PUKUL dua malam,
mungkin dua pagi tepatnya. Sepasang bola mata milik Rizki masih terlihat segar.
Tersirat decak kagum dari raut mukanya. Pagi itu ia menonton pagelaran wayang
kulit semalam suntuk. “Ting ting ting ting”, sayup-sayup bunyi kecrek milik
sang dalang menghipnotis Rizki. Aliran darahnya serasa dialiri rintikan air
terjun, begitu menusuk. Perhelatan wayang digelar sedemikian rupa, kelirnya
panjang, kemungkinan lebih dari 5 meter. Lalu sindhennya berjumlah sepuluh,
cantik-cantik, muda-muda, adapula sindhen tua. Gamelannya mengkilap, bersinar
kala tersorot lampu. Terlihat jelas ada gap
penonton saat itu. Kalangan pejabat universitas serta para tamu undangan duduk
diatas sofa empuk. Paling depan tentunya. Sedang penonton biasa hanya duduk
diatas kursi merah bermerk Fukuda. Adapula yang ndeprok di rumput taman, lebih unik lagi ada yang niat membawa
tikar panjang.
Bersama teman perempuannya, Rizki
begitu menikmati sajian dalang kondang kota Jogja tersebut. Keahlian mayang sang dalang mungkin warisan dari
orangtuanya. Antawacana serta sanggitnya amat menawan. Mengingat
ayahnya memang mantan dalang terkenal. Seorang dalang Lekra. Ia satu-satunya
anak yang mewarisi bakat ayahnya. Saudara kandung ataupun saudara beda ibu
tidak ada yang menjadi dalang kecuali dirinya. Konon bayaran dalang muda
tersebut mencapai 30 juta lebih. Itu sudah komplit. Ya, agak mendingan memang
bila dibandingkan dalang kesohor Ki Mantheb “pancen oyee”. Dalang sabet asal
Solo tersebut biasanya dihargai dengan kisaran ratusan juta rupiah. Wow.
Rizki begitu cekatan menerangkan
siapa tokoh-tokoh wayang kepada temannya tadi. Bagaimana alur ceritanya,
ataupun mengartikan bahasa yang diucapkan dalang. Maklum, teman Rizki besar di
luar “Jawa”, tetapi letak daerahnya di pulau Jawa. Biarpun sebenarnya si gadis
tadi mempunyai darah Surakarta dari orangtuanya. Sembari menikmati suguhan jahe
anget serta gorengan, mereka saling mengobrol, saling berkicau di pagi buta.
Mengobrol soal wayang. Adegan di kelir menyiratkan bahwa sudah tiba waktunya
pertempuran habis-habisan. Adegan wana
alias perang begal. Pasca pecahnya gara-gara.
DENGAN setelan
kaos abu-abu bergambar muka John Lennon, si perempuan mengajukan sebuah
pertanyaan sambil mengigit tempe goreng. “Kenapa Janaka membela Raden Samba?”
“Karena
Janaka tahu bahwa si Samba itu titisan Bathara Drema, sedang Bathara Dremi
menitis dalam tubuh Dewi Agnyanawati.”
“Siapa
itu Drema sama Dremi?”
“Ya,
dewa. Dewa dari khayangan yang turun ke bumi karena dihukum. Ya, ya begitu
pokoknya,” Terlihat gelagat Rizki bahwa ia kebingungan menjelaskan.
Malam
itu lakon yang dibawakan oleh ki dalang adalah “Samba Juwing”. Lakon yang
bercerita tentang kematian Samba ditangan kakaknya sendiri, Raden Sitija.
Kematian Samba mungkin karma karena tingkahnya, mungkin juga takdir. Kodrat
dewa memang tak bisa ditebak. Sang Panyarikan bisa dengan mudahnya menghapus
keadaan di marcapada. Biarpun terkadang ulah manusia di bumi sering membuat
Bathara Panyirikan mengetuk-etuk kepala dengan telunjuknya sendiri.
“Wah kasihan dong Raden Sitija.
Istrinya berkasih-kasihan, selingkuh sama saudaranya. Jahat ya Samba sama
Janaka,” tukas si perempuan.
“Ah ya tidak tho yo. Sitija kan
menyalahi kodrat dewa. Karena ia menikah dengan perempuan yang bukan hak nya,”
jawab Rizki.
“Tapi kan Raden Sitija tadi pas
ketemu ibunya, rela kan menyerahkan istrinya dengan Samba?”
“Lha iya, tapi tetap saja Sitija
salah besar karena memutilasi Samba. Membunuh dengan kejam. Memotong – motong
tubuh adiknya sendiri.”
“Lhoh, perbuatan Raden Sitija karena
terpengaruh omongan dua punokawannya tadi. Aku kalau jadi Raden Sitija juga
akan marah. Harga dirinya sudah diinjak-injak. Padahal dia begitu sayang kepada
Raden Samba.”
“Lha iya.” sahut Rizki.
“Emang iya,” balas teman Rizki.
“Apalagi Janaka tadi malah pergi sewaktu kalah melawan Raden Sitija. Padahal
yang membujuk Samba untuk menemui Agnyanawati adalah dirinya. Lelaki macam apa
itu, bisanya cuma mengandalkan ketampanan. Tidak bertanggung jawab. Nggak mau
deh kalau besok punya anak dikasih nama Janaka atau Samba.”
Rizki hanya tersenyum kaku mendengar
ocehan temannya. Ia kelabakan dengan semua pernyataan yang terurai dari mulut
kawan perempuannya. Lalu tempo gamelan semakin cepat kala itu, inilah adegan
ketiga dari pagelaran wayang. Manyura.
Babak habis-habisan dimulai pada pukul tiga pagi.
DALANG malam itu
benar-benar menghentak hati Rizki. Kekagumannya atas wayang begitu kuat, wayang
semacam candu baginya. Tidak bisa tidur kalau tanpa ditemani wayangan. Adegan
perang antara negara meletus di tlatah Trajutrisna. Ngamarta, Mandura, Kumbina,
Lesanpura, Dwarawati serta Pringgodani berhadapan dengan kubu Ngastina dan
Ngawangga yang membantu pasukan negara kecil Trajutrisna. Peperangan
berlangsung amat dahsyat. Korban berjatuhan satu persatu, diawali para sesepuh
Mandura. Prabu Basudewa, Prabu Bismaka serta Prabu Setyajid wafat di medan
peperangan. Sabetan lesatan anak panah terasa bagaikan kilat menyambar. Serta
seolah-olah darah bertumpah ruah dibalik kelir.
Putra Pandawa yang turut perang
dengan lihai menahan keberingasan gempuran buto-buto
atau denawa Trajutrisna. Mereka tidak
terima dengan kematian menggenaskan saudara mereka dari Parang Garuda. Di
pimpin Patih Pancadnyana, serta para wadyabala
manggala Trajutrisna yaitu, Yayahgriwa, Ancak-ogra, Mangudhara serta Sinundha.
Trajutrisna terpaksa berjuang sendirian menggelar perang besar melawan enam
negara. Kubu Ngastina dan Ngawangga dibawah komando Patih Sengkuni dan Adipati
Karna lari terbirit – birit. Kalang kabut, ketakutan setelah mendengar Prabu
Baladewa mengamuk. Pertempuran terus berkecamuk, berlangsung ramai. Menyusul
kematian tetua Mandura, cucu – cucu mereka juga turut meninggal. Palguna,
Wisata, Walmuka tewas di tanah lapang Trajutrisna. Perang saudara sebelum
Baratayudha ini hanya bisa diakhiri oleh titisan Wisnu, sesuai kehendak dewa. Matinya
Raden Sitija berada di tangan ayahnya sendiri, Bathara Kresna menjadikannya
sebagai korban pamungkas. Selesai sudah perang besar melibatkan perseteruan bapak dan anak yang konon disebut
perang Gojali Suto tadi.
Paripurna
pula pagelaran wayang nan megah di gedung pusat kampus, tempat Rizki menggayuh
ilmu. Lalu lalang orang pergi meninggalkan tempat pagelaran. Ada yang lebih
dahulu menyulut rokok sebagai teman dinginnya pagi. Muncul pula bunyi suara
motor, dimana gendhing Bubaran sedang dimainkan oleh para niyaga. Para penjual
rokok dan lapak wayang dadakan bersiap-siap mengemas dagangannya. Sedang
dibarisan depan hanya tersisa dua atau tiga pejabat kampus dari sekian puluh
tamu undangan yang hadir.
Rizki lalu mengantar pulang si gadis
berkaos John Lennon. Letak kostnya tak jauh dari gedung pusat, tidak sampai
satu kilo. Sebelum pamitan Rizki sempat melontarkan untuk mengajak temannya
menonton wayang lagi. Kawan perempuan tadi menganggukkan kepala, tanda
mengiyakan. Lalu ia melontarkan kata-kata kepada Rizki, “Sitija itu tidak jahat
lho Ki’,”
Rizki terhenyak dengan perkataan
tadi. Ia ingat dengan omongannya sendiri sewaktu di motor sekitar tiga menit
yang lalu . Pernyataannya terhadap tokoh Sitija dianggap salah oleh rekannya.
Rizki hanya mengangkat pundaknya. Sambil berbalik arah, ia melemparkan senyum
serta melambaikan tangan. Si gadis membalas senyum Rizki. Lesung pipinya
menghiasi raut muka serta senyum manis dari bibirnya yang indah.
SESAMPAI di
rumah, kata-kata temannya tadi masih terngiang-ngiang dipikiran. Di otaknya
tergambar sosok Raden Sitija. Ia tewas entah dikubur dimana. Jasadnya melayang,
karena Sitija tidak bisa mati di atas tanah berkat ajian Pancasonabumi. Namun
mata Rizki semakin tak kuat lagi menahan kantuk. Lengkingan suara adzan tak
menyurutkan niatnya untuk terlelap.
Raden Sitija atau Prabu Boma
Narakasura ada di luar angkasa. Mayatnya tidak terdeteksi, biarpun ada
kemungkinan, jasadnya disimpan oleh kakeknya Sang Hyang Nagaraja di Jalatunda.
Sitija melayang, ia merasa bersalah melanggar pesan sang bapa, ia berani
melawan serta melukai klangenan cempaka
putih[1]
Bathara Kresna. Ia menyesal membunuh adiknya Samba, memotong-motong tubuh
adik tercintanya. Di angkasa ia melihat Samba dan Agnyanawati bermesraan di
khayangan. Wajahnya tertunduk mengingat peristiwa di keputren Trajutrisna.
Namun ia bahagia dengan kematiannya, mati ditangan ayahnya, mati ditangan
Wisnu. Ia bahagia. Sitija mati sempurna.
Sebuah kilatan menyambar tubuh
Sitija. Seakan-akan tubuhnya jatuh dibumi. Tiba-tiba muncul tiga sosok manusia.
Di hadapan sebuah batu nisan mereka sedang memanjatkan doa-doa. Satu orang
berbadan besar, berkulit bule. Disampingnya ada dua sosok bertubuh kecil, yang
satu gemuk, yang satu kurus pendek. Tiga orang tadi terlihat sedih meratapi
batu nisan. Suasana disekitar begitu sepi, jauh dari keramaian dan juga
kebisingan umat manusia. Agak angker namun diselimuti keharuan.
Si bule menyentuh nisan dengan
tangannya. Dipukul-pukul nisan tersebut tiga kali. Sedang si gemuk langsung
membalikkan badan, ia mengusap tetesan air matanya. Sedang si kurus pendek
berucap, “Bahagia disana ya Sinuwun”.
Tidak
lain sebenarnya tiga orang tadi adalah Baladewa serta Togog dan Mbilung.
Sepeninggal Raden Sitija, nyawa dua punokawan tadi terancam. Ia diincar banyak
orang karena ulahnya menimbulkan kemarahan Sitija dan berakibat dengan kematian
Samba. Namun Baladewa tahu bahwa Togog dan Mbilung tidak salah. Mereka dituduh
secara sepihak untuk mencari sosok yang bisa dikambing hitamkan. Baladewa
mengerti bahwa provokasi terhadap Sitija tidak terlontar dari mulut duo punokawan bengal, melainkan Patih
Pancadyana serta garuda Wilmuna. Ia tahu persis, sebab dirinyalah orang
terakhir yang berdialog dengan Patih Pancadnyana. Akan tetapi dari peristiwa Arjuna Wiwaha
sampai Prabu Kresnadwipayana memimpin Ngastina, hidup Togog dan Mbilung tidak
pernah tenang. Begitu nggenes nasib
mereka.
Baladewa, Togog dan Mbilung bergegas
pergi. Mereka berkeliling kota, meninggalkan tanah Mandura menuju negara Ngastina.
Di kerajaan Mandura, Dwarawati, Ngastina ataupun kerajaan lain, tidak tertanam
sebuah jalan bertuliskan Sitija atau Boma Narakasura. Sedang pahatan nama Samba
atau Wisnubarata diabadikan serta dibuatkan sebuah patung dan amat dipuja-puja.
Kisah tentang Sitija tidak diajarkan disekolah-sekolah. Namanya telah terhapus
dari pewarisan kisah lalu. Entah itu berupa mitos, sastra ataupun sejarah.
BERDERING keras
bunyi alarm dari balik HP milik Rizki. Ia tersadar dari buaian lelap nikmatnya
mimpi. Dirinya langsung teringat ucapan teman perempuannya. Dalam batin terurai
sebuah kata-kata, “Dia benar. Sitija adalah ksatria yang hilang.”
* di ilhami dari
lakon “Samba Juwing” yang dibawakan oleh alm. Ki Nartosabdho dan alm. Ki Hadi
Sugito.
[1] Kata klangenan cempaka putih berdasarkan audio wayang Ki Hadi Sugito
“Samba Juwing”.