"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Minggu, 28 Agustus 2011

ADAKAH TEORI DALAM ILMU SEJARAH?

Di dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, Kuntowijoyo secara gamblang menyatakan bahwa sejarah itu mempunyai teori pengetahuan, yang juga disebut sebagai filsafat sejarah kritis.[1] Selanjutnya, Kuntowijoyo juga menjelaskan bahwa sejarah sendiri mempunyai tradisi yang panjang. Dalam perkembangannya, terdapat sebuah teori sejarah. Teori sejarah berkembang sesuai dengan kemajuan keilmuan di zamannya. Masing – masing universitas mempunyai tradisi teori sejarah yang berbeda. Di Amerika, cenderung teori sejarah yang non filosofis. Sedang di Belanda berkembang teori sejarah filosofis.[2]
            Memang di dalam perkembangan keilmuan sejarah sendiri terdapat sebuah pengembangan, bahwa sejarah harus memakai bantuan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial agar lebih kuat untuk merekonstruksi masa lampau. Namun pembahasan disini bukanlah teori-teori milik ilmu sosial. Melainkan, apakah sejarah sendiri mempunyai teori tanpa embel-embel (teori) ilmu sosial tentunya. Tanpa mengabaikan anjuran untuk memakai teori-teori ilmu sosial.
            Nampaknya, perlu sedikit penjelasan mengenai apa itu teori. Dan disini tidak perlu berdebat mengenai definisi teori yang benar. Teori di dalam ilmu sejarah seringkali disebut “kerangka referensi”, “skema referensi”, “personal equation” atau “presuposisi”. Maksud dari istilah-istilah tadi adalah suatu perangkat metode atau aturan yang memandu sejarawan saat meneliti. Mulai dari pencarian sumber, analisis sumber serta evaluasi hasil penemuannya.[3] Teori sendiri pada dasarnya merupakan sebuah perangkat proposisi yang menerangkan, mempunyai hubungan kausal. Konsep-konsep saling berhubungan dengan cara-cara tertentu atau kerangka konseptual.[4] Istilah kerangka konseptual diperkenalkan oleh sejarawan Amerika, Robert F. Berkhofer, Jr.
            Disamping itu ada satu definisi lagi mengenai apa itu teori. Menurut Christian Lloyd, teori adalah bahasan mengenai penyusunan konsep-konsep dan model-model dan pembuatan eksplanasi-eksplanasi umum tetapi rinci mengenai tipe-tipe peristiwa dan proses-proses tertentu yang dapat digunakan untuk menjelaskan sebab-sebab dan peristiwa-peristiwa dan proses-proses sebenarnya (Lloyd, 1986 : ix).[5]
            Tampaknya, teori merupakan sebuah hal yang penting dalam sejarah. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa yang namanya metodologi itu memerlukan sebuah teori dan konsep. Teori dan konsep hanya digunakan sebagai alat analisis dan sintesis sejarah. Teori akan membuat pekerjaan kita menjadi lebih terarah. Namun perlu diingat, bahwa sejarah itu ilmu berdasarkan empiris. Teori memang penting, namun teori itu sekedar membantu mengatur fakta.[6] Jadi, mungkin dapat juga dikatakan bahwa teori itu berada didalam sebuah metodologi.
            Agaknya kita perlu mengetahui mengenai tiga konsep besar yang ada dalam sejarah. Yaitu, sejarah common sense, sejarah ilmiah dan sejarah filosofis. Masing-masing dari tiga konsep sejarah diatas, pada dasarnya sudah mempunyai teori sendiri-sendiri. Teori-teori yang ada dalam masing-masing konsep tersebut berkembang dengan sendirinya.
            Mungkin sedikit susah untuk mencari teori di dalam konsep sejarah common sense. Karena perkembangan sejarah common sense sudah ada sejak zamannya Herodotus dan Thucydides. Namun dalam penulisan sejarah common sense selalu dipenuhi dengan unsur seni dan sastra. Hal tersebut ada di zaman Yunani Kuno serta Romawi Kuno. Sejarah common sense cenderung subjektif dan melibatkan intuisi semata.[7]
            Sedangkan sejarah ilmiah dipelopori oleh Ranke. Bersama dengan J. Burry dan Thomas Buckel, mereka memegang teguh aliran positivisme. Begitu juga dengan penerusnya seperti von Humbolt, Auguste Comte, Lord Acton dll. Lalu mengenai sejarah filosofis. Konsep sejarah satu ini cenderung melampaui asas empiris, mereka malah melompat sampai metafisika. Mereka mempunyai pendekatan untuk mencari arti atau makna sejarah. Sejarah filosofis sering disebut sebagai sejarah metafisis atau metahistory. Namun biarun seperti itu, mereka tidak mengabaikan pentingnya fakta.[8]
           
           


[1] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2005), hlm. 63.

[2] Ibid.

[3] Social Science Research Council (SSRC), The Social Sciences in Historical Study, A Report of the Committee on Historiography, 1954, hlm. 26. Social Science Research Council (SSRC), Theory an Practice in Historical Study : A Report of the Committee Historiography, 1946, hlm. 125., dalam Teuku Ibrahim Alfian, “Konsep dan Teori dalam Disiplin Sejarah”, Basis, Oktober 1992, hlm. 362.
Penjelasan oleh Ibrahim Alfian mengenai hal tersebut juga terdapat dalam buku Dari Babad, Hikayat sampai Sejarah Kritis.

[4] The Social Sciences in Historical Study, A Report of the Committee on Historiography, (1954), hlm. 26 dalam Teuku Ibrahim Alfian, “Konsep dan Teori dalam Disiplin Sejarah”, Basis, Oktober 1992, hlm. 365.

[5] Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah. (Yogyakarta : Ombak, 2007), hlm. 18.

[6] Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. (Jakarta : Gramedia, 1993), hlm. 5-6.

[7] Mestika Zed, “Beberapa Catatan Tentang Epistemologi Sejarah” dalam Taufik Abdullah et.al, Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta : Dipersembahkan kepada Teuku Ibrahim Alfian (Jakarta : MSI, 2002), hlm. 57.

[8]  Ibid., hlm. 58-59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar