"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Sabtu, 27 Agustus 2011

HAJI MABUK

“tersungkur di bawah manipulasi kebajikan, menari diatas khidmatnya jemaah, beretorika dengan semangat membara, berdalih kata-kata dari ayat Yang Maha Kuasa”
           
            Haji Sobirin Al Turmudzi, seorang pemuka agama kondang di kelurahan Kaliwangi. Nama Sobirin ia sandang setelah selesai nyantri di daerah Suratan. Biarpun KK miliknya tertulis dengan jelas nama Dahirin. Saat kecil ia lebih dikenal dengan nama Koreng, karena kakinya penuh dengan penyakit koreng. Haji Sobirin sangat terkenal karena kepandaian beliau membacakan ayat suci Al Quran dengan merdu. Ia menjadi langgangan masjid-masjid yang berada di kelurahan Kaliwangi, baik untuk mengisi pengajian, sholat Jumat ataupun saat Ramadhan. Kelincahan dia dalam berkhotbah menjadikan dirinya dikagumi kalangan masyarakat. Gelar haji baru dia dapatkan lima tahun yang lalu. Semenjak itu ia selalu memakai peci putih, baik saat pengajian, tahlilan, kumpulan, ronda bahkan ngarit. Pernah suatu saat dirinya lupa memakai peci putih, anehnya ia langsung tertimpa musibah. Haji Sobirin ditabrak motor yang dikendarai pemuda dari dusun Karangan, letaknya di sebelah barat dusun Haji Sobirin. Pemuda tadi ia maki, sambil menyinggung dusun Karangan sarangnya orang-orang musyrik, kampungnya orang PKI.
            Bacaan Yasin terdengar kompak di dusun Randu Alas, kampungnya Haji Sobirin. Malam itu sedang ada nyatusnya mbah Karmono. Di luar rumah ada dua orang pria, yang satu memakai baju batik, satunya lagi mengenakan kaos bergambar Bathara Guru. Mereka berdua sedang menunggu Haji Sobirin. Haji Sobirin lantas menemuinya setelah menyeruput segelas teh dan menyulut rokok miliknya. “Bagaimana Pak?” tanya pria berbaju batik. “Ya, sudah ada yang mengatur, kalian tinggal terima beres saja”. “Lhoh, ini sudah tiga bulan lebih pak Haji, kesepakatan awal cuma tiga bulan kan”. “Wah, yang namanya rencanakan tidak bisa sesuai prediksi terus Mar, buktinya kemarin malam saja Arseto kalah sama Niac Mitra”. “Itu bola pak, porkas beda sama urusan kita!” sahut Tumar. Pria berkaos Bathara Guru hanya diam saja sambil celingukan melihat keadaan sekitar. “Ya sudah, besok siang ba’da dzuhur kita ketemu di makam, jangan lupa bawa 76”. “Tapi besok bener dibawa lho pak Haji, anak istri saya makan pakai duit utang tiga bulan ini”. “Wes, wes gampang. Saya harus masuk ke dalam lagi buat nutup tahlilan, pokoknya besok ba’da dzuhur kamu ke makam Mar”. Tumar dan rekannya langsung berbalik arah, ia menuntun motor RXnya, keluar dari pagar rumah baru ia menyalakan motornya.
            “Tadi itu Tumar tho pak Haji? tanya Prastowo. “Ho’o Pras”. “Lha ada urusan apa pak sama jenengan?”. “Pesen kambing Pras, katanya minggu depan mau ada wayangan di Karangan, ruwatan”. “Dalangnya siapa pak? sahut Madli. “Ki Wahiri kalau tidak salah, lupa aku, pokoknya dari Wonogiri. Itu minggu malamnya Dli, lha malam minggunya mau ada dangdutan.” “Wah, mesti pesta itu”. “Nanti rusuh lagi sama pemuda Jatiaren, malah jadi maksiat, ruwatan ya ruwatan, nggak usah pakai dangdutan segala. Adanya malah mabuk-mabukan tho”. “Jangan-jangan Tumar tadi malah pesen kolesom bukan kambing. Ya pak Haji ya? celetuk Sholeh yang terus belok ke arah timur. “Heh, bocah edan, ngawur kalau ngomong!” tandas Haji Sobirin. Sholeh terus nyelonong sambil menginjak rokok miliknya tanpa menoleh ke belakang. Prastowo dan Madli hanya saling berpandangan. “Dasar anaknya Mono, tidak punya sopan santun. Anak seniman edan!” gerutu Haji Sobirin. “Tapi gambarnya kolesom mirip sama jenggotmu pak Haji” canda Madli “Hus, salah, yang mirip malah kambingnya” tambah Prastowo. “Hayoo !” sahut haji Sobirin sambil mengarahkan pecinya ke arah Sholeh dan Prastowo. “Pras, ini beseknya buat kamu. Buat sarapan besok pagi mungkin. Dibagi yang adil sama keluargamu”. Haji Sobirin memberikan jatah berkatnya untuk Prastowo. Madli dan Prastowo pun berjalan berdua menuju rumahnya. Sorot logo Beringin di baju Prastowo termakan oleh gelapnya malam. Begitu juga dengan peci dan sarung milik Madli, masih kalah gaung dengan pekatnya malam itu.
            Siang hari, selepas sholat dzuhur, Haji Sobirin berjalan-jalan. Tidak seperti biasanya, beliau membawa sebuah tas. Tertulis dengan jelas “Simposium Sastra ke XX : Mencari Entitas-entitas Budaya dalam Sastra Di Semak-semak Nusantara”. Dapat dipastikan tas tersebut bukan milik Haji Sobirin, melainkan milik putranya. Putranya memang sukses, dulu kuliah mengambil jurusan Sastra Prancis. Sekarang jadi stage manager di salah satu kelompok teater ternama. Di saat perjalanan Haji Sobirin, seseorang dengan sepeda kumbang menyapanya. “Hey, Reng ! Mau kemana? Nyeramahin orang-orang po?” sambil menghentikan laju sepedanya. “Mau jalan-jalan No, ngrokok sekalian menghirup udara segar.” timpal Haji Sobirin. “Ah kamu bisa saja, panas-panas seperti ini mana ada udara segar” sahut teman Haji Sobirin. “Ya sudah, nampaknya kamu sedang tidak mau diganggu. Lebih baik aku meneruskan sepeda gembiraku dulu. Ok bos!” jawab orang tadi sambil mengarahkan tangannya ke arah Haji Sobirin. Haji Sobirin mengerti maksud kawannya, ia lalu memberikan sebatang rokok untuknya. Orang tadi pergi dengan sepeda kumbangnya, bernyanyi-nyanyi, seperti orang tidak waras. “Angge-angge orong-orong, ora melok gawe melok momong” terdengar suara orang tadi sembari tangannya berlambaian.
            Di tengah perjalanan, Haji Sobirin melihat Madli bersama Prastowo menaiki motor menuju arah barat. Prastowo lupa ganti baju, padahal tadi pagi sudah diingatkan oleh istrinya untuk mandi terlebih dahulu sebelum berangkat nyawah. Haji Sobirin acuh dengan kepergian mereka, sebab masih ada tugas yang belum tertunaikan. Sesampai di tempat tujuan, Haji Sobirin membuka tasnya. Di dalam tas tersebut berisi lima buah botol aqua. Tapi nampak isi dalam botol tadi bukan air mineral. Melainkan arak Bali. Haji Prastowo saat itu sedang menunggu dua orang dusun Karangan, Tumar beserta rekannya. Sambil menunggu Tumar, Haji Sobirin mencicipi seteguk arak Bali miliknya.
            Hampir dua jam lamanya Haji Sobirin menunggu Tumar. Setengah botol berisi arak sudah dihabiskan. Ada sekitar enam buah puntung 76 disekeliling Haji Sobirin. Dengan kondisi setengah sadar Haji Sobirin kaget melihat dua sosok di depannya. Tanpa banyak pikir, dua orang tadi langsung menghabisi Haji Sobirin. Dipukuli, ditendang, dihajar tanpa ampun. Lima buah arak Bali yang tergeletak di tanah lalu dibuang ke dalam tubuh Haji Sobirin yang berlumuran darah. Tubuh Haji Sobirin bermandikan arak Bali serta darah. Dengan sebatang korek api yang sudah menyulut, dua orang tadi membakar tubuh Haji Sobirin. Mereka lalu meninggalkan jasad Haji Sobirin. Kepergian mereka bersamaan dengan bunyi suara knalpot blombongan, gasnya mbleyer-mbleyer.
            Kematian Haji Sobirin menjadi bahan pembicaraan di kalangan masyarakat Randu Alas, bahkan seluruh wilayah kelurahan Kaliwangi. Orang-orang tidak pernah mengira bahwa seorang pemuka agama seperti Haji Sobirin akan mati menggenaskan. Tumar sendiri tidak menyadari bahwa kematian Haji Sobirin bersamaan dengan janji yang ia buat. Namun Tumar saat itu memang benar-benar lupa bahwa dirinya ada janji dengan Haji Sobirin. Tumar lalu berpikir, siapa pelaku pembunuhan tersebut. Dalam hati Tumar ada satu orang yang bisa memberikan info mengenai kejadian. Ia adalah pak Mono, bapaknya Sholeh. Bergegas Tumar menemui pak Mono.
            Setelah tiba di rumah Sholeh, dirinya langsung bertanya perihal kematian Haji Sobirin. Sholeh yang sedang nglaras sambil mendengarkan dendangan dangdut koplo hanya menjawab seadanya. “Itu karma Mar, Allah itu Maha Tahu.” “Lhoh ini ga’ ada urusannya sama karma apa takdir, tapi soal pelaku Leh, pelaku.” “Itu betul, tapi bagaimanapun juga kelakuan si Haji Koreng tidak bisa ditolerir. Kamu sendiri kan pelanggangan tetapnya bajingan itu tho.” “Weh, aku cuman disuruh sama baba Han lho Leh. Jangan salah duga kamu.” “Tapi kan ikut ngicipi tho Mar.” “Aku tahu kamu ada masalah sama Haji Sobirin, tapi kan itu semua masa lalu Leh. Apalagi duduk persoalannya ada pada bapak kamu sama Haji Sobirin.” “Terus?” “Ya, aku tahu keluarga kalian tidak mungkin sampai hati membunuh Haji Sobirin, aku yakin itu. Hanya saja peristiwa itu cukup aneh bagi aku. Kok bisa-bisanya. Oiya, bapakmu mana Leh? Kok sepeda kumbangnya ga’ ada, baru pergi ya?” “Iya Mar, biasa jalan-jalan. Keliling kampung sebelah”
            Tiba-tiba muncul kerumumunan pemuda dusun Randu Alas. Mereka membawa golok, parang, arit, bendo dan berbagai senjata tajam lainnya. Beberapa massaa ada yang memakai peci serta sarung. Bahkan ada pula yang masih membawa kalungan sajadah dilehernya. Massa tadi dikomando oleh Prastowo dan Madli. Mereka berteriak-teriak menuduh Sholeh yang menjadi pelaku pembunuhan Haji Sobirin. “Wes, ayo bakar saja rumahnya. Berani mbakar orang, harus dibalas mbakar juga!” teriak salah seorang warga. Tumar dan Sholeh hanya diam saja, bingung, tak bisa berkata-kata apalagi melawan ratusan massa Randu Alas. “Dasar anak’e wong komunis! Kafir, kafir!” kata Madli. “Betul, betul. Wes, ayo sikat saja. Nyawa dibayar nyawa!” “Ayo, ayo!” kata mereka semua. Tumar yang sebenarnya ingin mencari info siapa pelaku pembunuhan tersebut malah jadi sasaran bogem mentah pemuda Randu Alas. Sholeh tidak luput dari kejaran warga, Sholeh dikebiri warga, ditelanjangi oleh massa yang mengaku beragama tadi.
            Dari kejauhan terdengar suara bunyi bel sepeda kumbang. Orang tua yang menaiki sepeda tersebut bisa tersenyum, namun sambil meneteskan air mata. Orang-orang tidak mengubris sosok orang tua tadi. Ia langsung menyanyikan sebait lagu dangdut koplo, “Rondo anak’e lima kumpul bareng turu neng klasa”. Orang tua tadi lalu turun dari sepedanya. Ia lalu memakai sebuah topeng Candabhirawa. Sebuah topeng legendaris di tahun 60an. Ia berdiri tertatih-tatih, seraya mengucapkan sebait kata. “Beringin, beringin, beringin....”
                                                                                   
                                                Yogyakarta, bersama kopi hitam pada tengah malam.
                                                -15 Maret 2011-
           
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar