"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Rabu, 22 Oktober 2014

Ago : Roma, Pistol dan Penalti


"He was a captain with a capital C" (Franco Tancredi, eks kiper AS Roma)

26 Juni 1984, Agostino Di Bartolomei menjalani partai terakhirnya bersama AS Roma. Kala itu Roma menghadapi Verona pada leg kedua final Coppa Italia. Bukan akhir yang indah sebenarnya bagi kubu Roma, biarpun tropi Coppa Italia berhasil mereka persembahkan. Il Lupi memang gagal mempertahankan Scudetto dan harus kalah lewat adu penalti di final Liga Champions, kontra Liverpool. Namun, di tahun tersebut mereka harus kehilangan dua simbol, yaitu sang kapten, Agostino Di Bartolomei dan Nils Liedholm, pelatih Roma. Sebab, Ago dan Liedholm melabuh ke San Siro pada musim berikutnya.

“Roma have taken you away, but not your curva”,
“Agostino, ours is not a farewell... Bye, legend”,
“There is love in our hearts for Roma: Agostino, lift that cup for us”.

Sungguh beruntung, kiprah pemain yang akrab dipanggil Ago tersebut diabadikan lewat film dokumenter. 11 Metri, sebuah film dokumenter karya Francesco Del Grosso yang menceritakan biografi legenda AS Roma, Agostino Di Bartolomei. Kisah epik pemain yang memakai nomor punggung 10 tersebut dijabarkan dengan emosional. Del Grosso mewawancarai keluarga Di Bartolomei, rekan-rekan satu tim, pengurus klub, sahabat serta beberapa pundit sepakbola Italia. 11 Metri juga menampilkan beberapa footage berbau Ago yang sebelumnya tidak pernah dilihat.

Kata 11 Metri sendiri berhubungan erat dengan momen buruk yang dialami Ago, yaitu penalti. Peristiwa yang dimaksud jelas merujuk pada kekalahan Roma di tangan Liverpool lewat adu penalti. Tidak heran apabila di dalam film 11 Metri kental dengan unsur penalti. Contohnya, di awal film, kita akan disuguhi sebuah lapangan lalu kamera menyorot titik putih. Lalu di akhir film, ada seorang anak kecil memakai jersey Roma 80an. Ia berdiri sendirian di kotak penalti tanpa menunjukkan senyum sama sekali. Bola yang berada dihadapannya ia tendang ke arah gawang. Anak kecil tadi lalu membalikkan badan, nomor 10 melekat dibajunya.



11 Metri menyajikan kisah Agostino Di Bartolomei ketika masih kecil lalu menuju masa kejayaannya sebagai pemain hingga saat-saat depresi sehabis gantung sepatu. Tidak hanya menampilkan wawancara dengan orang terdekat, potongan foto-foto, video atau dokumen mengenai Ago. Del Grosso juga menyuguhkan beberapa tempat yang berkaitan dengan karir sepakbola Di Bartolomei, sebagai latar penggambilan gambar. Sebelum 11 Metri rilis, sebenarnya ada satu film Italia yang menginterpretasikan sosok Di Bartolomei. Yaitu, L’uomo in piu (One Man Up) karya sutradara ciamik, Paolo Sorrentino, dibuat pada tahun 2001.


Agostino lahir di pinggiran Roma pada 8 April 1955. Semenjak memperkuat Roma, namanya menjadi representasi dan simbol klub. Terutama setelah jabatan kapten ia sandang. Maklum, Ago lahir di kawasan kelas menengah yang notabene menjadi basis para Romanista. Di kubu Roma sendiri, Di Bartolomei menjadi penyambung lidah rekan – rekannya dengan presiden klub dan para suporter. Ago bukanlah sekedar kapten yang memimpin kompatriotnya di tengah lapangan. Ia juga menjadi sosok panutan di ruang ganti dan di luar lapangan.


Bersama AS Roma, Di Bartolomei meraih banyak gelar, terutama di era Nils “Barone” Liedholm. Pelatih yang mengenalkan strategi zonal marking di jagad sepakbola Italia tersebut menyulap posisi Di Bartolomei. Awalnya, Ago menempati posisi regista. Namun, ketika Roma merekrut Falcao, sang pelatih memutuskan untuk mengubah role sang kapten menjadi libero. Menurut pengakuan mantan pemain Roma, seperti Bruno Conti, Franco Tancredi atau Ubaldo Righeti, peranan Ago sangat sentral. Ago mempunyai keahlian yang menarik, terutama sentuhannya serta umpan panjangnya yang tepat dan mampu membuahkan gol.


Di tahun 1982/83, Di Bartolomei berhasil meraih Scudetto yang kedua bagi AS Roma. Satu momen yang sangat berharga bagi pendukung Giallorossi. Ditampilkan footage-footage kota Roma yang dibanjiri warna oranye dan merah marun. Tumpah ruah para fans Roma, mereka saling bersuka cita menyaksikan konser Antonello Venditti di Circo Massimo. Begitu pun Ago dengan istrinya, Marisa De Santis yang mengacuhkan rasa lelah mereka demi sebuah perayaan untuk La Magica Roma.


Satu hal yang membuat orang tercengang adalah kebiasaan Di Bartolomei yang kerap membawa pistol. Sudah bukan rahasia lagi apabila kapten Roma tersebut selalu membawa tas kecil. Di dalamya berisi revolver kaliber 38. Ago memang mempunyai ijin atas kepemilikan pistol tersebut. Sebab dirinya pernah dirampok disebuah restoran kota Roma. Entah karena terjangkit paranoid atau phobia, pistol Ago selalu terselip dibawah bantal setiap dirinya sedang terlelap.

Satu kisah yang menarik antara Ago dan pistolnya adalah ketika pemain Roma dihadang suporter Lazio. Saat itu skuad Roma menghadiri pertandingan antara timnas Italia U21 melawan Lazio. Mereka meninggalkan pertandingan sebelum selesai dan diluar sana ada 4000 fans Lazio. Beberapa suporter Lazio menghadang dan menghampiri para pemain, ada yang ditendang, dipukul dan ditampar. Menurut pengakuan Giorgio Rossi (eks staf AS Roma), Di Bartolomei sempat menodongkan pistol dihadapan suporter Lazio tersebut. Mereka lalu berhamburan, berlarian meninggalkan kerumunan.


Patut disayangkan memang, perpisahannya dengan Roma tidak berlangsung manis. Kegagalan Roma merengkuh Piala Champions menjadi peristiwa yang sulit dilupakan oleh Ago. Pada 30 Mei 1984, Stadion Olimpico penuh sesak. Mereka menantikan hari-hari bahagia dan tentunya mengharapkan klub kesayangannya merebut Piala Champions. Ekspektasi membumbung tinggi dipundak suporter Roma, imbasnya berakibat pada mental pemain Roma sendiri. Saat itu, skuad Roma tertinggal lebih dahulu atas Liverpool. Roma berhasil menyamakan kedudukan atas sundulan Roberto Pruzzo. Akhirnya, pertandingan harus dipungkasi dengan drama adu penalti dan Liverpool menjadi pemenangnya.


Del Grosso mewawancarai tiga pemain Roma yang turut serta di final Liga Champions, yaitu Pruzzo, Chierico dan Tancredi. Ketiga pemain tersebut mengunjungi kembali Stadion Olimpico dan menceritakan laga kontra Liverpool pada tahun 1984. Dibawah mistar gawang, Tancredi mengisahkan kronologis terjadinya gol pertama yang dicetak oleh Liverpool. Lalu Chierico juga mengungkapkan, saat itu Agostino enggan menjadi penendang pertama. Ia merasa lelah, kehabisan tenaga. Namun, Ago selalu menjadi yang pertama apabila penalti terjadi. Ditengah lapangan, Ago berdiskusi dengan beberapa rekan-rekannya. Akhirnya, Graziani menawarkan diri untuk menjadi penendang pertama.

Ketika drama penalti sudah dimulai, Graziani yang akrab dipanggil Ciccio tersebut sempat maju di kotak penalti. Namun tiba – tiba digantikan oleh Ago, sebab Liedholm berteriak menyuruh sang kapten supaya menjadi yang pertama. Maklum, karena penalti pertama Liverpool melayang diatas mistar. Dipilihnya Ago jelas karena faktor psikologis. Di Bartolomei mampu mengeksekusi penalti. Sayang, dua pemain Roma (Conti dan Graziani) gagal mencetak penalti. The Reds berpesta ditanah Italia.



Ago memang kecewa karena Roma tidak mampu mengangkat piala Champions. Sebuah impian yang sangat didambakan namun sirna dalam sekejap. Momen yang menyakitkan, seturut apa yang disampaikan oleh istrinya. Setelah itu Di Bartolomei harus meninggalkan tim dan kota yang sangat ia cintai. Di Bartolomei menyeberang ke AC Milan karena Liedholm menginginkannya. Lagipula, pelatih Roma yang baru saat itu, Sven Goran Eriksson menggangap bahwa Ago bukan pilihan pertama. Di Bartolomei terlalu lambat, tidak cocok dengan taktik yang mengutamakan pressing terhadap lawan. Saat itu ada banyak suporter Roma yang membujuk supaya Di Bartolomei tetap bertahan. Karena sejatinya pemain yang jarang tersenyum tersebut tidak ingin meninggalkan Il Lupi. Namun, gayung tidak bersambut, Dino Viola selaku presiden AS Roma saat itu memutuskan untuk menjual Ago.


Di Bartolomei mengawali karir senior di Roma pada tahun 1972. Debut pertamanya melawan jagoan Italia saat itu, Inter Milan di Stadion San Siro (Giuseppe Meazza). Pertandingan pertama melawan mantan klubnya juga berlangsung di San Siro, ironisnya Ago mencetak gol di laga tersebut. Selebrasi yang ia lakukan dihadapan suporter Milan jelas melukai hati fans AS Roma saat itu. Kontras dengan sambutan Bruno Conti yang memeluk mantan pelatihnya sebelum peluit dibunyikan. Tidak heran apabila suporter Roma mengolok-olok Ago ketika Milan bertandang ke Olimpico. Tensi semakin memanas ketika Di Bartolomei terlibat adu mulut dengan Graziani. Sampai pertandingan selesai, keributan semakin menjadi, Graziani masih murka dan mendatangi Di Bartolomei. Beruntung, perselisihan mereka berhasil diredakan.

Karir sepakbola Ago berakhir di Salerno. Ia bermain untuk Salernitana pada 1988-1990 dan sempat menjadi kapten di klub tersebut serta membawanya promosi ke Serie B pada tahun 1990. Suporter Salernitana berpesta merayakan keberhasilan klubnya promosi. Ketika itu, seorang wartawan bertanya kepada Ago, tentang keputusannya untuk gantung sepatu. Ago menjawab, “Iya, ini hari terakhirku sebagai pemain sepakbola”.  Wartawan tersebut lalu bertanya, “Hari terakhir, apakah mengingat pertandingan pertamamu ?”, “Debut pertama ? 22 April 1973 di Milan, Stadion San Siro” jawab Ago.


Selepas pensiun, Di Bartolomei membuat akademi sepakbola di Salerno. Dirinya juga berkeinginan untuk membangun pusat olahraga. Namun terkendala banyak hal, salah satunya karena birokrasi di pemerintahan Italia. Ago memang disibukkan dengan mimpinya. Membangun sports centre dan menjadi pelatih sepakbola adalah project utamanya. Ia juga menulis sebuah buku mengenai taktik dan teknik sepakbola. Dengan harapan bisa dipakai oleh federasi sepakbola Italia, FIGC. Jelas tindakan tersebut merupakan sebuah pijakan untuk menuju tangga manajemen sepakbola. Sudah bukan rahasia lagi apabila Ago ingin menjadi pelatih Roma.



Satu hal yang menjadi misteri, kenapa Ago tidak direkrut oleh AS Roma. Apakah Roma sudah melupakan jasanya ? sebuah analisa menarik diungkapkan dalam film 11 Metri. Di Bartolomei sebenarnya kerap datang ke Olimpico untuk menonton Roma bermain. Bisa jadi itu sebuah kode, “lihat aku masih disini, apakah kalian lupa denganku?” Ago memang sosok yang pendiam, introvert, tidak blak-blakan. Hal tersebut juga disampaikan oleh Tancredi. Mereka berdua kerap bertemu dan membicarakan tentang Roma. Hanya saja, Tancredi tidak pernah memahami apa yang diinginkan oleh Ago. Disisi lain, Bruno Conti sendiri bertanya-tanya, kenapa Ago tidak dipekerjakan oleh Roma. Ia lalu menjelaskan, saat itu Ago memang kerap mengkritik Roma. Dirinya tidak setuju dengan kebijakan serta rencana yang dicanangkan oleh Roma. Bahkan Di Bartolomei sempat menyurati Franco Sensi, presiden Roma saat itu. Kemungkinan besar, surat tersebut tidak dipahami dengan jelas oleh sang presiden. Ia tidak paham, apa sebenarnya keinginan mantan pemain Roma tersebut. Ago memang sosok yang abstrak.


30 Mei 1994, Ago menembak dirinya dengan pistol 38 Smith & Wesson. Iya, 30 Mei, tanggal yang sama dengan kekalahan Roma di final Liga Champions. Ago mungkin ingin “merayakan” 10 tahun peristiwa tersebut dengan kematiannya. Sampai sekarang alasan Ago menghabisi nyawanya sendiri juga masih menjadi misteri. Padahal, malam sebelum Ago tewas, dirinya masih sempat bercanda dengan saudara dan teman-temannya. Bahkan membuat masakan untuk mereka. Ada yang menyatakan bahwa kondisi keuangan Ago memang carut marut. Namun, hal tersebut dibantah oleh istrinya, sebab keluarga mereka masih bisa bertahan dengan keuangan yang minim. Begitupun dengan catatan terakhir yang ditulis oleh Ago sebelum ia menjemput ajalnya. Surat tersebut sama sekali tidak menyatakan bahwa keluarganya ada masalah besar. Kematian Ago di tanggal 30 Mei 1994 bukan sebuah ketidaksengajaan. Sebab, di dalam dompetnya terselip dua buah foto. Pertama, foto seorang fans Roma yang sedang berdiri serta gambar Padre Pio.

Satu hal yang membuat saya tersentuh adalah detik-detik terakhir di film tersebut. Ketika kamera menyorot ruangan dibawah stadion. Seolah – olah mengikuti beberapa pemain yang sedang bersiap-siap menuju lapangan. Mereka menaiki tangga dan siap disambut gemuruh sorak sorai fans yang hadir. Dibalik gambar, muncul suara yang berasal dari mikrophone stadion. Satu persatu pemain Roma dipanggil dan para suporter membalasnya dengan sahutan. “Tancredi, hoooiii...!”, “Nappi, hoooiii...!”, “Vierchowod, hoooiii...!”, “Righeti, hoooiii...!”, “Falcao, hoooiii...!”, “Nela, hoooiii...!”, “Valigi, hoooiii...!”, “Ancelotti, hoooiii...!”, “Pruzzo, woooiii ! hoooiii...!”, “Conti, hoooiii...!”, “Di Bartolomei, hooooooiiiiii...!”


Nama Agostino Di Bartolomei memang tidak sepopuler pemain – pemain era 80an macam Maradona, Platini atau Ian Rush. Apabila ada seorang penonton yang awam soal sepakbola Italia ataupun AS Roma, wajar jika akan kebingungan menyaksikan film 11 Metri. Ada banyak narasumber yang ditampilkan oleh filmmaker dan kerap keluar masuk, keluar masuk. Hal tersebut tidak diimbangi dengan nama dan identitas tokoh yang sedang berbicara. Hanya muncul sekali, ketika narasumber muncul pertama kali. Tentunya penonton akan bertanya-tanya, aduh ini siapa ya ? dia profesinya apa ya ? hubungannya apa dengan Ago ? semacam itulah.

Menurut catatan saya, film 11 Metri setidaknya menyoroti tiga hal di dalam kehidupan Di Bartolomei. Yaitu, karir dan konflik di AS Roma, masa pensiun serta bunuh diri. Selama 88 menit, mayoritas cerita yang beredar hanyalah mengenai hubungan Ago dengan Roma. Kisah soal Ago yang mulai memasuki penghujung karir kurang diperhatikan. Mungkin karena faktor sumber. Begitu juga dengan usaha Di Bartolomei yang ingin membangun sport centre. Sangat minim sekali cerita yang bisa kita peroleh. Agaknya, fase-fase tersebut sengaja dipadatkan karena pada bagian selanjutnya adalah tangga dramatik yang paling tinggi dalam film 11 Metri. Menarik memang, karena diawal film, kita menyaksikan seorang Ago yang begitu dielu-elukan kharismanya. Namun, dipenghujung film, muncul kontradiksi. Menghabisi nyawanya sendiri adalah tindakan yang bodoh, Ago bagaikan seorang “badut”. Jangan salah, hal tersebut diakui sendiri oleh istri dan anaknya. Ya, dibalik diamnya seorang Ago, ternyata memendam sebuah mimpi dan obsesi yang tak pernah bisa dia wujudkan.


Patut diakui, bahwa 11 Metri memang melengkapi jagad dokumenter sepakbola. Biarpun alur ataupun struktur ceritanya masih kalang kabut dan membingungkan. Namun, aspek – aspek psikologis menjadi warna tersendiri di dalam film tersebut. Karena selama ini yang menjadi sorotan utama sebuah film dokumenter sepakbola hanya itu-itu saja. Entah itu partai klasik yang sengit dan menegangkan, kehebatan skill seorang pemain ataupun dokumenter mengenai suporter. 11 Metri agak berbeda dibandingkan dokumenter reportase macam The Real Football Factories, The Real Football Factories International ataupun Heysel 1985 Requiem For A CupFinal. Atau dokumenter yang lebih populer, seperti, Zidane: A 21st Century Portrait dan The Class of ’92. Pola – pola yang ditampilkan film 11 Metri mirip dengan The Two Escobar ataupun Maradona by Kusturica. Ada sisi emosional serta personal, selain euforia di lapangan sepakbola yang disuguhkan kedua film tersebut. Sama seperti dokumenter 11 Metri. Satu hal yang patut digarisbawahi, 11 Metri mengajari kita untuk menyelami lebih dalam arti sebuah "keluarga" di kehidupan sehari-hari.

“I don’t feel defeated, they can take away Roma from me, but they can’t take it’s fans” (Agostino Di Bartolomei)

11 Metri (The Penalty) | Francesco Del Grosso/88 menit/2011/Italia

1 komentar:

  1. 2
    E' DAVVERO DA ARRESTARE SUBITO (PRIMA CHE FACCIA UCCIDERE ANCORA), IL TERRORISTA NAZIRAZZISTA ED ASSASSINO PAOLO BARRAI, NATO A MILANO IL 28.6.1965. NONCHE' MEGA RICICLA SOLDI MAFIOSI E POLITI-C-RIMINALI, OSSIA FRUTTO DI MEGA RUBERIE E MEGA MAZZETTE, RICEVUTE DA LEGA LADRONA E STRAGISTA SPAPPOLA MAGISTRATI, NONCHE', TANTO QUANTO, FASCIODITTATORE E PEDOFILO: SILVIO BERLUSCONI! DICEVO, E' DAVVERO DA ARRESTARE UNA QUARTA VOLTA, E SUBITO, IL TERRORISTA NAZISTA ED ASSASSINO, PAOLO BARRAI. NON PER NIENTE, GIA' STATO IN GALERA 3 TIMES. OPINIONI TUTTE TERRIFICANTI SU LUI! MEGA TRUFFATORE E MEGA RICICLA CASH ASSASSINO VIA CRIMINALISSIMA BLOCKCHAIN INVEST, OLTRE CHE VIA CRIMINALISSIMA WORLD MAN OPPORTUNITIES LUGANO, VIA CRIMINALISSIMA WMO SA PANAMA E VIA CRIMINALISSIMA BSI ITALIA SRL DI VIA SOCRATE 26 MILANO! NOTO PEDOFIL-O-MOSESSUALE SODOMIZZA BAMBINI! CACCIATO DA CITIBANK A SBERLE, PER MEGA FRODI CHE LI FACEVA! E FATTO CONDANNARE A GALERA DA CITIBANK! SBAGLIA SEMPRE IN BORSA! AZZERA I RISPARMI DI CENTINAIA DI PERSONE! FALSO&LADRO&TRUFFATORE! DIFFAMA SUL WEB A FINI NAZISTI! FONDATORE DEI PROSSIMI MEGASSASSINI TERRORISTI DI ESTREMIA DESTRA: "NUOVI NAR"! FONDATORE DELL'ASSASSINO: KU KLUK KLAN PADANO! CONDANNATO A GALERA A MILANO ED IN BRASILE ( 8 ANNI E PURE PER PEDERASTIA OMOSESSUALE, RIPETO, PURE PER PEDERASTIA OMOSESSUALE)! MULTATO DA CONSOB BEN 70.000 €! DESTABILIZZA L'ITALIA PER FILO NAZISTI SERVIZI SEGRETI SVIZZERI ( ITALIA, DICEVAMO, DA 30 ANNI, GIUSTISSIMAMENTE, NAZIONE SCHIFATA IN TUTTO IL MONDO, IN QUANTO FASCIOMAFIOSA DITTATURA DI BERLUSCONIA.. NON PER NIENTE, TUTTE LE PIU' GRANDI INDUSTRIE, IN ITALIA DA SECOLI, DALLA TIRANNIASSASSINA DI BERLUSCONIA SON SCAPPATE, VEDI FIAT, PIRELLI, LUXOTTICA, MERLONI E MIGLIAIA DI ALTRE... E CHE SIA CHIARO, PLS, CHE IDDIO BENEDICA I GRANDI PM CHE NON SOPPORTANTO IL CANCRO DEL MONDO INTERO SILVIO BERLUSCONI, COME HENRY WOODCOCK, ILDA BOCASSINI E CHIUNQUE ALTRO DI QUESTA AMMIREVOLISSIMA CATEGORIA)! FA CRIMINI SU CRIMINI E NAZI-ST-ALKING, SU INTERNET, SU ORDINE DEI PUZZONI CRIMINALISSIM SILVIO BERLUSCONI, PAOLO BERLUSCONI ED UBALDO LIVOLSI DI FININVEST. IL VERME ASSASSINO PAOLO BARRAI, E' ANCHE, DA SEMPRE, INNEGGIANTE ALLO SPAPPOLAMENTO DI MAGISTRATI SCOMODI "COME BERLUSCONI GRANDISSIMAMENTE FECE CON FALCONE E BORSELLINO"! PAROLE SUE, DETTE SPESSISSIMO! ORGANIZZANTE OMICIDIO DI DAVID ROSSI DI MONTE PASCHI!
    Ho tantissimo da scrivere sul gia' 3 volte finito in galera, accertato pedofilo omosessuale, ladro, truffatore, sempre falso, nazi-st-alker, mandante di omicidi ( spesso, ma non sempre, mascherati da finti incidenti, malori o "suicidate"... come quando fece ammazzare David Rossi di Monte Paschi, ma ne scrivero' in dettagli molto presto), mega ricicla soldi mafiosi e/o politico-criminali (piu' tanto di orrido altro), arrestato gia' 3 volte, Paolo Barrai, nato a Milano il 28.6.1965 e gia' residente a Milano in Via Ippodromo 105! Come presto meglio sottolineeremo, multato dalla Consob ben 70.000 euro!
    http://www.consob.it/main/documenti/hide/afflittivi/pec/mercati/2013/d18579.htm
    VI SONO TONNELLATE DI ALTRE COSE DA DIRE SU QUANTO SIA BASTARDO EFFERATO CRIMINALE E PEDOFILO ASSASSINO DI PAOLO BARRAI. TROVATE UNA, "NON DA POCHISSIMO", PARTE (CHE PRESTO AMPLIEREMO ALL'INFINITO) QUI:
    https://es-la.facebook.com/public/Truffati-Da-Paolo-Barrai

    BalasHapus