Ketika
pertunjukkan sedang berlangsung, suasana hening menjadi buyar karena tangisan
anak kecil. Di belakang saya juga terdengar suara anak yang sedang bertanya
kepada orangtuanya. Rasa penasaran anak kecil tadi cukup besar. “Itu siapa ?”, “Apa itu ?”
Gangguan-gangguan
semacam itu mungkin kurang asyik bagi para penonton yang sedang khusyuk
mencermati jalannya pertunjukkan. Salah seorang teman saya juga sempat
mengeluh, merasa terganggu. Tapi ketika kita sedang asyik melihat wayang kulit
semalam suntuk, entah itu di lapangan yang luas, halaman rumah atau di gedung,
agaknya kejadian semacam itu menjadi sebuah pemandangan yang biasa. “Norma-norma”
menonton wayang kulit memang tidak ketat. Toh, saya sendiri kerap mengobrol dengan
teman sebelah ketika menyaksikan wayang kulit. Bahkan ketika hati sedang gundah
gulana, saya malah sibuk curhat ketimbang konsen mendengar ocehan sang dalang.
Jadi
begini, gangguan-gangguan diatas saya temui Jumat malam. Ketika sedang menonton
pertunjukkan Wayang Bocor di auditorium LIP. Wayang Bocor diinisiasi oleh
perupa kontemporer Yogyakarta, Eko Nugroho. Karena kontemporernya, maka Wayang
Bocor juga diembel-embeli sebagai wayang kontemporer. Apa itu kontemporer ?
lebih baik tidak usah dibicarakan, karena bisa melebar urusannya.
Pertunjukkan
yang diselenggarakan selama dua hari tersebut (10-11 Juli) menyuguhkan lakon
“Hikayat Agar-Agar Bertanduk”. Naskah serta penyutradaraan dipercayakan kepada
Gunawan Maryanto yang juga merangkap sebagai dalang, narator, MC, aktor,
komplit lah pokoknya. Jamaah yang hadir lumayan banyak. Tidak kalah dengan
jamaah tarawih, merapatkan shaf dan berjejer-jejer.
(Photo by Swandi Ranadila)
Menurut
booklet pementasan, Wayang Bocor bercita-cita mengenalkan kembali wayang kepada
khalayak umum. Tentunya dengan kemasan yang lebih mudah dicerna. Tidak seperti
pementasan wayang kulit yang mungkin terkesan menggurui, membosankan dan
terlalu chauvinistik. Tokoh-tokoh yang muncul juga berbeda bentuknya dengan
karakter wayang yang lazim kita saksikan. Tanpa maksud merendahkan cerita Panji,
Menak, Damarwulan dsb, tidak bisa dipungkiri bahwa kita lebih mengenal kisah
Ramayana dan Mahabarata. Namun, ceritanya lain lagi apabila kita menonton Wayang Bocor. Tidak ada yang namanya
Janaka, Rama, Kresna, Baladewa, Kunthi, Durna, Sengkuni, Bathara Narada dsb.
Eko Nugroho punya karakter sendiri, entah apa nama-namanya.
Bentuk
wayang disesuaikan dengan motif atau desain yang biasa dipakai oleh Eko
Nugroho. Biarpun disebut wayang kontemporer, mereka tetap mengindahkan beberapa
tradisi yang dianut wayang klasik. Antara lain kelir yang dipakai, tiga
punakawan (Gareng, Petruk, Bagong), nembang
serta suluk dan janturan.
Saat
kelir mulai “bermain”, sang dalang njantur “Hong ilaheng, hong ihaleng awigna
mastu purnama sidhem, awigna mastu silat mring Hyang Jagatkarana...”* Deskripsi
keadaan pun mulai disenandungkan dengan bahasa Jawa. Dalam jagad wayang kulit,
hal tersebut disebut janturan. Saya ingat betul, terucap kata "data pitana", “Astinapura” dll.
Sebagian pengunjung mungkin tidak mengerti maksud kata-kata yang terselip dalam
janturan tersebut. Beruntung, setelah itu penonton mulai “ditenangkan” dengan
ucapan bahasa Indonesia. Asumsi saya, olahan kata-kata tadi merupakan tafsir
atau terjemahan atas janturan yang biasa dipakai di dalam pagelaran wayang
kulit (tradisi). Ketika adegan (mungkin) goro-goro dalam pertunjukkan Wayang
Bocor, dimulai dengan jineman terlebih dahulu, “Bocah bajang nggiring angin, anawu
banyu segara, ngoningoné kebo dhungkul, saksisih sapi gumarang” Baru tiga
punakawan muncul untuk mengocok perut handai taulan yang hadir.
Oiya,
ada yang terlupakan. Sebelum sosok-sosok wayang dimainkan, ada satu “gunungan”
yang masih menancap. Pada pakeliran wayang klasik pun berlaku seperti itu.
Secara visual, ada tiga kelir yang dipasang. Tiga-tiganya berfungsi untuk
memainkan atau menimbulkan bayangan. Kelir utama tetap berada ditengah. Selain itu, adegan-adegan yang muncul tidak melulu bermain di belakang kelir. Para aktor kerap
muncul di tengah panggung untuk berinteraksi. Meminjam istilahnya Umar Kayam,
Wayang Bocor bisa dikatakan mengaplikasikan apa yang dimaksud dengan “Kelir tanpa batas”
(Photo by Swandi Ranadila)
Bagi
saya, salah satu keunggulan Wayang Bocor adalah apiknya permainanan cahaya.
Sangat membantu untuk membangun imajinasi penonton supaya tetap setia menonton.
Mirip sekali ketika kita melihat pementasan Wayang Ukur dll. Namun sayang, saya
tidak sempat mencermati iringan musiknya. Bisa jadi, basis penciptaan musiknya
berasal atau menyesuaikan pula dengan kaidah pakeliran ringgit wacucal sedalu natas. Dari pathet nem, pathet sangan hingga
pathet manyura.
Pertunjukkan “Hikayat Agar-Agar
Bertanduk” menampilkan dua tokoh utama, yaitu Ali dan Seroja. Karena dari dua
tokoh tersebut kita bisa melihat kegelisahan-kegelisahan yang ada di negeri
ini. Seroja dan Ali bertemu di Malaysia secara tidak sengaja. Ali tiba di
Malaysia karena dia ingin berjihad ke Afghanistan. Entah kenapa kok malah
mampir ke Malaysia. Berbeda dengan Seroja, perempuan yang sebenarnya sudah
bersuami tersebut bekerja sebagai TKW disana. Demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga
yang kelimpungan karena suaminya tidak bertanggung jawab.
Permasalahan
yang muncul muncul di dalam lakon merupakan cerminan kondisi negeri ini.
Kejadian yang muncul bertolak belakang dengan cita-cita founding father negeri ini yang termaktub dalam Pancasila. Maaf ini
bukan pelajaran PPKN ataupun penataran bagi para pegawai negeri.
Ada adegan dimana Seroja heran
dengan peristiwa pemboman gereja di hari Natal. Anehnya, Ali justru memuji
peristiwa tersebut. Lalu disaat tiga sekawan, Gareng, Petruk dan Bagong
bercengkerama. Mereka mengeluhkan masyarakat yang tidak lagi guyub. Negeri ini
ibarat kepingan gelas yang baru jatuh dari jendela.
Ketika melihat tajuknya yang memakai
kata “hikayat”, awalnya saya mengira pementasannya akan berbau Melayu dan
mendayu-dayu. Oh, ternyata tidak. Sangat sedikit ditemui budaya Melayu. Tapi
mungkin itu jadi alasan kenapa di dalam Wayang Bocor muncul kostum-kostum yang
berbau Melayu, lalu ada percakapan khas Upin Ipin. Ceritanya memang berbau atau
menyinggung agama Islam (maaf, biarpun terkesan fundamentalis). Karena ketika
kita membaca hikayat, unsur-unsur Islam begitu kental. Saya jadi ingat ketika kuliah semester awal
disuruh mereview babad, hikayat dsb. Waktu itu saya membahas Hikayat Perang
Sabil. Unsur daya juang Islam ketika perang di Aceh begitu tinggi. Tapi mengenai
unsur Melayu, saya pikir tidaklah terlalu penting. Mengingat basis penciptaan
Wayang Bocor bersifat kontemporer. Usaha untuk memasukkan hal-hal yang berbau
tradisional patut diacungi jempol. Lagian seorang Semaun pernah juga menulis
Hikayat Kadiroen yang isinya jauh dari budaya Melayu. Biarpun novel tersebut
memakai bahasa Melayu. Maklum, dari jauh-jauh hari bahasa Melayu memang dikenal
sebagai lingua franca.
Sebenarnya, pementasan Wayang Bocor
memang menghibur. Namun alangkah baiknya apabila mempertimbangkan lakon wayang
yang lazim didengarkan. Maksudnya mengangkat beberapa cerita-cerita tradisi dan
dihubungkan dengan dinamika kehidupan sosial dewasa ini. Mungkin seni wayang
memang terlupakan, tapi ada lagi yang terlupakan, yaitu cerita wayang.
Pengangkatan kembali cerita wayang namun dalam bentuk atau karakter yang
berbeda dan unik. Menurut saya, itulah “kebocoran” Wayang Bocor. Satu hal yang
tidak mereka sentuh, ketika kembali melihat tujuan Wayang Bocor yang ingin
mengenalkan seni wayang yang katanya sudah lama terlupakan. Satu hal yang
mengganjal, seni wayang seperti apa bung ?
Sebelum Wayang Bocor muncul, beragam
cara sudah dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat menyaksikan wayang. Ki
Djoko Edan misalnya, beliau pernah memakai band rock untuk mengiringi
pementasannya. Atau Bupati Tegal sekarang, Ki Enthus Susmono, pakeliran wayang
beliau rubah sedemikian megah. Bahkan bentuk gunungan yang biasa kita lihat pun
beliau ganti wujudnya. Strategi pementasan wayang kulit sekarang juga sudah
usang. Masih saja mereka memakai hiburan-hiburan demi menarik massa. Semacam
diselingi dangdutan lah, dagelan lah, campursari yang durasinya sungguh minta
ampun. Konon, suwargi Ki Hadi Sugito pernah “mencak-mencak” melihat trend
tersebut menjamur di kalangan dalang-dalang.
Kasus
Sujiwo Tejo serta Nanang Hape menarik untuk diikuti. Mereka tetap setia dengan
cerita serta tokoh wayang klasik. Cara penyajian mereka patut diapresiasi.
Sujiwo Tejo mempunyai Wayang Jazz, sedangkan Nanang Hape mengenalkan Wayang
Urban. Gebrakan yang dibuat Ki Sukasman juga menarik sebenarnya. Hanya saja,
Wayang Ukur bisa dianggap “belum” berhasil dari segi permainan. Disamping susah
memainkan wayangnya, penerus Ki Sukasman pun tidak ada. Hal tersebut sudah
diprediksi jauh-jauh hari oleh Ki Timbul Cerma Manggala dan Kasidi
Hadiprayitno.
Aku
pikir wayang merupakan karya masterpiece. Wayang di Indonesia lho. Kita sudah
tahu bahwa cerita wayang diimpor dari negeri India. Epos paling populer di
negeri ini jelas Mahabarata serta Ramayana. Wayang paling dikenal di Indonesia
jelas wayang kulit Purwa. Entah bagaimana nasib wayang Klithik, wayang Madya,
wayang Gedog, wayang Krucil, wayang Drupara, wayang Sasak atau wayang Beber
kelak. Mengingat posisi wayang Purwa memang begitu hebat. Biarpun saat ini kepopuleran
wayang Purwa masih kalah telak dengan gemuruh dominasi budaya massa.
Seperti
yang dikhawatirkan Umar Kayam dalam catatannya yang berjudul “Wayang ke Manakah
Kau ?”Apakah wayang akan habis ditelan jaman ? ah, biar itu jadi urusan
masing-masing. Toh, sampai sekarang wayang masih bisa bertahan dihati para
penggemarnya. Selain itu, disetiap jaman wayang selalu berevolusi. Entahlah,
masa keemasan wayang memang pernah terjadi. Kita ingat betul bahwa wayang
merupakan “lidah penyambung rakyat”di era Orde Baru. Program-program atau
mungkin propaganda Orba kerap disisipkan. Sebelum Orba, Lekra sendiri kerap
merawat wayang dengan menggelar pagelaran di kalangan akar rumput. Namun, aku
juga tidak yakin bahwa bentuk pementasan wayang yang sekarang benar-benar
“pakem”. Jaman memang sudah berubah, wayang sendiri harus siap menghadapinya. Semoga
kita tetap merawat esensi wayang itu sendiri.
Ket :
*Menurut
penuturan Brian, salah seorang kawan saya, janturan tersebut hanya dipakai oleh
gaya Yogyakarta. Lengkapnya sebagai berikut :
Hong ilaheng,
hong ilaheng awigna mastu purnama sidhem, awigna mastu silat mring Hyang Jagatkarana,
siran tandha kawisesaning bisana, sana sinawung langen wilapa, estu maksih
lestantun lampahing Budda, jinantur tutur katula, tela-tela tulat mring
labeting paradya Winursita ngupama pramengniskara, karana dya tumiyeng jaman
purwa,winusidha trah ingkang dinama dama, pinardi tameng lalata, mangkya tekap
wasananing gupita Tan wun renggeng pralambang atumpa tumpa, manggung panggeng
panggunggung sang murweng kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar