“Apa
yang diinginkan oleh perempuan dari seorang laki – laki ?” lalu seorang suster
menjawab, “Kehangatan, kasih sayang dan cinta..” Kalimat semacam itulah yang
terlontar dari sebuah dialog antara kakek tua dengan seorang suster. Kakek tua
berambut gondrong dan beruban tersebut menceritakan kisah cintanya yang suram.
Sedang si suster terlihat jengkel melayani kakek tua yang begitu rewel.
Gambaran
tersebut saya tonton kemarin malam ketika menyaksikan pentas kelompok Forum
Aktor dengan lakon “Biar Kutulis Untukmu Sebuah Puisi Jelek yang lain”. Lakon
tersebut ditulis Andri Nur Latif. Kalau tidak salah ingat, lakon tadi pernah
dibacakan dalam acara IDRF (Indonesian Dramatic Reading Festival) tahun 2010 di
LIP. Bagi saya, pentas Forum Aktor di Kampus Sanata Dharma semalam cukup
menarik. Mengangkat sebuah cerita realis dengan setting yang minimalis. Cukup
mudah untuk dicerna karena dimainkan dengan begitu segar dan jenaka. Hanya saja
judulnya tidak minimalis sih, hihihi.
Apabila
melihat judulnya, tentu kita akan menduga bahwa lakon tersebut berisikan puisi
– puisi yang indah (bukan jelek). Dugaan tersebut benar adanya, beberapa dialog
kerap melemparkan bait – bait puisi yang berbau cinta. Lakon “Biar Kutulis
Untukmu Sebuah Puisi Jelek yang lain” bukanlah drama bersajak atau drama
berpuisi semacam Bebasari karya Rustam Effendi. Dialognya tidak berbentuk sajak
dan harus dibacakan dengan gagah dan berapi – api. Namun sebuah puisi menjadi
objek utama untuk dikuliti dan hampir dibicarakan di dalam semua dialog yang
ada.
Lakon
tersebut menceritakan tentang dua tokoh utama, yaitu seorang kakek yang mengaku
berumur 70 tahun. Serta seorang perempuan tua yang berusia 65 tahun. Mereka
berdua terpaksa tinggal di panti jompo. Masing – masing dirawat oleh dua orang
suster yang cantik nan aduhai. Namanya Meri dan Rosi, penting untuk diketahui,
status mereka tidak single alias punya pacar. Ada pula seorang dokter beristri
satu dan belum fasih memakai alat pengukur tensi.
Saat
dimulainya pentas, saya merasa bahwa settingnya berada disebuah rumah sakit,
bukan panti jompo. Si kakek kerap menceritakan masa lalunya bersama sang
kekasih kepada suster Meri. Terlihat dari raut mukanya yang kusut, si suster
kurang sreg dengan tingkah laku si kakek. Sehari – hari hanya menulis puisi dan
curhat mengenai kisah cintanya yang kandas. Padahal suster Meri sendiri
terlihat kurang suka dengan puisi. Selain itu, si kakek juga kerap protes soal
minuman yang selalu memakai gula jagung. Parahnya lagi, si lelaki tua tersebut
sering melontarkan rayuan gombal yang kadarnya mungkin cuman 1%.
Di
kamar yang lain, seorang perempuan tua sedang duduk diatas kursi roda. Saat itu
dirinya sedang bersenda gurau dengan suster Rosi. Sama dengan kakek tua,
perempuan tersebut juga mengutarakan masa lalunya. Ia mengaku sempat dekat
dengan seorang laki – laki yang pandai menulis puisi. Namun ia memilih untuk
meninggalkannya. Lagipula lelaki tersebut gagal menjadi pengusaha mebel, begitu
menurut tuturan si nenek tua. Selain itu, dirinya juga tidak peduli apabila
lelaki tadi masih mencintainya sampai sekarang. Maklum, apabila seorang
perempuan kerap jual mahal terhadap lelaki. Apalagi kepada laki – laki
berhidung belang.
Ternyata,
si nenek kerap dikirimi puisi – puisi yang indah, entah oleh siapa. Mungkin
saja itu hanyalah imajinasi liar si perempuan tua alias ilusi yang mengada-ada.
Singkat cerita, seorang dokter berkunjung ke kamarnya untuk memeriksa kesehatan
si nenek. Nah, si nenek tadi merasa pernah melihat dan mengenal si dokter.
Namun ia lupa dimana mereka saling mengenal. Dokter yang disebut – sebut
sebagai laki – laki beruntung tersebut pun menyangkalnya. Merekapun lalu
bercakap – cakap panjang lebar dan membahas tentang puisi tentunya. Sebelum
memeriksa si nenek, sang dokter terlebih dahulu mengunjungi si kakek tua. Di
tempat tersebut, dirinya juga diajak mengobrol oleh kakek gondrong yang gemar
membuat puisi. Mereka berdua lalu ngobrol ngalor ngidul. Mulai dari keadaan
keluarga si dokter hingga problematika cinta si kakek. Sayang, dokter
berkacamata tersebut tidak mahir soal puisi. Sedang si kakek sempat memaksa
dirinya untuk membacakan salah satu bait puisi yang ia buat.
Di
penghujung cerita, kakek tua dan nenek tua sempat saling bertemu. Si kakek
mengeluh atas pelayanan para suster yang tidak sepenuh hati. Mereka juga saling
pamer soal sudah berapa lama tinggal di panti jompo. Obrolan – obrolan lain pun
melesat dari mulut mereka. Sayang, otak saya tidak cukup mampu untuk merekam
detail – detail dialog mereka. Si kedua suster juga saling bertemu. Suster Rosi
menyesal bekerja di panti jompo karena orangtua yang tinggal di tempat tersebut
sangat rewel dan banyak maunya. Mereka pun sempat menceritakan mengenai
kelakuan si kakek gondrong dan si perempuan tua. Intinya, si kakek suka membuat
puisi, sedangkan si nenek kerap dikirimi puisi. Suster Meri lalu membacakan
secarik puisi yang dibawa oleh suster Rosi. Mereka berdua menduga, bahwa kakek
lah yang seringkali menuliskan puisi untuk si nenek.
Pentas
“Biar Kutulis Untukmu Sebuah Puisi Jelek yang lain” diakhiri dengan pandangan si
kakek dan si nenek di balik jendela. Si nenek begitu senang atas turunnya hujan
yang mungkin membasahi rumput dan dedaunan. Sedangkan si kakek gondrong masih
saja menangisi dan meratapi nasib asmaranya.
Sekali lagi, pentas yang
dijalankan oleh Forum Aktor memang terasa renyah dengan dukungan durasi yang
pas. Serta lontaran kata – kata yang cukup membuat penonton terpingkal –
pingkal. Entah karena improvisasi si aktor atau seratus persen mengacu naskah
tanpa adanya “penyembelihan” dialog. Faktor lain yang patut diapresiasi adalah
musik. Iringan musik yang diaransemen oleh Gardika Gigih juga apik dan simple.
Cukup membantu penonton untuk turut membangun suasana akan jalannya cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar