"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Senin, 14 Juli 2014

Wayang Bocor yang sedikit “Bocor”

Ketika pertunjukkan sedang berlangsung, suasana hening menjadi buyar karena tangisan anak kecil. Di belakang saya juga terdengar suara anak yang sedang bertanya kepada orangtuanya. Rasa penasaran anak kecil tadi cukup besar.  “Itu siapa ?”, “Apa itu ?”
Gangguan-gangguan semacam itu mungkin kurang asyik bagi para penonton yang sedang khusyuk mencermati jalannya pertunjukkan. Salah seorang teman saya juga sempat mengeluh, merasa terganggu. Tapi ketika kita sedang asyik melihat wayang kulit semalam suntuk, entah itu di lapangan yang luas, halaman rumah atau di gedung, agaknya kejadian semacam itu menjadi sebuah pemandangan yang biasa. “Norma-norma” menonton wayang kulit memang tidak ketat. Toh, saya sendiri kerap mengobrol dengan teman sebelah ketika menyaksikan wayang kulit. Bahkan ketika hati sedang gundah gulana, saya malah sibuk curhat ketimbang konsen mendengar ocehan sang dalang.
Jadi begini, gangguan-gangguan diatas saya temui Jumat malam. Ketika sedang menonton pertunjukkan Wayang Bocor di auditorium LIP. Wayang Bocor diinisiasi oleh perupa kontemporer Yogyakarta, Eko Nugroho. Karena kontemporernya, maka Wayang Bocor juga diembel-embeli sebagai wayang kontemporer. Apa itu kontemporer ? lebih baik tidak usah dibicarakan, karena bisa melebar urusannya.
Pertunjukkan yang diselenggarakan selama dua hari tersebut (10-11 Juli) menyuguhkan lakon “Hikayat Agar-Agar Bertanduk”. Naskah serta penyutradaraan dipercayakan kepada Gunawan Maryanto yang juga merangkap sebagai dalang, narator, MC, aktor, komplit lah pokoknya. Jamaah yang hadir lumayan banyak. Tidak kalah dengan jamaah tarawih, merapatkan shaf dan berjejer-jejer.
(Photo by Swandi Ranadila)
Menurut booklet pementasan, Wayang Bocor bercita-cita mengenalkan kembali wayang kepada khalayak umum. Tentunya dengan kemasan yang lebih mudah dicerna. Tidak seperti pementasan wayang kulit yang mungkin terkesan menggurui, membosankan dan terlalu chauvinistik. Tokoh-tokoh yang muncul juga berbeda bentuknya dengan karakter wayang yang lazim kita saksikan. Tanpa maksud merendahkan cerita Panji, Menak, Damarwulan dsb, tidak bisa dipungkiri bahwa kita lebih mengenal kisah Ramayana dan Mahabarata. Namun, ceritanya lain lagi apabila kita  menonton Wayang Bocor. Tidak ada yang namanya Janaka, Rama, Kresna, Baladewa, Kunthi, Durna, Sengkuni, Bathara Narada dsb. Eko Nugroho punya karakter sendiri, entah apa nama-namanya.
Bentuk wayang disesuaikan dengan motif atau desain yang biasa dipakai oleh Eko Nugroho. Biarpun disebut wayang kontemporer, mereka tetap mengindahkan beberapa tradisi yang dianut wayang klasik. Antara lain kelir yang dipakai, tiga punakawan (Gareng, Petruk, Bagong), nembang serta suluk dan janturan.
Saat kelir mulai “bermain”, sang dalang njantur “Hong ilaheng, hong ihaleng awigna mastu purnama sidhem, awigna mastu silat mring Hyang Jagatkarana...”* Deskripsi keadaan pun mulai disenandungkan dengan bahasa Jawa. Dalam jagad wayang kulit, hal tersebut disebut janturan. Saya ingat betul, terucap kata "data pitana", “Astinapura” dll. Sebagian pengunjung mungkin tidak mengerti maksud kata-kata yang terselip dalam janturan tersebut. Beruntung, setelah itu penonton mulai “ditenangkan” dengan ucapan bahasa Indonesia. Asumsi saya, olahan kata-kata tadi merupakan tafsir atau terjemahan atas janturan yang biasa dipakai di dalam pagelaran wayang kulit (tradisi). Ketika adegan (mungkin) goro-goro dalam pertunjukkan Wayang Bocor, dimulai dengan jineman terlebih dahulu, “Bocah bajang nggiring angin, anawu banyu segara, ngoningoné kebo dhungkul, saksisih sapi gumarang” Baru tiga punakawan muncul untuk mengocok perut handai taulan yang hadir.
Oiya, ada yang terlupakan. Sebelum sosok-sosok wayang dimainkan, ada satu “gunungan” yang masih menancap. Pada pakeliran wayang klasik pun berlaku seperti itu. Secara visual, ada tiga kelir yang dipasang. Tiga-tiganya berfungsi untuk memainkan atau menimbulkan bayangan. Kelir utama tetap berada ditengah. Selain itu, adegan-adegan yang muncul tidak melulu bermain di belakang kelir. Para aktor kerap muncul di tengah panggung untuk berinteraksi. Meminjam istilahnya Umar Kayam, Wayang Bocor bisa dikatakan mengaplikasikan apa yang dimaksud dengan “Kelir tanpa batas”
(Photo by Swandi Ranadila)
Bagi saya, salah satu keunggulan Wayang Bocor adalah apiknya permainanan cahaya. Sangat membantu untuk membangun imajinasi penonton supaya tetap setia menonton. Mirip sekali ketika kita melihat pementasan Wayang Ukur dll. Namun sayang, saya tidak sempat mencermati iringan musiknya. Bisa jadi, basis penciptaan musiknya berasal atau menyesuaikan pula dengan kaidah pakeliran ringgit wacucal sedalu natas. Dari pathet nem, pathet sangan hingga pathet manyura.
            Pertunjukkan “Hikayat Agar-Agar Bertanduk” menampilkan dua tokoh utama, yaitu Ali dan Seroja. Karena dari dua tokoh tersebut kita bisa melihat kegelisahan-kegelisahan yang ada di negeri ini. Seroja dan Ali bertemu di Malaysia secara tidak sengaja. Ali tiba di Malaysia karena dia ingin berjihad ke Afghanistan. Entah kenapa kok malah mampir ke Malaysia. Berbeda dengan Seroja, perempuan yang sebenarnya sudah bersuami tersebut bekerja sebagai TKW disana. Demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga yang kelimpungan karena suaminya tidak bertanggung jawab.
Permasalahan yang muncul muncul di dalam lakon merupakan cerminan kondisi negeri ini. Kejadian yang muncul bertolak belakang dengan cita-cita founding father negeri ini yang termaktub dalam Pancasila. Maaf ini bukan pelajaran PPKN ataupun penataran bagi para pegawai negeri.
         Ada adegan dimana Seroja heran dengan peristiwa pemboman gereja di hari Natal. Anehnya, Ali justru memuji peristiwa tersebut. Lalu disaat tiga sekawan, Gareng, Petruk dan Bagong bercengkerama. Mereka mengeluhkan masyarakat yang tidak lagi guyub. Negeri ini ibarat kepingan gelas yang baru jatuh dari jendela.
     Ketika melihat tajuknya yang memakai kata “hikayat”, awalnya saya mengira pementasannya akan berbau Melayu dan mendayu-dayu. Oh, ternyata tidak. Sangat sedikit ditemui budaya Melayu. Tapi mungkin itu jadi alasan kenapa di dalam Wayang Bocor muncul kostum-kostum yang berbau Melayu, lalu ada percakapan khas Upin Ipin. Ceritanya memang berbau atau menyinggung agama Islam (maaf, biarpun terkesan fundamentalis). Karena ketika kita membaca hikayat, unsur-unsur Islam begitu kental.  Saya jadi ingat ketika kuliah semester awal disuruh mereview babad, hikayat dsb. Waktu itu saya membahas Hikayat Perang Sabil. Unsur daya juang Islam ketika perang di Aceh begitu tinggi. Tapi mengenai unsur Melayu, saya pikir tidaklah terlalu penting. Mengingat basis penciptaan Wayang Bocor bersifat kontemporer. Usaha untuk memasukkan hal-hal yang berbau tradisional patut diacungi jempol. Lagian seorang Semaun pernah juga menulis Hikayat Kadiroen yang isinya jauh dari budaya Melayu. Biarpun novel tersebut memakai bahasa Melayu. Maklum, dari jauh-jauh hari bahasa Melayu memang dikenal sebagai lingua franca.
            Sebenarnya, pementasan Wayang Bocor memang menghibur. Namun alangkah baiknya apabila mempertimbangkan lakon wayang yang lazim didengarkan. Maksudnya mengangkat beberapa cerita-cerita tradisi dan dihubungkan dengan dinamika kehidupan sosial dewasa ini. Mungkin seni wayang memang terlupakan, tapi ada lagi yang terlupakan, yaitu cerita wayang. Pengangkatan kembali cerita wayang namun dalam bentuk atau karakter yang berbeda dan unik. Menurut saya, itulah “kebocoran” Wayang Bocor. Satu hal yang tidak mereka sentuh, ketika kembali melihat tujuan Wayang Bocor yang ingin mengenalkan seni wayang yang katanya sudah lama terlupakan. Satu hal yang mengganjal, seni wayang seperti apa bung ?
            Sebelum Wayang Bocor muncul, beragam cara sudah dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat menyaksikan wayang. Ki Djoko Edan misalnya, beliau pernah memakai band rock untuk mengiringi pementasannya. Atau Bupati Tegal sekarang, Ki Enthus Susmono, pakeliran wayang beliau rubah sedemikian megah. Bahkan bentuk gunungan yang biasa kita lihat pun beliau ganti wujudnya. Strategi pementasan wayang kulit sekarang juga sudah usang. Masih saja mereka memakai hiburan-hiburan demi menarik massa. Semacam diselingi dangdutan lah, dagelan lah, campursari yang durasinya sungguh minta ampun. Konon, suwargi Ki Hadi Sugito pernah “mencak-mencak” melihat trend tersebut menjamur di kalangan dalang-dalang.
Kasus Sujiwo Tejo serta Nanang Hape menarik untuk diikuti. Mereka tetap setia dengan cerita serta tokoh wayang klasik. Cara penyajian mereka patut diapresiasi. Sujiwo Tejo mempunyai Wayang Jazz, sedangkan Nanang Hape mengenalkan Wayang Urban. Gebrakan yang dibuat Ki Sukasman juga menarik sebenarnya. Hanya saja, Wayang Ukur bisa dianggap “belum” berhasil dari segi permainan. Disamping susah memainkan wayangnya, penerus Ki Sukasman pun tidak ada. Hal tersebut sudah diprediksi jauh-jauh hari oleh Ki Timbul Cerma Manggala dan Kasidi Hadiprayitno.
Aku pikir wayang merupakan karya masterpiece. Wayang di Indonesia lho. Kita sudah tahu bahwa cerita wayang diimpor dari negeri India. Epos paling populer di negeri ini jelas Mahabarata serta Ramayana. Wayang paling dikenal di Indonesia jelas wayang kulit Purwa. Entah bagaimana nasib wayang Klithik, wayang Madya, wayang Gedog, wayang Krucil, wayang Drupara, wayang Sasak atau wayang Beber kelak. Mengingat posisi wayang Purwa memang begitu hebat. Biarpun saat ini kepopuleran wayang Purwa masih kalah telak dengan gemuruh dominasi budaya massa.
Seperti yang dikhawatirkan Umar Kayam dalam catatannya yang berjudul “Wayang ke Manakah Kau ?”Apakah wayang akan habis ditelan jaman ? ah, biar itu jadi urusan masing-masing. Toh, sampai sekarang wayang masih bisa bertahan dihati para penggemarnya. Selain itu, disetiap jaman wayang selalu berevolusi. Entahlah, masa keemasan wayang memang pernah terjadi. Kita ingat betul bahwa wayang merupakan “lidah penyambung rakyat”di era Orde Baru. Program-program atau mungkin propaganda Orba kerap disisipkan. Sebelum Orba, Lekra sendiri kerap merawat wayang dengan menggelar pagelaran di kalangan akar rumput. Namun, aku juga tidak yakin bahwa bentuk pementasan wayang yang sekarang benar-benar “pakem”. Jaman memang sudah berubah, wayang sendiri harus siap menghadapinya. Semoga kita tetap merawat esensi wayang itu sendiri.

Ket :
*Menurut penuturan Brian, salah seorang kawan saya, janturan tersebut hanya dipakai oleh gaya Yogyakarta. Lengkapnya sebagai berikut :

Hong ilaheng, hong ilaheng awigna mastu purnama sidhem, awigna mastu silat mring Hyang Jagatkarana, siran tandha kawisesaning bisana, sana sinawung langen wilapa, estu maksih lestantun lampahing Budda, jinantur tutur katula, tela-tela tulat mring labeting paradya Winursita ngupama pramengniskara, karana dya tumiyeng jaman purwa,winusidha trah ingkang dinama dama, pinardi tameng lalata, mangkya tekap wasananing gupita Tan wun renggeng pralambang atumpa tumpa, manggung panggeng panggunggung sang murweng kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar