"Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi, Supaya sejarah menjadi jinak. Dan mengirim sepasang merpati" (Kuntowijoyo)

Senin, 13 Februari 2012

SEBUAH “KADO” KECIL DARI RUMAH BUTUT MAIDA


PENCIPTAAN REALITA : IMAGES
          Pengertian film sebenarnya bukan sekedar film yang beredar di bioskop saja. Film-film juga muncul dalam bentuk tayangan sinetron di televisi serta di media elektronik lainnya. Film-film tersebut dibuat oleh pekerja film dengan asas sinematografi.[1] Menurut Alfred Hitchock, membuat film itu harus dipikirkan, bukan hanya merekam apa yang kamu lihat secara langsung. Karena film sendiri tidak hanya berkutat dalam rekaman gambar, melainkan bagaimana kita bisa menciptakan gambar. Pernyataan tadi juga diamini oleh Ingmar Bergman, bahwa faktor utama film adalah images, faktor penunjang lainnya seperti dialog dan suara. Hal itu terbukti bukan dengan adanya film bisu Charlie Chaplin yang sangat legendaris. Itu karena proses penciptaan images saja, minus dialog dan suara.[2]
          Lalu bagaimana dengan penciptaan gambar dalam film Ruma Maida, karena kali ini kita membicarakan film tersebut. Memang Slamet Rahadjo memberikan kritik terhadap perkembangan film di Indonesia isinya miskin imaginasi.[3] Akibatnya film-film kita kalah bersaing dengan film-film asing. Di dalam jajaran jagad 21 atau XXI, dominasi Holywood jelas merajai. Hal tersebut kenapa terjadi, karena film-film Indonesia tidak cerdas. Dalam uraiannya, Slamet Rahardjo memberikan dua contoh film cerdas, yaitu “Petualangan Sherina” (Riri Reza) dan “Arisan” (Nia Dinata). Film-film tadi memberikan suguhan menarik menampilkan realita, agar berbentuk suatu image. Tetap menghibur namun cerdas dan kaya nilai-nilai teknik serta artistik.[4] Film Arisan atau Berbagi Suami merupakan film parodi satire cerminan gaya ibukota yang seolah-olah gemerlap namun dalamnya karatan. Lalu film Petualangan Sherina tergolong berani mendobrak dominasi images-images milik anime Jepang. Film yang sangat polos, dengan menunjukkan keberanian, semangat serta ngglidhiknya anak-anak kecil. Film tersebut jujur, jujur menampilkan kenyataan. Itulah keunggulannya.

IMAGES dalam RUMA MAIDA
          Ya, kali ini berbicara mengenai film Ruma Maida. Awal mula melihat bahilo film tersebut di perempatan Sagan, saya kira film itu akan menceritakan mengenai Laksamana Maeda. Ternyata dugaan tersebut salah. Atiqa Hasiholan begitu cocok memerankan tokoh Maida. Latar belakangnya sebagai aktor teater mungkin sangat membantu proses permainan dia di film Ruma Maida tersebut.[5] Hampir sama dengan apa yang disampaikan diatas, bahwa ini film yang cerdas. Bukan sebuah film yang menyesatkan. Kita dapat melihat berbagai film-film aneh muncul di layar lebar saat ini. Terutama film-film parodi “paha wanita”, film tersebut memang menghibur namun apa nilai akademisnya?
          Sisi kecerdasan dalam film Ruma Maida ini bukan hanya kesadaran sejarah milik Ayu Utami. Akan tetapi bagaimana sang sutradara menampilkan sisi artistik yang menyentuh. Alur-alur yang tersampaikan memang cenderung biasa, tidak membuat kita menebak-nebak atau berpikir layaknya film-film Barat. Namun sekali lagi gambaran realita yang ditunjukkan sangat kaya. Entah itu realita saat masa pendudukan Jepang atau reformasi 1998. Film ini mampu menjadi ajang refleksi bagi kita.
          Film Ruma Maida adalah film fiksi. Beberapa adegan yang tercipta bukan kenyataan. Memang beberapa latar belakangnya ada peristiwa sejarahnya. Apabila film ini oleh Ayu Utami dibuat novel, mungkin kasusnya si Maida akan sama dengan Nyai Ontosoroh nya Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Mereka merupakan tokoh rekaan namun latar belakangnya ditampilkan sesuai dengan realita.
          Saat ditampilkan adegan flashbacknya Ishak Pahing, latar belakang yang ada juga sesuai cerita-cerita sejarah yang ada. Bagaimana proses perpindahan kekuasaan dari tangan Belanda ke Jepang. Kita tahu bahwa di bulan Maret 1942 merupakan proses kekuasaan tadi akan berpindah. Serangan demi serangan harus diterima Hindia Belanda. Onghokham menyampaikan dalam bukunya yang berjudl Runtuhnya Hindia Belanda. Bahwa pada saat itu terdengar penderitaan-penderitaan karena peperangan yang pertama. Mereka (orang-orang Batavia) mengungsi di Hotel Homan karena saat itu tanggal 28 Februari 1942, Tanjung Priok dijatuhi bom. Hotel Homan dipenuhi laki-laki, wanita serta anak-anak dengan membawa koper dan berbagai macam barang.[6]
          Di dalam buku milik Onghokham tadi, juga diceritakan bagaimana keadaan disaat genting tapi masih ada beberapa orang malah berdansa dan berpesta di hotel Homan tadi. Padahal diluar jauh sana tentara-tentara bertempur dengan angkatan perang Jepang.  Makin lama kondisi makin kacau.[7]
          Kembali lagi ke bahasan Ruma Maida. Ruma Maida tampaknya layak menjadi renungan bagi mahasiswa sekarang. Sosok Maida yang mengayomi anak jalanan patut kita contoh. Kepedulian dia terhadap anak jalanan dan pembelajaran sejarah sudah sepatutnya kita tiru. Film ini memang berhasil membuat sebuah images, bukan sekedar merekam images. Tetapi bagaimana penciptaan images tadi dengan pemikiran yang matang. Pada akhirnya images tersebut juga akan dipikirkan oleh khalayak ramai. Film yang cerdas adalah film yang inspiratif.


[1] Slamet Rahardjo Djarot, “Moving Image : Kreatifitas Dalam Kemiskinan Imaginasi”, dalam Waridi dan Bambang Murtiyoso (ed.), Seni Pertunjukan Indonesia : Menimbang Pendekatan Emik Nusantara. (Surakarta: The Ford Foundation dan STSI Surakarta, 2005), hlm. 293.
Yang dimaksud dengan asas sinematografi adalah proses penciptaan film melalu rekaman dengan pita seluloid, pita video, piringan video atau hasil penemuan teknologi lainnya. Proses melewati proses kimiawi, proses elektronik dll. Selanjutnya akan ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik dll. Pengertian tadi diambil dari pengertian film yang termuat dalam UU No.8/1992 tentang Film dan Perfilman. Pengertian film dengan perfilman memang berbeda.

[2] Ibid, hlm. 294.

[3] Baca Slamet Rahardjo Djarot, “Moving Image : Kreatifitas Dalam Kemiskinan Imaginasi”, dalam Waridi dan Bambang Murtiyoso (ed.), Seni Pertunjukan Indonesia : Menimbang Pendekatan Emik Nusantara. (Surakarta: The Ford Foundation dan STSI Surakarta, 2005), hlm. 293-297. Salah satu penyampaian menarik mengenai film juga terdapat dalam uraian milik Umar Kayam dalam bukunya yang berjudul Seni, Tradisi, Masyarakat (1981).

[4] Slamet Rahardjo Djarot, “Moving Image : Kreatifitas Dalam Kemiskinan Imaginasi”, dalam Waridi dan Bambang Murtiyoso (ed.), Seni Pertunjukan Indonesia : Menimbang Pendekatan Emik Nusantara. (Surakarta: The Ford Foundation dan STSI Surakarta, 2005), hlm. 296-297.

[5] Kalau tidak salah, Atiqa terlibat dalam grup Teater Merah Putih.
[6] Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm.258-259.

[7] Untuk lebih jelasnya, baca buku Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda terutama bagian terakhir. Penjelasan mengenai proses serta keadaaan pada saat jatuhyan Hindia Belanda disampaikan secara runtut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar