Prolog
Petualangan ini sejatinya dimulai pada tanggal 16 Januari 2010. Sebuah pengalaman yang tentunya tidak akan pernah terlupakan dalam hidup saya. Mengunjungi sebuah daerah yang notabene masih jauh dari jangkauan modernitas. Entah ini sebuah agenda liburan akhir semester ataukah sebuah petualangan dibalut penelitian, agaknya tidak menjadi problema. Sekitar pukul 06.00 WIB kita tiba di Koramil Karanganyar, Pekalongan. Disana kita transit, sembari makan menunggu doplak.[2] Wilayah yang kami tuju adalah daerah Lebak Barang. Saya sendiri ditempatkan di desa Tembelang Gunung, Lebak Barang. Tepatnya di dusun Kedawung. Dusun yang masih menjadi misteri bagi saya. Saya baru menyadari kenapa doplak menjadi transportasi favorit untuk menuju ke wilayah yang kami tuju. Ternyata angkutan umum tidak berani melewati jalan-jalan yang begitu menggerikan. Berkelok-kelok, naik turun dengan jalan yang sempit, itu masih ditambah dengan kondisi jalan yang kurang baik biarpun sudah diaspal.
Cukup menegangkan, karena baru pertama kali menaiki doplak. Akan tetapi hal tersebut mampu terobati dengan indahnya pemandangan alam yang masih asri. Dengan setting pegunungan yang dipenuhi pohon pinus, serta warung-warung yang berjualan durian. Adrenalin semakin dipacu apabila doplak berpapasan dengan truk atau kendaraan lain di sekitar tikungan yang sangat tajam. Mungkin hampir sama dengan wilayah Kaliurang atau Cangkringan. Tetapi suhu dan ketinggian jelas jauh berbeda. Wilayah Lebak Barang lebih ndeso, lebih lugu juga. Ya, begitulah sedikit cerita awal untuk memulai petualangan yang tertuang dalam tulisan ini.
Di lingkungan pedesaan, tanah mempunyai arti penting. Luas tanah yang dimiliki adalah simbol kekayaan bagi mereka. Tanah adalah aset bagi mereka. Konsep tanah sebagai pembentuk kekayaan sangat melekat dalam ingatan sejarah bangsa Indonesia. Sebab tanah menjadi unsur penting dalam sistem pertanian kita sejak zaman kerajaan agraris. Tanah juga menjadi kebutuhan akan ruang (faktor ruang) yang ada hubungannya dengan bertambahnya penduduk (faktor demografi). Jadi problem pertanahan yang tercipta sejak dulu dan tejadi sampai sekarang karena konsep pertanahan yang berhubungan dengan faktor demografi, faktor ruang, serta sistem pertanian.[3] Kasus pertanahan di Jawa selalu dikaitkan dengan sistem pertanian. Sampai sekarang fenomena itu masih sering terjadi. Baik yang dapat menimbulkan konflik atau tidak.
Daerah yang menjadi objek penelitian adalah dusun Kedawung. Dusun Kedawung terletak di desa Tembelang Gunung, kecamatan Lebak Barang, Pekalongan. Desa ini memiliki lima dusun, yaitu Petungkon, Dondong, Pomahan, Jrakah dan Kedawung. Batas wilayah desa Tembelang Gunung sebagai berikut:
Utara : Desa Sidomulyo
Selatan : Desa Kali Bening
Timur : Desa Pamutuh
Barat : Desa Paninggaran
Berdasarkan data tahun 2009, luas desa Tembelang Gunung ± 1. 024.943 hektar. Desa ini dipenuhi oleh hutan pinus yang dikelola oleh Perhutani.
Monografi Desa Tembelang Gunung
Tanah Sawah | 68.457 ha |
Pengairan Sederhana | 22.357 ha |
Sawah Tadah Hujan | 120.410 ha |
Tanah Kering | 93.213 ha |
Pekarangan/Bangunan | 17.233 ha |
Tegalan/Kebun | 75.863 ha |
Kolam | 0,177 ha |
Hutan Negara | 623.410 ha |
Lain-lain (sungai, kuburan, masjid) | 4.000 ha |
(data diperoleh dari catatan pak Taslani, bau Kedawung dan kaur Pemerintahan Tembelang Gunung).
Jarak jalan Kedawung – Pomahan – Petungkon ± 2000 m.Dengan rincian sebagai berikut:
a. Menanjak : 500 m
b. Aspal : 768 m
c. Berbatu : 732 m
Desa Tembelang Gunung terbilang cukup terpencil. Termasuk dari sekian banyak daerah tertinggal di Indonesia. Kecamatan Lebak Barang sendiri pada dasarnya sudah dimasuki unsur modernitas. Desa Tembelang Gunung juga sudah mengenal unsur budaya populer. Sama seperti fenonema di perkotaan yang sedang diserang virus band ala Wali, ST 12 dll. Hal seperti itu juga terjadi di desa Tembelang Gunung, khusunya dusun Kedawung. Secara teknologi paling tidak handphone sedang gencar-gencarnya. Biarpun dalam keseharian, dusun Kedawung memperoleh tenaga listik dari kincir. Bukan dari turbin ataupun PLN. Tidak salah apabila TV menyala terus selama 24 jam. Karena aliran listrik mereka dapat secara gratis. Begitu juga dengan perkembangan motor yang begitu pesat di Kedawung. Modernitas yang mereka dapat hanyalah sebatas budaya massa saja. Warga dusun Kedawung masih memperhatikan aspek-aspek tradisional dalam kesehariannya.
Jumlah penduduk di daerah tersebut sekitar 60 jiwa, 14 KK. Jumlah KK di Kedawung terbilang sedikit apabila dibandingkan dengan dusun-dusun lainnya di desa Tembelang Gunung. Kebanyakan kepala keluarga yang tinggal disana berprofesi sebagai petani. Sebagian ada juga yang merantau ke luar kota.
DUSUN | RUMAH | KK | JIWA | BAU |
Petungkon | 116 | 165 | 570 | Karso Utomo |
Dondong | 84 | 84 | 348 | Biyanto |
Jrakah | 81 | 104 | 401 | Castori |
Pomahan | 18 | 21 | 82 | Supriyo |
Kedawung | 11 | 14 | 64 | Taslani |
(data diperoleh dari catatan pak Taslani, bau Kedawung dan kaur Pemerintahan Tembelang Gunung).
Dari data diatas, berarti total keseluruhan warga Tembelang Gunung ada 1465 jiwa.
Tanah mempunyai arti penting bagi masyarakat Kedawung yang notabene adalah masyarakat petani. Tanah menjadi sumber penghidupan bagi keluarga mereka. Pengolahan tanah masih dilakukan dengan cara tradisional. Secara teknologi dalam proses pengolahan tanah tidak tersentuh oleh mesin-mesin seperti traktor. Bajak adalah traktor bagi warga Kedawung. Sistem mekanisasi dalam pengolahan pertanian hanya sebatas mesin penggilingan padi saja. Itupun terbatas pada tanaman padi, tidak ada hubungannya dengan tanaman-tanaman yang lain seperti jagung, tembakau ataupun tanaman hasil perkebunan.
Seperti yang sudah dikemukan diatas, mayoritas profesi warga Kedawung kebanyakan adalah petani. Terutama petani padi dan jagung. Sawah-sawah yang ada di dusun Kedawung tidak seperti yang ada di Yogya. Sawah mereka tidak terpusat, tetapi menyebar di berbagai tempat dan ada yang letaknya berdekatan dengan dusun lain, seperti Jrakah. Selain bertani, warga Kedawung juga mempunyai ternak. Kebanyakan adalah ternak sapi, karena biasa dipakai untuk membajak sawah. Sistem gaduh (merawat sapi orang lain) masih digunakan. Ada juga sistem bagi hasil, caranya dengan merawat satu sapi, setelah sudah besar ditukar ke juragan menjadi dua. Lalu dirawat lagi menjadi tiga.
Berdasarkan penuturan warga disekitar Kedawung, mereka berpendapat bahwa tanah disini tidak subur. Jenis tanah di Kedawung adalah tanah merah atau tanah liat. Apabila dibuat batu bata akan mudah pecah, karena kualitasnya kurang bagus. Namun menurut orang-orang tua, mereka merasa bahwa tanah disini subur.
Aktivitas Penduduk Kedawung Memberdayakan Hasil Bumi
Mengingat bagaimana tradisi pertanian yang ada di masa kolonial sesungguhnya sangat menarik. Pertengahan abad ke 19, fenomena paling menarik di Pekalongan adalah berkembangnya usaha tebu di daerah tersebut.[4] Usaha industri gula seakan-akan membuat petani padi harus beralih ke tanaman tebu. Mereka rela beralih menjadi penanam tebu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Memang saat itu era perkebunan sedang merebak di Pekalongan, terutama tebu. Banyak pabrik-pabrik gula didirikan, antara lain di Wonopringgo, Tirto, Kalimati, Sragi dan Comal.[5] Tradisi pertanian yang terbiasa dengan tanaman padi atau palawija diganti dengan perkebunan tebu.
Di Kedawung sendiri dan juga dusun-dusun lain, tampaknya fenomena itu tidak kelihatan. Karena berdasarkan memori yang diingat oleh warga-warga setempat, tidak ada pernyataan mengenai perkembangan usaha gula. Memang warga yang menajdi narasumber tidak hidup di zaman tersebut. Tradisi lisan yang ada juga tidka menyinggung hal tersebut. Hanya saja mereka tahu mengenai apabila daerah Wonopringgo merupakan daerah yang mengusahakan gula . Namun bisa saja peristiwa tersebut terjadi disana. Mengingat banyaknya lahan-lahan persawahan. Biarpun masyarakat disana tidak mengusahakan tebu. Akan tetapi tanaman tebu muncul berkeliaran di pinggir-pinggir jalan. Memang tidak ada bukti otentik mengenai kemungkinan itu. Hanya saja, hutan-hutan yang sekarang menjadi hutan pinus dulunya dikelola oleh pemerintah kolonial. Kemungkinan besar, pemerintah kolonial menanami tanaman keras disana. Tanaman ekspor yang menjadi idola di pasaran dunia.
Saat penelitian lapangan dilaksanakan, bersamaan dengan masa penanaman padi. Warga Kedawung menerapkan sistem multikultur. Setelah panen padi, mereka akan menamam jagung. Pertanian disini juga masih konsen dengan tanaman padi dan jagung. Pertanian yang menjadi ciri khas Indonesia. Pertanian multikultur, bukan monokultur. Sebutan sawah disini adalah sabin. Sedangkan untuk kebun disebut wana atau alas. Kebun disini bukan berarti perkebuanan yang besar. Konsep dari kebun disini mirip dengan konsep pekarangan. Proses pengolahannya juga berbeda. Untuk pengolahan di sawah jelas harus rutin dipantau. Mengenai pengolahan kebun hanyalah sebatas sambilan saja untuk menambah bahan-bahan konsumsi keluarga.
Mengenai bagaimana teknik pengolahan tanah terutama di sawah sebagai berikut:
- mluku (membajak dengan sapi atau kerbau)
- macul atau dicangkul
- nggaru (digaru dengan alat mirip garpu yang terbuat dari kayu agar tanahnya menjadi endut/lendut/lumpur).
- tandur (ditanami benih padi dengan cara dicebloki)
- matun (mencabuti rumput di sekitar sawah)
- bungkat (diberi pupuk dan disemprot MES)
- panen (padi keringkan lebih dahulu disabin atau sawah, baru dibawa ke rumah)
Pupuk sangat diperlukan agar padinya menjadi gemuk. Pupuk Urea dan MES muncul saat tahun 40an.
Sebutan disini untuk gagal panen adalah wuwung. Hasilnya tidak banyak. Di Kedawung, pupuk kandang masih dipakai. Banyaknya kandang sapi yang dekat dengan sawah supaya mudah membawa kotoran hewan ternaknya yang digunakan sebagai pupuk.
Mengenai proses penanaman jagung adalah sebagai berikut:
- mluku
- macul
- larik
- panjeni (wadah benih jagung)
Hasil budidaya padi ataupun jagung hanya menjadi konsumsi keluarga. Mereka sangat jarang menjual hasil pertanian. Padi memang jarang dijual. Dijual dalam bentuk yang sudah jadi beras. Kalau mau dijual itupun kalau sedang butuh duit. Dulu saat sedang butuh uang, harga beras satu kuintal seharga Rp 200.000,00. namun itu tidak penjualannya. Toko-toko yang menerima hasil penjualan beras ada disekitar Sidomulyo. Hasil beras yang mereka peroleh belum tentu sesuai dengan prediksi. Padi-padi yang sudah dikeringkan lalu digiling hasilnya sangat sedikit. Ada perbandingan hasil panen di Tembelang Gunung dengan Kandhang Seran. Di Kandhang Seran, panen padi sebanyak 15 kg bisa menjadi enam kuintal beras. Sedangkan di Tembelang Gunung, terutama Kedawung. Lima belas kilogram padi hanya jadi satu kuintal beras. Jadi banyak padi-padi yang kopong isinya. Alias tidak menjadi beras.
Dalam konsep masyarakat Kedawung padi memang untuk kepentingan rumah tangga. Sedangkan jagung diorientasikan untuk dijual. Itupun kalau hasil panennya banyak. Apabila panennya sedikit tidak akan dijual. Jagung-jagung tadi dijual di Karanganyar dan Sidomulyo. Harganya sekitar Rp 2.200,00 per kilogram.
Disini ada dua jenis jagung, yaitu jagung kuning (hibrida) dan jagung putih. Kalau untuk makan, lebih enak jagung putih. Kulitnya juga lebih tipis. Jagung puith lebih empuk dibandingkan jagung kuning yang dagingnya keras. Kalau jagung kuning, kulitnya lebih tebal. Susah untuk mengelupasinya, namun jagung kuning bisa untuk bahan campuran minyak. Bisa juga untuk pakan ayam potong dan bahan pembuat tempe
Mengenai kebun (wana/alas) di Kedawung rata-rata ditanami cengkeh, kopi, durian, petai, jengkol, aren, singkong. Itu menurut pak Karnawi, namun selain itu masih banyak kebun yang ditanami nangka, pakel (mbawang), kakao (coklat kopi) dan mangga. Hutan pinus yang dikelola oleh pemerintah juga dimanfaatkan warga Kedawung. Mereka menyadap getah pinus yang dapat digunakan untuk bahan minyak cat.
Mengenai usaha getah pinus yang biasanya dipakai untuk bahan pembuatan minyak cat. Getah pinus tadi diambil tidap hari dan akan dikumpulkan didalam drum kecil dengan ukuran 30 kg (rata-rata). Hasil sadapan diwadahi didalam batok kepala, setelah diambil lalu dimasukkan kedalam drum. Dalam waktu setengah bulan biasanya mampu menghasilkan satu kuintal getah pinus. Satu kilogram getah pinus dihargai Rp 1900,00. Warga Kedawung akan menyetorkan hasil getah pinus tadi kepada agen penampung getah pinus yang letaknya di Sidomulyo. Tempatnya penampungan getah pinus dinamakan TP. Jadi mereka tidak langsung menyerahkan getah pinus tadi ke Perhutani. Dan kemungkinan agen penampung getah pinus menjual kembali ke Perhutani dengan harga lebih mahal. Saat pemasokan getah pinus tadi, masyarakat membutuhkan doplak untuk mengangkutnya. Untuk biaya transportasi doplak, ada aturannya. Setiap satu kilogram getah pinus biaya transportasinya Rp 100,00.
Mengenai usaha cengkeh, tempat penyulingan minyak cengkeh di Tembelang Gunung ada di tempatnya pak Sapari (Petungkon) dan saudaranya pak Castori (Jrakah). Panen cengkeh biasanya hanya dua tahun sekali, jadi setiap tahun belum tentu bisa panen cengkeh.
Selain usaha cengkeh dan getah pinus. Beberapa warga juga mengembangkan. Untuk orang-orang yang memakai jasa tenaga lain, biasanya hanya sebatas untuk mengolah wana atau alas. Semacam pekerjaan untuk mengurusi bagaimana atau kapan waktu yang tepat untuk menyadap aren. Kapan waktu yang tepat untuk menadahi badeg (air aren). Soalnya apabila waktu pengambilan kurang tepat, baik terlalu cepat atau kelamaan hasilnya menjadi kurang baik. Perlu ketelitian soal proses tersebut. Untuk sistem pembayaran jasa tenaga orang lain. Orang yang dimintai bantuan diberi setengah dari badeg yang diperoleh. Namun untuk proses selanjutnya, pembuatan gula merah atau gula jawa dari aren akan diurusi oleh pemiliknya sendiri. Orang yang dimintai bantuan tadi sudah tidak ikut campur lagi.
Proses pembuatan gula jawa di diawali dari pemasakan atau perebusan air badeg yang ada dalam bumbung (bambu). Air badeg tadi direbus didalam wajan. Dan dibiarkan selama 2 atau 3 jam. Apabila sudah kental akan di periksa dengan air. Badeg yang sudah kental akan berwarna merah kecoklatan. Di periksa sudah keras atau belum waktu tercampur dengan air. Apabila sudah keras akan dimasukkan ke dalam rimbagan. Bentuknya semacam dakon namun lebih besar, terbuat dari logam. Rimbagan digunakan untuk mencetak gula jawa. Satu kilogram gula merah dijual dengan harga Rp 7.000,00.
Dari uraian diatas, dapat dikatakan hasil-hasil usaha mereka, baik di sawah ataupun di kebun hanya digunakan untuk keperluan rumah tangga. Namun tidak memungkiri mereka akan belanja keperluan rumah tangga yang lain. Hasil-hasil pertanian seperti beras ataupun jagung akan menjadi makanan mereka sehari-hari. Itu jelas, karena nasi adalah makanan pokok bagi mereka.
Tampaknya kepemilikan tanah bagi sebagian besar warga Kedawung hanyalah sekedar tempat untuk bekerja dan dapat menghasilkan berbagai bahan-bahan untuk dikonsumsi. Entah itu buah-buahan ataupun makanan pokok seperti jagung dan beras. Belum ada niatan untuk menjadikan tanah sebagai usaha besar yang mampu menopang ekonomi keluarga. Ataupun usaha baru untuk membuat panen mereka lebih besar dan berharga.
Tanah menjadi lahan bagi mereka untuk survive. Karena dari hasil-hasil pertanian atau perkebunan membuat mereka masih bisa makan. Disamping mendapat subsidi dari pemerintah, seperti beras raskin. Selain biaya makan sehari-hari, beban lain yang harus ditopang adalah beban untuk pendidikan anak-anaknya. Entah dari mana mereka dapat uang untuk menyekolahkan anaknya apabila pekerjaan mereka hanya bertani. Namun di dusun lain, yaitu daerah Jrakah. Ada warga yang rela menjual tanahnya demi menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Di Kedawung sendiri, ada satu orang warga menjual sapinya untuk biaya kuliah anaknya.
Beban mereka sudah dikurangi karena tidak membayar listrik kepada pemerintah. Namun beban pajak tanah wajib mereka bayar. Total jumlah pajak Desa Tembelang Gunung tahun 2008 kurang lebih Rp 9.000.000,00. Sedangkan total jumlah pajak Desa Tembelang Gunung tahun 2009 sekitar Rp 13.934.590,00. Di tahun 2009, SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) di Tembelang Gunung berjumlah 855 lembar. Apabila jumlah keseluruhan SPPT Tembelang Gunung ada 855 lembar. Berarti rata-rata jumlah pajak di tahun 2009 yang harus dibayar oleh penduduk disana sekitar Rp 16.300,00. Data tersebut memang keseluruhan dusun yang berada di Tembelang Gunung. Belum spesifik untuk Kedawung sendiri.
Memang tanah mampu menghidupi mereka. Tapi jika anak-anak mereka sudah besar, luas tanah yang dimiliki akan semakin berkurang. Karena pembagian warisan tanah secara merata kepada putra-putrinya. Dari sini dapat diketahui bahwa aktivitas warga Kedawung bukanlah petani komersil, melainkan petani biasa yang bekerja demi mendapatkan hasil bumi untuk rumah tangga mereka.
Ataukah memang jiwa petani Kedawung yang tidak komersil. Petani (peasant) yang bercocok tanam untuk kebutuhan rumah tangga semata. Bukan petani (farmer) yang mempunyai orientasi komersil atau bisnis. Seperti yang diungkapkan oleh Eric R. Wolf.[6] Apabila diperhatikan mereka tidak melakukan usaha dalam arti ekonomi. Mereka mengelola lahan utnuk rumah tangga, bukan sebagai perusahaan yang orientasinya ke bisnis.
Lokasi yang cukup terpencil dan tertinggal membuat distribusi pemasaran hasil bumi susah dilakukan. Bagi yang mengusahakan getah pinus, paling jauh hanya bisa didistribusikan di daerah Sidomulyo. Itupun diserahkan kepada pengepul, bukan kepada pihak Perhutani langsung. Uang yang diperoleh jelas lebih sedikit, apabila dibandingkan dengan harga yang ditetapkan Perhutani.
Mempunyai lahan pertanian, sudah memungkinkan bagi mereka untuk hidup. Karena hasil dari usaha mereka dapat digunakan untuk penghidupan keseharian mereka. Agaknya aspek ekonomi jelas masuk dalam usaha-usaha mereka. Ambil contoh mengenai pengolahan lahan aren ataupun hutan pinus, biarpun hutan itu milik pemerintah. Orientasi mereka memang bukan untuk bisnis besar-besaran. Paling tidak dari usaha itu mereka mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Konteks pemanfaatan lahan agraria adalah untuk memperoleh hasil bumi. Hasil bumi tadi akan mereka gunakan untuk kebutuhan pribadi. Selain itu juga akan dijual kepada pihak yang berminat terhadap usaha mereka. Aktivitas itu biasa terjadi dilingkungan sekitar Kedawung. Intinya, mereka mengolah tanah untuk kebutuhan rumah tangga. Biarpun hasil bumi yang didapat akan dijual, namun pendapatannya juga tidak begitu banyak. Kondisi yang subsisten ini masih bertahan. Apabila terus bergantung pada kondisi seperti ini, dikhawatirkan mereka akan terbiasa dan tidak mau atau berusaha melakukan sebuah perubahan. Padahal tekanan perekonomian semakin berat. Ditambah kondisi alam yang belum tentu bersahabat. Contoh kecilnya, kerap terjadi longsor di daerah Kedawung. Dan itu membahayakan situasi yang saat ini masih aman-aman saja. Padahal kebiasaan warga Kedawung dengan membuang sampah secara sembarang bisa menjadi faktor longsornya tanah-tanah disana.
Daerah Kedawung memang daerah tertinggal. Pada saat penelitian berlangsung, tidak ada doplak yang berani lewat dikarenakan sedang musim hujan. Memang saat musim kering, mobil berani lewat sana. Namun saat musim hujan, sangat jarang mobil lewat daerah tersebut.
Kedawung bukanlah daerah primitif atau pedalaman. Hanya saja, daerah itu sejak dulu sampai sekarang belum tersentuh secara langsung oleh pemerintah. Belum pernah ada kejadian, pemerintah (Kabupaten) meninjau langsung daerah itu. Komunikasi antar tingkatan tidak lancar. Penyampaian aspirasi mereka kepada pihak yang berwenang belum terjadi dengan baik.
Di desa Tembelang Gunung terdapat kelompok tani. Fungsi dari kelompok tani diatas adalah untuk sosialisasi ke Dinas Pertanian. Apabila ada bantuan pupuk dari pemerintah dapat disalurkan lewat kelompok-kelompok tani diatas. Biarpun terbentuk beberapa kelompok tani, pada intinya yang namanya kelompok tani dibentuk demi menghadapi tekanan-tekanan dari petani-petani kaya (farmer). Kelompok tani tadi berusaha mempertahankan luas tanah minimal agar tidak berkurang lagi. Usaha-usaha yang mereka lakukan masih bersifat tradisonal. Gejala involusi masih terus berlangsung.[7]
Memori Sesepuh Kedawung dan Sekitarnya Terhadap Pertanian
Berbicara mengenai agraria, terutama dengan konteks pertanian. Salah satu narasumber di Kedawung, yaitu pak Karnawi. Sedang narasumber yang lain adalah pak Sayid (warga Dondong) dan pak Casmadi (warga Pomahan). Ketiga orang tadi sama-sama mengalami masa pendudukan Jepang. Mereka semua sempat menceritakan pengalaman hidupnya.
Menurut pak Karnawi, zaman paling susah adalah saat pendudukan Jepang. Hasil pertanian wajib diserahkan ke mandor-mandor Jepang yang letaknya di Karang Anyar. Apabila tidak diserahkan akan dihukum. Damennya dikeringkan dalam bentuk untir-untiran. Dan dibawa ke daerah Tambang. Saat itu pula, Jepang membuka hutan-hutan (sekarang lahan pinus) untuk kebutuhan perang.
Pak Karnawi juga mengeluhkan saat Jepang datang ke Indonesia. Kondisinya sangat nelangsa, mereka harus memakai karung goni.karung beras untuk berpakaian. Apalagi goni-goni tadi banyak kutunya. Istri pak Karnawi, yaitu bu Sumidah menegaskan saat itu pakaian yang digunakan memakai bahan dari goni.
Ditahun 40an, sebelum era Jepang. Harga padi satu kuintal (100 kg) seharga 50 perak. Namun saat Jepang datang, hasil pertanian wajib diserahkan. Apabila tidak, akan dihukum. Setelah merdeka, harga padi satu kuintal 50 perak. Harga paling tinggi saat presiden Soeharto memimpin. Harganya hampir mencapai Rp 100.000,00.
Menurut penuturan beliau, dimasa pemerintahan kolonial Belanda, daerah-daerah yang sekarang menjadi hutan pinus ditutup. Tanah tersebut dibeli pemerintah kolonial tepatnya disewa selama 20 tahun. Saat pembahasan mengenai perihal penyewaan tanah tersebut, mereka berkumpul di rumahnya Lurah Soprah. Pak Karnawi tidak mengetahui apa yang dikerjakan saat tanah-tanah tersebut disewa. Ia menuturkan bahwa saat itu kondisi di kota sedang kekurangan air.
Di saat pendudukan Jepang, tanah-tanah yang disewa Belanda tadi mulai dibuka. Hutan-hutan pinus juga sudah mulai dibudidayakan. Saat itu usaha penyadapan getah pinus lebih banyak menguntungkan Jepang. Apabila memperoleh 2 kuintal getah pinus, warga hanya memperoleh ½ kuintal. Sedangkan Jepang mendapatkan 1½ kuintal. Perkebunan (alas/wana) pada masa Jepang banyak ditanami pisang, jagung dan padi. Sampai sekarang pun warga masih konsisten dengan tanaman-tanaman tersebut. Berbeda pula saat zaman Belanda di Indonesia (aksi polisionil). Hasil pertanian, terutama padi banyak yang dikonsumsi untuk pribadi. Apabila sedang butuh untuk uang makan, hasil pertanian tadi terutama padi akan dijual untuk membeli gereh atau ulem segara (ikan asin). Biasanya pada dijual di bakul-bakul yang mangkal di Kali Bening (Banjarnegara) dan Karang Anyar. Saat itu pula muncul blegodo (mandor) serta mantri jati.
Cerita-cerita Pak Karnawi yang diutarakan memang menggelitik. Terkadang sulit untuk dipahami, karena bahasanya yang susah dimengerti. Statement yang menarik adalah mengenai usaha Jepang membuka hutan-hutan yang disewa oleh Belanda. Fakta yang ada memang Jepang memperluas area pertanian dengan cara mengambil alih hutan-hutan serta perkebunan milik Belanda. Dan sebagian besar adalah areal usaha tanaman keras.
Pak Sayid sendiri juga menceritakan bagaimana kondisi daerah Tembelang Gunung saat pendudukan Jepang. Usaha Jepang membuka hutan-hutan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan makanan para prajurit perang. Berbagai produksi hasil bumi dilipatgandakan. Seperti, beras, ubi, singkong, kapas dan jarak. Melalui kerja rodi, para petani diberi lahan untuk menanam bahan-bahan pangan. Tanah-tanah partikelir yang dikuasai Jepang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi perang. Dan selama pendudukan Jepang, puluhan ribu hektar tanah dan perkebunan berubah menjadi areal pertanian rakyat. Apalagi saat itu blokade ekonomi dilakukan oleh Sekutu.
Saat ditanyakan, susah mana hidup di zaman Jepang atau Belanda. Pak Sayid mengatakan, hidup di zaman Jepang lebih susah. Kain-kain yang diambil dari pemerintahan kolonial Belanda diangkut ke negara Jepang. Sedangkan rakyat Indonesia terpaksa memakai karung-karung.
Begitu juga dengan penuturan pak Casmadi, zaman Jepang adalah masa-masa nelangsa. Susah sandang pangan, bahkan uang. Mau membeli beras di Karanganyar tidak ada. Bahkan yang menanam padi terkadang tidak panen, karena kena wereng. Beras yang ada saat itu adalah beras bluhur.
Mengingat apa yang diceritakan pak Karnawi, pak Sayid serta pak Casmadi. Sesungguhnya kondisi masyarakat Kedawung dan sekitarnya saat ini tidak jauh berbeda dan sedikit mengalami perubahan dalam tatanan pengolahan pertanian. Sistem pertanian tidak mengalami perubahan yang drastis. Baik dalam prosesnya dan distribusi agar mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Kondisi yang sulit dijangkau memang menjadi faktor susahnya proses produksi, begitu pula dengan distribusi agar bisa dijual. Ataukah memang jenis padinya yang kurang baik atau jenis tanahnya yang buruk. Dan kegagalan panen yang dulu sering terjadi ternyata sampai sekarang belum dapat teratasi.
Pada saat ngobrol-ngobrol, baik dengan pak Karnawi, pak Sayid ataupun pak Casmadi, kepada mereka sempat terlontar pertanyaan mengenai program pemerintah soal pembagian tanah kepada para petani. Program tadi lebih dikenal dengan nama landreform. Mereka bertiga mengakau tidak tahu menahu dan belum pernah dengar soal program tersebut. Yang mereka tahu adalah janji PKI mengenai tanah yang dijual oleh asing akan dibagikan. Ketentuan program landreform secara umum meliputi:[8]
- larangan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas
- larangan pemilikan tanah-tanah absentee
- redistribusi tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum serta tanah-tanah yang terkena larangan absentee
- pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan
- pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian
- penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian dengan disertai larangan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan tanah menjadi bagian-bagian yang terlalu kecil.
Rakyat saat dulu memang lebih sering menyebut palu arit ketimbang nama PKI sendiri. Mereka mengerti parpol-parpol yang bermunculan saat kepemimpinan pak Soekarno. PNI yang identik dengan Soekarno dan berlambang banteng, dan hal tersebut berimbas sampai sekarang terhadap keluarga Soekarno. Sedangkan bagi mereka PKI identik dengan palu arit serta telah melakukan kesalahan dengan membunuh jenderal-jenderal. Mereka juga ingat kalau NU adalah partai yang konsen dibidang keagamaan. Sedang Masyumi adalah partai yang menunggangi DI/TII.
Saat menanyakan soal UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), mereka tidak tahu soal itu. Padahal fungsi UUPA adalah sebagai legitimasi program pemerintah yang membagi-bagikan tanah bagi petani penggarap serta petani-petani yang mempunyai lahan sedikit. Setahu mereka yang mau membagi-bagikan tanah adalah PKI. Jika mereka bisa menang dalam Pemilu. Terutama tanah – tanah yang sekarang menjadi hutan pinus. Karena tanah tersebut awalnya milik warga yang disewa oleh Belanda dan sekarang menjadi milik pemerintah RI. Jadi ketiga sesepuh dusun tersebut hanya ingat janji PKI mengenai tanah yang dijual oleh asing akan dibagikan. PKI memang mempunyai slogan-slogan yang berbau petani. Salah satu yang diingat pak Karnawi adalah slogan “Kerjakan Tani!”.
Kesimpulan
Dalam lingkup dusun Kedawung. Tanah-tanah yang tersebar luas bukan berarti mampu menghidupi mereka menjadi lebih sejahtera. Kondisi tanah yang cukupan belum bisa menghadirkan hasil bumi sesuai keinginan mereka, terutama untuk hasil pertanian padi. Hasil pertanian belum bisa membantu mereka untuk hidup lebih makmur. Coba perhatikan tabel kondisi masyarakat Tembelang Gunung dibawah ini:
Kondisi Masyarakat Desa Tembelang Gunung (2009)
NO | KONDISI | JUMLAH |
1 | Pra Kesejahteraan Sosial | 304 orang |
2 | Sejahtera Tingkat I | 28 orang |
3 | Sejahtera Tingkat II | 20 orang |
4 | Sejahtera Tingkat III | 22 orang |
5 | Sejahtera Tingkat ± III | 0 orang |
6 | Menikah | 14 orang |
7 | Cerai | 2 orang |
Secara keseluruhan, tingkat kesejahteraan mereka masih rendah. Apalagi untuk dusun Kedawung dengan jumlah penduduk hanya 64 jiwa. Tanah dijadikan lahan aktivitas perekonomian, biarpun kebanyakan dipakai untuk kebutuhan rumah tangganya semata. Namun dibalik itu tanah juga sebuah ruang untuk saling bermasyarakat biarpun hidup dibalik kondisi kesejahteraan yang terbilang kurang. Mereka masih mempertahankan tradisi gotong royong. Dengan tenaga swadaya masyarakat, mereka memperbaiki jalan baik dengan diaspal ataupun dipasangi batu. Ataupun membangun masjid dengan dana swadaya. Tanah adalah tempat mereka berpijak untuk hidup. Selain itu, tanah pula yang menghidupi mereka supaya tetap survive. Mereka masih menjadi petani subsisten.
Daftar Pustaka:
Andi Achdian, Tanah Bagi Yang Tak Bertanah: Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965. Yogyakarta: STPN Press, 2009.
Both, Anne (et.al), Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988.
Djoko Suryo, Tranformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi Modern. Yogyakarta: STPN Press, 2009.
Soediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (ed.), Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Gramedia, 1984.
Suhartono W. Pranoto, Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Agastya Media, 2001.
Wolf, Eric R., Petani Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: CV. Rajawali, 1985.
[1] Tulisan ini berdasarkan hasil penelitian dari TPL Antropologi UGM 2010 yang diselenggarakan oleh KEMANT (Keluarga Mahasiswa Antropologi) UGM bersama jurusan Antropogi Budaya UGM di daerah Lebak Barang, Pekalongan. Penelitian lapangan mulai dilaksanakan selama kurang lebih dua minggu (16 Januari 2010 – 28 Januari 2010).
[2] Doplak adalah angkutan umum diwilayah tersebut. Jangan membayangkan doplak itu mirip colt atau kopades atau mungkin bus. Doplak hanyalah berupa mobil Kijang dengan bak terbuka. Disitu ada sebuah gandulan yang fungsinya sebagai alat untuk berpegangan supaya tidak jatuh. Doplak mampu ditumpangi 20 orang lebih. Biarpun sebenarnya tidak aman dengan muatan sebanyak itu. Itu masih ditambah dengan barang-barang bawaan lain. Masyarakat disana menggunakan transportasi tersebut untuk bepergian jauh seperti kondangan atau membawa barang-barang sehabis dari pasar.
[4] Lihat G.R Knight, “Kaum Tani dan Budidaya Tebu di Pulau Jawa Abad Ke-19: Studi dari Karesidenan Pekalongan 1830 - 1870”, dalam Anne Both, et.al., Sejarah Ekonomi Indonesia. (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 74 - 98.
[5] Djoko Suryo, Tranformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi Modern. (Yogyakarta: STPN Press, 2009), hlm. 122.
[6] Lihat Eric R. Wolf, Petani Suatu Tinjauan Antropologis. (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), hlm. 2.
[7] Lihat M.M Billah; Loeher Widjajanto; Aries Kristyanto, “Segi Penguasaan Tanah Dan Dinamika Sosial Di Pedesaan Jawa (Tengah)”, dalam Soediono M.P. Tjondronegoro; Gunawan Wiradi (ed.), Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 266.
[8] Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria: Sejarah, Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya. (Djakarta: Djambatan, 1968), hlm. 241., dalam Andi Achdian, Tanah Bagi Yang Tak Bertanah: Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965. (Yogyakarta: STPN Press, 2009) hlm. 72-73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar