In
Sicily, women are more dangerous than shotguns (The Godfather I)
Apakah benar perempuan,
wanita atau gadis terlalu berbahaya buat para pria ? Lagipula ada sebuah
guyonan bahwa racun dunia adalah “harta, tahta dan wanita”. Bagi yang merasa
perempuan silahkan menampik pendapat tersebut. Aku pun masih ragu – ragu untuk mengamini
bahwa perempuan itu berbisa. Satu hal
lagi yang membuatku bertanya – tanya, kenapa ada sebuah hadits yang menyatakan
bahwa mayoritas penghuni neraka adalah wanita? aku sendiri bukan ahli tafsir
kitab suci dan semacamnya. Tapi menurutku hal tersebut patut diperdebatkan. Sore
tadi bersama seorang kawan aku sempat membicarakan hal tersebut, namun
perbicangan kami tidak akan dibicarakan disini.
Oke, suatu saat
seorang sahabat pernah bertanya mengenai definisi kecantikan perempuan. Teman
saya tadi namanya Banu Sang Badrika. Entah motifnya apa menanyakan hal tersebut,
konon sih mau membuat tulisan. Paling – paling sih buat modus, hihihihi. Namun
kala itu ada seorang teman, Angin namanya. Ia menjawab bahwa perempuan cantik
itu ya seperti Audrey Hepburn. Aku pun menambahkan satu contoh, yaitu Zooey
Deschanel. Cantik bagi perempuan memang relatif. Intinya, berbicara soal paras
adalah persoalan tipe. Masing – masing mempunyai pilihan sesuai dengan subjektifitasnya.
Tapi begini,
apakah kecantikan perempuan itu memang membahayakan ? Sampai – sampai ada
kepercayaan bahwa Julius Caesar itu hanya takut dengan Cleopatra. Atau mungkin
kisah penjelajah asmara, sang Arjuna yang rela mengorbankan segala yang dia
punya demi sesosok perempuan. Bahkan salah satu putranya, yaitu Abimanyu pernah
berbohong dan mengaku belum beristri supaya bisa menikahi Utari.
Saya ingin
membicarakan beberapa hal mengenai kisah lelaki dan perempuan. Kisah yang pelik
dan problematis. Modelnya tidak sama dengan Anna Karenina yang terkungkung adat
istiadat dan nekat menyeleweng dengan lelaki lain. Ataupun kisah Macbeth yang
pernah diadaptasi oleh Akira Kurosawa menjadi Throne of Blood. Sebuah kisah
yang menjabarkan bagaimana seorang perempuan mampu menyihir, menyetir segala
tindak tanduk suaminya karena urusan tahta. Bukan dua cerita tersebut yang akan
saya sampaikan.
Tentu sebagai
rakyat Indonesia kita tahu legenda Tangkuban Perahu. Aktor utamanya adalah
Sangkuriang yang sekarang jualan burjo di Jogja. Eh, maksudnya yang sewaktu
kecil diusir oleh ibunya karena membunuh seekor anjing. Nah, padahal anjing yang
bernama Tumang tersebut adalah jelmaan ayah kandungnya. Setelah dewasa Sangkuriang
merasa rindu terhadap kampung halamannya. Ia pun kembali ke desa asalnya dan bertemu
dengan sosok yang begitu menawan. Tidak lain dan tidak bukan perempuan tersebut
adalah ibunya sendiri, si Dayang Sumbi. Mereka berdua sama – sama tidak tahu
dan saling mencintai. Kita tahu bukan bahwa mereka lalu memadu kasih. Apakah
sampai diranjang tentu bukan urusan kita.
Kisah
Sangkuriang mirip dengan tragedi Yunani yang dikenal dengan Oedipus Rex. Sebuah
trilogi berdarah – darah yang ditulis oleh Sophocles. Apabila ditafsirkan,
cerita Oedipus penuh dengan refleksi atas kehidupan duniawi. Oedipus sejak
lahir sudah dikenai kutukan. Kelak Oedipus akan membunuh ayahnya dan mencintai
Ratu Jocasta, ibu kandungnya. Maklum, ayahnya dulu pernah memperkosa seorang perempuan yang
bernama Chrysippus. Oedipus memang malang nasibnya. Sejak lahir atau mungkin
belum sempat disusui oleh ibunya, bayi Oedipus dibuang supaya mati kedinginan.
Raja Lauis takut terhadap kutukan yang selama ini menghantuinya. Walhasil,
Oedipus kecil masih bisa diselamatkan, ia dirawat oleh raja Polybus hingga
dewasa. Saat itulah kutukan yang menimpa Oedipus akan mendekatinya. Oedipus
membunuh ayahnya secara tidak sengaja, sama dengan apa yang dilakukan oleh
Sangkuriang. Lalu Oedipus jatuh cinta dengan ibu kandungnya. Mereka sempat
menikmati malam disebuah ranjang berhiaskan kain sutra. Malam yang panjang bagi
Oedipus dan Ratu Jocasta. Malam jahanam.
Kisah cinta yang
dialami oleh Oedipus dan Sangkuriang memang tidak wajar. Mereka mencintai
ibunya sendiri karena tidak mengetahui sebab musababnya atau asal muasalnya.
Apakah kisah
cinta satu darah hanya ada dalam sosok Sangkuriang dan Oedipus ? Oh, tentu
tidak. Sebagai penggemar wayang saya ingat benar kisah Rahwana dan Shinta.
Sebuah epik Ramayana yang alurnya tidak terlalu kompleks seperti Mahabarata. Shinta
dilahirkan dari rahim Dewi Tari, istri Rahwana. Wibisana mengetahui bahwa
kelak kakaknya akan mencintai anaknya sendiri. Karena Shinta merupakan titisan
Dewi Widawati, sosok yang begitu dipuja – puja oleh Rahwana. Sejak saat itu
bayi Shinta dibuang ke sungai oleh Wibisana. Lalu Wibisana menukarnya dengan
sosok baru yang dia buat dari segumpal awan dan diberi nama Indrajit alias
Megananda.
Usaha Wibisana
mungkin sia – sia, sebab Rahwana pada akhirnya akan mengejar – ngejar Dewi
Shinta. Rahwana yang dikenal dengan nama Dasamuka tersebut sejatinya tidak tahu
bahwa Shinta adalah putri kandungnya. Namun tekad Dasamuka untuk menikahi
titisan Dewi Widawati begitu besar. Shinta berhasil dia culik dan disekap di
istana Alengka. Perang besar antar dua negara lalu berkobar, Alengka pun
terbakar. Ramawijaya dengan gagah merebut kembali istrinya, Shinta. Biarpun
pada akhirnya ada kabar bahwa Shinta diusir oleh suaminya. Rama tidak percaya
apabila Shinta masih “suci”.
Tiga kisah yang
rumit bukan ? entah ya kalian menganggapnya itu rumit atau tidak. Tapi bagiku
sih cerita diatas lumayan pelik. Percintaan antara orang tua dan anaknya.
Ada juga sebuah
cerita tentang ayah dan anak yang saling bersaing karena perempuan. Jadi, kita
tahu bahwa penguasa Suralaya, yaitu Bathara Guru mempunyai seorang putra yang
bernama Wisnu. Bathara Wisnu yang dikenal sebagai dewa perdamaian tersebut
mencintai Dewi Sri. Usut punya usut, Bathara Guru pun menaruh hati terhadap
terhadap perempuan yang dikenal sebagai dewi kesuburan tadi. Bathara Wisnu dan
Dewi Sri menikah tanpa sepengetahuan Bathara Guru. Ketika mengetahui pernikahan
tersebut, Bathara Guru marah besar. Beliau mengusir Wisnu ke marcapada (dunia)
meninggalkan istrinya yang saat itu sedang hamil. Terpaksa Bathara Guru harus
memetik gitar dan melantunkan sebuah lagu, “Mengapa selalu aku yang mengalah..”
Terakhir, saya
ingin menceritakan kisah tragis yang dialami Amangkurat I. Salah satu putra
raja termasyhur di Jawa, yaitu Sultan Agung tersebut berselisih dengan anak
kandungnya karena perempuan. Sebenarnya bukan cerita baru lagi apabila
Amangkurat I gemar bermain perempuan. Sewaktu muda beliau pernah berniat
menculik istri Tumenggung Wiraguna, salah satu komandan perang di jaman Sultan
Agung. Ketika sudah dewasa dan dinobatkan menjadi raja, rasa kagumnya akan
perempuan makin menjadi – jadi. Amangkurat I mempunyai banyak selir. Bahkan
pernah membunuh seorang dalang kondang demi merebut istrinya yang kecantikannya
begitu memikat. Perempuan tersebut bernama Ratu Mas Malang. Ketika sudah
dinikahi Amangkurat I, dirinya membuat iri istri – istri yang lain. Ada cerita
bahwa Ratu Mas Malang dibunuh. Hal tersebut membuat galau dan murka sang raja.
Karena sifat bengisnya, puluhan selir Amangkurat dipenjara tanpa diberi makan
dan minum hingga tewas.
Babak baru
percintaan Amangkurat I dimulai lagi. Ia menyuruh anak buahnya untuk mencari
calon istri bagi dirinya. Ada petunjuk bahwa gadis yang cocok bagi Amangkurat I
berada di daerah yang tanahnya wangi. Akhirnya ditemukanlah satu sosok gadis,
namanya Roro Oyi. Sayang perempuan tersebut belum dewasa dan tidak bisa
langsung dinikahi. Amangkurat I memutuskan untuk menunggu Roro Oyi hingga
dewasa dan menyuruhnya untuk tinggal di wilayah kekuasaan Pangeran Pekik,
mertuanya sendiri. Konflik pun dimulai ketika putra Amangkurat I, yaitu
Pangeran Adipati Anom bertemu Roro Oyi secara tidak sengaja. Saat itu Roro Oyi
sedang bermain di halaman rumah Ngabehi Wirareja yang ditugasi menjaga gadis
manis tersebut. Dari kejauhan Pangeran Adipati Anom memandanginya dan merasa
jatuh cinta. Mungkin saat itu Pangeran Adipati Anom sedang berburu bajing.
Setelah saling
mengenal, mereka berdua pun menjalin hubungan asmara. Saling membelai rambut,
melempar sajak, bergandengan tangan, masak bersama, atau mungkin sambil
“itu-ituan”. Pangeran Pekik yang merupakan kakek Pangeran Adipati Anom sudah
mengingatkan supaya jangan mendekati Roro Oyi. Namun Adipati Anom tetap ngeyel. Lama – lama hubungan gelap
tersebut diketahui Amangkurat I. Raja Mataram tersebut naik pitam dan memanggil
sepasang kekasih tersebut. Amangkurat I tidak lagi berminat mengawini Roro Oyi.
Di istana dan dihadapan para pejabat kerajaan, Roro Oyi beserta Pangeran
Adipati Anom dihukum. Di depan muka Amangkurat I, perempuan yang belum genap
berumur dua puluh tahun tersebut dibunuh dengan pisau oleh Adipati Anom atas
kehendak sang raja lalim tadi.
Jadi siapa yang
berbahaya ? laki – laki atau perempuan ? lalu apakah masih relevan konsep
sebuah keluarga yang menyatakan bahwa “wong
wadon iku swargane nunut, nerakane katut.” Entahlah, paling tidak aku ingin
mengutip salah satu kalimat dari Kuntowijoyo, “Nimas ayu ingkang milangoni, buron arum ingkang sabeng wana, yen
panggih iba rasane.” (Adik cantik yang menggetarkan hati, buruan harum
berkeliaran dihutan, kalau ketemu betapa senang rasanya) ~ Kuntowijoyo, Mantra
Penjinak Ular, 113 – 114 ~
Ah, dasar
perempuan.. J
Di awal
bulan kedelapan, Banyu Bumi Sirna
Penganten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar