"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Kamis, 24 Juli 2014

Walter Sabatini dan Primavera : Menatap Masa Depan AS Roma

Giancarlo de Sisti, namanya memang tidak setenar Totti. Belum lama ini, mantan pemain Roma di era 70an tersebut menceritakan kisah lamanya di Olimpico. Saat merumput di Roma, De Sisti merupakan rekan satu tim dengan Walter Sabatini, direktur sepakbola Roma sekarang. Mereka berada dibawah asuhan Nils “Baron” Liedholm. De Sisti menceritakan bahwa Sabatini pernah bertengkar dengan Francesco “Kawasaki” Rocca. Mereka hampir berkelahi namun berhasil dilerai oleh Liedholm. Saat itu Liedholm berujar, “Kalian berdua pukul saya sekarang !”

Karir Sabatini sebagai pemain memang tidak gemilang dibandingkan De Sisti serta Rocca. Mereka berdua sempat menjadi punggawa timnas Italia. Sabatini ? sayang, keringatnya belum pernah menetes di jersey Azurri.

Bagaikan seorang Midas, pemain murahan berhasil beliau sulap menjadi emas yang gemilang. Sebelum kembali lagi ke AS Roma, Sabatini sempat menepi di Palermo dan Lazio. Siapa yang tidak mengenal Pastore, Lichsteiner atau Kolarov. Awalnya pemain-pemain tersebut dibeli dengan harga yang murah. Namun beberapa tahun kemudian, harganya melonjak drastis.

Perlu diingat, sebelum transfer gila-gilaan yang dilakukan Roma saat ini. Sabatini sudah merekrut beberapa pemain yang namanya tidak terlalu kita kenal. Bibit-bibit muda ditanam oleh Sabatini di Trigoria sejak Januari kemarin. Antara lain, Valmir Berisha, Petar Golubovic, Vlad Marin, Tomas Vestenicky, Leandro Paredes, Tony Sanabria dan Nemanja Radonjic. Bahkan belum lama ini ada dua nama yang baru direkrut, yaitu Danny de Silva dan Silvio Anocic.

Berisha, Vlad Marin, Radonjic serta Vestenicky merumput dengan Roma Primavera. Leandro Paredes dipinjamkan ke Chievo dan hanya bermain sekali disana. Lalu Tony Sanabria selama enam bulan melabuh di Sassuolo.

Sanabria, Vestenicky dan Golubovic sempat bermain ketika Roma melawan timnas Indonesia U-23. Kabar mengenai Vlad Marin masih belum jelas, statusnya juga pinjaman dari Juventus. Untuk musim ini, Valmir Berisha kemungkinan akan dipinjamkan untuk menambah jam terbang yang kompetitif. Pemain dari Swedia tersebut memang berbakat, bahkan dia mendapat julukan “The next Ibrahimovic”. Apalagi kompetisi Primavera di Italia kurang menggigit persaingannya.

Apabila ada yang menyebutkan kata “Primavera”, apa yang terlintas dibenak pikiran kita ? sebagai masyarakat Indonesia, tentu kita akan merujuk ke beberapa nama pemain sepakbola. Kurniawan “Si Kurus”, Kurnia Sandi atau Bima Sakti adalah produk dari Primavera Indonesia. Ketiga nama diatas sempat menghabiskan waktu di negeri Italia, memperkuat sektor muda Sampdoria. Mereka khusus dikirim oleh PSSI untuk menuntut ilmu sepakbola di negeri yang konon dikenal sebagai sarang mafia tersebut. Di era 90an, sepakbola Italia memang digemari oleh warga Indonesia. Wajar, klub-klub Italia sedang gencar-gencarnya merajai kancah Eropa. Beauty of calcio.

Pembinaan pemain muda memang menjadi kewajiban klub. Namun, ketika melihat gelagat sepakbola saat ini, metode diatas cenderung diacuhkan. Terlihat dari usaha klub-klub besar yang doyan membajak pemain “jadi”. Mahar yang dikeluarkan pun gila-gilaan. Siapa yang dirugikan ? tentu pemain akademi mereka sendiri. Peluang mereka untuk unjuk gigi bisa dikatakan tertutup. UEFA, selaku lembaga tertinggi sepakbola di Eropa sadar dengan indikasi diatas. Karena itu tim-tim yang berlaga di kompetisi kontinental Eropa, wajib mendaftarkan minimal empat pemain didikan akademi mereka. Serta empat pemain yang sebelumnya pernah merumput selama tiga musim penuh di satu atau lebih klub dalam satu asosiasi tertentu sebelum usia mereka 21 tahun. Tapi kenyataannya banyak klub yang melanggar aturan tersebut. Kalaupun ada yang didaftarkan, toh mereka hanya menjadi pemanas bangku cadangan. PR besar untuk persepakbolaan di Eropa.

Kompetisi yang melibatkan pemain-pemain muda memang kurang mengigit daya jualnya. UEFA Youth League, Viareggio Cup atau kompetisi reguler lainnya di liga tertentu tidak laku sebagai barang jualan. Di tahun 2013 kemarin ada kejuaraan Piala Dunia U-19. Namun peminatnya begitu sedikit, bahkan dari tahun ke tahun jumlah penontonnya selalu menurun. Gaung Piala Dunia U-19 mungkin kalah dibandingkan Piala Konfederasi di Brasil kemarin. Tetapi kompetisi yang tahun kemarin diraih oleh Prancis tersebut, juga masih kalah kelas daripada Piala Eropa U-21. Dugaan saya, sedikitnya pemain besar yang tampil turut mempengaruhi gebyar kejuaraan tersebut. Berbeda dengan Piala Eropa U-21, beberapa pemain bintang turut berpartisipasi. Semacam Thiago Alcantara, Strootman, Insigne, De Gea, Koke atau Marco Verratti. Nama-nama mereka turut mengangkat reputasi kompetisi. Sepakbola memang menghibur, konsumsi publik dan perlu dibisniskan.

Ada sebuah pepatah yang berbunyi, “You can’t win anything with kids”. Walter Sabatini sadar betul dengan ungkapan tersebut. Di musim 2011/12 dan 2012/13, mayoritas pemain AS Roma adalah anak muda. Mereka gagal total di kompetisi Serie A bahkan urung kembali ke kancah Eropa. Tidak heran apabila di musim kemarin terjadi perombakan skuad besar – besaran. Line up utama AS Roma tidak lagi dipenuhi para anak kecil.

Sebagai juru transfer, Walter Sabatini juga harus memperhatikan pemain-pemain berbakat yang ada di tim junior. Namun ketika melihat bursa transfer yang dilakukan oleh Roma baru-baru ini, saya melihat ada kecenderungan bahwa Sabatini acuh dengan pemain yang dibina langsung oleh klub. Nama – nama yang disebutkan diatas bukanlah produk murni AS Roma. Sanabria contohnya, pemain Paraguay tersebut merupakan didikan La Masia. Leandro Paredes yang ditahun ini berusia 20 tahun adalah produk Boca Juniors. Pertanyaannya, kenapa mereka ditransfer sekarang ? kemungkinan besarnya adalah Roma sedang membangun skuad masa depan. Talenta – talenta ciamik dikumpulkan saat ini supaya mendapatkan status homeground sebagai syarat di Liga Champions. Apabila dilihat dari sisi finansial juga cukup menguntungkan. Ibaratnya Roma sedang menanam padi dan kelak siap memanennya. Namun siapa yang tahu kalau tiba – tiba padi tersebut diserang hama ? sebuah perjudian juga sih. Tapi toh, mumpung harganya masih murah dan siapa tahu kelak daya jual mereka melunjak.

Memang tidak semua didikan akademi klub akan sukses menjadi pemain. Manchester United pernah menelurkan Clash of 92. Tapi toh selain Beckham, Butt, Neville bersaudara, Giggs serta Scholes, masih ada pemain – pemain lain yang pernah merumput bersama mereka ketika masih cupu. Nasib mereka mungkin tidak seberuntung Beckham dkk. Ulasannya bisa disimak di artikel berikut. Salah satu penulis favorit saya, yaitu Blogistuta pernah menguraikan tulisan mengenaikedatangan Paredes dll dan nasib pemain akademi Roma. Tulisan tersebut berkaitan erat dengan dokumenter yang berjudul Zero a Zero. Sebuah dokumenter yang bercerita tentang kegagalan tiga pemain akademi Roma yang pernah merebut Scudetto di kompetisi Primavera. Ketiga pemain tersebut seangkatan dengan Francesco Totti. Ada yang karirnya berakhir karena cedera. Bahkan ada pula yang harus berakhir karena masuk penjara.


Lalu bagaimana nasib didikan akademi Roma sendiri ? Kedatangan Iturbe, Ucan, Emanuelson serta Ashley Cole baru – baru ini jelas menutup peluang mereka untuk menerobos skuad utama di musim ini. Sejauh ini saya melihat hal tersebut merupakan problem di AS Roma. Karena selain berhadapan dengan pemain “jadi”, bibit asli Roma juga dibayang-bayangi oleh impor pemain muda non akademi. Para pemain akademi AS Roma tentu tidak ingin nasibnya seperti Fabio Allesandrini yang baru – baru ini harus berurusan dengan polisi karena mengonsumsi narkoba. Semuanya ingin menjadi seperti Totti, De Rossi, Aquilani, Bruno Conti, Florenzi dll. Tapi semua terserah anda, Mr. Sabatini. Kita tahu bahwa anda perokok berat dan anda juga tahu bahwa tembakau yang disimpan lebih lama rasanya lebih nikmat. Semoga Roma bisa menikmatinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar