"He was a
captain with a capital C"
(Franco Tancredi, eks kiper AS Roma)
26
Juni 1984, Agostino Di Bartolomei menjalani partai terakhirnya bersama AS Roma.
Kala itu Roma menghadapi Verona pada leg kedua final Coppa Italia. Bukan akhir
yang indah sebenarnya bagi kubu Roma, biarpun tropi Coppa Italia berhasil
mereka persembahkan. Il Lupi memang gagal mempertahankan Scudetto dan harus
kalah lewat adu penalti di final Liga Champions, kontra Liverpool. Namun, di
tahun tersebut mereka harus kehilangan dua simbol, yaitu sang kapten, Agostino
Di Bartolomei dan Nils Liedholm, pelatih Roma. Sebab, Ago dan Liedholm melabuh
ke San Siro pada musim berikutnya.
“Roma have taken
you away, but not your curva”,
“Agostino, ours
is not a farewell... Bye, legend”,
“There is love in
our hearts for Roma: Agostino, lift that cup for us”.
Sungguh
beruntung, kiprah pemain yang akrab dipanggil Ago tersebut diabadikan lewat
film dokumenter. 11 Metri, sebuah film dokumenter karya Francesco Del Grosso
yang menceritakan biografi legenda AS Roma, Agostino Di Bartolomei. Kisah epik
pemain yang memakai nomor punggung 10 tersebut dijabarkan dengan emosional. Del
Grosso mewawancarai keluarga Di Bartolomei, rekan-rekan satu tim, pengurus
klub, sahabat serta beberapa pundit sepakbola Italia. 11 Metri juga menampilkan
beberapa footage berbau Ago yang sebelumnya tidak pernah dilihat.
Kata
11 Metri sendiri berhubungan erat dengan momen buruk yang dialami Ago, yaitu
penalti. Peristiwa yang dimaksud jelas merujuk pada kekalahan Roma di tangan
Liverpool lewat adu penalti. Tidak heran apabila di dalam film 11 Metri kental
dengan unsur penalti. Contohnya, di awal film, kita akan disuguhi sebuah
lapangan lalu kamera menyorot titik putih. Lalu di akhir film, ada seorang anak
kecil memakai jersey Roma 80an. Ia berdiri sendirian di kotak penalti tanpa
menunjukkan senyum sama sekali. Bola yang berada dihadapannya ia tendang ke
arah gawang. Anak kecil tadi lalu membalikkan badan, nomor 10 melekat dibajunya.
11
Metri menyajikan kisah Agostino Di Bartolomei ketika masih kecil lalu menuju
masa kejayaannya sebagai pemain hingga saat-saat depresi sehabis gantung
sepatu. Tidak hanya menampilkan wawancara dengan orang terdekat, potongan foto-foto,
video atau dokumen mengenai Ago. Del Grosso juga menyuguhkan beberapa tempat
yang berkaitan dengan karir sepakbola Di Bartolomei, sebagai latar penggambilan
gambar. Sebelum 11 Metri rilis, sebenarnya ada satu film Italia yang
menginterpretasikan sosok Di Bartolomei. Yaitu, L’uomo in piu (One Man Up) karya sutradara ciamik, Paolo Sorrentino,
dibuat pada tahun 2001.
Agostino
lahir di pinggiran Roma pada 8 April 1955. Semenjak memperkuat Roma, namanya
menjadi representasi dan simbol klub. Terutama setelah jabatan kapten ia
sandang. Maklum, Ago lahir di kawasan kelas menengah yang notabene menjadi
basis para Romanista. Di kubu Roma sendiri, Di Bartolomei menjadi penyambung
lidah rekan – rekannya dengan presiden klub dan para suporter. Ago bukanlah
sekedar kapten yang memimpin kompatriotnya di tengah lapangan. Ia juga menjadi
sosok panutan di ruang ganti dan di luar lapangan.
Bersama
AS Roma, Di Bartolomei meraih banyak gelar, terutama di era Nils “Barone”
Liedholm. Pelatih yang mengenalkan strategi zonal marking di jagad sepakbola
Italia tersebut menyulap posisi Di Bartolomei. Awalnya, Ago menempati posisi regista.
Namun, ketika Roma merekrut Falcao, sang pelatih memutuskan untuk mengubah role
sang kapten menjadi libero. Menurut pengakuan mantan pemain Roma, seperti Bruno
Conti, Franco Tancredi atau Ubaldo Righeti, peranan Ago sangat sentral. Ago
mempunyai keahlian yang menarik, terutama sentuhannya serta umpan panjangnya
yang tepat dan mampu membuahkan gol.
Di
tahun 1982/83, Di Bartolomei berhasil meraih Scudetto yang kedua bagi AS Roma. Satu
momen yang sangat berharga bagi pendukung Giallorossi. Ditampilkan
footage-footage kota Roma yang dibanjiri warna oranye dan merah marun. Tumpah
ruah para fans Roma, mereka saling bersuka cita menyaksikan konser Antonello
Venditti di Circo Massimo. Begitu pun Ago dengan istrinya, Marisa De Santis
yang mengacuhkan rasa lelah mereka demi sebuah perayaan untuk La Magica Roma.
Satu
hal yang membuat orang tercengang adalah kebiasaan Di Bartolomei yang kerap
membawa pistol. Sudah bukan rahasia lagi apabila kapten Roma tersebut selalu
membawa tas kecil. Di dalamya berisi revolver kaliber 38. Ago memang mempunyai
ijin atas kepemilikan pistol tersebut. Sebab dirinya pernah dirampok disebuah
restoran kota Roma. Entah karena terjangkit paranoid atau phobia, pistol Ago
selalu terselip dibawah bantal setiap dirinya sedang terlelap.
Satu
kisah yang menarik antara Ago dan pistolnya adalah ketika pemain Roma dihadang
suporter Lazio. Saat itu skuad Roma menghadiri pertandingan antara timnas
Italia U21 melawan Lazio. Mereka meninggalkan pertandingan sebelum selesai dan diluar
sana ada 4000 fans Lazio. Beberapa suporter Lazio menghadang dan menghampiri para
pemain, ada yang ditendang, dipukul dan ditampar. Menurut pengakuan Giorgio
Rossi (eks staf AS Roma), Di Bartolomei sempat menodongkan pistol dihadapan
suporter Lazio tersebut. Mereka lalu berhamburan, berlarian meninggalkan
kerumunan.
Patut
disayangkan memang, perpisahannya dengan Roma tidak berlangsung manis.
Kegagalan Roma merengkuh Piala Champions menjadi peristiwa yang sulit dilupakan
oleh Ago. Pada 30 Mei 1984, Stadion Olimpico penuh sesak. Mereka menantikan
hari-hari bahagia dan tentunya mengharapkan klub kesayangannya merebut Piala
Champions. Ekspektasi membumbung tinggi dipundak suporter Roma, imbasnya
berakibat pada mental pemain Roma sendiri. Saat itu, skuad Roma tertinggal
lebih dahulu atas Liverpool. Roma berhasil menyamakan kedudukan atas sundulan
Roberto Pruzzo. Akhirnya, pertandingan harus dipungkasi dengan drama adu
penalti dan Liverpool menjadi pemenangnya.
Del
Grosso mewawancarai tiga pemain Roma yang turut serta di final Liga Champions,
yaitu Pruzzo, Chierico dan Tancredi. Ketiga pemain tersebut mengunjungi kembali
Stadion Olimpico dan menceritakan laga kontra Liverpool pada tahun 1984.
Dibawah mistar gawang, Tancredi mengisahkan kronologis terjadinya gol pertama
yang dicetak oleh Liverpool. Lalu Chierico juga mengungkapkan, saat itu
Agostino enggan menjadi penendang pertama. Ia merasa lelah, kehabisan tenaga.
Namun, Ago selalu menjadi yang pertama apabila penalti terjadi. Ditengah
lapangan, Ago berdiskusi dengan beberapa rekan-rekannya. Akhirnya, Graziani
menawarkan diri untuk menjadi penendang pertama.
Ketika
drama penalti sudah dimulai, Graziani yang akrab dipanggil Ciccio tersebut
sempat maju di kotak penalti. Namun tiba – tiba digantikan oleh Ago, sebab
Liedholm berteriak menyuruh sang kapten supaya menjadi yang pertama. Maklum,
karena penalti pertama Liverpool melayang diatas mistar. Dipilihnya Ago jelas
karena faktor psikologis. Di Bartolomei mampu mengeksekusi penalti. Sayang, dua
pemain Roma (Conti dan Graziani) gagal mencetak penalti. The Reds berpesta ditanah Italia.
Ago
memang kecewa karena Roma tidak mampu mengangkat piala Champions. Sebuah impian
yang sangat didambakan namun sirna dalam sekejap. Momen yang menyakitkan,
seturut apa yang disampaikan oleh istrinya. Setelah itu Di Bartolomei harus meninggalkan
tim dan kota yang sangat ia cintai. Di Bartolomei menyeberang ke AC Milan
karena Liedholm menginginkannya. Lagipula, pelatih Roma yang baru saat itu,
Sven Goran Eriksson menggangap bahwa Ago bukan pilihan pertama. Di Bartolomei
terlalu lambat, tidak cocok dengan taktik yang mengutamakan pressing terhadap
lawan. Saat itu ada banyak suporter Roma yang membujuk supaya Di Bartolomei
tetap bertahan. Karena sejatinya pemain yang jarang tersenyum tersebut tidak
ingin meninggalkan Il Lupi. Namun, gayung tidak bersambut, Dino Viola selaku
presiden AS Roma saat itu memutuskan untuk menjual Ago.
Di
Bartolomei mengawali karir senior di Roma pada tahun 1972. Debut pertamanya
melawan jagoan Italia saat itu, Inter Milan di Stadion San Siro (Giuseppe
Meazza). Pertandingan pertama melawan mantan klubnya juga berlangsung di San
Siro, ironisnya Ago mencetak gol di laga tersebut. Selebrasi yang ia lakukan
dihadapan suporter Milan jelas melukai hati fans AS Roma saat itu. Kontras dengan
sambutan Bruno Conti yang memeluk mantan pelatihnya sebelum peluit dibunyikan. Tidak
heran apabila suporter Roma mengolok-olok Ago ketika Milan bertandang ke
Olimpico. Tensi semakin memanas ketika Di Bartolomei terlibat adu mulut dengan
Graziani. Sampai pertandingan selesai, keributan semakin menjadi, Graziani
masih murka dan mendatangi Di Bartolomei. Beruntung, perselisihan mereka
berhasil diredakan.
Karir
sepakbola Ago berakhir di Salerno. Ia bermain untuk Salernitana pada 1988-1990
dan sempat menjadi kapten di klub tersebut serta membawanya promosi ke Serie B
pada tahun 1990. Suporter Salernitana berpesta merayakan keberhasilan klubnya
promosi. Ketika itu, seorang wartawan bertanya kepada Ago, tentang keputusannya
untuk gantung sepatu. Ago menjawab, “Iya, ini hari terakhirku sebagai pemain
sepakbola”. Wartawan tersebut lalu
bertanya, “Hari terakhir, apakah mengingat pertandingan pertamamu ?”, “Debut
pertama ? 22 April 1973 di Milan, Stadion San Siro” jawab Ago.
Selepas
pensiun, Di Bartolomei membuat akademi sepakbola di Salerno. Dirinya juga
berkeinginan untuk membangun pusat olahraga. Namun terkendala banyak hal, salah
satunya karena birokrasi di pemerintahan Italia. Ago memang disibukkan dengan
mimpinya. Membangun sports centre dan menjadi pelatih sepakbola adalah project
utamanya. Ia juga menulis sebuah buku mengenai taktik dan teknik sepakbola. Dengan
harapan bisa dipakai oleh federasi sepakbola Italia, FIGC. Jelas tindakan
tersebut merupakan sebuah pijakan untuk menuju tangga manajemen sepakbola.
Sudah bukan rahasia lagi apabila Ago ingin menjadi pelatih Roma.
Satu
hal yang menjadi misteri, kenapa Ago tidak direkrut oleh AS Roma. Apakah Roma
sudah melupakan jasanya ? sebuah analisa menarik diungkapkan dalam film 11
Metri. Di Bartolomei sebenarnya kerap datang ke Olimpico untuk menonton Roma
bermain. Bisa jadi itu sebuah kode, “lihat aku masih disini, apakah kalian lupa
denganku?” Ago memang sosok yang pendiam, introvert, tidak blak-blakan. Hal
tersebut juga disampaikan oleh Tancredi. Mereka berdua kerap bertemu dan
membicarakan tentang Roma. Hanya saja, Tancredi tidak pernah memahami apa yang
diinginkan oleh Ago. Disisi lain, Bruno Conti sendiri bertanya-tanya, kenapa
Ago tidak dipekerjakan oleh Roma. Ia lalu menjelaskan, saat itu Ago memang
kerap mengkritik Roma. Dirinya tidak setuju dengan kebijakan serta rencana yang
dicanangkan oleh Roma. Bahkan Di Bartolomei sempat menyurati Franco Sensi,
presiden Roma saat itu. Kemungkinan besar, surat tersebut tidak dipahami dengan
jelas oleh sang presiden. Ia tidak paham, apa sebenarnya keinginan mantan
pemain Roma tersebut. Ago memang sosok yang abstrak.
30
Mei 1994, Ago menembak dirinya dengan pistol 38 Smith & Wesson. Iya, 30
Mei, tanggal yang sama dengan kekalahan Roma di final Liga Champions. Ago
mungkin ingin “merayakan” 10 tahun peristiwa tersebut dengan kematiannya.
Sampai sekarang alasan Ago menghabisi nyawanya sendiri juga masih menjadi
misteri. Padahal, malam sebelum Ago tewas, dirinya masih sempat bercanda dengan
saudara dan teman-temannya. Bahkan membuat masakan untuk mereka. Ada yang
menyatakan bahwa kondisi keuangan Ago memang carut marut. Namun, hal tersebut
dibantah oleh istrinya, sebab keluarga mereka masih bisa bertahan dengan
keuangan yang minim. Begitupun dengan catatan terakhir yang ditulis oleh Ago
sebelum ia menjemput ajalnya. Surat tersebut sama sekali tidak menyatakan bahwa
keluarganya ada masalah besar. Kematian Ago di tanggal 30 Mei 1994 bukan sebuah
ketidaksengajaan. Sebab, di dalam dompetnya terselip dua buah foto. Pertama,
foto seorang fans Roma yang sedang berdiri serta gambar Padre Pio.
Satu
hal yang membuat saya tersentuh adalah detik-detik terakhir di film tersebut.
Ketika kamera menyorot ruangan dibawah stadion. Seolah – olah mengikuti
beberapa pemain yang sedang bersiap-siap menuju lapangan. Mereka menaiki tangga
dan siap disambut gemuruh sorak sorai fans yang hadir. Dibalik gambar, muncul
suara yang berasal dari mikrophone stadion. Satu persatu pemain Roma dipanggil
dan para suporter membalasnya dengan sahutan. “Tancredi, hoooiii...!”, “Nappi, hoooiii...!”, “Vierchowod, hoooiii...!”,
“Righeti, hoooiii...!”, “Falcao, hoooiii...!”, “Nela, hoooiii...!”, “Valigi, hoooiii...!”,
“Ancelotti, hoooiii...!”, “Pruzzo, woooiii ! hoooiii...!”, “Conti,
hoooiii...!”, “Di Bartolomei, hooooooiiiiii...!”
Nama
Agostino Di Bartolomei memang tidak sepopuler pemain – pemain era 80an macam
Maradona, Platini atau Ian Rush. Apabila ada seorang penonton yang awam soal
sepakbola Italia ataupun AS Roma, wajar jika akan kebingungan menyaksikan film
11 Metri. Ada banyak narasumber yang ditampilkan oleh filmmaker dan kerap
keluar masuk, keluar masuk. Hal tersebut tidak diimbangi dengan nama dan
identitas tokoh yang sedang berbicara. Hanya muncul sekali, ketika narasumber
muncul pertama kali. Tentunya penonton akan bertanya-tanya, aduh ini siapa ya ?
dia profesinya apa ya ? hubungannya apa dengan Ago ? semacam itulah.
Menurut
catatan saya, film 11 Metri setidaknya menyoroti tiga hal di dalam kehidupan Di
Bartolomei. Yaitu, karir dan konflik di AS Roma, masa pensiun serta bunuh diri.
Selama 88 menit, mayoritas cerita yang beredar hanyalah mengenai hubungan Ago
dengan Roma. Kisah soal Ago yang mulai memasuki penghujung karir kurang
diperhatikan. Mungkin karena faktor sumber. Begitu juga dengan usaha Di
Bartolomei yang ingin membangun sport centre. Sangat minim sekali cerita yang
bisa kita peroleh. Agaknya, fase-fase tersebut sengaja dipadatkan karena pada
bagian selanjutnya adalah tangga dramatik yang paling tinggi dalam film 11
Metri. Menarik memang, karena diawal film, kita menyaksikan seorang Ago yang
begitu dielu-elukan kharismanya. Namun, dipenghujung film, muncul kontradiksi.
Menghabisi nyawanya sendiri adalah tindakan yang bodoh, Ago bagaikan seorang
“badut”. Jangan salah, hal tersebut diakui sendiri oleh istri dan anaknya. Ya,
dibalik diamnya seorang Ago, ternyata memendam sebuah mimpi dan obsesi yang tak
pernah bisa dia wujudkan.
Patut
diakui, bahwa 11 Metri memang melengkapi jagad dokumenter sepakbola. Biarpun
alur ataupun struktur ceritanya masih kalang kabut dan membingungkan. Namun,
aspek – aspek psikologis menjadi warna tersendiri di dalam film tersebut. Karena
selama ini yang menjadi sorotan utama sebuah film dokumenter sepakbola hanya
itu-itu saja. Entah itu partai klasik yang sengit dan menegangkan, kehebatan
skill seorang pemain ataupun dokumenter mengenai suporter. 11 Metri agak
berbeda dibandingkan dokumenter reportase macam
The Real Football Factories, The Real Football Factories International
ataupun Heysel 1985 Requiem For A CupFinal. Atau dokumenter yang lebih populer, seperti, Zidane: A 21st Century Portrait dan The Class of ’92. Pola – pola yang ditampilkan film 11 Metri mirip
dengan The Two Escobar ataupun Maradona by Kusturica. Ada
sisi emosional serta personal, selain euforia di lapangan sepakbola yang disuguhkan kedua film
tersebut. Sama seperti dokumenter 11 Metri. Satu hal yang patut digarisbawahi, 11 Metri mengajari kita untuk menyelami
lebih dalam arti sebuah "keluarga" di kehidupan sehari-hari.
“I don’t feel defeated, they can take away Roma from me, but they can’t take it’s fans” (Agostino Di Bartolomei)