Dua belas tahun lalu, ketika
saya pertama kali menginjakkan kaki di bangku SMP dan harus menjalani masa
orientasi sekolah. Sekitar 240 murid digiring oleh beberapa guru serta kakak
angkatan. Kita berjalan kaki menuju sebuah monumen, namanya Monumen Pahlawan
Pancasila. Monumen tersebut berada di dalam kompleks Batalyon 403 di daerah
Kentungan, Depok, Sleman. Kebetulan, sekolah saya berdekatan dengan bangunan
tersebut. Seorang guide menceritakan kronologis pembunuhan dua perwira (Letnan
Kolonel Sugijono, Kolonel Katamso) yang konon diinisiasi oleh PKI (Partai
Komunis Indonesia). Disamping itu, pria tersebut juga mendongeng mengenai
penculikan jenderal – jenderal di Jakarta beserta penyiksaannya di Lubang
Buaya. Memori diatas merupakan salah satu dari sekian banyak pengalaman saya
yang berkaitan dengan kasus Gestok.
Di kampungku, dulu ada seorang
warga, namanya (alm) Saridjo. Beliau mempunyai tiga orang putra. Setiap pagi,
dia selalu membawa handuk dan satu buah gayung. Ia beranjak mandi ke kali
Boyong dekat kampungku. Ya, pak Saridjo adalah salah satu warga yang dianggap
simpatisan PKI dan sempat mendekam di penjara. Beberapa warga kerap menyebutnya
“wong PKI”, termasuk orang tua saya sendiri. Ketika masih kecil, mendengar kata
“PKI” merupakan hal yang menakutkan. Terutama ketika SD, setelah nobar film Pengkhianatan
G30S/PKI karya Arifin C Noer bersama keluarga. Phobia komunis memang masih
merajalela sampai sekarang di negeri ini. Warisan dari kampanye (propaganda) anti
Komunis yang dikontrol pemerintah Orde Baru. Saya sendiri termasuk produk yang
menikmati naturalisasi sejarah, meminjam istilah yang disampaikan oleh Budiawan.
Barangkali kalian juga merasakannya.
Apa yang saya alami 12 tahun
yang lalu ternyata masih terjadi juga di dunia pendidikan kita. Terekam sebuah
scene, seorang guru tengah mengajarkan pelajaran sejarah di kelas, di dalam dokumenter
The Look of Silence garapan Joshua Oppenheimer. Di negeri ini, indoktrinasi
anti komunis sudah ditanamkan sejak dini. Dihadapan murid-muridnya, guru tersebut
menerangkan kekejian dan keburukan PKI. Salah satu murid dalam kelas tersebut
adalah putra Adi Rukun. Ia terlihat mengantuk dan malas mendengarkan ocehan
gurunya. Adi Rukun, namanya mendadak terkenal setelah film Senyap diluncurkan.
Ia adalah subjek utama di dalam film yang menyabet penghargaan di Venice Film
Festival 2014. Setelah membuat geger Indonesia dengan The Act of Killing alias
Jagal. Nama Joshua kembali mencuat setelah menelurkan karya terbarunya, yaitu The
Look of Silence atau Senyap.
Semasa hidupnya, Adi Rukun
tidak pernah bermain di sungai bersama kakaknya, menyentuh mukanya pun tak
pernah. Sang kakak, yaitu Ramli ikutan dibantai bersama simpatisan PKI yang
lain di tahun 65. Adi, lahir dua tahun kemudian setelah Ramli tiada. Rasa
penasaran Adi mengenai kematian kakaknya semakin menjadi ketika dirinya bertemu
Joshua di kampung halamannya, Deli Serdang, pada tahun 2005. Kala itu Joshua
mengunjungi rumah Rukun dan Rohani, orangtua (alm) Ramli dan Adi yang notabene
lahir di daerah Jawa Timur. Mereka berdua lalu mendiskusikan tentang
pembantaian massal 1965-66 yang turut menyeret kakak Adi ke alam kubur. Ia pun
meminta Joshua untuk mempertemukan dirinya dengan pelaku pembantaian massal di
Deli Serdang. Biarpun pada awalnya Joshua menolak, karena alasan keamanan.
Akhirnya, harapan Adi diatas mulai berjalan di tahun 2011. Sebelum proses
pertemuan dengan jagal terlaksana, Adi lebih dahulu menonton beberapa rekaman
video mengenai pengakuan para jagal mengeksekusi simpatisan PKI. Petualangan
pun dimulai setelah itu.
Membunuh
dan Mengaku “Pahlawan”
Bukan perkara mudah bagi Adi menyaksikan
pengakuan seorang jagal menganiaya para tahanan dengan sadisnya. Ia menonton
aksi Inong bersama Amir Hasan memperagakan metode “penyembelihan” anggota-anggota
PKI disekitaran Sungai Ular, Deli Serdang, salah satunya adalah Ramli. Kakak
kandung Adi dibunuh dengan cara digorok lehernya. Sampai-sampai darah yang
menetes pun mereka minum. Alasannya, supaya mereka tidak menjadi gila dan lebih
luwes melakukan pembantaian. Bahkan, sebelum jasad Ramli dijeburkan ke sungai,
mereka sempat menggolok selangkangannya hingga menyayat penis kakak Adi
tersebut. Cara- cara semacam itu hampir dilakukan ke setiap korban. Mereka
ditendang, dipukuli, lalu para jagal menggorok lehernya dengan pedang, tak lupa
mereka meminum darah para korban. Bahkan, ada juga tahanan perempuan yang dipotong
payudaranya. Sebelum mayat-mayat tadi dibuang di sungai Ular.
Bagi Inong dan Amir Hasan, kakak
Adi sejatinya adalah orang baik. Namun, karena dirinya menjadi bagian PKI,
tetap saja harus diseret untuk dieksekusi. Sebenarnya Ramli sempat melarikan
diri sebelum dirinya dihabisi di sungai Ular. Sang ibu melihat putranya pulang
ke rumah dalam kondisi terlunta-lunta, punggung dan perutnya bersimbah darah
tertusuk pisau. Ketika berada di rumah, Ramli sempat meminta ibunya untuk
membuatkan secangkir kopi. Air yang direbus, baru saja mendidih, tapi pintu
rumah keburu digedor. Siapa yang tahu bahwa itu adalah pertemuan terakhir
Rohani dengan putra pertamanya. Karena Amir Hasan dkk “menjemput” Ramli dengan
alasan akan mengobati dirinya.
Menurut penuturan Inong serta
Amir Hasan, apa yang mereka lakukan adalah bentuk pengabdian terhadap negara.
Mereka memang pimpinan komando aksi pembantaian tersebut. Perlu diketahui,
Inong dan Amir Hasan melakukan pembunuhan secara spontanitas. Bahkan, berdasar
pengakuan mereka, tentara sama sekali tidak terlibat. Mereka hanya berjaga-jaga
di jalan, tak ikut turun ke Sungai Ular. Menurut beliau, tentara tidak turut
membunuh supaya negara tidak disalahkan. Biarlah rakyat yang dimobilisasi untuk
membantai, agar negara tetap “bersih” wajahnya.
Selepas pembantaian berakhir,
mereka masih bangga mampu merenggut nyawa simpatisan PKI. Mereka mengaku
sebagai pahlawan, pembela Pancasila, penyelamat negara. Tak sedikitpun rasa
penyesalan muncul dibenak mereka. Bahkan masih mampu “bergaya” didepan ladang
pembantaian. Ya, biarpun secara sistem, para jagal diatas juga termasuk korban
atas pembunuhan berencana tersebut.
Membuka
Luka, Dendam dengan Kacamata
Sehari-hari, Adi bekerja
sebagai ahli kacamata. Lagi – lagi Joshua kembali “menjebak” dan “menipu” para
jagal. Alih-alih menawarkan jasanya untuk memeriksa mata, Adi malah menginterogasi
salah satu jagal yang turut membunuh kakanya, yaitu Inong. Sayang, Inong kurang
suka ketika Adi menanyakan perihal keterlibatannya dalam operasi penumpasan
simpatisan PKI. Inong mengaku, pertanyaan Adi terlalu dalam dan bersifat politis,
ia tidak suka dengan politik. Samar memang, sesamar mata Inong yang berhasil
“diperiksa” Adi.
Usaha Adi tidak berhenti sampai
situ. Ia lalu berkunjung menemui dua tokoh masyarakat di Deli Serdang. Pertama,
ia menemui Amir Siahaan yang sekarang menjadi pimpinan ormas Pemuda Pancasila
setempat. Pria tersebut mengaku sebagai pemimpin pembantaian anggota PKI di
Deli Serdang. Mereka memobilisasi warga untuk turut membantu pembantaian.
Komando aksi yang dipimpin Amir Siahaan juga menyiapkan lubang-lubang untuk
mengubur hidup-hidup para simpatisan komunis. Ketika Adi mengaku bahwa dirinya
adalah adik kandung salah satu simpatisan PKI yang turut terbunuh, sontak Amir
Siahaan terkejut. Gaya bicaranya menjadi terbata-bata dan sempat mengelak
karena pembantaian di Deli Serdang terdiri atas berbagai macam sub divisi. Bisa
jadi dirinya tidak turut melumuri tangannya dengan darah Ramli. Namun Adi tetap
bersikeras, bahwa Amir turut terlibat karena saat itu dirinya bertindak sebagai
pimpinan. Amir Siahaan sempat bertanya tempat tinggal Adi, namun Adi sungkan
untuk menjawabnya karena alasan keamanan.
Keberanian Adi kembali diuji
ketika menghadapi M.Y. Basrun, pimpinan DPRD Deli Serdang. Pria tersebut
terlihat pongah dan bangga menceritakan masa lalunya menumpas simpatisan PKI.
Anggota DPRD diatas sempat terperangah ketika Adi mengaku bahwa kakaknya adalah
korban dari penumpasan tersebut. Kontan, anggota DPRD tadi malah mengalihkan
pembicaraan. Ia menganggap, pembunuhan yang terjadi di Deli Serdang tidaklah
besar. Padahal ada sekitar 500 nyawa yang terpaksa menjadi tumbal. Pria yang
menjabat sebagai ketua DPRD sejak tahun 1971 tadi juga balik menggurui Adi
Rukun. Gaya bicaranya sangat licin dan diplomatis, ia berujar bahwa semua
keluarga korban pasti tak menginginkan tragedi tersebut terulang lagi dan
meminta mereka untuk merubah. Agak kabur, apa maksud “perubahan” yang
disarankan oleh M.Y. Basrun.
Perjalanan Adi tidak berhenti
disitu. Ia lalu bertamu ke rumah pamannya sambil memeriksa penglihatannya. Konon,
paman Adi turut ambil bagian di dalam operasi penumpasan oknum PKI. Kala itu,
paman Adi bertugas untuk menjaga para tawananan yang akan dieksekusi. Ia
sendiri mengaku, tidak tahu apabila diantara ratusan tahanan yang ia jaga,
salah satunya adalah keponakannya sendiri. Ia juga bersikeras, bahwa apa yang
dirinya perbuat merupakan panggilan untuk membela negara dan agama.
Perbincangan disudahi karena situasi makin memanas, paman Adi terlihat naik pitam.
Di sisi lain, Adi terlihat kelelahan dan mimik mukanya tampak kecewa. Sempat
terlintas keheningan disela-sela perbincangan mereka. Adi lalu bergegas untuk
berpamitan, tampak sorot mata paman Adi mengamati langkah keponakannya
meninggalkan kediamannya.
“Kalau
saya tolak, mereka membunuh kita, awak jaga keamanan. Mereka tak pernah
salat... berani-beraninya kau menyalahkan saya...” (Paman Adi Rukun)
Usai bertamu di rumah pamannya,
Adi berbagi pengalaman kepada mamaknya. Ia menceritakan bahwa adik mamak pernah
bertugas untuk menjaga para simpatisan PKI. Rohani mengaku, selama ini adiknya
tidak pernah menceritakan hal tersebut. Ia lalu menasehati putranya agar lebih
berhati-hati. Karena para pelaku pembantaian massal masih berkuasa sampai
sekarang. Sepanjang hidupnya, Rohani memendam rasa benci yang teramat dalam
kepada tetangganya yang bertindak sebagai eksekutor. Bertahun-tahun ia
menyimpan dendam dan tak sudi untuk saling menyapa. Adi serta ibunya berusaha
mengobati luka yang senantiasa menghantui. Mereka berdua mengunjungi makam
Ramli, tanpa kehadiran sang ayah yang didera sakit-sakitan. Maklum umurnya
sudah ratusan, biarpun mengaku baru berusia 16 tahun. Adi mengayuh sepeda,
memboncengkan sang mamak. Menyusuri jalan-jalan yang dikelilingi perkebunan sawit.
Bertamu
Tuk Merajut Damai
Hanya satu kata yang diharapkan
oleh Adi yaitu, “maaf”. Tapi, satu kata pun tak muncul dari Inong, Amir Siahaan,
seorang anggota DPRD serta paman Adi sendiri. Sebuah film dokumenter memang
harus melewati proses editing lebih dahulu. Supaya tercipta struktur dramatik
yang mereka cita-citakan. Kita sebagai penonton tentu tidak tahu menahu, atau
bahkan tidak akan diberitahu oleh sutradara mengenai urutan siapa saja yang
dahulu diwawancarai. Nah, di akhir film The Look Silence ini kita akan
menemukan adegan semacam “rekonsialiasi” kecil antara Adi dengan keluarga
pelaku. Entah kenapa scene berbau maaf-maafan tersebut diletakkan di
menit-menit mendekati film berakhir. Seakan-akan menampakkan bahwa permintaan
maaf adalah kunci utama untuk merajut jembatan rekonsialiasi. Atau malah sebuah
jalan untuk membuka kembali luka lama yang terlanjur menganga.
Adi mendatangi kembali seorang
pria tua, mantan jagal tentunya. Pria beruban tersebut ditemani seorang
putrinya, mereka menyambut Adi dengan tangan terbuka. Sang putri tahu, bahwa
dulu ayahnya ikut menumpas simpatisan PKI yang dicap sebagai pembelot negara.
Ia merasa bangga, ayahnya bagaikan seorang pahlawan dibenaknya. Begitu juga
dengan si pria tua yang bernama Samsir tadi, ia mengaku turut membantai ratusan
tahanan. Bahkan, kepala seorang perempuan pernah ia bungkus. Lalu kepala tadi
ia bawa ke kedai kopi milik orang Cina. Sepele alasannya, sekedar untuk
menakut-nakuti saja. Ia pun menceritakan, bahwa dirinya juga meminum darah
korban yang berhasil dia bunuh. Alasannya sama seperti Inong serta Amir Hasan.
Supaya pikirannya tidak jadi gila, tidak timbul rasa trauma ataupun tidak
terbebani ketika mengeksekusi tahanan. Mendengar pengakuan sang ayah, perempuan
yang mungkin seumuran dengan Adi tadi terlihat kaget. Ia mengaku, merasa ngeri
mengetahui tindakan sang ayah yang merasakan kenikmatan darah manusia. Hati si
perempuan kembali terketuk setelah mendengar pengakuan Adi. Panjang lebar Adi
menceritakan bahwa kakaknya turut dibantai di dalam operasi yang diikuti Samsir
tersebut. Terlihat nanar mata si perempuan, tatapannya kosong. Si lelaki tua
pun kelabakan dan menoleh ke belakang sembari menanyakan jam. Kondisi tersebut
pun membuat Adi harus buru-buru berpamitan. Si perempuan meminta maaf kepada
Adi, atas masa lalu yang menimpa kakaknya. Ia juga berkata bahwa kita adalah
saudara, jangan timbul permusuhan diantara mereka. Entah basa-basi atau bukan,
tak lupa si perempuan menyampaikan agar Adi sering-sering mampir ke rumahnya.
Sendirian dia mengurus sang ayah.
Pengaduan terakhir Adi tertuju
pada keluarga Amir Hasan. Sayang, pria yang di dalam rekaman Joshua tersebut
mengaku masih menyimpan pedang aslinya yang dipakai untuk membunuh simpatisan
PKI, ternyata sudah dipanggil ke Rahmatullah pada tahun 2011. Adi lalu menemui
istri dan anak-anak Amir Hasan. Ia menceritakan keterlibatan Amir Hasan yang
tega menganiaya dan membunuh kakak kandungnya. Awalnya mereka tidak percaya,
namun Adi menunjukkan buktinya dengan video rekaman Joshua Oppeheimer di tahun
2003. Serta sebuah buku “Embun Berdarah” yang berisi tentang pembunuhan
simpatisan PKI dan dikarang sendiri oleh Amir Hasan. Mereka shock, tak kuasa
menahan sedih dan amarah. Kedua putra Amir Hasan malah membentak Adi dan
Joshua. Wajar, posisi mereka sedang terpojok dan merasa bahwa selama ini mereka
telah dijebak oleh Joshua. Sebelum angkat kaki, Adi sempat mendengar pengakuan
istri Amir Hasan. Ia merasa kasihan dengan arwah almarhum dan meminta supaya
segala perbuatannya dimaafkan.
Seratus
Menit, Mengukir Kesenyapan
Hampir, seratus menit di dalam
dokumenter Senyap, kita disuguhi perbincangan Adi dengan pelaku. Membicarakan
motif serta alasan mereka membantai ratusan simpatisan PKI di sekitaran Deli
Serdang. Semuanya senyap, sunyi, nyaris tak ada kegembiraan. Mungkin hanya satu
scene, ketika Adi bercengkerama dengan putri kandungnya. Suka cita tadi pun
rasanya palsu, disaat Adi harus mendengar pengakuan sang istri yang merasa
nyawa keluarga mereka terancam.
Satu sosok yang cukup
menetralisir keadaan adalah Rohani. Ia memang menanam benih dendam sepanjang
hidupnya, namun rasa tegar pun tetap ia pelihara. Sikapnya yang ceplas-ceplos
cukup meredakan ketegangan serta kesunyian yang terus-terusan dibangun oleh
Senyap. Adi yang sejatinya tidak mengalami langsung peristiwa pembantaian di sungai
Ular, terus dihantui rasa penasaran. Hampir setiap usahanya untuk berdamai
selalu gagal, dia kurang lihai menjadi negoisator. Akibatnya, setiap ucapan Adi
selalu menyulut amarah pelaku atau keluarganya. Inong si tua yang memelihara
seekor monyet ternyata mudah naik darah. Amir Siahaan, gaya dan lagaknya
diam-diam membahayakan. Lalu si anggota DPRD, perlente namun berbisa, pandai
menenangkan situasi dan mengalihkan pembicaraan. Serta keluarga (alm) Amir
Hasan yang sebenarnya masih dirundung rasa duka, dengan mudah mereka tercabik
emosinya.
Menurut saya, hanya mamak alias
Rohani yang benar-benar menunjukkan suasana lucu bercampur miris sebenarnya
ditengah ruh kesenyapan. Dia pandai bercanda dengan suaminya. Tak merasa terganggu
mendengarkan suaminya mendendangkan lagu “Mana Tahan”. Biarpun tak mau sekamar
dengan sang suami karena alasan bau badan dsb, tapi toh dia lah yang selama
berpuluh-puluh tahun merawatnya dengan penuh kasih. Memandikannya, membersihkan
kamar, menyuapi makan dll. Setiap kata atau tindakan yang berkaitan dengan
kematian Ramli merupakan strategi tersendiri untuk menjalani hidup. Rohani
sejatinya sedang membunuh kesenyapan yang selama ini berkubang di lingkaran
keluarganya.
Akhir cerita, bu Rohani bertemu
dengan salah satu korban yang berhasil selamat, yaitu Kemat. Semasa muda Kemat
kenal dengan Ramli. Beruntung, dirinya mampu melarikan diri ketika para
rombongan sedang disiksa di tengah jalan. Di menit-menit awal, ia mengisahkan
proses penculikan korban beserta eksekusinya. Sembari berjalan kaki, Adi dan
putranya menyimak penjelasan Kemat dengan runtut. Ketika bertemu Kemat, bu
Rohani menangis tersedu-sedu. Tak lupa dirinya mengucapkan syukur karena Kemat
berhasil selamat. Disatu sisi, ia memeluk Kemat sembari menangisi kematian
putranya. Hati kita akan semakin tersentuh, ketika melihat ayah Adi merangkak
kebingungan. Ia ketakutan, was-was apabila dipukuli orang. Ia lupa dengan Ramli,
putra kandungnya. Memang, Rukun sudah pikun. Adegan tersebut seolah-olah menyiratkan,
betapa mirisnya keluarga Adi. Mungkinkah selama ini, Rukun didera kebingungan
dan bertanya-tanya, kenapa putra pertamanya “ditiadakan” ?
Setelah
Menonton Senyap, Kita Mau Apa ?
Film Senyap memang “dirayakan”
dengan ramai-ramai. Mulai dari pemutaran serentak pada tanggal 10 Desember,
lalu diskusi mengenai kasus 65 yang kembali marak, obrolan ringan soal Senyap di
kantin-kantin kampus, hingga ribut-ribut pembubaran nonton bareng Senyap.
Dokumenter yang didanai oleh Werner Herzog, Errol Morris dan Andre Singer tersebut
memang didukung oleh Komnas HAM. Beberapa tokoh dan intelektual di Indonesia
juga mengapresiasi film tersebut. Tercatat nama-nama semacam Nia Dinata,
Budiman Sudjamitko, Manneke Budiman, Baskara T Wardaya, Ayu Utami, Suciwati
Munir, Hilmar Farid dll di dalam credit title. Namun, tak sedikit yang sengaja
merusak dan menolak kehadiran Senyap di khalayak ramai.
Respon yang muncul sejauh ini
adalah rasa simpati terhadap korban. Biarpun, rasa belas kasih terhadap korban
sudah lama ngetrend pasca runtuhnya Orba. Lalu disusul dengan diskusi panjang
tentang 65 dan berakibat pada kemunculan buku-buku berbau kiri, komunis dsb. Di
sisi lain, banyak juga yang mengecam karena film ini dianggap mengobarkan komunisme
di Indonesia. The Look of Silence dianggap tidak netral, karena tidak
mengungkap kebiadaban yang pernah dilakukan oleh PKI. Akan tetapi, perbincangan
akan semakin melebar apabila kita membahas serangan intelektual-intelektual
kiri dalam perdebatan budaya. Ataupun Tragedi Kanigoro yang didasarkan pada
dendam PKI atas terbunuhnya kader mereka di Madiun dan Jombang oleh anggota NU
pada akhir 1964. Film tersebut memang tidak berniat untuk membahas penyerobotan
tanah secara paksa terhadap tuan-tuan haji nan kaya di akhir tahun 1963 akibat
mandegnya UUPA 1960 (land reform). Kita tidak hendak melupakan peristiwa
tersebut, namun ada meja tersendiri apabila kita ingin membahas babakan diatas.
Film ini lebih memusatkan
perhatian pada warisan Orba yang mendoktrin warganya sedemikian rupa. Agar mereka
menganggap bahwa komunis telah membuat Indonesia menjadi kelam. Indoktrinasi
tersebut yang berakibat pada kemunculan “perang saudara” di kurun 1965 – 66. Sampai-sampai
organisasi sebesar Muhammadiyah menyerukan umatnya, bahwa pebasmian PKI sama
dengan perang di jalan Allah. Selain banjir darah, indoktrinasi tadi juga
mengakibatkan pengucilan keluarga korban, bertahun-tahun lamanya. Padahal tak
semua korban yang dicap PKI, tahu atau paham tentang komunisme. Bisa saja
karena mereka cuma mendapatkan bibit padi, turut membagi-bagikan beras berapa
kilo, ikut main ketoprak atau diberangkatkan ke luar negeri karena
kecerdasannya. Eh, kok tiba-tiba diciduk, disiksa, diasingkan atau dibunuh
karena diduga aktif mendukung PKI.
Joshua Oppenheimer juga
terkesan ingin mendorong (meyakinkan) penonton Senyap bahwa Amerika Serikat
berada dibalik tragedi 65. Berdasar footage lama dari NBC News di tahun 1967
yang ditampilkan di dalam film Senyap. Kita dengan mudah akan menuduh negeri
Paman Sam turut terlibat di dalam pembantaian massal oknum-oknum partai
berlambang palu arit tersebut. Wajar, konstelasi dunia saat itu dikuasai oleh
dua pihak, yaitu Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Dimana, Amerika Serikat getol
memerangi paham komunis sembari membuka celah agar mampu memanfaatkan
lumbung-lumbung ekonomi di Nusantara. Arsip NBC News yang dilaporkan oleh Ted
Yates tersebut menuturkan beberapa hal yang mengejutkan. Muncul sebuah
kata-kata dari mulut orang Indonesia bahwa “Bali makin indah tanpa orang-orang
komunis”. Video diatas juga mengungkapkan, perusahaan karet terbesar di daerah
Sumatera sudah membaik kondisinya. Karena Serikat Buruh yang kerap menuntut
kenaikan upah sudah dihabisi. Sedangkan buruh-buruh selamat, tetap bekerja
namun berada di bawah todongan senjata. “Bersih-bersih” komunis juga terjadi
daerah lain. Menurut NBC News, orang-orang komunis dibiarkan mati kelaparan di
penjara. Ada juga yang dilepaskan lalu diburu oleh warga. Kesimpulannya,
laporan NBC diatas semakin meyakinkan publik, bahwa pembantaian massal 65 sudah
diorganisir, dimobilisasi secara sistematis dan menghasilkan pembunuhan
kolektif.
“Seharusnya kita-kita yang tua
ini diajak ke Amerika. Kita kan sudah berjasa. Tak naik pesawat pun tak apa,
naik kapal laut pun tak apa. Ini karena Amrika ajarkan pada kita benci komunis,”
(Amir Siahaan)
Otak pembantaian massal 1965-66
memang susah terungkap, bahkan untuk diangkat ke International Criminal Court.
Menurut Budiawan hal tersebut disebabkan karena pelaku pembantaian menjadi penguasa
dan simpatisan komunis menjadi korbannya. Berbeda dengan proses hukum yang
terjadi di Vietnam, Kamboja, Rusia, eks Yugoslavia dsb. Warga sipil yang jadi
korban bukanlah penganut paham komunis. Karena itulah, proses hukum sangat
didukung oleh negara adikuasa kala itu. Lagipula, di Indonesia sendiri,
antek-antek yang diduga sebagai insiator atau otak utama pembantaian massal tersebut
kebanyakan sudah tiada.
Sebenarnya, sebelum Senyap
muncul pun, isu campur tangan Amerika Serikat sudah lama terkuak di meja-meja
diskusi yang mungkin nyawanya hanya hidup di sekitaran menara gading. Kita bisa
mengecek ulang keterlibatan Amerika Serikat di film Shadow Play, dokumenter
mengenai peristiwa 65 yang rilis pada tahun 2001. Konon, Amerika Serikat
menyerahkan 5000 daftar simpatisan PKI yang harus dihabisi. Menurut sejarawan
Robert Cribb, jumlah yang terlindas pembantaian massal tidak diketahui secara
pasti jumlahnya. Sejauh ini, dipercaya pada kisaran 200 ribu hingga 3 juta
jiwa. Angka tersebut muncul berdasarkan hasil yang disampaikan beberapa pihak.
Misalnya, Komisi Pencari Fakta yang dibentuk Presiden Soekarno mencatat ada 78
ribu korban. Lalu, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib) yang berasumsi ada 1 juta nyawa yang dibunuh. Mantan pimpinan
RPKAD, Sarwo Edhie Wibowo malah mengakui bahwa korban mencapai 3 juta orang. Di
kubu lain, menurut aktivis Kiri, nyawa yang terenggut sekitar 2 juta jiwa. Angka-angka
diatas memang kurang bisa dipercaya, terlalu berlebihan dan sarat akan klaim
masing-masing pihak. Namun, Robert Cribb meyakini, kemungkinan ada sekitar 500
ribu korban yang tewas. Itu belum termasuk jutaan simpatisan PKI yang disiksa
lalu dipenjara. Apabila jumlah tersebut benar, itu berarti pembantaian massal
simpatisan PKI termasuk salah satu pembunuhan sistematis terbesar di dunia.
Seraya mengutip istilah Henk Schulte Nordholt, pembunuhan massal merupakan
penyucian ritual. Sebagai alat untuk mencapai mimpi mereka, menuju pertumbuhan,
perdamaian dan kesejahteraan baru.
Kalaupun, Amerika Serikat
memang terlibat, baru-baru ini terdengar bahwa mereka akan mengusut kasus
tersebut. Mungkin, Amerika Serikat akan mengucapkan kata maaf atas tragedi yang
melibatkan mereka. Pertanyaannya, apa yang akan dilakukan oleh pemerintah
Indonesia ? Ingat, berbagai kasus HAM di Indonesia sampai detik ini belum
menemui jalan terang. Ironisnya, kasus HAM sendiri selalu digoreng dandijadikan dagangan ditiap kampanye Pilpres berlangsung. Di sisi lain, Aksi
Kamisan masih rutin berjalan untuk menuntut keadilan. Selain kasus 65, masih ada kasus pelanggaran HAM yang belum dibereskan oleh pemerintah. Misalnya,
tragedi Talangsari, pelanggaran HAM di Timor Timur, aktivis-aktivis yang hilang
entah kemana, hingga kasus Aceh yang jauh dari sorotan media dsb.
Kata maaf, memang tidak cukup
untuk mengobati perih yang kadung tertanam lama. Tapi setidaknya, tindakan
tersebut menyatakan bahwa negara bertanggung jawab dan mengutuk tragedi hitam
yang menimpa masyarakat Indonesia di masa lalu. Rekonsiliasi sosial memang
sudah lama terbangun secara alamiah. Kesadaran diatas malah bergerak dari
bawah. Namun perdamaian tidak akan pernah tercapai apabila dikotomi “korban” vs
“pelaku”, “kita” vs “mereka” masih dibangun. Bagi Hersri Setiawan,
pemisahan-pemisahan tersebut harus dirombak kembali. Bukan bermaksud untuk
menyalahkan atau menyudutkan. Namun, film Senyap sendiri malah menajamkan
dikotomi tersebut. Sikap Rohani dapat dikatakan sebagai penolakan atas
rekonsiliasi dalam lingkup yang lebih kecil. Ketika dirinya masih saja
membentengi dan menjaga jarak dengan sosok yang membunuh putra kandungnya.
Entah karena saya yang alpa atau memang tak ada, sepertinya tidak terucap kata
untuk menerima permintaan maaf dari mulut Adi. Biarpun, kata-kata bisa berarti
hanya sebagai pemanis belaka, istilah Jawanya abang-abang lambe. Setidaknya, Adi bersikap tegar serta tulus
berjabat tangan dan berpelukan dengan pelaku.
Semuanya memang harus diawali
oleh negara. Mengutip pernyataan Hersri Setiawan mengenai Sesaji Raja Sunya. Cucu
Arjuna tersebut mengadakan Sesaji Raja Sunya ketika memimpin Astina. Sebuah
lakon post Baratayudha yang sebenarnya belum pernah saya lihat, bahkan saya
dengar. Saya sendiri sebenarnya agak meragukan adanya lakon tersebut, namanya
hampir mirip dengan upacara yang dilakukan oleh Yudhistira, yaitu Sesaji Raja
Suya. Ah, sudahlah. Jadi begini, Sesaji Raja Sunya berarti upacara penebusan
atas perang saudara yang menewaskan banyak nyawa, pertarungan antara Pandawa
dan Kurawa yang melibatkan sekutu-sekutu mereka. Parikesit selaku penerus tahta
Astina, ingin menebus segala dosa yang ditimbulkan leluhurnya dengan
mempersembahkan 40 ekor kuda. Lalu sebagai pemimpin, dia melakukan semedi. Ironisnya
di hari yang ke 40, nyawa Parikesit direnggut oleh Naga Taksaka.
Saya ingat, sebelum Jokowi naik
tahta, sebuah pagelaran wayang kulit serial Baratayudha digelar di sekitaran
jalan Mangkubumi, Yogyakarta. Lakon Jumenengan Parikesit menjadi cerita
pamungkas sebagai bentuk sambutan atau bahkan menasbihkan pemimpin baru di
Indonesia. Bayangkan apabila Parikesit benar-benar menitis di tubuh Jokowi.
Lalu Jokowi seolah-olah mengadakan Sesaji Raja Sunya dengan cara meminta maaf
atas tindakan negara yang membabi buta membantai simpatisan PKI. Tentu teramat
pening kepala presiden kita. Mengingat disaat pemilu kemarin cap komunis
melekat di tubuh pria kelahiran Solo tersebut. Pasalnya, gerakan yang secara
terang-terangan menolak komunis masih saja “dipelihara” oleh negara. Selain
itu, wacana komunis terus menerus dibenturkan dengan paham anti agama, terutama
Islam. Padahal paham komunis sendiri berkedok untuk melawan kapitalis, bukan
religiusitas. Biarpun, tujuan komunise sendiri sama dengan cita-cita tradisi
keilmuan Islam yang oleh Kuntowijoyo disebut sebagai ilmu sosial profetik.
Gagasan profetik merujuk pada konsep nahi
munkar yang sebenarnya searah dengan prinsip sosialisme (marxisme,
komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan) dan bertujuan bahwa
perkembangan dapat dicapai melalui liberasi (pembebasan).
Bagaimanapun juga, ucapan maaf
memang harus dilakukan oleh negara. Untuk mengawali tindakan saling
“berpelukan”, “berjabat tangan” serta ribuan kata maaf yang akan meluncur. Tentunya,
tanpa harus ditanggapi dengan negatif karena alasan kepentingan politik semata.
Semoga “pembebasan” tersebut tercapai. Amin.
“Let
us forgive each other, only then will we live in peace” – Leo Tolstoy
*****
“Secara
sudut pandang sih menarik. Adu domba antara “korban” (walapun korban ndak
langsung) dan pelaku. Nah, yang ngganjel bagiku adalah Joshua seolah
mengembalikan ke penonton mana pihak yang benar/pihak yang tertindas dan mana
pihak yang salah. Tapi kupikir dia sudah menggiring opini penonton bahwa pihak
pelaku adalah pihak yang salah (antagonis) dan pihak korban adalah pihak yang
bener (protagonis). Padahal sebenarnya nggak sesimpel itu. Masih banyak
misterinya. Apakah benar kalau pihak korban itu benar-benar dibantai demi
kekuasaan Orba ? Jangan-jangan mereka emang berniat kudeta ?”
(Gading Paksi, alumni Fisipol
UGM)
“Piye,
yo? Hmmm, ada perasaan yang campur aduk. Kekejaman dan kebohongan seperti
ditampilkan secara telanjang. Kadang aku tidak kuat membayangkan apa yang
dirasakan oleh mas itu, dan bagaimana caranya ia mampu meredam semua sedih dan
pahitnya. Tapi kejujuran yang ditampilkan itu seperti punya pesan, bahwa selama
ini kita hanya menatapi kebohongan dan kita senang menyaksikannya.”
(Irfan Drajat,
mahasiswa Kajian Budaya Media UGM).