan diatas adalah Paolo Bergamo, sosok yang pernah terlibat skandal calciopoli di tahun 2006. Persaingan kedua kubu juga menyulut Gianni Agnelli untuk angkat bicara. Ia berkelakar, “Roma sudah mempunyai Paus, Giulio Andreotti, dan matahari. Setidaknya, meninggalkan kita sebuah Scudetto..” Perseteruan yang melibatkan dua kubu diatas pernah diulas oleh James Horncastle dengan apik, silahkan simak disini.

Toh Roma sendiri juga tidak lepas dari skandal. Luciano Moggi yang dianggap sebagai aktor utama Calciopoli pernah bergabung dengan klub ibukota tersebut. Dia pernah mengatur sebuah pertandingan antara Roma kontra Dundee United. Hasilnya, Roma mampu lolos ke final Champions League di tahun 1983. Moggi oh Moggi. Dari Moggi mari kita menuju ke Zeman. Kisah Roma dan Juve kembali memanas ketika Il Lupi ditangani si tua Zdenek Zeman. Zeman sempat menuduh bahwa Del Piero dan Gianluca Vialli memakai doping. Pernyataan tersebut jelas membuat kuping panas para fans Juventus.


Dari Nakata ke John Arn Riise
Kemenangan terakhir Roma di kandang Juventus terjadi pada tahun 2011. Roma memang kalah superior dengan Juventus. Statistik mencatat bahwa Roma baru menang 40 kali atas Juventus dari 167 pertemuan. Nanti malam, Roma akan dijamu oleh Juventus. Apakah mereka mampu membawa pulang tiga poin ? Mari kita bernostalgia sebentar.

Bulan Mei tahun 2001, saat itu Juventus menjamu serigala ibukota, AS Roma di Stadion Delle Alpi. Babak kedua memang belum berakhir, namun Juventus sudah unggul 2-0 sejak menit-menit awal. Gawang Van Der Sar masih perawan bung. Er Pupone akhirnya ditarik oleh Fabio Capello, digantikan si sipit Nakata. Permainan terus berlanjut, dari luar kotak penalti, Nakata melakukan tembakan dan berbuah gol. Skor berubah menjadi 2-1. Permainan mulai memasuki menit-menit akhir, Roma terus melakukan penetrasi di area pertahanan Juventus. Tendangan Nakata berhasil dihalau pemain Juventus, kemelut terjadi di depan Van Der Sar. Bola yang terus berputar lalu disepak oleh Montella. Ia berlari kegirangan, terbang di Delle Alpi dan selebrasi di depan fans Roma yang jauh – jauh berkunjung ke Turin. Nampak, Capello tersenyum kegirangan, begitupun dengan pemain Roma yang lain. Pertandingan memang berakhir 2-2, namun hasilnya bukan hanya skor belaka. Intesitas pertandingan semakin memanas, Alesio Tachinardi dan Marcos Asuncao di hadiahi kartu merah karena terlibat adu mulut. Hasil tersebut amat bernilai bagi Roma, mereka mampu memotong jarak dengan Juventus. Enam minggu kemudian, Roma berpesta di Olimpico, kalau tidak percaya silahkan tanya ke kapten Juventus sekarang.

Sembilan tahun setelah itu, Roma kembali bertandang ke Turin. Juventus yang ditangani Ciro Ferarra sempat unggul 1-0 atas gol yang dicetak Del Piero. Serangan demi serangan terus dibangun, baik oleh Roma maupun Juventus. Rodrigo Taddei yang sedang mengolah bola tiba-tiba dilanggar di kotak penalti oleh pahlawan Italia, Fabio Grosso. Il Capitano berhasil membobol gawang Buffon dari titik putih. Bencana kembali menimpa Juventus, sang kapten diganjar kartu merah. Buffon yang kelabakan, maju ke depan dan memutuskan untuk menyapu bola sedang dikontrol John Arn Riise. Sayang, pelanggaran dilakukan oleh Buffon, kartu merah langsung. Totti sempat menyambut Buffon dan memeluknya, sebelum sang rekan keluar dari lapangan. Skor 1-1 masih bertahan hingga menit 90. Dari sisi kanan, Pizzarro memberikan umpan silang ke John Arn Risse. Bola tersebut lalu diterjang oleh Riise yang bergerak tanpa pengawalan. Sundulannya membuahkan hasil, Roma membawa pulang tiga poin.


Menimbang permainan Juventus dan Roma
Tren positif memang sedang diraih oleh masing-masing klub. Juventus dan Roma bertengger di papan atas dengan poin yang sama. Mereka belum pernah terkalahkan diajang domestik, bersama Sampdoria tentunya. Begitupun dengan Buffon yang belum pernah pernah kebobolan di Serie A. Di ajang Champions League kemarin, Juventus kalah dihadapan pendukung Atletico Madrid. Berbeda dengan Roma, setidaknya mereka berhasil membawa pulang satu poin. Petualangan mereka di tanah Inggris tidak sia – sia. Sang kapten pun dinobatkan menjadi pencetak gol tertua di ajang Champions League. Masing – masing hasil diatas tentu menjadi motivasi tersendiri bagi mereka.

Agaknya Juventus memang diuntungkan untuk pertandingan nanti malam. Kandang Juventus selalu angker. Lini pertahanan mereka juga sulit dibongkar. Roma sendiri dalam kondisi yang mengkhawatirkan sebenarnya. Beberapa pemain kunci absen karena cedera, De Rossi, Castan, Astori, De Sanctics, Boriello (mungkin bukan pemain kunci) ditambah cedera panjang yang mendera Strootman dan Balzaretti. Hal tersebut berakibat pada rotasi pemain yang tidak sempurna. Bayangkan, Keita, Pjanic, Nainggolan, Manolas dan Yanga Mbiwa hampir bermain 90 menit, setidaknya dalam tiga laga terakhir (Parma, Verona dan Manchester City). Tentu kebugaran menjadi masalah bagi kelima pemain tersebut. Selain itu, Skorupski juga belum teruji diajang Serie A. Beruntung pemuda Polandia tersebut, benteng pertahanan yang dimotori Manolas dan Yanga Mbiwa memang kokoh ketika melawan City. Tapi City bukan Juventus yang sudah familiar dengan permainan Roma. Biarpun, Juventus sendiri juga mempunyai masalah dengan kebugaran pemain mereka.

Strategi Antonio Conte memang dijiplak oleh suksesornya, Masimilliano Allegri. Memakai strategi 3-5-2, Juventus kerap memasang dua striker utama mereka, yaitu Llorente dan Tevez. Bisa ditebak bahwa lumbung gol berpusat kepada dua penyerang tersebut, terutama Carlos Tevez yang sudah mengoleksi tujuh gol sejauh ini. Dua striker mungkin bisa diimbangi dengan dua bek tengah ditambah Keita dan Nainggolan yang kerap memotong alur serangan. Hanya saja, dua pelapis bek tengah Roma memang kurang mumpuni. Michele Somma dan Arturo Calabresi masih terlalu hijau untuk bermain di pertandingan besar kontra Juventus. Namun, satu hal yang patut diwaspadai justru berasal dari wingback, terutama Lichtsteiner. Mantan pemain Lazio tersebut dikenal dengan kecepatannya serta staminanya yang kuat. Tentu hal tersebut menjadi ujian berat bagi Ashley Cole atau Holebas. Roma sendiri dikenal susah diprediksi alur serangannya. Mereka memang memakai tiga penyerang, namun bukan striker murni layaknya Llorente atau Tevez. Skema tersebut mungkin membingungkan rival – rivalnya. Namun, apabila lini pertahanan Juventus mampu mengimbangi kecepatan Gervinho atau Iturbe, kemungkinan besar tiga poin mampu mereka raih.

Satu lagi kelemahan Roma adalah ketidakmampuan mereka untuk bermain positif selama 90 menit. Di menit – menit akhir mereka kerap kali kelelahan dan dibombardir serangan bertubi – tubi. Pertandingan melawan Fiorentina, Verona, Parma dan City menjadi contohnya. Jadi, satu hal yang wajib dilakukan Roma adalah cetak gol secepatnya, supaya mereka tidak kecolongan di injury time. Ingat, kiper Roma bukanlah De Sanctis yang sering melakukan penyelamatan ajaib. Selain itu, Roma tidak punya pelapis bek tengah. Kabar buruk bagi Roma adalah isu bahwa Pirlo sudah fit dan bisa dimainkan. Apabila Pirlo bermain, kemungkinan besar ruang kreatifitas yang biasa dibangun Totti dan Pjanic akan tumpul. Medan serangan yang biasa dibangun dari lini tengah dengan mudah akan dipotong oleh Juventus.

Kisah antara Juventus dan Roma kerap putus nyambung. Iya, rivalitas mereka tidak pernah abadi. Tak seperti persaingan antara Juventus dengan Inter ataupun dengan Milan. Wajar, sebab merekalah penguasa titel Serie A sejauh ini. Juventus mungkin menjadi musuh semua klub di Italia. Iya, mungkin mereka iri atas mahkota – mahkota yang mampu diraih si Nyonya Tua. Fiorentina pun begitu benci dengan Juventus. Mereka beranggapan bahwa Juventus sudah berebut hak Scudetto La Viola di musim 1982. Begitu pula dengan kebencian Napoli atas Bianconeri, sampai – sampai mereka mengadakan “pemakaman” untuk Juventus dan Milan di bulan Mei 1987, ketika mereka mampu meraih Scudetto untuk pertama kalinya. Bersyukurlah, bahwa Juventus kembali menemukan pesaing lamanya. Genderang perang sudah mulai ditabuh, siapa yang akan tercabik malam ini ? Semoga sang Kaisar Roma mampu merayu si Kekasih Italia dan membuatnya takluk, bertekuk lutut dihadapannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar