“Itu sudah dari dulu begitu.
Karena itu saja selalu mengatakan, sandiwara penggemar tidak akan bisa berdiri.
Barangkali tjuma bisa berdiri buat satu kali main sadja kemudian akan mati
sebagai lilin ditiup angin”
(Usmar Ismail, Liburan Seniman)
Kalimat
diatas meluncur dari seorang aktor kelompok Rendezvous, ketika mereka
membacakan naskah Liburan Seniman.
Naskah lawas milik Usmar Ismail tersebut dibacakan Selasa kemarin di LIP, pada
kegiatan IDRF (Indonesian Dramatic Reading Festival) 2014. Lakon tersebut
diselesaikan pada tahun 1944. Liburan
Seniman juga sempat dimainkan oleh kelompok sandiwaranya Usmar Ismail,
yaitu Sandiwara Penggemar Maya pada 31 Maret – 1 April 1945.
Sebuah
lakon dalam lakon. Naskah Liburan Seniman
menggambarkan sekelompok pemuda dan pemudi amatiran teater. Gejolak
nasionalisme membumbung tinggi pada masa pendudukan Jepang. Mereka ingin turut
andil dalam perjuangan bangsa. Karena tidak dapat kesempatan untuk angkat
senjata, pementasan teater menjadi pilihannya. Naskah Liburan Seniman sendiri bernyawa realisme. Serta sedikit dibumbui
unsur propaganda Jepang. Maklum, di jaman pendudukan Jepang, setiap naskah
harus diketik rapi, lalu diserahkan ke Badan Sensor untuk dinilai layak
tidaknya.
Nah,
naskah Liburan Seniman milik Usmar
Ismail mewakili kaum-kaum intelektual yang memilih realisme sebagai jalan
perjuangan mereka. Biarpun lakon realisme sudah muncul di tahun 1920an,
terutama di kalangan Cina Peranakan. Namun, publik lebih memilih pertunjukkan
yang cetar semacam sirkus atau stambul. Karena itu Usmar Ismail memasukkan satu
tokoh yang mewakili golongan tua dan masih setia dengan teater ala stambul yang
penuh atraksi. Bagi Usmar Ismail, teater seperti itu hanya menyuguhkan romantisme
palsu, klise. Padahal, teater bisa menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia.
Usmar
Ismail tidak sendirian, bersama kawan-kawannya di kelompok Maya, gaya realisme
terus mereka lancarkan. Mereka merupakan golongan intelektual namun dianggap golongan
amatir dalam teater. Maya menggugat apa itu teater komersil. Proses tersebut mirip
dengan awal mula berkembangnya realisme di Barat. Gaya tersebut pada awalnya
muncul karena gerah dengan dominasi teater istana. Gerakan realisme muncul di
Barat sekitar tahun 1850-an. Mereka menggugat dominasi teater istana yang penuh
fantasi. Contohnya, masyarakat lebih mengenal cerita-cerita fantasi dan
imajiner tentang dewa, ksatria, raja, orang ningrat dsb. Realisme menggantinya
dengan cerita yang wajar, daily life.
Di jagad realisme, masyarakat diajak untuk menikmati pengalaman keseharian yang
tentunya dekat dengan mereka. Jadi, tidak dapat dipungkiri, apabila pemikiran
dari Barat mempengaruhi Usmar Ismail dkk.
Dari
empat naskah yang dibacakan dalam rangkaian IDRF 2014, tiga diantaranya
mewakili tren realisme pada periode 40an-50an. Selain Liburan Seniman ada dua lakon lawas lain, yaitu Awal dan Mira (1951) karya Utuy Tatang
Sontani dan Bung Besar (1957) karya
Misbach Yusa Biran. Ketiga naskah diatas mewakili peristiwa yang terjadi pada
zaman itu. Lakon Liburan Seniman menggambarkan
semangat pemuda-pemudi yang bercita-cita membangun apa itu Indonesia dengan
medium teater. Naskah Awal dan Mira,
menjadi refleksi atas perang yang berkecamuk (revolusi) dimana rakyat kecil
yang menjadi korbannya. Sedang naskah Bung
Besar secara tidak langsung mencerminkan konflik-konflik internal yang ada
ditubuh partai politik.
Sebelum tahun
70an, lakon-lakon realis memang sangat dominan. Hal tersebut juga didukung
dengan maraknya pementasan bergaya realis oleh beberapa kelompok teater. Akan
tetapi lakon-lakon pengarang lokal harus bersaing dengan lakon-lakon terjemahan
(saduran). ATNI (Akademi Teater Indonesia) misalnya. Basis penciptaan teater
milik ATNI memang berorientasi ke Barat. Identitas mereka identik dan kental
dengan nilai-nilai Barat, seolah-olah menunjukkan (mewakili) sebuah unsur
kemajuan, modernitas. Pentas-pentas ATNI memang mutlak ala Barat. Acuan realisme
konvensional milik Stanislavsky atau Bolevlavsky dipakai oleh ATNI dan
kelompok-kelompok teater lainnya. Subagio Sastrowardoyo menggugat kondisi
tersebut pada tahun 1955, saat Simposium Sastra di Yogyakarta. Kritikan tadi
berisi bahwa dunia teater Indonesia sedang berada dalam krisis, yaitu krisis
dari segi penciptaan dramatik serta syarat intrisik lakon.
Meminjam
istilah yang disampaikan Michael H. Bodden, “realisme psikologis” semakin
mewarnai dan mendominasi di kalangan seniman teater, pasca kemerdekaan. Pada
kurun tahun 1950-an, kurikulum yang diajarkan oleh ATNI mengacu ke pendidikan
Barat. Mereka menerapkan apa itu “method acting”. Namun, kondisi tersebut tidak
diimbangi dengan output naskah realis yang dibuat. Karena itulah,
kelompok-kelompok teater sering memakai naskah orang asing. Naskah drama
penulis Barat disadur lalu diadaptasi ke dalam bentuk yang lebih Indonesia. Tercatat
ada 23 pementasan yang dimainkan oleh ATNI, dari kurun waktu 1957 – 1963. Dari
23 pentas tersebut, naskah pengarang asing lebih disukai ketimbang naskah-naskah
yang dibuat oleh pengarang dari Indonesia. Seperti, Malam Djahanam (Mottingo Boesje), Titik-titik Hitam (Nasjah Djamin), Domba-Domba Revolusi (B. Soelarto), Ajahku Pulang, Mutiara dari Nusa Laut (Usmar Ismail), Pagar Kawat Berduri (Trisnojuwono).
Sisanya, ATNI mementaskan beberapa naskah terjemahan atau saduran dari Barat
yang juga lekat dengan unsur realisme. Semacam, Sel (William Saroyan), Orang
Asing (Rupert Brooke), Burung Tjamar,
Lagu Terachir (Anton Chekov), Sang
Ajah (A. Strindberg), Pintu Tertutup
(Jean Paul Sartre), Mak Tjomblang
(Nikolai Gogol), Montserrat (E.
Robles), Si Bachil (Moliere).
Apabila
mengacu pada pendapat Jakob Sumardjo, drama serta naskah realis kehilangan
tajinya di era 70an. Goenawan Mohammad juga turut mengamini asumsi Jakob
Sumardjo. Mereka menyebut bahwa di tahun 70an merupakan kemunculan teater mutakhir.
Setidaknya, di periode tersebut berkembang biak apa itu teater eksperimental.
Sejatinya, teater eksperimental sudah dimulai sejak kemunculan naskah absurd
milik Iwan Simatupang pada tahun 50an. Selain itu, kelompok seperti STB (Studiklub
Teater Bandung) dan SGDD (Studi Grup Drama Djogja) juga kerap melakukan
eksperimen-eksperimen di tahun 60an. Entah, kenapa gaya realis “kukut” pada
tahun 70an. Apakah karena gaya realisme dianggap sulit untuk menyampaikan
kritik ? Mengingat pemerintah yang berkuasa saat itu sangatlah represif.
Beruntung,
IDRF sudah berlangsung selama lima tahun. Sejak awal, festival tersebut
bertujuan untuk mengenalkan naskah lakon terbaru, baik dari Indonesia atau
naskah asing kepada khalayak lebih luas. Selain memfasilitasi lakon-lakon baru,
mereka juga mengenalkan naskah-naskah lawas di setiap penyelengaraan. IDRF juga
sempat mampir ke beberapa kota-kota di luar Jogja. Mereka berkeliling ke Jakarta,
Bandung, Semarang dan Lampung. Terhitung sudah lima kali kali gelaran IDRF
terlaksana sejak tahun 2010. IDRF sendiri diinisiasi oleh Joned Suryatmoko,
Gunawan Maryanto dan Lusia Neti Cahyani.
(Photo by, Gading Paksi)
Namun,
seperti yang termaktub di dalam pengantar IDRF 2014. Panitia mengakui bahwa mengumpulkan
naskah-naskah baru memang tidak mudah. Padahal, pada kurun 1940an – 1970an,
geliat menulis lakon di Indonesia sangat gencar. Masalah tersebut berusaha
difasilitasi oleh IDRF. Supaya semangat menulis lakon di Indonesia kembali
marak. Cita-cita tersebut pernah dicanangkan pula oleh Komunitas Salihara. Di
tahun 2010, mereka mengadakan Sayembara Penulisan Lakon Realis. Sayangnya,
sayembara tersebut tidak berkelanjutan lagi sampai sekarang.
Entah
karena disengaja atau tidak, di setiap penyelengaraan IDRF, panitia menyajikan
tema yang berbau realis. Pada IDRF 2010, tema yang diusung adalah “Melihat
Kembali Drama Realis di Indonesia”. Di tahun kedua mereka menawarkan “Mengolah
Kembali Realisme”. Lalu “Memperkarakan Realisme” menjadi tajuk di tahun 2012.
Sedangkan di tahun kemarin, tema yang diolah agak berbeda. Mereka mengangkat
tema “Membaca dan Menulis Ulang Lakon-Lakon 70-an”. Di tahun 70an, realisme
memang agak sedikit tergusur. Penulisan lakon kala itu didominasi tema-tema
eksperimental. Di penyelenggaran yang kelima ini, IDRF membawakan tema
“Indonesia Futura”.
Beberapa
kelompok teater baik dari Yogyakarta ataupun luar pernah terlibat dalam
pembacaan di IDRF. Seperti, Teater Gandrik, Teater Dinasti, Teater Gardanalla, Teater
Stemka, Teater Garasi, Komunitas Sego Gurih dsb yang mewakili Yogyakarta. Di
lain pihak ada Teater Koma (Jakarta), Studiklub Teater Bandung (Bandung),
Teater Gidag-Gidig (Solo), Teater Satu (Lampung). Menariknya, setiap generasi
yang giat berproses dalam teater mereka ajak untuk membacakan naskah lakon. Aktivis
teater kampus misalnya, pernah mengicipi IDRF, baik secara personal atau
membawa nama kelompoknya. Seperti Teater Tangga (UMY) dan Teater Lakon (UPI
Bandung). Lalu di tahun 2011, beberapa remaja SMA juga menghiasi pembacaan
naskah lakon di IDRF.
Bagaikan
sebuah mesin waktu yang mengajak kita untuk menyusuri masa lalu. Beberapa lakon
lawas pernah disajikan dalam IDRF. Antara lain Lelakon Raden Bei Surio Retno yang diciptakan F.
Wiggers tahun 1901, Citra
karya Usmar Ismail (1943), lakon Senja
Dengan Dua Kelelawar tulisan Kirdjomulyo (1957). Uniknya di tahun
2013, mereka mencermati beberapa naskah lawas lalu diadaptasi ulang menjadi
sebuah naskah baru. Enam lakon lawas yang dipilih adalah Wot Atawa Jembatan (1977) karya
Yudhistira AN Massardi, Malin
Kundang (1978) ciptaan Wisran Hadi, Ben Go Tun (1977) oleh Saini KM, lalu karya milik Kuntowijoyo yang berjudul
Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatmah, Barda, dan Cartas (1972), berikutnya
Rumah Tak Beratap Rumah Tak
Berasap dan Langit Dekat dan Langit Sehat (1974) karya Akhudiat dan
yang terakhir, Saat
Drum Band Menggeram-geram Di Bekas Wilayah Tuanku Raja (1973) karya
Ikranagara.
Setelah
perayaan IDRF 2014 menyelesaikan refleksi mereka atas tatapan tentang Indonesia
oleh pendahulu kita. Patut kita tunggu, apa yang dipikirkan panitia untuk menyambut
IDRF 2015 ? Selepas acara, saya memang sempat bertanya kepada salah satu
panitia mengenai hal tersebut. Tema tahun depan masih belum diketahui, karena
baru dipikirkan pada awal tahun. Eh, haa kok setelah itu malah “dinasehati”
perihal skripsi. -,-
Sejak
awal, IDRF memang tidak memakai acuan mengenai periodisasi teater untuk
membungkus tema. Ketika bicara soal periodisasi mengenai teater, tentu akan ada
banyak pilihan. Jakob Sumardjo misalnya, beliau membagi perkembangan lakon ke
dalam lima bagian. Sastra Drama Melayu Rendah, Sastra Drama Pudjangga Baroe,
Sastra Drama Zaman Jepang, Sastra Drama Sesudah Kemerdekaan dan Sastra Drama
Mutakhir. Atau meminjam konsep yang diajukan oleh Boen Sri Oemarjati, yaitu
Lakon-lakon Periode Kebangkitan (1926-1942), Lakon-lakon Djaman Jepang/Periode
Pembangunan (1942-1945) dan Lakon-lakon Periode Perkembangan (1950-1963). Kedua
pembabakan diatas memang tidak mencakup periode baru-baru ini. Namun ada
alternatif lain, yaitu pembabakan yang ditawarkan oleh Michael H Bodden. Beliau
membagi perkembangan teater beserta lakon di Indonesia ke dalam empat bagian. Pertama, Teater Seni Nasional dalam era
Pembentukan Bangsa. Kedua,
Teater-Seni Nasional , Teater Komersil Kota dan Peralihan ke “Realisme”:
Penerjemahan “Warga Dunia” Baru 1942-1965. Ketiga,
Indigenisasi, Teater Eksperimental dan Alegori Kekuasaan: Adaptasi-Adaptasi
Teater Orde Baru 1966-1986. Terakhir,
Gelombang Kedua Teater Eksperimental dan Perubahan Peran “Tradisi”: Teater Seni
dari 1986-2001.
Nah,
apabila meneruskan kembali tema “Indonesia Futura”, tentu kita akan berjumpa
dengan masa yang kerap disebut “vivere pericoloso”. Tahun-tahun, disaat dua
kubu saling bersaing, yaitu Manikebu dan Lekra. Realisme Universal/Psikologis
kontra Realisme Sosialis/Revolusioner, apabila kita terjemahkan ke dalam
persaingan gaya (bentuk) lakon. Memang bukan hanya dua kubu tersebut yang
terjun ke dalam perang ideologi. Masih banyak kelompok lain seperti Lesbumi,
Leksi, LKN dll. Itu belum mencakup lembaga kebudayaan serta lebih khususnya kelompok
teater lain yang juga turut beraktifitas pada periode 60an. Perebutan ideologi
tersebut terbagi ke dalam tiga lingkaran, yaitu religius, kiri dan nasionalis.
Sebelum
Manikebu berdiri, kontestasi dan persaingan perebutan ideologi sudah melebar
luas. Perang kata-kata dan pendapat merebak di berbagai surat kabar, majalah
dsb. Masing-masing menunjukkan gayanya di panggung teater. Di balik meja,
tersisip debat mengenai kebudayaan Indonesia. Musyawarah Teater Nasional
Indonesia (1962) di Jogja menjadi saksinya. Menurut pengakuan Taufiq Ismail,
kubu Lekra dan LKN “kalah”. Mereka walk out dari sidang tersebut karena
menuntut dimasukkannya Manipol/Usdek. Musyawarah Teater 1962 sejatinya
mempunyai tema menarik, yaitu membentuk sebuah badan teater dengan asas
Pancasila dan Manipol/Usdek, supaya tuntutan Revolusi di bidang kebudayaan
terpenuhi. Pertemuan tersebut diakhiri dengan penetapan Hari Teater Nasional
pada 2 Desember 1962 dan mengangkat Presiden Soekarno sebagai Bapak Pembina
Kebudayaan Nasional. Selain itu, dibentuk pula Badan Pembina Teater Nasional,
nyaris nama-nama tokoh Lekra tidak tercantum dalam kepengurusan.
Mengupas
Lekra yang dianggap komunis itu memang tidak ada habisnya. Tema komunis, marxis
dll seakan-akan tak pernah basi. Iya, pasca reformasi “menjadi kiri memang sexy”.
Baiklah, mari kita kulik sesaat beberapa naskah lakon karangan seniman Lekra. Sepengetahuan
publik, Lekra identik dengan teater-teater tradisional macam ketoprak, wayang,
ludruk dsb. Padahal, beberapa naskah lakon juga dibuat oleh seniman-seniman Lekra.
Bakri Siregar misalnya, beliau pernah menyadur cerita Saidjah dan Adinda karangan Max Havelaar. Seperti yang disampaikan
oleh Michael H Bodden, lakon-lakon Lekra memang lakon propaganda, perlawanan
terhadap “tujuh setan desa”. Misalnya lakon yang mendukung reformasi agraria
seperti, Prajurit Pulang (1964), Hari-hari Terakhir (1964) dan Saat-saat yang dinanti (1964) karangan
P.H. Muid. Lalu, Bebas Gadai (1964)
dan Sersan Suparman (1964) karya K.
Sunaryo, serta Runtuhnya Sebuah Desa Raja
(1965) karya Bachtiar Siagian.
Bahkan,
naskah Utuy Tatang Sontani, yaitu Sayang
Orang Lain yang dibuat sebelum beliau masuk Lekra pun ditambahi unsur anti
haji. Padahal, orangtua Utuy sendiri bergelar haji. Utuy juga menulis naskah
lakon ketika dirinya bergabung dengan Lekra, yaitu Si Kampeng dan Si Sapar.
Lalu,
adapula naskah yang berbau kritikan terhadap birokrat kapitalis. Misalnya, Tuan Hasim (1965) karya Sugiarti
Siswadi, Keluarga Murbanto (1965)
ciptaan P.H. Muid, Terjungkirnya Seorang
Kabir (1965) karangan S.W. Kuntjahjo dan Banting Stir (1965) karya Putu Shanti. Selain naskah-naskah diatas,
Bodden juga mengidentifikasi naskah lakon Lekra yang lain, sayangnya belum
diketemukan jejaknya. Yaitu, Jalan Hanya Satu
(Traktor) dan Lonceng Kebangkitan karya P.H. Muid, Api di Pematang (1965) karya Kusni Sulang dan Topan di Kaltara (1965) karya Albar Djumbak. Akan menarik apabila
IDRF mengangkat naskah-naskah yang dikarang oleh tokoh-tokoh Lekra diatas. Tentunya
dibenturkan dengan lakon-lakon karya kelompok yang kontra dengan Lekra. Dari
pembacaan naskah lakon, penonton akan membayangkan derasnya dinamika kebudayaan
Indonesia kala itu.
(Photo by, Gading Paksi)
Membangun
sebuah festival memang tidak mudah. Seturut dengan apa yang disampaikan oleh
Joned Suryatmoko di kolom Kompas yang berjudul “Bukan Festival Apa Adanya”.
Apabila sebuah festival masih didanai dengan modal sosial, perjuangan mereka
untuk terus menghidupkan festival tersebut tidaklah gampang. Terutama festival
yang berbau seni pertunjukkan. Mas Joned memberikan contoh, bertahannya Biennale
Jogja dan FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) sejak akhir 80an sampai sekarang karena
ada bantuan dari pihak pemda sejak awal. Kasus tersebut juga mirip dengan PKB
(Pesta Kesenian Bali) yang tiap tahun terselenggara. Begitu juga dengan IDF
(Indonesian Dance Festival) yang dibiayai oleh pemda DKI Jakarta dan menjadi
agenda rutin mereka. Biarpun awal kemunculannya digalangi oleh pelaku-pelaku
tari.
Tentu kita sendiri juga menyaksikan bagaimana para pelaku seni berusaha mengelola
festival yang sudah mereka bangun sejak lama. Untuk di Jogja, kita bisa melihat
YGF (Yogyakarta Gamelan Festival) atau FFD (Festival Film Dokumenter) yang
umurnya sudah lebih dari 10 tahun terus bertahan dengan segala keterbatasannya.
Mari kita tunggu, apa yang akan disuguhkan di dalam IDRF 2015. Semoga masih
mewarnai perayaan festival-festival tahun depan, khususnya di Yogyakarta.