Giancarlo
de Sisti, namanya memang tidak setenar Totti. Belum lama ini, mantan pemain
Roma di era 70an tersebut menceritakan kisah lamanya di Olimpico. Saat merumput
di Roma, De Sisti merupakan rekan satu tim dengan Walter Sabatini, direktur
sepakbola Roma sekarang. Mereka berada dibawah asuhan Nils “Baron” Liedholm. De
Sisti menceritakan bahwa Sabatini pernah bertengkar dengan Francesco “Kawasaki”
Rocca. Mereka hampir berkelahi namun berhasil dilerai oleh Liedholm. Saat itu
Liedholm berujar, “Kalian berdua pukul saya sekarang !”
Karir
Sabatini sebagai pemain memang tidak gemilang dibandingkan De Sisti serta
Rocca. Mereka berdua sempat menjadi punggawa timnas Italia. Sabatini ? sayang,
keringatnya belum pernah menetes di jersey Azurri.
Bagaikan
seorang Midas, pemain murahan berhasil beliau sulap menjadi emas yang gemilang.
Sebelum kembali lagi ke AS Roma, Sabatini sempat menepi di Palermo dan Lazio.
Siapa yang tidak mengenal Pastore, Lichsteiner atau Kolarov. Awalnya
pemain-pemain tersebut dibeli dengan harga yang murah. Namun beberapa tahun
kemudian, harganya melonjak drastis.
Perlu
diingat, sebelum transfer gila-gilaan yang dilakukan Roma saat ini. Sabatini
sudah merekrut beberapa pemain yang namanya tidak terlalu kita kenal.
Bibit-bibit muda ditanam oleh Sabatini di Trigoria sejak Januari kemarin.
Antara lain, Valmir Berisha, Petar Golubovic, Vlad Marin, Tomas Vestenicky,
Leandro Paredes, Tony Sanabria dan Nemanja Radonjic. Bahkan belum lama ini ada
dua nama yang baru direkrut, yaitu Danny de Silva dan Silvio Anocic.
Berisha,
Vlad Marin, Radonjic serta Vestenicky merumput dengan Roma Primavera. Leandro
Paredes dipinjamkan ke Chievo dan hanya bermain sekali disana. Lalu Tony
Sanabria selama enam bulan melabuh di Sassuolo.
Sanabria,
Vestenicky dan Golubovic sempat bermain ketika Roma melawan timnas Indonesia
U-23. Kabar mengenai Vlad Marin masih belum jelas, statusnya juga pinjaman dari
Juventus. Untuk musim ini, Valmir Berisha kemungkinan akan dipinjamkan untuk
menambah jam terbang yang kompetitif. Pemain dari Swedia tersebut memang
berbakat, bahkan dia mendapat julukan “The next Ibrahimovic”. Apalagi kompetisi
Primavera di Italia kurang menggigit persaingannya.
Apabila ada yang
menyebutkan kata “Primavera”, apa yang terlintas dibenak pikiran kita ? sebagai
masyarakat Indonesia, tentu kita akan merujuk ke beberapa nama pemain
sepakbola. Kurniawan “Si Kurus”, Kurnia Sandi atau Bima Sakti adalah produk
dari Primavera Indonesia. Ketiga nama diatas sempat menghabiskan waktu di
negeri Italia, memperkuat sektor muda Sampdoria. Mereka khusus dikirim oleh
PSSI untuk menuntut ilmu sepakbola di negeri yang konon dikenal sebagai sarang
mafia tersebut. Di era 90an, sepakbola Italia memang digemari oleh warga
Indonesia. Wajar, klub-klub Italia sedang gencar-gencarnya merajai kancah
Eropa. Beauty of calcio.
Pembinaan pemain
muda memang menjadi kewajiban klub. Namun, ketika melihat gelagat sepakbola
saat ini, metode diatas cenderung diacuhkan. Terlihat dari usaha klub-klub
besar yang doyan membajak pemain “jadi”. Mahar yang dikeluarkan pun
gila-gilaan. Siapa yang dirugikan ? tentu pemain akademi mereka sendiri.
Peluang mereka untuk unjuk gigi bisa dikatakan tertutup. UEFA, selaku lembaga
tertinggi sepakbola di Eropa sadar dengan indikasi diatas. Karena itu tim-tim
yang berlaga di kompetisi kontinental Eropa, wajib mendaftarkan minimal empat
pemain didikan akademi mereka. Serta empat pemain yang sebelumnya pernah
merumput selama tiga musim penuh di satu atau lebih klub dalam satu asosiasi
tertentu sebelum usia mereka 21 tahun. Tapi kenyataannya banyak klub yang
melanggar aturan tersebut. Kalaupun ada yang didaftarkan, toh mereka hanya
menjadi pemanas bangku cadangan. PR besar untuk persepakbolaan di Eropa.
Kompetisi yang
melibatkan pemain-pemain muda memang kurang mengigit daya jualnya. UEFA Youth
League, Viareggio Cup atau kompetisi reguler lainnya di liga tertentu tidak
laku sebagai barang jualan. Di tahun 2013 kemarin ada kejuaraan Piala Dunia
U-19. Namun peminatnya begitu sedikit, bahkan dari tahun ke tahun jumlah
penontonnya selalu menurun. Gaung Piala Dunia U-19 mungkin kalah dibandingkan
Piala Konfederasi di Brasil kemarin. Tetapi kompetisi yang tahun kemarin diraih
oleh Prancis tersebut, juga masih kalah kelas daripada Piala Eropa U-21. Dugaan
saya, sedikitnya pemain besar yang tampil turut mempengaruhi gebyar kejuaraan
tersebut. Berbeda dengan Piala Eropa U-21, beberapa pemain bintang turut
berpartisipasi. Semacam Thiago Alcantara, Strootman, Insigne, De Gea, Koke atau
Marco Verratti. Nama-nama mereka turut mengangkat reputasi kompetisi. Sepakbola
memang menghibur, konsumsi publik dan perlu dibisniskan.
Ada
sebuah pepatah yang berbunyi, “You can’t win anything with kids”. Walter
Sabatini sadar betul dengan ungkapan tersebut. Di musim 2011/12 dan 2012/13,
mayoritas pemain AS Roma adalah anak muda. Mereka gagal total di kompetisi
Serie A bahkan urung kembali ke kancah Eropa. Tidak heran apabila di musim
kemarin terjadi perombakan skuad besar – besaran. Line up utama AS Roma tidak
lagi dipenuhi para anak kecil.
Sebagai
juru transfer, Walter Sabatini juga harus memperhatikan pemain-pemain berbakat
yang ada di tim junior. Namun ketika melihat bursa transfer yang dilakukan oleh
Roma baru-baru ini, saya melihat ada kecenderungan bahwa Sabatini acuh dengan
pemain yang dibina langsung oleh klub. Nama – nama yang disebutkan diatas
bukanlah produk murni AS Roma. Sanabria contohnya, pemain Paraguay tersebut merupakan
didikan La Masia. Leandro Paredes yang ditahun ini berusia 20 tahun adalah
produk Boca Juniors. Pertanyaannya, kenapa mereka ditransfer sekarang ?
kemungkinan besarnya adalah Roma sedang membangun skuad masa depan. Talenta –
talenta ciamik dikumpulkan saat ini supaya mendapatkan status homeground
sebagai syarat di Liga Champions. Apabila dilihat dari sisi finansial juga
cukup menguntungkan. Ibaratnya Roma sedang menanam padi dan kelak siap
memanennya. Namun siapa yang tahu kalau tiba – tiba padi tersebut diserang hama
? sebuah perjudian juga sih. Tapi toh, mumpung harganya masih murah dan siapa tahu
kelak daya jual mereka melunjak.
Memang
tidak semua didikan akademi klub akan sukses menjadi pemain. Manchester United
pernah menelurkan Clash of 92. Tapi toh selain Beckham, Butt, Neville
bersaudara, Giggs serta Scholes, masih ada pemain – pemain lain yang pernah
merumput bersama mereka ketika masih cupu. Nasib mereka mungkin tidak
seberuntung Beckham dkk. Ulasannya bisa disimak di artikel berikut. Salah satu
penulis favorit saya, yaitu Blogistuta pernah menguraikan tulisan mengenaikedatangan Paredes dll dan nasib pemain akademi Roma. Tulisan tersebut
berkaitan erat dengan dokumenter yang berjudul Zero a Zero. Sebuah dokumenter
yang bercerita tentang kegagalan tiga pemain akademi Roma yang pernah merebut
Scudetto di kompetisi Primavera. Ketiga pemain tersebut seangkatan dengan
Francesco Totti. Ada yang karirnya berakhir karena cedera. Bahkan ada pula yang
harus berakhir karena masuk penjara.
Lalu bagaimana nasib didikan akademi Roma
sendiri ? Kedatangan Iturbe, Ucan, Emanuelson serta Ashley Cole baru – baru ini
jelas menutup peluang mereka untuk menerobos skuad utama di musim ini. Sejauh
ini saya melihat hal tersebut merupakan problem di AS Roma. Karena selain
berhadapan dengan pemain “jadi”, bibit asli Roma juga dibayang-bayangi oleh
impor pemain muda non akademi. Para pemain akademi AS Roma tentu tidak ingin
nasibnya seperti Fabio Allesandrini yang baru – baru ini harus berurusan dengan
polisi karena mengonsumsi narkoba. Semuanya ingin menjadi seperti Totti, De
Rossi, Aquilani, Bruno Conti, Florenzi dll. Tapi semua terserah anda, Mr.
Sabatini. Kita tahu bahwa anda perokok berat dan anda juga tahu bahwa tembakau
yang disimpan lebih lama rasanya lebih nikmat. Semoga Roma bisa menikmatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar