"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Minggu, 12 Februari 2012

CITRA PEREMPUAN DALAM LAYAR DAN KELIR

    Representasi kaum perempuan dewasa ini memang menjadi isu-isu menarik untuk dijadikan bahan ”jualan”. Perempuan bisa ”dijual” untuk konsumsi publik, entah mutunya berkualitas atau rendahan. Isu-isu soal perempuan bisa dimanfaatkan dalam beragam cara, sebagai tema tentunya. Entah ditunjukkan lewat film, karya sastra, teater, iklan dll. Akan ada unsur penciptaan realitas dari gambaran yang ditunjukkan. Disini ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan, yaitu penciptaan realitas perempuan Indonesia dalam film dan pewayangan.
    Ada satu film yang ingin saya ulas disini. Film-film tersebut antara lain Minggu Pagi di Victoria Park. Film tadi berbicara mengenai kehidupan TKW di Hongkong. Dimana ada tokoh Mayang yang disuruh mencari adiknya, Sekar yang bekerja menjadi TKW di Hongkong. Mayang dulunya bekerja sebagai buruh di pabrik gula. Namun ia disuruh oleh ayahnya untuk pergi ke Hongkong mencari adiknya. Kondisi keuangan keluarga semakin memburuk, padahal semenjak kepergian Sekar menjadi TKW, kehidupan keluarganya menjadi maju. Akan tetapi makin lama kiriman uang Sekar semakin sedikit, bahkan tidak lagi mengirim uang. Akhirnya Mayang pergi ke Hongkong mencari adiknya, sekaligus menjadi TKW.
    Sebuah gambaran realitas perempuan Indonesia sesungguhnya ingin diperlihatkan oleh film tersebut. Perempuan yang identik dengan kekalahan dari laki-laki, poligami, lemah, feminim, modis dll. Saya kira film tersebut sangat menyentuh, ada kritik tajam serta pesan kepada kita. Perempuan digambarkan sangat lemah, namun ada juga yang pejuang. Mereka kalah dari hegemoni laki-laki demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Mereka mudah tergiur akan gaya atau style. Namun bukan berarti citra-citra diatas cenderung memojokkan kaum perempuan. Akan tetapi itu semua adalah realita, dan terkadang kita tidak peduli dengan itu semua.
    Film Minggu Pagi di Victoria Park menunjukkan kepada kita bagaimana perjuangan serta kisah hidup TKW-TKW di Hongkong. Uniknya film tersebut tidak menampilkan penyiksaan TKW-TKW oleh majikannya. Seperti yang sering kita dengar kalau berbicara soal TKW. Itulah keunggulan dari film Minggu Pagi di Victoria Park. Kaya imajinasi yang berdasar realitas, mengingat produksi film kita cenderung miskin imajinasi. Kalau sudah membahas perempuan pasti akan menonjolkan sisi pornografi. Tontonan yang menyesatkan, kita dapat melihat berbagai film-film aneh muncul di layar lebar saat ini. Terutama film-film parodi “paha wanita”, film tersebut memang menghibur namun apa nilai akademisnya?
    Film Minggu Pagi di Victoria Park yang digagas oleh Lola Amaria tersebut menampilkan sisi-sisi yang humanis serta manusiawi. Ada sebuah adegan dimana seorang tokoh bernama Yati bunuh diri gara-gara terjerat hutang di tukang kredit. TKW tersebut terjebak hutang hanya karena sekedar persoalan cinta. Tokoh Mayang sendiri juga terjebak hutang. Sebenarnya ia tidak sukses menjadi TKW, uang yang dikirimkan kepada keluarganya berasal dari pinjaman di lembaga legal yang meminjamkan super kredit. Keadaan yang terjepit menjadikan dia berpikir untuk menjual diri. Dimana ada tanggungan hidup dirinya sendiri, ditambah beban menghidupi keluarganya di kampung. Disamping itu ada pula sisi-sisi satir, norak namun menggelikan. Penggambaran TKW-TKW yang cenderung ndeso dan sok bergaya, intinya mereka ingin menjadi anak gaul. Menjadi gaul dengan lagu-lagu Kangen Band.
    Mungkin paparan diatas hanyalah gambaran dari apa yang ditampilkan oleh Minggu Pagi di Victoria Park. Sekarang coba kita mendiskusikan wayang, terutama tokoh-tokoh perempuan. Ada tiga tokoh yang ingin saya sampaikan, dan itu semua ada hubungannya dengan lelananging jagad, yaitu Arjuna. Ketiga tokoh tersebut adalah Sembadra, Srikandhi dan Banowati. Kenapa dengan tiga tokoh tersebut?
    Ketiga tokoh diatas sama-sama tergoda dengan ketampanan Arjuna. Hanya saja Banowati lebih agresif dan centil ketimbang dua tokoh yang lain. Sembadra merupakan sosok yang digambarkan sangat cantik namun manja. Ia lebih nrimo ketimbang Srikandhi. Kecantikan Sembadra sering digambarkan mampu membius lelaki manapun. Berbeda dengan Srikandhi, sosok tersebut tidak feminim namun cenderung maskulin. Ia adalah simbol dari perempuan pejuang atau pendekar. Srikandhi gemar bermain jemparing alias memanah. Ditambah sosoknya yang mbranyak atau galak, overprotektif, cerewet. Sedang Sembadra memang sangat feminim, gemar merawat tubuh, ia cerminan dari sosok ibu rumah tangga.
    Sedang kasus dari Banowati sendiri sangat unik. Banowati, putri Prabu Salya tersebut konon kecantikannya alami tanpa make up. Banowati diceritakan menjadi selingkuhan Arjuna. Bahkan disaat lakon Kartawiyoga (kalau tidak salah) ia malah berkasih-kasihan dengan Banowati. Padahal ia bersama Kakrasana (Baladewa) ditugaskan mencari dewi Erawati yang diculik Kartawiyoga. Dewi Erawati adalah kakak dari Banowati. Sontak hal tersebut membuat marah Kakrasana. Dalam cerita-cerita Mahabharata, Banowati adalah istri Prabu Duryudana. Namun didalam hati kecilnya ia masih mencintai Arjuna. Percintaan mereka diresmikan sesudah perang Bharatayuda selesai. Namun sayangnya hanya berjalan sekejap, karena sesudah itu Banowati dibunuh oleh Aswatama.
    Menarik karena ada tafsir bahwa sebelum menikah dengan Duryudana, Banowati sudah “bercinta” lebih dahulu dengan Arjuna. Sosok Banowati menjadi cerminan bahwa perempuan itu memang ada sifat centil. Namun kecentilan Banowati justru menggambarkan sebuah kisah cinta sejati sesungguhnya. Ia rela menikah dengan Duryudana demi rasa bakti kepada kedua orangtuanya.
    Ketiga tokoh diatas mempunyai rasa setia yang tinggi. Citra-citra yang terbentuk dari masing-masing sosok. Wanita tidak selamanya lemah lembut seperti Sembadra. Namun ada juga sosok pejuang, pekerja keras seperti Srikandhi. Sedang Banowati menggambarkan bagaimana sebuah cinta tidak dapat dipaksakan begitu saja. Masih banyak citra-citra yang lain, butuh diskusi panjang untuk menjelaskan sisi-sisi menarik dari tokoh perempuan di pewayangan. Karena masih banyak tokoh-tokoh lain semacam Kunthi yang keibuan, Gendari yang cenderung penuh amarah dan kedengkian, Siti Sundari yang tidak ingin dikhianati, Utari yang hati-hati, Drupadi yang penuh kerelaan, Arimbi yang diplomatis, serta Setyawati dan Surtikanti yang setia kepada suaminya sampai berani bunuh diri karena kematian suaminya.
    Saya kira ada sebuah pesan bahwa perempuan itu memang patut kita hargai, bukan dipermainkan atau dimanfaatkan. Film serta pagelaran wayang memberikan suguhan menarik menampilkan realita, agar berbentuk suatu image atau penciptaan gambar. Tetap menghibur namun cerdas dan kaya nilai-nilai teknik serta artistik. Hidup di dunia ini tidak ada yang mutlak penuh kebaikan. Tetap ada sisi hitam dan putih. Perempuan tetaplah perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar