"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Minggu, 28 Agustus 2011

DUALISME EKONOMI DI INDONESIA

Perkembangan ekonomi yang terjadi saat Belanda menduduki Indonesia ternyata memakai model-model yang berbeda. Baik pada masa VOC ataupun kolonial. Sistem yang diterapkan pada dasarnya berusaha memakai model konsep ekonomi barat. Apabila sepenuhnya sistem dari barat diterapkan pada perekonomian saat itu ternyata tidak relevan. Masyarakat pribumi pada umunya masih memakai konsep ekonomi tradisional. Sistem ekonomi barat dapat merusak struktur sosial yang sudah ada.
            Kapitalisme dalam ekonomi merupakan sebuah model yang lebih maju ketimbang sistem ekonomi tradisional. Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang dinamis, sedang ekonomi tradisional cenderung statis. Kapitalisme memakai modal-modal yang dimiliki oleh swasta. Sedangkan ekonomi tradisional masih mementingkan asas kekeluargaan atau kebersamaan. Masing-masing, baik ekonomi kapitalisme dan tradisional tidak dapat berkembang bersama. Mereka berdiri sendiri-sendiri saat proses perekonomian berjalan. Model perekonomian yang seperti itu dikenal sebagai ekonomi dualistis. Dan dalam sistem tradisional, relasi yang digunakan dengan prinsip sosial dan kultural.
            Geertz, dalam bukunya Involusi Pertanian membagi tahap-tahap proses perekonomian yang dipakai Belanda saat menguasai Indonesia dalam tiga periode. Yaitu, (a). Masa VOC (abad 17-18), (b). Sistem Tanam Paksa (1830-1870), (c). Sistem Perkebunan Swasta (1870-1941). Dari tiga periode tadi sistem Tanam Paksa adalah masa dimana pola ekonomi dualistis mulai maju dan munculnya involusi. Lalu ekonomi dualistis dan involusi maju dengan pesat terjadi pada masa Perkebunan Swasta. [1]
            Pada masa itulah menurut Geertz, sektor ekspor dan impor dalam kondisi yang tidak seimbang. Sistem ekonomi tradisional yang mengandalkan pertanian kolonial dipaksa untuk mengikuti sektor ekspor yang sedang berkembang didunia dengan pola ekologi. Itu merupakan ciri tetap perekoniman kita saat dikuasai Belanda antara 1619-1942. [2] Pada kurun waktu 1619-1942, Belanda mengembangkan produk pertanian agar bisa dijual ke pasar dunia tanpa mengubah struktur ekonomi tradisional milik pribumi. Itu merupakan sistem yang diterapkan agar tanaman Indonesia yang cocok dengan pasaran dunia dapat menghasilkan keuntungan bagi pemerintahan. Sedang masyarakat pribumi dengan ekonomi tradisionalnya berada dalam posisi stagnan. Itulah dualisme ekonomi.[3]
            Kemungkinan, pada prinsipnya memang sengaja diterapkan model-model tersebut agar keuntungan yang diperoleh dapat dimiliki oleh orang-orang yang berada dibalik ekonomi kapitalis. Mereka sengaja menciptakan kondisi dualisme ekonomi. Masalahnya, memang kapitalisme saat itu tidak relevan didalam strukur sosial masyarakat pribumi.
            Indonesia dengan daerah alamnya yang tropis, menurut Boeke dengan dualisme ekonominya serta Furnivall dengan plural ekonomi menyatakan bahwa pembauran antara masyarakat Eropa dengan pribumi tidak bisa terjadi. Bagaikan air dan minyak.[4] Perubahan-perubahan drastis dilakukan oleh pemerintah kolonial demi meningkatkan hasil pertanian, yang pada saat itu berbeda dengan tanaman-tanaman masa Tanam Paksa. Bisa dikatakan bukan pertanian, melainkan perkebunan. Perubahan tadi banyak terjadi di Jawa. Contohnya, Jawa Barat menghasilkan kina, teh , karet. Lalu Jawa Tengah dengan kopi, tembakau dan tebu. Sedang Jawa Timur memproduksi tebu dan kopi. Tanaman-tanaman yang dihasilkan tiga daerah tadi merupakan tanaman ekspor baru. Mereka menggeser posisi tanaman sawah, seperti padi atau palawija. Model tanaman sektor ekspor tadi membuat tanaman sektor domestik menjadi anjlok. Model perkebunan baru atau tanaman sektor ekspor adalah investasi bagi asing.[5] Seperti yang sudah disampaikan diatas, bahwa ekonomi kapital mengandalkan modal yang diperoleh dari swasta. Dan yang dimaksud dengan swasta kebanyakan adalah penduduk asing.
            Perubahan dari pertanian menjadi perkebunan mungkin membuat kaget masyrakat Jawa. Adapun pernyataan Geertz dengan kondisi baru tadi menghasilkan beberapa gejala tersendiri. Pertama, sifat “pasca tradisional” dari struktur sosial di desa-desa. Kedua, sistem kepemilikan tanah menjadi semakin kuat. Ketiga, pengembangan palawija. Keempat, shared poverty menjadi semakin parah dalam pembagian kesempatan kerja serta pendapatan. Dan kondisi tadi bukan menghasilkan golongan kaya atau miskin. Namun golongan cukupan dan golongan kekurangan.[6]
            Struktur ekonomi milik pribumi memang tidak diubah. Namun sektor ekspor dan sektor domestik menjadi berkembang sendiri. Sektor ekspor diwakili oleh kapitalisme administratif. Mereka mengatur harga penjualan dan upah bagi tanam ekspor baru tadi serta mengontrol pengeluaran dan proses produksi. Sedangkan sektor domestik diwakili pertanian keluarga. Industri rumah kecil-kecilan dan perdagangan. Kondisi itu menyebabkan ketimpangan. Saat ekspor tanaman baru sedang berkembang dan harga barang dagang dunia naik, mengakibatkan sektor domestik menurun. Masyarakat pribumi yang menjadi petani beserta tanahnya harus mengolah tebu, nila, kopi dan tembakau. Bukan padi atau palawija. Sebaliknya, disaat sektor domestik yang meningkat, petani berusaha mengintensifkan tanaman subsistensi seperti padi, palawija dll yang notabene makanan pokok mereka.[7]
            Sebenarnya analisa Geertz dalam bukunya Involusi Pertanian dibantah oleh Collier dalam bukunya Agricultural Evolution in Java: The Decline of Shared Poverty and Involution. Menurut Collier, apa yang diteliti oleh Geertz mengabaikan kelas yang ada antara golongan pemilik tanah dan golongan tidak bertanah. Geertz tidak menganalisis kondisi sesungguhnya. Lalu beberapa perkembangan yang mutakhir menunjukkan pertentangan antara analisa Geertz mengenai involusi pertanian dengan bertambahnya penduduk dan pemakaian tenaga yang lebih banyak atas tanah-tanah.[8]
            Pada saat Tanam Paksa dihapuskan di tahun 1870. Kita tahu jika perkebunan yang menjadi komoditas ekspor dikembangkan, terutama tebu yang menghasilkan gula. Pengelola tanah perkebunan tadi diserahkan kepada Binnenlandsch Bestuur dan pangreh praja. Tapi setelah itu perkebunan tadi diserahkan kepada swasta atau pihak non pemerintah, tidak lagi dikelola pemerintah kolonial. Tapi gula tadi menjadi permasalahan bagi penduduk Jawa. Karena lahan persawahan makin kecil, tergusur oleh lahan tebu. Sistem tradisional yang cenderung feodal kalah dengan sistem yang baru.
            Sistem pertanian/persawahan pada dasarnya memanfaatkan pajak tanah(hak upeti raja) dan tenaga kerja. Lahan sawah tadi harus diserahkan untuk ditanami perkebunan gula. Otomatis tenaga kerja juga harus diserahkan. Perkebunan tebu memang cocok pada lahan sawah dan membutuhkan irigasi.[9] Pemodal swasta dapat berkembang saat itu karena “kerjasama” dengan pemerintah kolonial dalam hal tanah atau tenaga kerja. Taktik yang dipakai sengaja untuk mematikan kondisi petani pribumi supaya dalam posisi statis dan membuat tanah persawahannya makin sempit.
            Kehidupan petani pribumi kala itu sangat menjunjung tinggi kebersamaan. Namun karena kondisi baru yang ada memaksa mereka untuk merubah hidup. Dikenalnya ekonomi uang dan kepemilikan tanah makin sempit. Perubahan sosial perlahan-perlahan terjadi. Faktor yang mempengaruhinya adalah kondisi demografi serta kebijakan pemerintah.[10] Petani pribumi saat itu memang terikat kontrak dengan pengusaha perkebunan swasta. Biarpun petani mempunyai hak yang kuat atas tanah mereka. Kontrak adalah ciri-ciri dari sistem ekonomi kapital. Hal itu dilakukan oleh pemerintah kolonial demi kepentingan negara induk agar mendapatkan barang dagangan orientasi pasar dunia, seperti gula, karet, tembakau dll.[11]
            Jadi semenjak adanya sistem perkebuna yang dikuasai oleh swasta, kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan lama-lama berubah. Tapi bukan berarti merteka menjadi kapitalistik. Namun mereka mulai mengerti pasar serta lalu lintas keuangan, intinya mendapatkan alat-alat penukaran dualistis.[12] Kondisi ekonomi dualistis dengan dua sistem ekonomi yang berbeda memang tidak bisa menyatu. Sistem ekonomi tradisional yang cenderung komunal, lingkup spasialnya pada rumah tangga serta masih menggunakan kerajinan tangan, hubungannya patriarkal (buruh dan majikan). Mereka harus berdampingan dengan sistem ekonomi kapital yang individualisme, ruang lingkupnya perusahaan dan memakai teknologi mesin, hubungannya kerja dengan sistem kontrak. Kondisi dua sistem adalah pedesaan milik tradisonal, sedang perkotaan adalah kapitalisme.[13]
Ekonomi dualistik yang diterapkan oleh pemerintah kolonial pada dasarnya untuk menekan agar masyarakat pribumi terus bertahan dengan ekonomi tradisionalnya. Pemerintahan Kolonial bekerjasama dengan swasta asing. Dan disini para swasta punya modal yang cukup untuk menyogok pemerintah agar tanah milik para petani dapat dipakai demi lahan perkebunan. Pengusaha swasta asing kebanyakan para orang Cina, Timur Asing dan bangsa Eropa. Namun ternyata bukan mereka saja, para raja Jawa juga ikut menjadi pemodal. Investasi yang mereka tanamkan pada perkebunan membawa dampak yang besar bagi pemerintah kolonial. Kondisi seperti itu mengakibatkan lahan pertanian menjadi semakin berkurang. Namun adaptasi dari pribumi lokal dengan sistem tadi secara perlahan-lahan. Sistem ekonomi tradisional susah untuk menyatu dengan sistem ekonomi kapitalis. Sistem kapitalis membawa dampak yang besar karena menghasilkan keuntungan yang menggiurkan bagi pihak-pihak lokal ataupun asing.

Daftar Pustaka :
Boeke, J.H. dan D.H. Burger, Ekonomi Dualistis: Dialog Antara Boeke dan Burger. Jakarta: Bhratara, 1973.

Geertz, Clifford., Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983.

Lombard, Denys., Nusa Jawa I: Batas-Batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia, 2008.
Nagazumi,Akira., Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial-ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986.

Ong Hok Ham, Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong. Jakarta: Kompas, 2002.
Soegijanto Padmo, Bunga Rampai Sejarah Sosial-Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, 2004.
           


 Catatan Kaki
[1] Akira Nagazumi, Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial-ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 15-16.
[2] Ibid., hlm. 15.

[3] Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983), hlm. 49-50.

[4] Denys Lombard, Nusa Jawa I: Batas-Batas Pembaratan. (Jakarta: Gramedia, 2008), hlm. 220.

[5] Ibid., hlm. 53.
[6] Akira Nagazumi, Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial-ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 19.

[7] Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983), hlm. 50.
[8] op.cit., hlm. 22.

[9] Ong Hok Ham, Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong. (Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 66.

[10] Soegijanto Padmo, Bunga Rampai Sejarah Sosial-Ekonomi Indonesia. (Yogyakarta: Aditya Media, 2004), hlm. 52.
[11] Ibid., hlm. 52-53.

[12] J.H. Boeke dan D.H. Burger, Ekonomi Dualistis: Dialog Antara Boeke dan Burger. (Jakarta: Bhratara, 1973), hlm. 79.

[13] Ibid., hlm. 82-83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar