"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Minggu, 28 Agustus 2011

Beberapa Keseharian Masyarakat Eropa Pada Masa Kolonial Sebuah Kajian Sejarah Kuliner di Hindia Belanda( akhir 1800an – 1930an)

A. Pendahuluan
            Bagi masyarakat asing yang tiba di Hindia Belanda[1], menghuni sebuah wilayah baru pasti memerlukan sebuah adaptasi. Menilik keseharian masyarakat Eropa di negeri nan tropis ini, dapat dipastikan mereka menemukan sebuah kondisi berbanding terbalik dengan daerah asalnya.
            Aktivitas sehari-hari mereka pasti berbau unsur-unsur kebarat-baratan. Namun tidak memungkiri juga, masyarakat Eropa mengonsumsi produk-produk asli Hindia Belanda. Salah satu bentuk kebiasaan masyarakat Eropa saat itu adalah makan. Kegiatan mereka dalam hal mengisi perut sangat menarik untuk dibahas. Bukan hanya mengenai kuliner saja, tetapi akan diisi juga dengan minuman-minuman kegemaran masyarakat Eropa.
            Ada catatan penting yang harus  kita perhatikan sebelum membahas tradisi kuliner masyarakat Eropa. Yaitu mengenai pertumbuhan masyarakat/penduduk asing di Hindia Belanda. Awal abad XIX, ada perkiraan terdapat sekitar 4.000 orang Eropa, 100.000 orang China dan beberapa masyarakat Arab di Jawa dan Madura.[2] Akan tetapi jumlah tadi dianggap kurang valid.
            Pada abad 19, banyak masyarakat asing yang mulai menetap di Hindia Belanda. Mereka mulai tinggal dan membentuk keluarga. Perlu kita bedakan, antara masyarakat Eropa pendatang dengan masyarakat Eropa yang lahir di Hindia Belanda. Begitu juga dengan masyarakat kelompok Indis/Indo.[3]
Perhatikan dua tabel dibawah ini.
Tabel 1. Pertumbuhan Penduduk Asing di Hindia Belanda (1860-1930)[4]
Jumlah pada tahun
Eropa
China
Arab
1860
43.876
221.438
8.909
1880
59.903
343.793
16.025
1900
91.142
537.316
27.399
1905
94.518
563.449
29.588
1920
168.114
809.039
44.902
1930
240.417
1.233.214
71.335
Rata Pertumbuhan tiap tahun dalam persen
Dalam Masa
1860-1880
1,6 %
2,2%
3%
1880-1900
2,1%
2,3%
2,7%
1900-1920
3,1%
2,1%
2,5%
1920-1930
3,6%
4,3%
4,7%
Sumber : Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (eds.), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 32.

Tabel 2. Jumlah Wanita Asing Setiap 1.000 Pria
Tahun
Eropa
China
Arab
1860
-
590
809
1880
481
620
830
1900
636
548
857
1905
672
526
890
1920
800
563
865
1930
884
646
841
Sumber : Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (eds.), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 33.

Pada tabel pertama, dapat kita simpulkan bahwa dari tahun ke tahun pertambahan penduduk asing semakin banyak. Pesatnya pertumbuhan masyarakat asing dipengaruhi oleh faktor imigran menetap di Hindia Belanda.
            Tabel kedua, memperkuat argumen besarnya kelompok inti para penetap tadi. Karena bertambahnya jumlah wanita dalam kelompok asing. Sejak tahun 1900, imigran wanita Eropa meningkat pesat. Sedangkan peningkatan imigrasi wanita China ke Hindia Belanda terjadi sejak tahun 1920. Namun pertambahannya tidak terlalu signifikan. Berbeda dengan wanita Arab dan India yang jarang berimigrasi.[5]
                Di tahun 1930, jumlah masyarakat Eropa kelahiran Hindia Belanda lebih besar dibanding Eropa Totok. Jumlah masyarakat Eropa Totok sekitar 30% dari total masyarakat Eropa yang ada. Namun untuk jumlah pria Eropa Totok dengan pria kelahiran Hindia Belanda terbagi secara seimbang. Sensus di tahun 1930 menyimpulkan bahwa sekitar 50% masyarakat Eropa dianggap sebagai penduduk tetap (blijver).[6]
            Mengingat begitu banyak jumlah penduduk asing di Hindia Belanda, otomatis menyebabkan adanya akulturasi dalam kuliner masa itu. Status sosial lebih tinggi yang disandang oleh masyarakat Eropa akan menyebabkan adanya diferensiasi yang tajam dalam konteks kuliner tadi. Disamping itu, impor produk barat akan membanjiri Hindia Belanda karena kebutuhan konsumsi masyarakat Eropa tadi.

B. “Diskriminasi” Soal Kuliner antara Golongan Eropa dan Pribumi
            Seperti yang sudah umum kita ketahui, bahwa strata paling tinggi pada masa kolonial adalah masyarakat Eropa. Nomor dua dipegang oleh golongan Timur Asing. Sedangkan pribumi berada di posisi paling bawah. Setidaknya anggapan itu masih dipercayai sampai sekarang. Bahkan tercipta hierarki tersendiri dalam golongan Eropa.
            Kalangan Eropa Totok tua yang menempati jabatan lebih tinggi merupakan golongan nomor satu dari seluruh populasi Eropa. Rata-rata dari mereka bekerja sebagai pegawai negeri, tentara dan direktur perusahaan. Sedangkan Eropa Totok muda serta Indo Eropa berada di tengah-tengah. Golongan paling rendah adalah Indo Eropa yang pekerjaannya sebagai juru tulis di perusahaan-perusahaan atau pemerintah kolonial.[7]
            Kasus diskriminasi antara penduduk Eropa dengan pribumi juga terjadi. Salah satu buktinya adalah larangan dari orangtua anak-anak Eropa Totok untuk bermain dengan pribumi. Kisaran tahun 1920an dan 1930an, ibu-ibu Eropa Totok muda yang modern mulai mendidik sendiri anak-anaknya. Dengan bantuan materi-materi Montessori yang dibawa dari Eropa. Ada aturan bahkan larangan untuk berbicara dengan pembantu mereka. Ada juga seorang anak Indo Eropa kelas atas diperingatkan bahwa kontak dengan pribumi tidak bisa ditolerir.[8]
            Lalu, bagaimana kasus diskriminasi yang terjadi dalam kuliner?. Persoalan tadi terjawab dengan adanya tradisi rijsttafel.[9] Permasalahan rasial seakan-akan tercipta dalam kasus rijsttafel. Sebelumnya, akan disampaikan lebih dahulu mengenai apa itu rijsttafel.
            Ada sebuah kejadian menarik yang menimpa Desire Charnay, seorang Prancis yang berkunjung ke Jawa karena diutus oleh Kementerian Pendidikan Hindia Belanda (1878-1879). Begitu sampai di hotel, ia merasa jijik dengan hidangan yang disajikan. Hidangan tersebut berisi nasi, sayur kari, telur dadar, ikan asin, ikan rebus, daging ayam, daging kambing, bistik. Hidangan itu masih dihiasi dengan ketimun dan atasnya diberi sambal serta empat atau lima jenis acar.[10]
            Hidangan yang disajikan hotel tadi kepada Desire Charnay sesungguhnya merupakan jenis makanan mewah saat itu. Karena makanan tadi hanya dapat dinikmati oleh kalangan atas saja. Sajian yang “dinikmati” oleh Desire Charnay tadi, sejatinya termasuk kategori tradisi rijsttafel. Sebuah hidangan yang menjadi menu utama bagi warga Belanda dan juga disetiap hotel mewah.
            Beberapa kejadian lain juga dirasakan oleh Augusta de Wit. Augusta de Wit[11] adalah seorang wisatawan yang berkunjung di Hindia Belanda pada akhir abad 1890an. Pengalamannya mengenai rijsttafel ia ungkapkan dalam buku Java :Feiten en Fantasieën (1905). Pertama, ia menyatakan bahwa hidangan rijsttafel tidak disajikan di ruang makan, melainkan di bagian belakang hotel. Kedua, kostum para pelayan/djongos (pribumi) yang mengantarkan makanan. Para pelayan tadi memakai sarung dan ikat kepala serta pakaian semi Eropa. Anehnya pelayan tadi mondar-mandir mengantarkan makanan dengan kaki telanjang.[12]
            Coba perhatiakan, sajian rijsttafel selalu dibubuhi dengan sambal. Sebuah kejadian lucu menimpa Augusta de Wit. Saat pertama kali dirinya mencicipi sambal,  bibirnya langsung gemetar kepedasan. Karena saking pedasnya, ia merasakan panas dilehernya. Sehingga harus diguyur air untuk menenangkan “kebakaran” dilehernya. Sampai-sampai air mata Augusta de Wit bercucuran. Oleh seorang pengunjung, dirinya disarankan agar menaruh sedikit garam di lidah. Ia pun bersyukur, karena rasa pedasnya sudah hilang. Ia bersumpah tidak akan mencicipi rijsttafel lagi. Akan tetapi, Augusta de Wit malah ketagihan menikmati hidangan pedas tadi.[13]
            Dalam tulisannya mengenai sejarah kolonial, Onghokham menjelaskan bahwa orang Belanda lebih memilih rijstaffel disajikan dalam kondisi panas, padahal orang Jawa lebih senang makan apabila nasinya sudah dingin atau hangat. Kenikmatan rijstaffel semakin memuncak dengan tambahan menegak bir. Masyarakat Belanda memang gemar meminum bir. Selain bir, mereka juga meminta agar dalam penyajian rijsttafel ditemani hidangan berupa pisang goreng.[14]
            Pernyataan, tadi dikuatkan oleh pengalaman Justus van Maurik. Wisatawan serta pengusahan cerutu asal Belanda. Pengalamannya mengenai kuliner Hindia Belanda, diungkapkannya dalam buku Indrukken van een totok (1897). Dalam buku tadi, Maurik senantiasa teringat hotel-hotel di Hindia Belanda. Ia teringat pada kopi dan pisang yang lezat serta ‘harum’ buah nanas dan terasi.[15]
            Keharusan para koki untuk mampu memasak hidangan ala Eropa dan Indonesia dikalangan keluarga-keluarga kaya menjadi faktor penting adanya rijstaffel. Rijstaffel menjadi menu wajib dan termahsyur di abad 19, terutama di kalangan para bangsawan Eropa, khususnya orang-orangnya Belanda.[16]
            Kasus-kasus pembedaan dalam hal kuliner tidak hanya terjadi dalam meja makan rijstaffel. Terutama pada saat pesta atau perjamuan di hotel-hotel. Kemungkinan sajian rijstaffel di rumah-rumah pada hari minggu hanya sekedar rutinitas layaknya sarapan di pagi hari. Batas-batas mengenai sajian kuliner juga terjadi di hotel prodeo. Peristiwa ini tidak terjadi di hotel-hotel mewah yang dikunjungi orang-orang Eropa nan kaya. Kemewahan cita rasa kuliner juga terjadi dalam penjara.
            Dalam buku Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia (1964) karya R.A Koesnoen, disebutkan perbaikan jatah makanan yang terjadi di tahun 1856 ternyata tidak menimpa tahanan pribumi. Hanya jatah makanan bagi tahanan Eropa saja yang diperbaiki. Sesuai peraturan jatah makanan yang tertuang dalam Statblad 1829 Nomor 73. Sajian makanan untuk tahanan pribumi (termasuk golongan Tionghoa) hanya mendapat nasi dan garam setiap dua hari sekali. Selain itu mereka juga menyantap setengah pon ikan kering atau daging kerbau, sayuran, bawang merah dan sedikit merica. Mengenai menu khusus bagi tahanan berkewarganegaraan Eropa. Setiap pukul enam pagi, mereka menikmati roti serta kopi. Saat makan siang para tahanan Eropa menyantap nasi kentang, sayur, sup, daging, ikan dan kerry. Pukul empat sore, mereka mendapat jatah makanan sesuai hidangan saat makan siang.[17]
            Di tahun 1870-1905, terjadi lagi perubahan jatah makanan bagi tahanan Eropa. Perubahan tadi dilaksanakan sesuai dengan Statblad 1871 Nomor 78. Pada tahun 1877, tahanan Eropa tadi setiap hari mendapat 9,20 pon roti, 0,35 pon nasi, 0,20 pon sayur, 0,003 pon lemak sapi, 0,005 pon kerry, 0,002 pon lombok, 0,02 garam, 0,001 pon lada, 0,015 pon kopi dan 0,004 teh hitam. Dalam enam kali seminggu mereka mendapat 0,20 pon daging sapi dan 0,20 pon kentang. Selain itu masih ditambah lagi dengan jatah 0,15 daging babi, 0,25 pon kapri hijau dan 0,025 ikan cuka dalam sekali seminggu.[18]

C. Beberapa Produk – produk Cita Rasa Barat
            Pada uraian diatas, dapat kita asumsikan rijsttafel beredar dikalangan masyarakat Eropa pada sekitar akhir 1800an. Namun tak bisa disangkal bahwa produk-produk Barat harus dirasakan oleh masyarakat Eropa. Ada sebuah data mengenai impor makanan kaleng. Data tersebut menyatakan bahwa makanan Barat semakin laku di Hindia Belanda. Kemungkinan besar rijsttafel mulai tersingkir dengan “serangan” makanan kaleng dari Eropa. Lihat tabel dibawah ini.

Nilai impor makanan kaleng ke Hindia Belanda (1926-1928) dalam gulden[19]
Jenis
1926
1927
1928
Mentega
7.665
6.937
8.125
Keju
1.125
1.265
1.169
Ikan
22.040
21.379
20.046
Daging
2.995
3.420
3.688
Biskuit
4.692
5.123
4.849
Buah-buahan
4.204
4.083
3.745
Sayuran
6.015
6.669
6.807
Sumber : Handboek of The Netherlands East-Indies 1930, Buitenzorg : Departement of Agriculture, Industry and Commerce, 1930, 323         
            Dari data tersebut, keju mungkin berada diposisi paling rendah. Keju sudah tiba di Hindia Belanda semenjak tahun 1890. Saat itu keju merupakan makanan mewah, makanan para elite. Sewaktu masih muda, Haji Agus Salim diminta untuk tinggal dirumah kepala sekolahnya.[20] Saat berada di rumah kepala sekolah tadi, Agus disuruh makan keju. Agar bahasa Belandanya lancar.[21]
            Selain itu, berdasarkan buku panduan turisme terbitan pemerintah, Gids voor Indië (1938). Tercantum iklan-iklan toko keju di Hindia Belanda. Tujuannya agar wisatawan Belanda mau mengunjungi Hindia Belanda karena akan merasakan suasana dan kondisi mirip negeri Belanda. Salah satu yang ditampilkan adalah iklan toko  Toko Li Liong Hin di Pasar Senen, Batavia-Centrum.[22]
            Lalu produk barat selain keju adalah susu. Di tahun 1906, Pemerintah Hindia Belanda mengimpor beberapa jenis sapi pedaging ke Sumba, Nusa Tenggara Timur. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menetapkan Sumba sebagai pusat pengembangbiakan ternak sapi daging dari jenis O ngole (India). Sekitar tahun ini pula, sapi perah mulai masuk ke Hindia Belanda.[23] Akan tetapi sebelum tahun 1906, berdasarkan catatan Heer Medici. Ia bersama rombongan berkuda dari Batavia plesir ke Bandung. Sesampai di Cianjur, mereka sudah mencicipi segarnya susu Bandung.[24]
            Di tahun 1938, perusahaan susu Bandoengsche Melk Centrale (BMC) yang berada di Bandung mampu menampung 22 usaha pemerahan susu. Dari usaha tersebut omset yang mereka peroleh sekitar 13.000 liter susu per hari. Produksi-produksi susu di Jawa Barat dipegang oleh BMC. Mereka juga memproduksi es krim dan susu coklat.[25]
            Selain susu segar, ada juga susu kaleng yang diproduksi oleh NESTLE’S MELK CO di Batavia-Centrum. Sedangkan di daerah Petamboeran, Palmerah terdapat peternakan sapi tertua dan terbesar, yaitu Melkerij “Petamboeran”.[26]
            Disisi lain, minuman beralkohol banyak didatangkan oleh pemerintah kolonial. Bir diimpor langsung dari luar negeri. Bir-bir tadi disajikan dengan air es atau es batu. Disamping hal tersebut, pemerintah kolonial pertama kali mengenalkan es terhadap kita. Pada tahun 1869, keluarga-keluarga kaya di Batavia gemar meminum air es yang mencair. Air es tersebut didatangkan langsung dari Boston.[27] Bahkan pada pertengahan abad 19, kapal-kapal yang datang dari Amerika Utara membawa berblok-blok es batu ke .[28] Es batu tadi juga dikenal dengan nama aijer batoe. Perkembangan es selanjutnya tidak lagi harus mengimpor. Pengenalan teknologi pembuatan amoniak di Jawa terjadi pada akhir tahun 1880. Teknologi pembuatan amoniak tadi pada awalnya dikuasai bangsa Eropa, namun pengusaha China dengan tanggap meminati usaha pabrik es tersebut.[29]
            Es tadi sangat nikmat apabila dipakai saat meminum bir. Bir diimpor langsung dari luar negeri. Merek bir yang terkenal antara lain seperti, Heineken’s Bier, Haantjes Bier, Pittig Hollandsch Pils, bir pahit cap ayam dari Belanda. Lalu ada juga Koentji Bir yang merek sebenarnya adalah Beck’s Beer, bir buatan Jerman.[30] Disamping itu mereka juga turut serta dalam usaha minuman keras impor jenis brendi dan jenewer.
            Bisnis minuman keras tadi membawa dampak yang besar bagi pemerintah . Disamping itu pemerintah juga membuat sebuah Komisi Pemberantasan Alkohol (Alcoholbes-trijdings-commissie) pada 1918. Komisi ini dipimpin oleh PTA Koesoemo Joedo, seorang bupati Ponorogo. Dan anggotanya terdiri dari inspektur, zending, priyayi, militer dan organisasi sosial. Ternyata tujuan utama dari komisi tersebut untuk memberantas minuman keras lokal seperti, arak, chiu, badeg yang mereka anggap illegal.[31]
            Terakhir adalah produksi air mineral di Hindia Belanda. Dalam Gids voor Indie (1933) terdapat sebuah iklan pabrik air mineral dan limun NOVA di Bandung. Mereka menyediakan limonades Hollandsech smaak, Aer Blanda gelijk Apollonaris, dan Orange Crush.[32]
            Produk air mineral paling terkenal adalah milik H.F. Tillema, ahli farmasi dari Semarang. Tillema merupakan distributor brandy paling besar di Semarang (“ini baik untuk kesehatanmu”). Ia menjadi terkenal karena menjual air mineral botol dengan merk Hygeia. Air Hygeia berasal dari pegunungan di Jawa Timur. Namun, harga air Hygeia terlalu mahal bagi pribumi yang ingin membelinya.[33]
            Di tahun 1909-1910 ia membangun sebuah pabrik baru. Dengan 80 pekerja, pabrik Hygeia mampu memproduksi 10.000 botol Hygeia perhari. Tillema berambisi menguasai Semarang, ia mempromosikan produknya dengan balon udara yang bertuliskan merek Hygeia. Sarana iklan tadi melayang di atas kota Semarang. Minuman Hygeia baik limun bergas dan air mineral sangat populer di seluruh Hindia Belanda. Botol-botol dengan tutup dari porselen berlapis karet berharga 25 sen gulden. Selain itu, dapat juga membeli air Hygeia dengan menukar enam botol kosong ditambah 75 sen. Botol Hygeia pada masa itu disegel dengan sehelai kertas.[34]

D. Kesimpulan
            Berbicara mengenai kuliner memang menarik. Pembahasan terakhir tadi menunjukkan bahwa tradisi rijsttafel lama-lama tergantikan dengan adanya impor-impor makanan kaleng dari Barat. Di tahun 1919, rijsttafel masih menjadi idola orang-orang Eropa saat pagi hari. Begitu juga dengan masyarakat Eropa yang miskin.[35]
            Akan tetapi ditahun 1900, masakan Eropa lebih populer dibandingkan hidangan Hindia Belanda. Disetiap pesta makan malam, hidangan Eropa selalu disajikan.[36] Periode diantara Perang Dunia I dan Perang II, rijsttafel menjadi menu tersendiri di hari minggu. Pada hari-hari lain, hidangan yang disajikan adalah hidangan Eropa. Seperti, ayam dan saus apel, kobis merah, dan sauerkraut menjadi menu para Eropa Totok. Perubahan tadi disebabkan besarnya impor makanan kaleng serta meningkatnya penanaman sayur di daerah dataran tinggi di Jawa, seperti Bandung dan Malang.[37]
            Karena cepatnya perkembangan transportasi, para perempuan Eropa semakin banyak yang datang. Sampai tahun 1930, 113.000 dari 240.000 warga Eropa adalah perempuan. Mereka kesulitan mengontrol atau mengurus rumah tangga. Maka dari itu kebanyakan dari wanita Eropa mulai menggunakan jasa pembantu (pribumi). Sebuah asosiasi untuk ibu rumah tangga berdiri di Batavia pada tahun 1930. Mereka mulai mengajari para pembantu, bagaimana menyiapkan makanan Eropa yang pantas.[38]
            Kedatangan para wanita Eropa tadi menjadi kegelisahan tersendiri bagi pria-pria Eropa. Karena jauh sebelum itu, skandal-skandal seksual sering terjadi antara pria Eropa dengan perempuan pribumi.[39] Akan tetapi, diakhir masa kolonial juga terjadi skandal antara perempuan Eropa dengan pribumi. Batas-batas strata sosial seakan terpisah saat percintaan berlangsung di halaman belakang dan dapur. Hubungan tadi dapat terjadi saat suami sedang bepergian. Uniknya perselingkuhan terjadi para istri terjadi dengan djongos. Perselingkuhan dengan tukang kebun tidak mungkin terjadi karena mereka dilarang masuk ke dalam rumah.[40]
            Mempunyai seorang koki (pribumi)[41] merupakan hal yang sangat istimewa bagi keluarga Eropa. Apalagi koki tadi pandai dalam menyajikan masakan Eropa. Para istri tidak sempat memasak.[42] Mereka tidak kuat memasak didepan tungku arang yang panas. Pekerjaan berat harus diemban para koki karena harus mempersiapkan makanan dengan api arang atau kompor gas di tahun 1920an-1930an.[43]
            Pesatnya makanan kaleng serta munculnya produk-produk berlabel kebarat-baratan seakan-akan mampu mengubah keadaan. Rijsttafel mulai tergantikan, namun munculnya produk-produk berbau barat tadi justru sebagai sarana promosi pariwisata. Akan tetapi jarak antara pribumi dan orang Eropa memang masih terjadi. Antara majikan dan koki tidak diperbolehkan untuk makan dengan piring yang sama. Diskriminasi yang sama dengan kasus kuliner di penjara dan kasus di pesta Rijsttafel.
            Lucunya, djongos-djongos yang menjadi bahan lelucon saat maraknya rijsttafel malah menjadi jaya di masa kolonial akhir. Perselingkuhan dengan nyonya-nyonya Eropa menjadi kajian menarik sebenarnya. Jarak Barat dan Timur seakan terlepas. “Polusi” pribumi tidak dirasakan lagi saat perselingkuhan terjadi. Akan tetapi, belum diketahui juga apakah terjadi sebuah skandal antara koki-koki dengan para nyonya. Nampaknya masalah tadi masih perlu ditelusuri.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU dan JURNAL
Creutzberg, Pieter dan J.T.M. van Laanen (eds.), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1987.

Djoko Marihandono (ed), Titik Balik Historiografi di Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008.

Dorléans, Bernard., Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006.

Lombard, Denys., Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama (cetakan keempat), 2008.

Protschky, Susie., “The Colonial Table : Food, Culture and Dutch Identity in Colonial Indonesia”, dalam Australian Jurnal of Politics and History, Volume 54, Number 3, 2008.

Schulte Nordholt, Henk (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. Leiden: KITLV, 1997.

Vickers, Adrian., A History of Modern Indonesia. New York : Cambridge University Press, 2005.

SURAT KABAR
Andreas Maryoto. “Jejak Kuliner di Hotel Prodeo” Kompas, 17 Desember 2009. hlm. 60.

Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006. hlm. 42.

INTERNET

http://sunjayadi.com/?p=183 (diakses 21 Mei 2010)
http://sunjayadi.com/?p=60 (diakses 21 Mei 2010)
http://sunjayadi.com/?p=59 (diakses 21 Mei 2010)
http://sunjayadi.com/?p=53 (diakses 21 Mei 2010)























           



[1] Dalam makalah ini, penyebutan nama Indonesia atau Nusantara akan ditulis Hindia Belanda. Mengingat konsep pembentukan Indonesia saat itu belum jelas. Namun ada pula sebuah pendapat yang menyatakan bahwa kita layak menyebut nama Indonesia, biarpun kita menulis sejarah pada masa VOC atau masa kolonial. Karena pada dasarnya semua itu saling berkesinambungan.

[2] Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (eds.), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 34.

[3] Penyebutan untuk masyarakat Eropa pendatang akan disebut Eropa Totok. Untuk membedakan dengan penduduk Eropa yang lahir di Hindia Belanda. Maksud dari penduduk Eropa yang lahir di Hindia Belanda adalah mereka yang menikah dengan sesama bangsanya. Bukan sebuah keluarga campuran antara Eropa dengan pribumi, China ataupun Arab.

[4] Ibid., hlm. 32. Data statistik dalam buku tersebut diambil dari Volkstelling 1930, bagian VIII, hlm. 8 – 12, Batavia, 1930.

[5] Ibid., hlm. 35.

[6] Volkstelling 1930, bagian VI, hlm. 21, Batavia, 1933 dan Volkstelling 1930, bagian VIII, hlm. 3, Batavia, 1936 dalam Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food: European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 153-154.

[7] Henk van Dijk, “De Hollandse vrouw in Indië”, dalam Wim Hoogbergen and Marjo de Thije (eds), Vruchtbaar onderzoek : Essays ter ere van Douwe Jongmas. (Utrecht : Instituut voor Culturele Antropologie, Universiteit van Utrecht, 1986) hlm. 55-78 dalam Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food: European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 155.

[8] Elvire Spier, De maan op het water. (Cadier en Keer : 60 plus, 1993), hlm. 120 dalam Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food: European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 157. Anak Indo Eropa tadi termasuk golongan atas (Eropa Totok) karena pernikahan ibunya yang kedua.

[9] Rijsttafel bila diartikan dalam bahasa Inggris berarti rice table. Secara harfiah berarti nasi dalam meja “makan” (?) atau “hidangan nasi”. Rijsttafel adalah sebuah hidangan berisi nasi yang begitu banyak. Lalu dihiasi dengan sayur-mayur, lauk pauk dan sambal. Sangat banyak sajian pendamping dari rijstaffel, namun pada intinya adalah menu atau hidangan makan dengan nasi yang sangat banyak.

[10] Bernard Dorléans, Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 497.

[11] Lebih rincinya, Augusta de Wit merupakan jurnalis perempuan dan juga seorang guru.

[12] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di ”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 33.

[13] http://sunjayadi.com/?p=59, diakses pada Jumat, 21 Mei 2010
[14] Onghokham, The Thugs, the Curtain Thief and the Sugar Lord : Power, Politics, and Culture in Colonial Java. (Jakarta : Metafor, 2003), hlm. 311-314 dalam Susie Protschky, “The Colonial Table : Food, Culture and Dutch Identity in Colonial Indonesia”, Australian Jurnal of Politics and History, Volume 54, Number 3, 2008 hlm. 346-347.

[15] Justus van Maurik, Indrukken van een totok (Amsterdam: van Holkema & Warendorf, 1897), hlm. 110 dalam Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di ”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 30.

[16] Bernard Dorléans, Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 487.

[17] Andreas Maryoto. “Jejak Kuliner di Hotel Prodeo” Kompas, 17 Desember 2009. hlm. 60. Lihat juga dalam artikel kecil “Kuliner dalam Dua Dunia : Rijsttafel dan Menu Penjara” di Bulletin Suryakanta, edisi Maret 2010 hlm. 8-9.

[18] Ibid.

[19] Dikutip dari Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di ”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 37.

[20] Pada saat itu Haji Agus Salim bersekolah di Europeese Lagere School (ELS) Riau. Seorang kepala sekolah memintanya agar tinggal di rumahnya. Menurut kepala sekolah tersebut, Agus Salim kecil sangat pandai. Maka dari itu lingkungan dan makanan Agus Salim harus tepat. Ia membujuk ayah Agus Salim supaya si Agus kecil tinggal di rumahnya. Akhirnya sang ayah memutuskan, agar Agus makan pagi, makan siang dan makan malam di rumah kepala sekolah tadi. Begitu seterusnya.

[21] http://sunjayadi.com/?p=183, diakses pada Jumat, 21 Mei 2010

[22] Ibid.

[23] http://sunjayadi.com/?p=53, diakses pada Jumat, 21 Mei 2010

[24] Ibid

[25] Ibid.

[26] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di ”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 37.

[27] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 322.

[28] Ibid.

[29] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di ”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 36.
[30] Ibid., hlm. 37.

[31] Lihat Kasijanto Sastrodinomo. “Mabuk-mabukkan dalam Sejarah” Kompas, 18 Maret 2006, hlm. 42.

[32] Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di ”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. (Departemen Sejarah UI: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm. 37.

[33] Rudolf Mrázek, “Indonesian dandy : The Politics of Clothes in the Late Colonial Period, 1893-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 121.
[34] http://sunjayadi.com/?p=60, diakses pada Jumat, 21 Mei 2010

[35] Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food : European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 171.

[36] Sanderella Plak, “Van sarong en kabaya naar mantelpak : De rol van Europese vrouwen in Indie van 1900 tot 1942”, MA thesis, University of Amsterdam, 1993, hlm. 71 dalam Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food : European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 171.

[37] Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food : European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 171.

[38] Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia. (New York : Cambridge University Press, 2005), hlm. 29.

[39] Ibid.

[40] Henk Schulte Nordholt, “Introduction”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 16.

[41] Belum diketahui secara jelas dan pasti. Apakah koki-koki tersebut laki-laki atau perempuan. Koki atau juru masak disini adalah koki yang berkembang dan menjadi trend dikalangan wanita Eropa Totok (ibu rumah tangga) pada masa kolonial akhir.

[42] Namun, paling tidak para istri tadi sesekali memasak kue atau hidangan penutup khas Belanda untuk suaminya. Sesuatu yang spesial dan istimewa bagi suaminya.

[43] Elsbeth Locher-Scholten, “Summer Dresses and Canned Food : European Women and Western Lifestyles in the Indies, 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances : Dressing State and Society in Indonesia. (Leiden: KITLV, 1997), hlm. 171.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar