"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Kamis, 18 September 2014

Biar Kutulis Sebuah Catatan Jelek yang lain

“Apa yang diinginkan oleh perempuan dari seorang laki – laki ?” lalu seorang suster menjawab, “Kehangatan, kasih sayang dan cinta..” Kalimat semacam itulah yang terlontar dari sebuah dialog antara kakek tua dengan seorang suster. Kakek tua berambut gondrong dan beruban tersebut menceritakan kisah cintanya yang suram. Sedang si suster terlihat jengkel melayani kakek tua yang begitu rewel.

Gambaran tersebut saya tonton kemarin malam ketika menyaksikan pentas kelompok Forum Aktor dengan lakon “Biar Kutulis Untukmu Sebuah Puisi Jelek yang lain”. Lakon tersebut ditulis Andri Nur Latif. Kalau tidak salah ingat, lakon tadi pernah dibacakan dalam acara IDRF (Indonesian Dramatic Reading Festival) tahun 2010 di LIP. Bagi saya, pentas Forum Aktor di Kampus Sanata Dharma semalam cukup menarik. Mengangkat sebuah cerita realis dengan setting yang minimalis. Cukup mudah untuk dicerna karena dimainkan dengan begitu segar dan jenaka. Hanya saja judulnya tidak minimalis sih, hihihi.


Apabila melihat judulnya, tentu kita akan menduga bahwa lakon tersebut berisikan puisi – puisi yang indah (bukan jelek). Dugaan tersebut benar adanya, beberapa dialog kerap melemparkan bait – bait puisi yang berbau cinta. Lakon “Biar Kutulis Untukmu Sebuah Puisi Jelek yang lain” bukanlah drama bersajak atau drama berpuisi semacam Bebasari karya Rustam Effendi. Dialognya tidak berbentuk sajak dan harus dibacakan dengan gagah dan berapi – api. Namun sebuah puisi menjadi objek utama untuk dikuliti dan hampir dibicarakan di dalam semua dialog yang ada.

Lakon tersebut menceritakan tentang dua tokoh utama, yaitu seorang kakek yang mengaku berumur 70 tahun. Serta seorang perempuan tua yang berusia 65 tahun. Mereka berdua terpaksa tinggal di panti jompo. Masing – masing dirawat oleh dua orang suster yang cantik nan aduhai. Namanya Meri dan Rosi, penting untuk diketahui, status mereka tidak single alias punya pacar. Ada pula seorang dokter beristri satu dan belum fasih memakai alat pengukur tensi.


Saat dimulainya pentas, saya merasa bahwa settingnya berada disebuah rumah sakit, bukan panti jompo. Si kakek kerap menceritakan masa lalunya bersama sang kekasih kepada suster Meri. Terlihat dari raut mukanya yang kusut, si suster kurang sreg dengan tingkah laku si kakek. Sehari – hari hanya menulis puisi dan curhat mengenai kisah cintanya yang kandas. Padahal suster Meri sendiri terlihat kurang suka dengan puisi. Selain itu, si kakek juga kerap protes soal minuman yang selalu memakai gula jagung. Parahnya lagi, si lelaki tua tersebut sering melontarkan rayuan gombal yang kadarnya mungkin cuman 1%.

Di kamar yang lain, seorang perempuan tua sedang duduk diatas kursi roda. Saat itu dirinya sedang bersenda gurau dengan suster Rosi. Sama dengan kakek tua, perempuan tersebut juga mengutarakan masa lalunya. Ia mengaku sempat dekat dengan seorang laki – laki yang pandai menulis puisi. Namun ia memilih untuk meninggalkannya. Lagipula lelaki tersebut gagal menjadi pengusaha mebel, begitu menurut tuturan si nenek tua. Selain itu, dirinya juga tidak peduli apabila lelaki tadi masih mencintainya sampai sekarang. Maklum, apabila seorang perempuan kerap jual mahal terhadap lelaki. Apalagi kepada laki – laki berhidung belang.

Ternyata, si nenek kerap dikirimi puisi – puisi yang indah, entah oleh siapa. Mungkin saja itu hanyalah imajinasi liar si perempuan tua alias ilusi yang mengada-ada. Singkat cerita, seorang dokter berkunjung ke kamarnya untuk memeriksa kesehatan si nenek. Nah, si nenek tadi merasa pernah melihat dan mengenal si dokter. Namun ia lupa dimana mereka saling mengenal. Dokter yang disebut – sebut sebagai laki – laki beruntung tersebut pun menyangkalnya. Merekapun lalu bercakap – cakap panjang lebar dan membahas tentang puisi tentunya. Sebelum memeriksa si nenek, sang dokter terlebih dahulu mengunjungi si kakek tua. Di tempat tersebut, dirinya juga diajak mengobrol oleh kakek gondrong yang gemar membuat puisi. Mereka berdua lalu ngobrol ngalor ngidul. Mulai dari keadaan keluarga si dokter hingga problematika cinta si kakek. Sayang, dokter berkacamata tersebut tidak mahir soal puisi. Sedang si kakek sempat memaksa dirinya untuk membacakan salah satu bait puisi yang ia buat.

Di penghujung cerita, kakek tua dan nenek tua sempat saling bertemu. Si kakek mengeluh atas pelayanan para suster yang tidak sepenuh hati. Mereka juga saling pamer soal sudah berapa lama tinggal di panti jompo. Obrolan – obrolan lain pun melesat dari mulut mereka. Sayang, otak saya tidak cukup mampu untuk merekam detail – detail dialog mereka. Si kedua suster juga saling bertemu. Suster Rosi menyesal bekerja di panti jompo karena orangtua yang tinggal di tempat tersebut sangat rewel dan banyak maunya. Mereka pun sempat menceritakan mengenai kelakuan si kakek gondrong dan si perempuan tua. Intinya, si kakek suka membuat puisi, sedangkan si nenek kerap dikirimi puisi. Suster Meri lalu membacakan secarik puisi yang dibawa oleh suster Rosi. Mereka berdua menduga, bahwa kakek lah yang seringkali menuliskan puisi untuk si nenek.

Pentas “Biar Kutulis Untukmu Sebuah Puisi Jelek yang lain” diakhiri dengan pandangan si kakek dan si nenek di balik jendela. Si nenek begitu senang atas turunnya hujan yang mungkin membasahi rumput dan dedaunan. Sedangkan si kakek gondrong masih saja menangisi dan meratapi nasib asmaranya.

Sekali lagi, pentas yang dijalankan oleh Forum Aktor memang terasa renyah dengan dukungan durasi yang pas. Serta lontaran kata – kata yang cukup membuat penonton terpingkal – pingkal. Entah karena improvisasi si aktor atau seratus persen mengacu naskah tanpa adanya “penyembelihan” dialog. Faktor lain yang patut diapresiasi adalah musik. Iringan musik yang diaransemen oleh Gardika Gigih juga apik dan simple. Cukup membantu penonton untuk turut membangun suasana akan jalannya cerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar