"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Minggu, 28 Agustus 2011

Kuliner dalam Panggung Sejarah: Rijsttafel dan Menu Penjara*

            Periode kolonial merupakan sebuah rangkaian panjang dalam peristiwa sejarah Indonesia. Periode ini bisa dikatakan ”rezim pembangunan” pada kala itu. Zaman keemasan perekonomian juga tercipta dalam masa tersebut. Banyak persilangan budaya terjadi karena bangsa asing yang menetap seperti orang-orang Eropa, Cina, India atau Arab. Silang budaya tidak hanya terjadi dalam unsur agama, kesenian, arsitektur ataupun yang lain. Cita rasa kuliner Indonesia yang sampai saat ini masih kita nikmati ternyata mendapat pengaruh dari Eropa, khususnya Belanda serta Cina, Arab atau India. Bukan hanya mengenai cita rasa atau bentuk makanan saja. Namun cara penyajian, resep memasak serta bagaimana cara menjualnya. Dalam kuliner, juga tercermin status seseorang saat itu.
            Ada sebuah kejadian menarik yang menimpa Desire Charnay, seorang Prancis yang berkunjung ke Jawa karena diutus oleh Kementerian Pendidikan Hindia Belanda (1878-1879). Begitu sampai di hotel, ia merasa jijik dengan hidangan yang disajikan. Hidangan tersebut berisi nasi, sayur kari, telur dadar, ikan asin, ikan rebus, daging ayam, daging kambing, bistik. Hidangan itu masih dihiasi dengan ketimun dan atasnya diberi sambal serta acar (Dorléans, 2006: 497). Hidangan yang disajikan hotel tadi kepada Desire Charnay sesungguhnya merupakan jenis makanan mewah saat itu. Karena makanan tadi hanya dapat dinikmati oleh kalangan atas saja.
            Sajian yang “dinikmati” oleh Desire Charnay tadi, sejatinya termasuk kategori tradisi rijsttafel (rice table). Sebuah hidangan yang menjadi menu utama bagi warga Belanda dan juga disetiap hotel mewah. Rijsttafel dihidangkan setiap makan siang dan makan malam. Menu rijsttafel sendiri beraneka ragam, ada yang berupa nasi soto, nasi goreng, gado-gado, nasi rames, lumpia, dll. Dalam literatur lain mengungkapkan bahwa rijsttafel berisi nasi yang begitu banyak, jenis lauk pauknya diantarkan oleh puluhan djongos yang membawa baki perak berisi makanan (Sunjayadi, 2008). Menu-menu yang dihadirkan dalam tradisi indische rijsttafel tadi masih disajikan di restoran-restoran Belanda (Soekiman, 2000: 61).       
            Salah satu hotel yang paling gemar menyajikan sajian rijsttafel adalah hotel Des Indes (sekarang hotel Duta Indonesia). Hotel tersebut sering menyajikan menu rijsttafel untuk para tamunya. Antara lain terdiri dari hidangan nasi putih, sambal hati, sayur lodeh, opor ayam, sate, tempe goreng, gado-gado, telur mata sapi, sayur asam, gulai kambing, sup kacang merah, soto, rawon, rendang dsb.         Munculnya masakan rijsttafel memang datang secara tiba-tiba. Keharusan para koki untuk mampu memasak hidangan ala Eropa dan Indonesia dikalangan keluarga-keluarga kaya menjadi faktor penting adanya rijstaffel. Rijstaffel menjadi menu wajib dan termahsyur di abad 19, terutama di kalangan para bangsawan Eropa, khususnya orang-orangnya Belanda (Dorléans, 2006: 487).
            Dalam tulisannya mengenai sejarah kolonial, Onghokham menjelaskan bahwa orang Belanda lebih memilih rijsttafel disajikan dalam kondisi panas, padahal orang Jawa lebih senang makan apabila nasinya sudah dingin atau hangat. Kenikmatan rijstaffel semakin memuncak dengan tambahan menegak bir. Masyarakat Belanda memang gemar meminum bir. Selain bir, mereka juga meminta agar dalam penyajian rijsttafel ditemani hidangan berupa pisang goreng (Onghokham, 2003: 311-314).
            Apa yang terdapat dalam rijsttaffel bukan sekedar sajian pengenyang perut. Tidak dapat dipungkiri apabila rijsttafel adalah kuliner persilangan dua budaya. Namun jauh dari arti risjttafel secara harfiah. Secara tersirat rijsttafel merujuk mengenai pamer kemewahan. Jamuan rijsttafel yang begitu populer saat itu hanya dapat dinikmati oleh kalangan bangsawan atau pejabat Belanda. Pamer kekuasaan yang dipraktekkan oleh para elite ditunjukkan dengan banyaknya hidangan yang ada dimeja, terutama nasi. Muncul simbol kekuasaan dalam jamuan tersebut. Entah itu sebuah gaya hidup yang menjadi keharusan bagi para keluarga-keluarga Eropa atau sebuah makanan yang fungsinya sebagai pengisi perut. Namun rijsttafel bukan sekedar itu, rijsttafel menghadirkan citra strata sosial dalam sebuah opera. Aktor-aktornya adalah masyarakat Eropa, tentunya Belanda sebagai tuan besar yang hidup di negeri tropis serta pribumi yang berperan sebagai djongos.
            Di sisi lain, kemewahan cita rasa kuliner juga terdapat dalam hotel prodeo. Dalam buku Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia (1964) karya R.A Koesnoen, disebutkan perbaikan jatah makanan yang terjadi di tahun 1856 ternyata tidak menimpa tahanan pribumi. Hanya jatah makanan bagi tahanan Eropa saja yang diperbaiki. Sesuai peraturan jatah makanan yang tertuang dalam Statblad 1829 Nomor 73. Sajian makanan untuk tahanan pribumi (termasuk golongan Tionghoa) hanya mendapat nasi dan garam setiap dua hari sekali. Selain itu mereka juga menyantap setengah pon ikan kering atau daging kerbau, sayuran, bawang merah dan sedikit merica. Mengenai menu khusus bagi tahanan berkewarganegaraan Eropa. Setiap pukul enam pagi, mereka menikmati roti serta kopi. Saat makan siang para tahanan Eropa menyantap nasi kentang, sayur, sup, daging, ikan dan kerry. Pukul empat sore, mereka mendapat jatah makanan sesuai hidangan saat makan siang.
            Di tahun 1870-1905, terjadi lagi perubahan jatah makanan bagi tahanan Eropa. Perubahan tadi dilaksanakan sesuai dengan Statblad 1871 Nomor 78. Pada tahun 1877, tahanan Eropa tadi setiap hari mendapat 9,20 pon roti, 0,35 pon nasi, 0,20 pon sayur, 0,003 pon lemak sapi, 0,005 pon kerry, 0,002 pon lombok, 0,02 garam, 0,001 pon lada, 0,015 pon kopi dan 0,004 teh hitam. Dalam enam kali seminggu mereka mendapat 0,20 pon daging sapi dan 0,20 pon kentang. Selain itu masih ditambah lagi dengan jatah 0,15 daging babi, 0,25 pon kapri hijau dan 0,025 ikan cuka dalam sekali seminggu.
           
Sumber:
Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008.

Dorléans, Bernard., Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006.

Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000.

Onghokham, The Thugs, the Curtain Thief, and the Sugar Lord: Power, Politics, and Culture in Colonial Java. Jakarta: Metafor, 2003.

Andreas Maryoto. “Jejak Kuliner di Hotel Prodeo,” Kompas, 17 Desember 2009. hlm. 60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar