"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Jumat, 01 Agustus 2014

Sebuah Cerita Mengeja Perempuan

In Sicily, women are more dangerous than shotguns (The Godfather I)

Apakah benar perempuan, wanita atau gadis terlalu berbahaya buat para pria ? Lagipula ada sebuah guyonan bahwa racun dunia adalah “harta, tahta dan wanita”. Bagi yang merasa perempuan silahkan menampik pendapat tersebut. Aku pun masih ragu – ragu untuk mengamini bahwa perempuan itu berbisa. Satu hal lagi yang membuatku bertanya – tanya, kenapa ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa mayoritas penghuni neraka adalah wanita? aku sendiri bukan ahli tafsir kitab suci dan semacamnya. Tapi menurutku hal tersebut patut diperdebatkan. Sore tadi bersama seorang kawan aku sempat membicarakan hal tersebut, namun perbicangan kami tidak akan dibicarakan disini.

Oke, suatu saat seorang sahabat pernah bertanya mengenai definisi kecantikan perempuan. Teman saya tadi namanya Banu Sang Badrika. Entah motifnya apa menanyakan hal tersebut, konon sih mau membuat tulisan. Paling – paling sih buat modus, hihihihi. Namun kala itu ada seorang teman, Angin namanya. Ia menjawab bahwa perempuan cantik itu ya seperti Audrey Hepburn. Aku pun menambahkan satu contoh, yaitu Zooey Deschanel. Cantik bagi perempuan memang relatif. Intinya, berbicara soal paras adalah persoalan tipe. Masing – masing mempunyai pilihan sesuai dengan subjektifitasnya.

Tapi begini, apakah kecantikan perempuan itu memang membahayakan ? Sampai – sampai ada kepercayaan bahwa Julius Caesar itu hanya takut dengan Cleopatra. Atau mungkin kisah penjelajah asmara, sang Arjuna yang rela mengorbankan segala yang dia punya demi sesosok perempuan. Bahkan salah satu putranya, yaitu Abimanyu pernah berbohong dan mengaku belum beristri supaya bisa menikahi Utari.

Saya ingin membicarakan beberapa hal mengenai kisah lelaki dan perempuan. Kisah yang pelik dan problematis. Modelnya tidak sama dengan Anna Karenina yang terkungkung adat istiadat dan nekat menyeleweng dengan lelaki lain. Ataupun kisah Macbeth yang pernah diadaptasi oleh Akira Kurosawa menjadi Throne of Blood. Sebuah kisah yang menjabarkan bagaimana seorang perempuan mampu menyihir, menyetir segala tindak tanduk suaminya karena urusan tahta. Bukan dua cerita tersebut yang akan saya sampaikan.

Tentu sebagai rakyat Indonesia kita tahu legenda Tangkuban Perahu. Aktor utamanya adalah Sangkuriang yang sekarang jualan burjo di Jogja. Eh, maksudnya yang sewaktu kecil diusir oleh ibunya karena membunuh seekor anjing. Nah, padahal anjing yang bernama Tumang tersebut adalah jelmaan ayah kandungnya. Setelah dewasa Sangkuriang merasa rindu terhadap kampung halamannya.  Ia pun kembali ke desa asalnya dan bertemu dengan sosok yang begitu menawan. Tidak lain dan tidak bukan perempuan tersebut adalah ibunya sendiri, si Dayang Sumbi. Mereka berdua sama – sama tidak tahu dan saling mencintai. Kita tahu bukan bahwa mereka lalu memadu kasih. Apakah sampai diranjang tentu bukan urusan kita.

Kisah Sangkuriang mirip dengan tragedi Yunani yang dikenal dengan Oedipus Rex. Sebuah trilogi berdarah – darah yang ditulis oleh Sophocles. Apabila ditafsirkan, cerita Oedipus penuh dengan refleksi atas kehidupan duniawi. Oedipus sejak lahir sudah dikenai kutukan. Kelak Oedipus akan membunuh ayahnya dan mencintai Ratu Jocasta, ibu kandungnya. Maklum, ayahnya dulu  pernah memperkosa seorang perempuan yang bernama Chrysippus. Oedipus memang malang nasibnya. Sejak lahir atau mungkin belum sempat disusui oleh ibunya, bayi Oedipus dibuang supaya mati kedinginan. Raja Lauis takut terhadap kutukan yang selama ini menghantuinya. Walhasil, Oedipus kecil masih bisa diselamatkan, ia dirawat oleh raja Polybus hingga dewasa. Saat itulah kutukan yang menimpa Oedipus akan mendekatinya. Oedipus membunuh ayahnya secara tidak sengaja, sama dengan apa yang dilakukan oleh Sangkuriang. Lalu Oedipus jatuh cinta dengan ibu kandungnya. Mereka sempat menikmati malam disebuah ranjang berhiaskan kain sutra. Malam yang panjang bagi Oedipus dan Ratu Jocasta. Malam jahanam.

Kisah cinta yang dialami oleh Oedipus dan Sangkuriang memang tidak wajar. Mereka mencintai ibunya sendiri karena tidak mengetahui sebab musababnya atau asal muasalnya.

Apakah kisah cinta satu darah hanya ada dalam sosok Sangkuriang dan Oedipus ? Oh, tentu tidak. Sebagai penggemar wayang saya ingat benar kisah Rahwana dan Shinta. Sebuah epik Ramayana yang alurnya tidak terlalu kompleks seperti Mahabarata. Shinta dilahirkan dari rahim Dewi Tari, istri Rahwana. Wibisana mengetahui bahwa kelak kakaknya akan mencintai anaknya sendiri. Karena Shinta merupakan titisan Dewi Widawati, sosok yang begitu dipuja – puja oleh Rahwana. Sejak saat itu bayi Shinta dibuang ke sungai oleh Wibisana. Lalu Wibisana menukarnya dengan sosok baru yang dia buat dari segumpal awan dan diberi nama Indrajit alias Megananda.

Usaha Wibisana mungkin sia – sia, sebab Rahwana pada akhirnya akan mengejar – ngejar Dewi Shinta. Rahwana yang dikenal dengan nama Dasamuka tersebut sejatinya tidak tahu bahwa Shinta adalah putri kandungnya. Namun tekad Dasamuka untuk menikahi titisan Dewi Widawati begitu besar. Shinta berhasil dia culik dan disekap di istana Alengka. Perang besar antar dua negara lalu berkobar, Alengka pun terbakar. Ramawijaya dengan gagah merebut kembali istrinya, Shinta. Biarpun pada akhirnya ada kabar bahwa Shinta diusir oleh suaminya. Rama tidak percaya apabila Shinta masih “suci”.

Tiga kisah yang rumit bukan ? entah ya kalian menganggapnya itu rumit atau tidak. Tapi bagiku sih cerita diatas lumayan pelik. Percintaan antara orang tua dan anaknya.

Ada juga sebuah cerita tentang ayah dan anak yang saling bersaing karena perempuan. Jadi, kita tahu bahwa penguasa Suralaya, yaitu Bathara Guru mempunyai seorang putra yang bernama Wisnu. Bathara Wisnu yang dikenal sebagai dewa perdamaian tersebut mencintai Dewi Sri. Usut punya usut, Bathara Guru pun menaruh hati terhadap terhadap perempuan yang dikenal sebagai dewi kesuburan tadi. Bathara Wisnu dan Dewi Sri menikah tanpa sepengetahuan Bathara Guru. Ketika mengetahui pernikahan tersebut, Bathara Guru marah besar. Beliau mengusir Wisnu ke marcapada (dunia) meninggalkan istrinya yang saat itu sedang hamil. Terpaksa Bathara Guru harus memetik gitar dan melantunkan sebuah lagu, “Mengapa selalu aku yang mengalah..”

Terakhir, saya ingin menceritakan kisah tragis yang dialami Amangkurat I. Salah satu putra raja termasyhur di Jawa, yaitu Sultan Agung tersebut berselisih dengan anak kandungnya karena perempuan. Sebenarnya bukan cerita baru lagi apabila Amangkurat I gemar bermain perempuan. Sewaktu muda beliau pernah berniat menculik istri Tumenggung Wiraguna, salah satu komandan perang di jaman Sultan Agung. Ketika sudah dewasa dan dinobatkan menjadi raja, rasa kagumnya akan perempuan makin menjadi – jadi. Amangkurat I mempunyai banyak selir. Bahkan pernah membunuh seorang dalang kondang demi merebut istrinya yang kecantikannya begitu memikat. Perempuan tersebut bernama Ratu Mas Malang. Ketika sudah dinikahi Amangkurat I, dirinya membuat iri istri – istri yang lain. Ada cerita bahwa Ratu Mas Malang dibunuh. Hal tersebut membuat galau dan murka sang raja. Karena sifat bengisnya, puluhan selir Amangkurat dipenjara tanpa diberi makan dan minum hingga tewas.

Babak baru percintaan Amangkurat I dimulai lagi. Ia menyuruh anak buahnya untuk mencari calon istri bagi dirinya. Ada petunjuk bahwa gadis yang cocok bagi Amangkurat I berada di daerah yang tanahnya wangi. Akhirnya ditemukanlah satu sosok gadis, namanya Roro Oyi. Sayang perempuan tersebut belum dewasa dan tidak bisa langsung dinikahi. Amangkurat I memutuskan untuk menunggu Roro Oyi hingga dewasa dan menyuruhnya untuk tinggal di wilayah kekuasaan Pangeran Pekik, mertuanya sendiri. Konflik pun dimulai ketika putra Amangkurat I, yaitu Pangeran Adipati Anom bertemu Roro Oyi secara tidak sengaja. Saat itu Roro Oyi sedang bermain di halaman rumah Ngabehi Wirareja yang ditugasi menjaga gadis manis tersebut. Dari kejauhan Pangeran Adipati Anom memandanginya dan merasa jatuh cinta. Mungkin saat itu Pangeran Adipati Anom sedang berburu bajing.

Setelah saling mengenal, mereka berdua pun menjalin hubungan asmara. Saling membelai rambut, melempar sajak, bergandengan tangan, masak bersama, atau mungkin sambil “itu-ituan”. Pangeran Pekik yang merupakan kakek Pangeran Adipati Anom sudah mengingatkan supaya jangan mendekati Roro Oyi. Namun Adipati Anom tetap ngeyel. Lama – lama hubungan gelap tersebut diketahui Amangkurat I. Raja Mataram tersebut naik pitam dan memanggil sepasang kekasih tersebut. Amangkurat I tidak lagi berminat mengawini Roro Oyi. Di istana dan dihadapan para pejabat kerajaan, Roro Oyi beserta Pangeran Adipati Anom dihukum. Di depan muka Amangkurat I, perempuan yang belum genap berumur dua puluh tahun tersebut dibunuh dengan pisau oleh Adipati Anom atas kehendak sang raja lalim tadi.

Jadi siapa yang berbahaya ? laki – laki atau perempuan ? lalu apakah masih relevan konsep sebuah keluarga yang menyatakan bahwa “wong wadon iku swargane nunut, nerakane katut.” Entahlah, paling tidak aku ingin mengutip salah satu kalimat dari Kuntowijoyo, “Nimas ayu ingkang milangoni, buron arum ingkang sabeng wana, yen panggih iba rasane.” (Adik cantik yang menggetarkan hati, buruan harum berkeliaran dihutan, kalau ketemu betapa senang rasanya) ~ Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular,  113 – 114 ~

Ah, dasar perempuan.. J
Di awal bulan kedelapan, Banyu Bumi Sirna Penganten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar