"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Sabtu, 27 Agustus 2011

Menonton Komedie Stambul ; Kisah Petualangan Kelompok Teater Modern Indonesia?

A. Pendahuluan
            Tulisan ini merupakan pandangan-pandangan awal terhadap perkembangan kelompok teater[1] di Indonesia, terutama di masa kolonial. Kelompok teater yang menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah grup teater Komedie Stambul (1891-1903).
            Perkembangan kelompok teater di Indonesia sesungguhnya menjadi sebuah dinamika tersendiri di dalam jagad kesenian kita. Teater kita saat ini adalah hasil praktik kolonial Belanda di Indonesia. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri, biarpun unsur-unsur tradisi (tradisional) sering dipakai oleh grup-grup saat ini. Akan tetapi, metode-metode dalam keaktoran[2] ataupun manajemen kelompok teater merupakan hasil penggalian pendekar-pendekar teater kita dari Barat.
            Tulisan ini akan mengkhususkan kajiannya terhadap grup Komedie Stambul. Grup tersebut dianggap representatif. Karena menurut masa atau periode munculnya grup tadi merupakan sebuah masa transisi. Dapat dikatakan sebuah konsep mengenai ide negara Indonesia mulai dikenal. Karena teater sendiri adalah bagian dari sebuah kebudayaan. Indonesia mempunyai kebudayaan yang plural. Selain itu kebudayaan adalah sebuah proses dan struktur dalam kehidupan manusia. Sejarah kebudayaan sangat menarik karena mampu menunjukkan aspek-aspek estetis, etis serta ideasional dalam kehidupan manusia.[3]
            Kisah perjalanan teater modern Indonesia sesungguhnya dimulai sejak tahun 1891. Karena pada tahun itu pagelaran stambul sangat dikenal masyarakat.[4] Orang saat itu lebih mengenal istilah stambul ketimbang kata teater. Istilah-istilah mengenai teater selalu berubah dari tahun ke tahun. Di tahun 1900 istilahnya adalah komedie. Selanjutnya ada istilah opera derma pada tahun 1910. Istilah tadi hanya berkembang dikalangan masyarakat perkotaan kelas menengah ke bawah, terutama orang Indonesia, China dan Arab.  Kaum-kaum terpelajar lebih mengenal istilah toneel. Sekitar tahun 1925, kata sandiwara merujuk kepada istilah teater saat itu. Sedangkan pengenalan kata drama mencuat pada tahun 1950. Istilah teater sendiri beredar pada saat tahun 1970an. Biarpun secara kronologis terdapat penyebutan yang berbeda-beda mengenai teater, tetapi pada dasarmya semua merujuk pada suatu pementasan manusia diatas panggung berdasarkan cerita yang dimainkan.[5]
            Pada intinya apa yang disebut dengan teater adalah segala aktvitas atau kegiatan dalam seni pertunjukkan baik secara kelompok atau perorangan. Teater sendiri cenderung menunjukkan pengertian tentang lakon. Jadi sebuah lakon baik dengan naskah atau tanpa naskah.[6]
            Lalu mengenai konsep teater modern di Indonesia merupakan sebuah produk yang dihasilkan masyarakat perkotaan. Teater tadi diciptakan oleh orang-orang kota, konsumennya juga orang-orang kota.[7] Memang konsep modern sering dibenturkan dengan yang namanya Barat. Tapi hal tersebut bukan berarti kita telah terhegemoni oleh konsepsi ala Barat. Hegemoni kekuasaan tidak hanya Mc Donaldization seperti yang diutarakan George Ritzer. Karena menurut Ranajit Guha, yang namanya elite (yang menghegemoni) bisa berasal dari asing atau pribumi. Jadi tidak sepenuhnya mutlak produk kebarat-baratan.[8]
            Pada mulanya perlu dibedakan apa itu teater modern Indonesia dengan teater Indonesia modern. Teater modern Indonesia secara temporal muncul ditahun 1900-1945. Sedangkan teater Indonesia modern beredar setelah tahun 1945, dipelopori oleh penggiat teater yang terpengaruh ide-ide atau teater gaya Barat. Setelah itu muncul kembali pemisahan masa-masa teater di Indonesia. Teater-teater yang dipelopori oleh Rendra, Arifin C Noer, Putu Wijaya, Nano Riantiarno merupakan teater Indonesia mutakhir, kadangkala disebut teater kontemporer.[9]
            Pemisahan-pemisahan periode teater tadi secara tegas dikritik oleh Radhar Panca Dharma.[10] Menurutnya pembahasan mengenai periode teater hanya sebuah asumsi belaka. Tulisan-tulisan yang beredar sangat lemah metodologisnya, begitu juga dengan landasan empiris. Perdebatan soal teater modern Indonesia paling banyak mengundang polemik.
            Akan tetapi menurut Radhar Panca Dahana, teater modern Indonesia merupakan kesenian yang diawali dan diwakili oleh intelektualisme Barat serta berusaha membebaskan diri dari pakem (baik tradisional atau “modern” sendiri). Disamping itu tetap membawa orientasi maju kedepan serta kepentingan modern yang diwakili oleh kota.[11]
            Tulisan ini akan membahas mengenai kelompok Komedie Stambul. Apakah kelompok tersebut masuk dalam kategori teater modern Indonesia ataukah sebuah grup yang sebenarnya masih bersifat sebagai teater tradisi.

B. Sebuah Permulaan : Teater ala Stambulan, Teater Rakyat Perkotaan
            Pada mulanya kegiatan teater di Indonesia, khususnya di Jawa memperoleh pengaruh yang kuat dari Belanda dan Melayu. Teater-teater ala Belanda kebanyakan dikonsumsi oleh publik Belanda sendiri, ada kalanya golongan Cina juga turut ambil bagian. Sedangkan untuk kalangan lokal mereka tentu lebih memilih menonton teater tradisi semacam ketoprak, ludruk, lenong dan lain sebagainya.
            Sekitar medio 1800an, masyarakat Batavia sedang tergila-gila dengan Teater Ut Desint. Teater Ut Desint dikelola oleh orang-orang Belanda. Pergerakan teater Ut Desint juga didukung oleh Gubernur Jenderal van der Capellen. Dukungan positif juga datang dari masyarakat. Mereka mampu membuat gedung komidi, Schouwburg atau Comediegebouw di Jalan Noordwijk (dekat jalan Pasar Baru, Jakarta). Pembukaan gedung tadi terlaksana pada tanggal 7 Desember 1821. Teater Ut Desint mementaskan sebuah lakon dari William Shakespere, yaitu Othelo. Ditambah satu lakon gembira Penabuh Genderang. Ketenaran mereka mampu bertahan sampai tahun 1830an.[12] Akan tetapi ketenaran teater Ut Desint tidak mampu menjangkau masyarakat pribumi. Hal tersebut dapat dipahami karena selera publik pribumi tentunya begitu berbeda dengan kalangan Belanda.
             Masyarakat perkotaan notabene dipenuhi penghuni asing yang beragam. Mulai dari orang Belanda, Arab, India, Cina, Indo-Belanda. Karena itu pula hiburan-hiburan di perkotaan sangat beragam. Perlu dipertimbangkan pula hiburan-hiburan untuk masyarakat lokal.
            Pada tahun 1891 muncul hiburan baru di kota-kota besar di Jawa yaitu Komedie Stambul. Komedie Stambul didirikan oleh August Mahieu (1860-1906), seorang Indo-Prancis kelahiran Surabaya. Berdirinya kelompok tersebut tidak dapat dipisahkan dari peranan saudagar keturunan Turki yang bernama Jaffar. Sebelum Komedie Stambul berdiri, Jaffar mengembangkan teater bangsawan[13] menjadi teater stambul.[14]
            Teater bangsawan di lingkungan Jawa tidak populer karena perbedaan kultur. Mengingat kompleksitas masyarakat Jawa yang terdiri dari berbagai identitas. Mulai dari orang Timur Tengah, Eropa serta Jawa. Bahasa yang dipakai juga bukan bahasa Melayu Tinggi, melainkan Melayu Rendah. Masyarakat perkotaan Jawa juga menggemari bermacam-macam jenis musik. Seperti gamelan, keroncong, waltz, klasik, musik Timur Tengah.[15] Karena permasalahan itu Jaffar menciptakan kesenian baru yang diberi nama teater stambul.

C. Latar Belakang Komedie Stambul
            Berlanjut mengenai Augut Mahieu yang mendirikan Komedie Stambul. Kelompok Komedie Stambul didanai oleh Yap Goan Tay. Sedangkan pimpinan artistik dipegang oleh Cassim yang dulu penah bergelut di teater bangsawan. Kelompok Komedie Stambul merupakan representasi teater rakyat kota yang terdiri dari bermacam-macam ras.[16] Tidak dapat dipungkiri bahwa Komedie Stambul menjadi persentuhan dan persilangan ras serta budaya. Hibriditas budaya termaktub dalam proses berkesenian Komedie Stambul.[17]
            Disamping itu Komedie Stambul bukanlah kelompok teater dari kalangan terpelajar. Mereka hanyalah sekelompok profesional yang mencari nafkah dari kesenian. Teater menjadi ajang mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup. Teater rakyat perkotaan merupakan teater eskapisme, teater profesional. Mereka bukan teater idealisme dari kalangan berpendidikan. Komedie Stambul adalah teater hiburan bagi masyarakat perkotaan. Kesenian sebagai bisnis, karena kelompok Komedie Stambul menjual tiket disetiap pertunjukkannya.
            Komedie Stambul mempunyai perbedaan yang tajam dengan kelompok teater Bangsawan terutama soal cerita. August Mahieu sadar bahwa pementasannya di tanah Jawa, karena itu Komedie Stambul menampilkan repertoar cerita lokal. Seperti Nyai Dasima, Si Conat, Rencong Aceh, Anak Tiong, Bercerai Kasih.[18] Mereka juga wajib menyesuaikan dengan kondisi masyarakat kota yang serba multikultur. Maka cerita dari Barat juga ditampilkan, semacam repertoar klasik teater Belanda. Contohnya, Lohengrin (Opera Wagner), Hamlet, Puteri Genoveva, Pangeran Harnani (Victor Hugo).[19] Biarpun disetiap Komedie Stambul berdasarkan cerita atau naskah, namun asas mereka tetap improvisasi. Dialog tidak berdasarkan dialog naskah, namun improvisasi.
            Kelompok Komedie Stambul lebih diterima dibanding kelompok dari golongan teater bangsawan. Apresiasi masyarakat kota, terutama kota Surabaya merasa senang karena dialek bahasa Melayu rendah. Komedie Stambul hampir mirip dengan kelompok musikal ala Broadway. Lagu-lagu dan tarian menjadi alat mereka untuk mengekspresikan emosi.[20]



D. Tour De Java (1891-1892) : Kisah Kejayaan Komedie Stambul
            Kegiatan awal Komedie Stambul didalam ajang untuk merebut hati para nontonners[21] harus bersaing dengan kelompok-kelompok sirkus serta berbagai grup komedi lain. Awal pergerakan mereka dimulai dengan pentas keliling Jawa dari tahun 1891-1892. Mereka berkeliling ke kota-kota yang menjadi pusat kebudayaan lokal seperti Yogyakarta, Surakarta, Batavia serta Semarang.[22] Akan tetapi pentas pertama tetap dilaksanakan di kota asalnya, yaitu Surabaya.
            Pada hari Sabtu, 17 Januari 1891 mereka mementaskan sebuah repertoar Tukang Ikan sama Jin. Cerita tersebut diangkat dari sebuah lakon yang berasal dari Arab. [23] Disekitar akhir bulan Desember tahun 1891, mereka pentas di Surakarta. Sayangnya pentas tersebut kurang mendapat sambutan yang baik dari masyarakat Surakarta. Namun mereka kembali lagi ke Surakarta di tahun 1982. Mereka pentas mulai dari tanggal 18 July sampai 2 Agustus 1892. Komedie Stambul pentas di samping Benteng Vastenburg.[24]
            Setelah selesai menunaikan pentas di Surakarta, kelompok milik August Mahieu tersebut menuju Yogyakarta. Menariknya mereka pentas di Alun-alun Utara dalam rangka Sekaten. Mereka juga sempat tampil di sebuah tempat yang disebut klub De Vereeniging. Mereka memainkan sebuah lakon dengan judul Orang Terbangoen dari Tidoernja.[25] Tempat tersebut sekarang adalah Taman Budaya Yogyakarta atau Societet.
            Tanpa disadari konsep-konsep pementasan milik Komedie Stambul menginspirasi kelompok-kelompok wayang wong. Beberapa kelompok wayang wong meniru tata cara pemanggungan Komedie Stambul. Salah satunya adalah kelompok Langen Ngesthi Suka. Prinsip-prinsip pemanggungan serta dramaturgi mereka menginspirasi kelompok-kelompok wayang wong untuk meningkatkan kreativitas.[26]
            Seperti yang sudah diterangkan diatas, Komedie Stambul adalah kelompok dengan semangat transetnik. Unsur-unsur Barat tetap mereka pertahankan namun dipadu atau dikombinasikan dengan budaya-budaya lokal. Ada sebuah lakon menarik yang pernah dipentaskan oleh Komedie Stambul. Yaitu, Sembadra Larung (Sembadra Cast Adrift). Sebuah lakon yang menceritakan kematian Sembadra, istri Arjuna. Dimana Sembadra dibunuh oleh Burisrawa yang sebenarnya jatuh cinta setengah mati dengan Sembadra. Namun cinta Burisrawa tidak pernah ditanggapi oleh Sembadra. Pada akhirnya Sembadra dibuang ke laut oleh Burisrawa.
            Lakon Sembadra Larung mendapat sambutan yang baik oleh publik Solo. Pentas dilaksanakan pada bulan Maret atau April 1899. Lakon Sembadra Larung milik Komedie Stambul merupakan perpaduan antara stambulan dengan wayang kulit purwa. Banyak publik yang menyebutnya sebagai pentas wayang wong ketimbang stambul.[27]
            Pentas tersebut cukup mengejutkan, mengingat August Mahieu mengubah nama grupnya menjadi Komedie Opera Peranakan India pada tanggal 19 Maret 1899. Tidak ada alasan yang pasti kenapa nama tersebut dipakai oleh Mahieu. Memang konsep-konsep pementasan tetap gabungan antara Arab dengan Eropa. Namun lakon-lakon yang populer dan kerap dimainkan adalah lakon dengan cerita Arab.[28]

E. Akhir Riwayat Komedie Stambul
            Komedie Stambul ditinggalkan oleh pendirinya, August Mahieu pada 1906. Ia pergi menuju ke Bumiayu (Tegal), tidak lama setelah itu, Mahieu meninggal dunia karena malaria. Tampaknya akhir dari Komedie Stambul mulai terlihat, karena Cassim penata artistik pertunjukkan juga kembali ke asalnya, Penang.[29] Biarpun Komedie Stambul bubar, penggiat-penggiat teater stambulan tetap meneruskan tradisi yang dipelopori oleh Komedie Stambul. Mantan pekerja serta pemain di Komedie Stambul mendirikan teater stambulan, karena masyarakat saat itu masih berminat dengan pertunjukkan stambulan. Berbagai macam kelompok yang berdiri antara lain, Komedie Opera Stambul, Opera Permata Stambul, Wilhelmina, Opera Bangsawan, Sinar Bintang Hindia, Indra Bangsawan dan lain-lain.[30]
            Komedie Stambul dalam kegiatannya bertujuan untuk menghibur. Mereka menampilkan adegan-adegan yang sekiranya lucu, dan pementasan mereka untuk satu kali lakon bisa selesai selama dua hari. Hal tersebut dirasa menguntungkan sebab tiket yang mereka jual terhitung dua hari dengan satu lakon. Komedie Stambul memang diprotes oleh masyarakat terpelajar. Dimana mereka konsen terhadap teater yang intelektual berdasarkan sebuah naskah.[31] Biarpun Komedie Stambul menjalankan pementasannya secara improvisasi alias tanpa naskah, kelompok tersebut lebih terkenal dibanding teater toneel (kaum terpelajar).
            Biarpun Komedie Stambul milik August Mahieu sudah berakhir. Benih-benih stambul yang terlanjur digemari masyarakat akan susah untuk dilepaskan. Sebuah pertunjukan ala stambulan muncul kembali di awal abad ke 20. Pertunjukkan tersebut muncul dengan warna berbeda. Pertunjukkan dengan drama musik tambal-tambalan nan menghibur, serta mampu membuat penontonnya mabuk akan gelak tawa disetiap malam.[32] Pertunjukkan tersebut dimainkan oleh kelompok yang disebut Dardanella.

F. Penutup
            Teater ala Stambul yang diwakili oleh Komedie Stambul memang bukan kelompok teater nasional. Tetapi mereka tetaplah bagian dari perjalanan panjang teater Indonesia. Komedie Stambul memang tidak menunjukkan ekspresi kebangsaan atau kesadaran akan bangsa Indonesia. Mereka adalah teater ekskapisme, oleh Saini K.M disebut sebagai teater trans etnik yang tujuannya adalah uang dengan metode menghibur. Bagaimanapun juga Komedie Stambul menancapkan kukunya untuk perkembangan lebih baik. Yaitu sebuah pertumbuhan baru didalam teater Indonesia saat ini.[33]

Daftar Pustaka :
Bakdi Soemanto, Jagat Teater. Yogyakarta : Media Pressindo, 2001.
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta : Galang Press, 2004.
                       
Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern  dan Sastra Drama Indonesia. Bandung : STSI Press, 2004.

Matthew Issac Cohen, The Komedie Stamboel : Popular Theatre in Colonial Indonesia, 1891-1903. Ohio: Ohio University Press, 2006.

Nur Sahid (ed), Interkulturalisme (dalam) Teater. Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia, 2000.

Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe : Antologi Sastra Pra Indonesia. Jakarta : Lentera Dipantara, 2003.

Radhar Panca Dahana, Homo Tehatricus dan Sejumlah Esai. Magelang : Yayasan IndonesiaTera, 2000.

Richard Boleslavsky (terj. Drs. Asrul Sani), Enam Peladjaran Pertama Seorang Aktor. Djakarta: Usaha Penerbit Djaja Sakti, 1960.

Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land : Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : PT Gramedia, 1993.

Tommy F. Awuy (et.al), Teater Indonesia : Konsep, Sejarah, Problema. Jakarta : Dewan Kesenian Jakarta, 1999.

Website :



Catatan Kaki
[1] Penggunaan kata teater dalam tulisan ini digunakan untuk penyesuaian dengan istilah sekarang. Istilah teater disaat masa kolonial memang tidak terlalu dikenal. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai apa itu teater dan bagaimana perkembangan istilah teater di Indonesia.

[2] Richard Boleslavsky (terj. Drs. Asrul Sani), Enam Peladjaran Pertama Seorang Aktor (Djakarta: Usaha Penerbit Djaja Sakti, 1960).

[3] Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah (Jakarta : PT Gramedia, 1993), hlm. 199.

[4] Selanjutnya akan ada pembahasan khusus mengenai apa itu yang disebut dengan stambul di bab lain.

[5] Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal (Yogyakarta : Galang Press, 2004), hlm. 138-139.

[6] Bakdi Soemanto, Jagat Teater (Yogyakarta : Media Pressindo, 2001), hlm. 9.

[7] Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern  dan Sastra Drama Indonesia (Bandung : STSI Press, 2004), hlm. 99. Buku yang ditulis oleh Jakob Sumardjo tersebut dirasa cukup representatif untuk pembahasan mengenai teater Indonesia secara umum. Mengingat jarang sekali kajian-kajian yang komprehensif soal teater ditulis oleh ilmuwan Indonesia. Namun salah seorang kritikus teater, Radhar Panca Dahana menyatakan  bahwa buku Perkembangan Teater Modern  dan Sastra Drama Indonesia mempunyai kelemahan dalam segi teoritik serta metodologi.

[9] Sebenarnya pembagian dekade teater tadi masih diperdebatkan. Karena definisi-definisi yang beredar seringkali mengundang kekecewaan dan tidak sesuai dengan realitas. Terutama soal awal mula kemunculan teater modern Indonesia.

[10] Radhar Panca Dahana, Homo Tehatricus dan Sejumlah Esai (Magelang : Yayasan IndonesiaTera, 2000), hlm. 42-46.
[11] Ibid, hlm. 46.

[12] Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern  dan Sastra Drama Indonesia (Bandung : STSI Press, 2004), hlm. 91.

[13] Teater ini berasal dari daerah Malaysia, Singapura, Sumatra Utara serta Riau. Teater bangsawan amat populer disana, terutama di kalngan bangsawan. Karena itu teater tersebut dinamai “bangsawan”. Disetiap pertunjukkannya mereka memainkan lakon-lakon berdasarkan hikayat Melayu. Selain itu kostum yang dipakai juga ala Melayu, bahasanya Melayu Tinggi. Ada ungkapan syair dan pantun disela-sela dialog. Disamping itu iringan musik dan tarian bergaya Melayu juga. Salah satu grup yang datang ke Jawa untuk pentas adalah rombongan Pushi Indera Bangsawan of Penang pimpinan Mamak Pushi.

[14] Kata stambul merujuk dari kata Istambul, ibu kota Turki. Karena pada kelanjutannya stambul memakai unsur-unsur berbau Timur Tengah. Cerita-cerita yang ditampilkan diambil dari cerita khayal Timur Tengah, akan tetapi cerita-cerita pribumi serta cerita klasik Barat juga disajikan. Namun untuk dialognya tetap memakai bahasa Melayu Rendah. Sedangkan musik serta tarian pengiring menyesuaikan dengan selera masyarakat Jawa saat itu.

[15] Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal (Yogyakarta : Galang Press, 2004), hlm. 145-146. Musik penggiring disetiap pementasan teater stambul memakai alat semacam harmonium, gendang, biola dan piona. Lagu-lagunya berasal dari Melayu, seperti yang ditampilkan oleh teater bangsawan. Disamping itu lagu-lagu ala opera yang digemari kalangan Belanda dikombinasikan dengan lagu-lagu yang sedang populer di lingkungan masyarakat perkotaan seperti keroncong, waltz, foxtrot dsb.

[16] Jakob Sumardjo, “Teater Indonesia Era 1900-1945”, dalam Tommy F. Awuy (et.al), Teater Indonesia : Konsep, Sejarah, Problema (Jakarta : Dewan Kesenian Jakarta, 1999), hlm.213.

[17] Matthew Issac Cohen, The Komedie Stamboel : Popular Theatre in Colonial Indonesia, 1891-1903 (Ohio: Ohio University Press, 2006), hlm. 4.

[18] Sebuah buku atau tepatnya antologi sastra yang dieditori Pramoedya Ananta Toer memuat cerita-cerita diatas, diantaranya Nyai Dasima dan Si Conat. Lihat Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe : Antologi Sastra Pra Indonesia (Jakarta : Lentera Dipantara, 2003).

[19] Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal (Yogyakarta : Galang Press, 2004), hlm. 146.

[20] Saini K.M, “Teater Indonesia Sebuah Perjalanan dalam Multikulturalisme” dalam Nur Sahid (ed), Interkulturalisme (dalam) Teater (Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia, 2000), hlm.34.

[21] Nontonners adalah istilah bagi para pengunjung atau penikmat acara pertunjukkan disetiap malam. Biasanya mereka menonton setiap acara untuk menghilangkan lelah atau sebaga hiburan setelah bekerja. Istilah tersebut berkembang pada tahun-tahun 1890an.

[22] Matthew Issac Cohen, The Komedie Stamboel : Popular Theatre in Colonial Indonesia, 1891-1903 (Ohio: Ohio University Press, 2006), hlm. 22.

[23] Ibid., hlm. 49.

[24] Ibid., hlm. 105.

[25] Ibid., hlm. 106 dan 112.

[26] Ibid., hlm. 232.

[27] Ibid., hlm. 286.
[28] Ibid., hlm. 281.

[29] Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern  dan Sastra Drama Indonesia (Bandung : STSI Press, 2004), hlm. 109.

[30] Ibid.

[31] Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal (Yogyakarta : Galang Press, 2004), hlm. 148.

[32] Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land : Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 203.

[33] Saini K.M, “Teater Indonesia Sebuah Perjalanan dalam Multikulturalisme” dalam Nur Sahid (ed), Interkulturalisme (dalam) Teater (Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia, 2000), hlm.34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar