Semalam, empat pria yang masih bujang
(sebut saja mereka, si A, si K, si R dan si M) berkumpul di bawah Jembatan
Budaya, FIB UGM. Di bawah naungan tempat “sakral” tersebut, terdengar
rintik-rintik hujan. Ada banyak percakapan yang tercipta di malam itu. Semisal,
si A menanyakan mengenai puncak tertinggi mencintai seseorang. Obrolan apaan
sih ini, hihihi. Hinggap pula ke perbincangan, “situ masih kontak-kontakkan
sama dia gak’e ?” Hingga meluncur ke pencarian gadis-gadis cantik via Instagram
dan teman-temannya. Awalnya, meja hitam yang diduduki berisi si A, si R, si M
dan si V. Namun, si V memutuskan untuk pulang duluan. Setelah si V pulang,
datanglah si K menjinjing tote bag dipundaknya.
Makin malam, obrolan makin seirus.
Diawali si R dan si K, mereka berbincang-bincang tentang teori-teori rumit yang
susah dikunyah oleh si A serta si M. Si K lalu menceploskan sebuah “gosip”
hangat yang barusan terjadi di kampusnya penyair ternama Sapardi Djoko Dhamono
tersebut. Ia bercerita bahwa diskusi mengenai International People’s Tribunal 1965
(IPT 65) dibatalkan. Diskusi yang menghadirkan Ratna Saptari selaku panitia IPT
65 tersebut sejatinya diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah UGM. Entahlah, tapi
panitianya dari Jurusan Sejarah UGM. IPT 65 sendiri sudah dilangsungkan pada
bulan Oktober tahun kemarin di Den Haag, Belanda. Hasilnya, ada sebuah
rekomendasi yang diputuskan Majelis Hakim agar pemerintah Indonesia mengakui
bahwa telah terjadi pelanggaran HAM terkait pembantaian massal pada Peristiwa
1965-1966. Mereka juga meminta agar pemerintah Indonesia mengucapkan permintaan
maaf kepada keluarga korban. Apalagi, pada tahun 2012, Komnas HAM juga sudah
mengajukan hasil penyelidikan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat pada
Peristiwa 1965-1966. Namun, hingga sekarang pemerintah Indonesia belum
memproses laporan tersebut.
Si K juga berujar, dirinya sempat menuju Ruang
Multimedia, Gedung Margono, FIB UGM, ruangan yang akan diselenggarakan untuk
diskusi. Sayang, suasananya sepi, tak ada panitia sama sekali. Ia lalu
berinisiatif menuju Jurusan Sejarah, menanyakan soal kepastian diskusi. Salah
seorang staf Jurusan Sejarah menjawab bahwa diskusinya dibatalkan. Weh, kok
bisa ? usut punya usut, tersebar kabar burung, bahwa pihak “Pusat” tidak
berkenan diadakan diskusi tersebut. Dikhawatirkan akan timbul sabotase terhadap
diskusi yang bertajuk “Catatan di Balik International People’s Tribunal (IPT)
1965” tersebut. Memang, diskusi mengenai IPT 65 akan merujuk pada pembicaraan
mengenai komunis. Sebab, ditahun-tahun 1965-66 merupakan masa dimana simpatisan
komunis berada dibawah teror acungan senjata. Sekarang pun komunisme masih
dianggap sebagai musuh bersama bangsa ini. Hingga detik ini, belum keluar klarifikasi
dari panitia penyelenggara. Tapi mungkin saja, panitia memberikan klarifikasi
ke email masing-masing peserta. Sebab, setahu si M, kalau mau mengikuti diskusi
tersebut harus konfirmasi lebih dahulu ke salah satu email panitia.
Betewe nih, betewe, pihak “Pusat” juga
tidak mengeluarkan pernyataan resmi agar diskusi tersebut lebih baik dibatalkan
demi kemaslahatan bersama. Katanya lho ini, katanya, “intelijen” sudah
mengetahui akan diadakannya diskusi tersebut. Ya mungkin saja, “intelijen” melapor
ke “Pusat” agar diskusi IPT 65 ditiadakan saja. Kan nggak tahu juga apakah akan
diserang oleh “oknum-oknum” tertentu. Intinya gitu sih kali ya, buat
antisipasi. Haa posisi “Pusat” tuh gimana aslinya selama ini ? kalau menurut si
R via akun line pribadinya sih begini, “Sesudah diskusi IPT ditiadakan, lalu
apa lagi, pus kampus hesjaaan”. Ya dijawab aja tho bung, “Pus, meong...”
Selanjutnya, keempat pria diatas tentu
bertanya-tanya, kok bisa diskusi seperti itu dibatalkan. Bukankah Kampus UGM
itu mimbar pendidikan untuk menyuarakan pengetahuan. Si M lalu teringat, ia
sempat bertemu dengan salah seorang dosen Jurusan Sejarah beberapa waktu yang
lalu. Saat itu si M bertanya apakah dosen tersebut bisa menjadi moderator di
acara diskusi novel Cintaku di Kampus Biru yang akan diadakan oleh Teater
Gadjah Mada. Sayang, dosen tersebut tidak bisa karena harus ke Kalimantan pada
tanggal yang sama. Dosen tadi juga paham, bahwa diskusi novel tersebut
berhubungan dengan pentas Cintaku di Kampus Biru yang diselenggarakan di
Fisipol pada bulan Desember tahun kemarin. Pentas tersebut memang urung diselenggarakan,
namun dari pihak TGM memutuskan untuk menggantinya menjadi pentas bongkaran.
Beredar desas-desus, bahwa pihak “Pusat” resah mengetahui poster non formal
yang tersebar di media sosial. Nah, saat peristiwa tadi, dosen Sejarah tersebut
sedang berada di istananya orang-orang “Pusat”. Ia mendengar, bahwa pimpinan
“Pusat” resah atas poster non formal pertunjukan TGM tadi dan meminta agar
pertunjukan ditiadakan. Tapi “Pusat” tak pernah mengeluarkan pernyataan resmi.
Menurut dosen Sejarah tadi, hal tersebut biasa dilakukan “Pusat” agar tidak
terkesan menjadi insititusi pendidikan yang konservatif. Sengaja dibuat agar
menjadi “gosip”, “kabar burung”. Apakah kasus yang dialami panitia diskusi IPT
65 juga seperti itu ? bisa jadi sih, tapi ya bagaimana, namanya juga gosip
murahan, hhe, hhe.
Tapi ya, apabila benar-benar pihak
“Pusat” memberikan amanat untuk meniadakan diskusi tersebut, tentu menjadi
pertanyaan besar. Sebenarnya, gimana sih posisi “Pusat” sendiri ? FYI nih,
bosnya “Pusat” pernah berujar kalau UGM tuh mendukung penegakan HAM di
Indonesia, tapi UGM juga wajib menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.
Nah, pernyataan tersebut muncul setelah kesaksian salah seorang penyintas di
IPT 65. Seorang perempuan berusia sekitar 70 tahun dengan nama samaran Kingkin
Rahayu berujar bahwa salah satu yang menyiksa dirinya bernama Loekman
Soetrisno, dosen UGM. Yak, (alm) pak Loekman Soetrisno memang dosen Jurusan
Sejarah UGM, guru besar pula. Bahkan, UGM juga pernah dianugerahi sebuah plakat
dari RPKAD atas kontribusinya menanggulangi penumpasan simpatisan komunis pada
tahun 1965.
Nah, diskusi yang niatnya akan diadakan
Senin siang kemarin seharusnya menjadi momen penting dong bagi UGM, terutama
Jurusan Sejarah UGM. Menjadi bukti bahwa mereka peduli terhadap isu tersebut.
Apabila Loekman Soetrisno memang benar-benar seorang interogator, ya cukup
diakui saja. Entah apa motivasinya saat itu, apakah karena keinginan pribadi
atau memang ada perintah dari atasan “Pusat”. Gosip lagi nih, gosip, konon pak
Loekman Soetrisno tuh dulu kalau kuliah suka bawa “beceng” alias pistol. Tapi,
di ranah akademis, salah seorang dosen Sejarah, yaitu Bambang Purwanto mengakui
kecerdasan seorang Loeman Soetrisno. Toh, beliau juga sudah meninggal. Sayang,
momen yang bisa dijadikan sarana rekonsiliasi tersebut malah digagalkan oleh
pihak tertentu. Sebab, ada kabar bahwa beberapa korban peristiwa 65 sempat
datang ke FIB UGM untuk mengikuti diskusi IPT 65 tadi.
Ah, tapi ya mau gimana lagi. Kita juga
tak tahu, besok akan ada “pembatalan” apa lagi. Mungkin benar apa yang
dikatakan tokoh fiksi ciptaan Ashadi Siregar, yaitu Anton Rorimpandey, seorang
mahasiswa Psikologi ketika sedang berbincang-bincang dengan dekannya.
"Apakah
Bapak mentolerir tindakan-tindakan semacam itu? Kalau begitu, apakah gunanya
prinsip-prinsip kebenaran, prinsip-prinsip ilmiah yang kita agung-agungkan
selama ini?"
Kata-kata diatas tertulis di dalam
novel Cintaku di Kampus Biru. Perbincangan antara Anton dengan dekannya masih
terus berlangsung. Hingga akhirnya Anton memutuskan untuk pulang dan
mengucapkan rasa terima kasih. Dekan tersebut hanya bisa termenung mendengar
kata “terima kasih” yang disampaikan Anton. Ia hanya bisa membatin dalam hati,
“Apakah yang
diterimakasihkannya? Apakah yang telah kuberikan kepadanya? Apakah yang
kuajarkan selama ini? Dusta, kebohongan, atau cuma mimpi-mimpi? Sementara itu,
dalam realita, aku mengajarkan sesuatu yang sama sekali mengentuti
ajaran-ajaran di mimbar kuliah..”
Hujan belum juga reda, mereka
berempat masih terus berbincang-bincang, nggosip serius lebih tepatnya. Soal
relokasi kantin Bonbin, pembangunan gedung baru yang urung terlaksana hingga
kasus seorang remaja yang mulai belajar menjadi maling. Mungkin mereka sudah
bosan membincangkan gadis-gadis cantik yang tersebar di kampus UGM atau
membahas gosip murahan sudut kampus yang selalu menemani ketika senja dijemput
oleh Bathara Candra. Karena terlalu lama menahan rasa lapar, mereka memutuskan
untuk menerjang hujan dan kembali ke peraduan masing-masing.
Eh ada yang
ketinggalan, menarik lho tulisan ini.