"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Minggu, 28 Agustus 2011

Huru Hara dan Hura Hura Minuman Keras

Gambaran Indonesia sebagai negara pengonsumsi alkohol merupakan pemandangan biasa dalam tataran keseharian kita. Jauh sebelum terbentuknya negara ini, tradisi mabuk-mabukkan merupakan ritual keagamaan. Namun setelah masuknya Islam, alkohol menjadi barang yang diharamkan. Disaat periode kolonial, alkohol makin menjadi-jadi. Hidup di negeri yang tropis memang asyik sembari menegak minuman keras.

            Pada masa pemerintahan kolonial, pos pemberhentian yang letaknya di antara rute Yogyakarta-Surakarta seperti daerah Prambanan, Kebonarum, Klaten, Delanggu, Kartasura, serta Balapan menjadi tempat istirahat bagi kereta-kereta yang sedang lewat. Biasanya mereka akan menikmati teh ginastel. Serta mencicipi candu, bahkan disuguhi dengan pijat dan para pelacur.[1]
            Para penikmat wanita pelacur tadi pada umumnya adalah masyarakat pribumi. Mereka berpesta sembari bermain judi sambil menikmati candu. Sedangkan pejabat Belanda akan menghabiskan waktunya dengan pesta dansa atau minum jenewer. Para pribumi akan menginap di losmen-losmen yang terdapat di dekat tempat pemberhentian kereta. Bedanya, para orang Belanda menginap di hotel-hotel sekitar perusahaan perkebunan.[2] Maraknya usaha losmen atau hotel tadi disebabkan oleh kebijakan ekonomi pemerintah kolonial sekitar pertengahan abad ke-19, yang saat itu membuka usaha perkebunan besar-besaran.
            Mengenai kebiasaan masyarakat pribumi yang gemar menghisap candu, kebiasaan itu semakin lezat apabila ditemani oleh minuman keras. Minuman keras jenis lokal yang mendapatkan perpaduan dari tradisi China, contohnya adalah arak. Pada mulanya masyarakat Jawa mengonsumsi minuman keras, terutama anggur hanya untuk menyenangkan atau menghormati tamu Eropa. Namun ada juga para penguasa yang terpengaruh dengan gaya hidup bangsa Eropa dengan mengonsumsi minuman keras.[3] Tradisi tentang minuman keras juga sudah dikenal lama, berdasarkan apa yang terdapat di Negarakertagama, diketahui bahwa minuman keras menjadi bagian pada saat perjamuan agung di kerajaan. Saat masa kolonial para pejabat Belanda juga turut andil dalam kebiasaan mabuk-mabukkan tadi. Mereka berbisnis minuman keras impor jenis brendi dan jenewer.[4] Di lain pihak, masyarakat pribumi lebih gemar mengonsumsi arak, chiu atau badeg yang merupakan jenis minuman keras tradisonal favorit.

Huru-hura dan Hura-hura Beralkohol di Masa Kolonial
            Tidak dapat dipungkiri apabila masyarakat Eropa, terutama Belanda yang datang ke Indonesia akan membawa kebiasaan sehari-hari mereka disini. Peranan masyarakat Eropa memang sangat penting. Pemerintah kolonial pertama kali mengenalkan es terhadap kita. Pada tahun 1869, keluarga-keluarga kaya di Batavia gemar meminum air es yang mencair. Air es tersebut didatangkan langsung dari Boston.[5] Bahkan pada pertengahan abad 19, kapal-kapal yang datang dari Amerika Utara membawa berblok-blok es batu ke Hindia Belanda.[6] Es batu tadi juga dikenal dengan nama aijer batoe. Perkembangan es selanjutnya tidak lagi harus mengimpor. Pengenalan teknologi pembuatan amoniak di Jawa terjadi pada akhir tahun 1880. Teknologi pembuatan amoniak tadi pada awalnya dikuasai bangsa Eropa, namun pengusaha China dengan tanggap meminati usaha pabrik es tersebut.[7]
            Es tadi sangat nikmat apabila dipakai saat meminum bir. Bir diimpor langsung dari luar negeri. Merek bir yang terkenal antara lain seperti, Heineken’s Bier, Haantjes Bier, Pittig Hollandsch Pils, lalu ada juga Koentji Bir yang merek sebenarnya adalah Beck’s Beer, bir buatan Jerman.[8] Bisnis minuman keras tadi membawa dampak yang besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Kebiasaan meminum bir seringkali terjadi disaat mereka (para elite) selesai menyantap sajian rijsttafel. Bir sendiri dilarang oleh kalangan muslim karena mempunyai kadar alkohol.[9]           
            Hura-hura dalam saat mengonsumsi alkohol mungkin menjadi hal yang biasa saat ini, terutama dikalangan pemuda. Merayakan pesta dengan alkohol merupakan menu wajib, terutama saat malam minggu. Kurang pas rasanya jika mengonsumsi alkohol hanya sendirian. Namun bagaimana peranan pemerintah dalam menanggulangi kasus tersebut. Sampai sekarang peredaran alkohol masih marak. Pemerintah mungkin sudah punya aturan atau cara untuk mengatasinya. Baik itu melalui peran masyarakat atau aparat keamanan. Namun pada kenyataannya, masih banyak para aparat kita yang membekingi para penjual minuman keras tadi. Pada masa kolonial tradisi mengonsumsi alkohol juga menimbulkan masalah tersendiri. Dan uniknya lagi, aparat yang bertugas untuk mengusut kasus tersebut malah menjadi bagian dari bisnis alkohol di masa kolonial.
            Minuman keras yang beredar saat masa kolonial sangatlah banyak. Mulai dari minuman keras impor dan minuman keras lokal. Bisnis minuman keras impor sesungguhnya sangat menguntungkan. Dan minuman keras lokal seperti, ciu, arak dan badeg menjadi saingan mereka. Di tahun 1915, hasil keputusan Kongres Sarekat Islam mengusulkan agar pemerintah memberlakukan undang-undang larangan kepada masyarakat untuk mengonsumsi minuman keras. Sedangkan Muhammadiyah dalam pernyataannya di Yogyakarta menginginkan supaya pemerintah menerapka sistem monopoli penjualan minuman keras. Layaknya monopoli pada bisnis candu.[10]
            Lain lagi dengan sikap Boedi Oetomo, mereka menyuruh pemerintah saat itu untuk membatasi tenpat penjualan minuman keras. Ditambah dengan dinaikkannya harga cukai minuman keras tadi supaya di pasaran harganya menjadi lebih mahal. Boedi Oetomo juga berpesan kepada masyarakat supaya memilih pamong atau pemimpin yang jauh dari alkohol.[11]
            Mengonsumsi alkohol merupakan hal wajib masyarakat, khususnya orang Eropa. Para turis yang sedang berkunjung ke Hindia Belanda saat itu, dapat memesan whiskey di hotel yang mereka tempati. Selain whiskey tersedia pula air soda yang dulu lebih dikenal dengan nama aijer blanda. Mereka tinggal memanggil para djongos untuk menyerahkan daftar menu yang ada.[12]
            Di tahun 1918, pemerintah kolonial membentuk sebuah Komisi Pemberantasan Alkohol (Alcoholbes-trijdings-commissie). Mereka mempunyai tugas untuk menyelidiki dan memberantas alkohol yang beredar di khalayak ramai. Komisi ini dipimpin oleh PTA Koesoemo Joedo, seorang bupati Ponorogo. Dan anggotanya terdiri dari inspektur, zending, priyayi, militer dan organisasi sosial.[13]
            Komisi Pemberantasan Alkohol tadi melaporkan bahwa di daerah Senen menjadi pusat transaksi minuman keras. Selain daerah Senen, tempat-tempat yang menjadi kawasan lokalisasi pelacuran (broedplat-sen) juga rawan dalam hal peredaran alkohol. Meluasnya minuman beralkohol di Batavia semakin mengkhawatirkan.[14] Komisi Pemberantasan Alkohol juga menyasar minuman keras jenis tradisional seperti arak, badeg dan chiu. Menurut polisi, minuman tadi beredar dikalangan pribumi tanpa izin pemerintah.[15] Minuman tadi illegal dan banyak beredar di daerah pulau Jawa.
            Usaha untuk memberantas minuman keras tradisional ternyata mendapat tanggapan yang bagus dari masyarakat. Para wedana, lurah, camat dan para penduduk yang menjadi mata-mata. Mereka diberi imbalan berupa uang apabila mampu mengungkap keberadaan oknum-oknum pembuat arak. Namun karena saking semangatnya, kebanyakan dari mata-mata tadi salah memberikan informasi kepada pihak berwenang. Beberapa kasus salah tangkap terjadi di Madiun, Gombong, dan Surakarta, tepatnya di distrik Bekonang. Para informan kebanyakan melaporkan para pembuat tape singkong sebagai pembuat arak. Biarpun tape singkong mengandung alkohol, tapi bukan berarti mereka membuat arak gelap. Pada daerah tertentu, tidak jarang terjadi konflik antara para telik sandi dengan simbok-simbok penjual tape singkong.[16]
            Tampaknya usaha pemerintah kolonial untuk memberangus alkohol tadi tidak optimal. Kegagalan tadi jelas bukan tanpa sebab. Ternyata oknum yang diterjunkan langsung kedalam operasi pemberantasan tadi turut serta terlibat dalam bisnis minuman keras. Mereka juga malas untuk memberantas peredaran minuman keras yang sembunyi dibalik kedai kopi (kroegjes) remang-remang di kawasan perkotaan. Para pemilik dan pelanggan kedai lama-lama menjadi akrab dengan polisi yang bertugas didaerah tersebut. Pada akhirnya minuman keras tadi malah lancar peredarannya di warung atau kedai karena dibekingi oleh para polisi, baik asing atau pribumi.[17]
            Disisi lain, minuman beralkohol banyak didatangkan oleh pemerintah kolonial. Seperti yang sudah disampaikan diatas. Bir diimpor langsung dari luar negeri. Merek bir yang terkenal antara lain seperti, Heineken’s Bier, Haantjes Bier, Pittig Hollandsch Pils, bir pahit cap ayam dari Belanda. Lalu ada juga Koentji Bir yang merek sebenarnya adalah Beck’s Beer, bir buatan Jerman. Bisnis minuman keras tadi membawa dampak yang besar bagi pemerintah Hindia Belanda.[18] Disamping itu mereka juga turut serta dalam usaha minuman keras impor jenis brendi dan jenewer.
            Berdasarkan laporan petugas cukai impor-ekspor (In-en Uitvoerrechtensac-cijnzen) Departemen van FinanciĆ«n, sejak awal abad 20 cukai minuman alkohol ternyata terus menurun. Sepertinya pemerintah sengaja melakukan kebijakan tadi demi menghancurkan bisnis minuman tradisional yang dianggap meresahkan. Padahal pemerintah kolonial sendiri kedapatan ikut berbisnis minuman beralkohol yang dimpor langsung dari Eropa.[19]
            Selain itu Departemen van FinanciĆ«n juga melaporkan bahwa usaha minuman keras impor jenis brendi dan jenewer yang mendapatkan campur tangan pemerintah kolonial berhasil mendatangkan ribuan gulden cukai ke kas pemerintah.[20] Padahal disisi lain sudah disinggung diatas bahwa pemerintah kolonial membentuk Komisi Pemberantasan Alkohol di tahun 1918. Namun pada kenyataannya, bisnis minuman keras impor malah merajalela. Dapat dipastikan kebijakan pemerintah untuk menyelidiki serta membasmi maraknya minuman beralkohol hanya untuk menghancurkan bisnis minuman keras tradisional seperti ciu, badeg dan arak. Itu jelas karena minuman tadi mereka anggap illegal.[21] Namun yang lebih penting lagi, minuman seperti arak, badeg, dan ciu tidak bisa menghasilkan untung sebesar minuman keras impor. Padahal minuman keras tradisional sangat populer di kalangan masyarakat Hindia Belanda. Jadi tidak bisa dipungkiri jika minuman keras tradisional harus diberantas dikarenakan menjadi saingan bisnis pemerintah dalam konteks minuman beralkohol impor.




Catatan Kaki
[1] Peran Serta Masyarakat Dalam Pengembangan Kepariwisataan Indonesia Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Depari, 1997, hlm.11.

[2] Ibid., hlm. 12

[3] Sir Thomas Stamford Raffles , History of Java (Yogyakarta: Narasi, 2008), hlm. 65.

[4] Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[5] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 322.

[6] Ibid.

[7] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 36.

[8] Ibid., hlm. 37.

[9] Onghokham, The Thugs, the Curtain Thief, and the Sugar Lord: Power, Politics, and Culture in Colonial Java (Jakarta: Metafor, 2003), hlm.29.

[10] Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[11] Ibid.

[12] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 38-39.

[13] Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[17] Ibid.

[18] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 38.

[19] Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[20] Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[21] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar